Penulis: Irfan Abu Naveed
Penulis Buku-Buku dan Kajian Tsaqafah & Staff di sebuah Pesantren-Kulliyyatusy-Syarii’ah
Saat ini di bawah naungan sistem kufur Demokrasi, banyak kemungkaran yang dibiarkan bahkan disuburkan. Tumbuh suburnya aliran sesat (Ahmadiyyah yang tak kunjung dibubarkan oleh negara), praktik-praktik perdukunan dan tukang sihir (pemberian izin kepada para dukun), merajalelanya riba (praktik-praktik ribawi dan izin operasional perusahaan-perusahaan yang mempraktikkan ekonomi ribawi) dan perzinaan (lokalisasi pelacuran) adalah di antara bukti-bukti yang tak terbantahkan, termasuk murtadnya orang (diantaranya diberitakan artis) dari Islam bebas lepas saja dalam sistem kehidupan saat ini bahkan bisa tampil di muka umum dalam acara debat sebagai murtaddin. Menjegal arus ajaran syaithan? (Link Artikel) . Dan ini di antara bukti murtaddin yang bebas menyebarkan ajaran sesatnya di alam Demokrasi saat ini:
http://hizbut-tahrir.or.id/2010/05/01/murtadin-hirsi-ali-islam-agama-kebodohan/
http://hizbut-tahrir.or.id/2010/05/09/penulis-somalia-menyerang-islam-dan-rasul/
Fenomena mengerikan ini sama percis seperti apa yang diungkapkan oleh Syaikh Abu Sayf Jalil al-‘Abidiy al-‘Iraqiy:
لقد غزت الأمة الإسلامية في أواخر القرن التاسع عشر وخاصة بعد سقوط الدولة العثمانية بعض المفاهيم الخاطئة والمعتقدات الباطلة الدخيلة على ديننا الحنيف والتي تضاد وتصادم العقيدة الإسلامية من كل وجه وجانب.
“Sungguh pada akhir abad ke-19, khususnya paska runtuhnya al-Daulah al-‘Utsmaniyyah, umat islam diserbu pemahaman-pemahaman sesat dan keyakinan-keyakinan batil yang menyusup ke dalam Din kita yang lurus, menyelisihi dan menyerang akidah islam dari segala arah dan sisi.” (Lihat: al-Dîmuqrâthiyyah wa Akhawâtuhâ, Abu Sayf Jalil ibn Ibrahim al-‘Abidiy al-‘Iraqiy).
Prinsip Kebebasan Demokrasi
Prinsip kebebasan, tidak terpisahkan dari Demokrasi, karena tegaknya Demokrasi sedikitnya menuntut empat prasyarat kebebasan (Meretas Jalan Demokrasi, Dadang Juliantara):
- Kebebasan beragama (freedom of Religion)
- Kebebasan berpendapat/ berpikir (freedom of speech)
- Kebebasan kepemilikan (freedom of ownerships)
- Kebebasan berekspresi/ berprilaku (freedom of personality)
Prinsip-prinsip kebebasan sebagai ajaran Demokrasi tersebut, banyak diungkapkan oleh para ulama yang secara tegas mengkritik prinsip-prinsip sesat Demokrasi (diantaranya ulama besar abad 19-20, al-’Allamah asy-Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani dan Syaikh Prof. ‘Abdul Qadim Zallum –rahimahumullaah-) dan pengakuan pemikir barat sendiri. Menurut pemikir Barat, Morlino (2004), Demokrasi yang “baik” setidaknya harus memenuhi 3 kualitas, diantaranya kualitas isi/substansi: warga negara memiliki kebebasan dan kesetaraan.
Prinsip kebebasan dalam Demokrasi ini pun, jelas diungkapkan dalam buku Politics, Aristoteles (versi bahasa Inggris): “Equality and freedom have both been identified as important characteristics of democracy since ancient times.” (Politics, Aristotle. 1317b (Book 6, Part II). Perseus.tufts.edu. Retrieved 2010-08-22.) Artinya: “Kesetaraan dan kebebasan sudah diketahui sebagai dua karakteristik terpenting dari Demokrasi semenjak dahulu kala.”
Dalam artikel United Nation berjudul Democracy And Human Rights dituliskan: “The values of freedom, respect for human rights and the principle of holding periodic and genuine elections by universal suffrage are essential elements of democracy.” (Tingkat kebebasan, respon terhadap hak asasi manusia, prinsip kepemimpinan periodik, dan pemilu yang bersih berdasarkan hak pilih universal merupakan elemen esensi dari Demokrasi).
Fokus: Kebebasan Beragama (Freedom of Religion)
Satu bukti kebobrokan prinsip kebebasan Demokrasi ini adalah pertentangannya dengan konsep Islam dan sistem politik Islam dalam menangani kemurtadan dan pemurtadan. Terbukti dalam realitas kehidupan –tak sedikit-, ketika seseorang bebas lepas murtad dari Islam tanpa bisa dikenai sanksi hukuman. Apa yang dilakukan pemerintah di negeri Demokrasi ini untuk menjaga akidah umat??
Opini kebebasan beragama secara faktual jelas membahayakan akidah umat Islam. Bagaimana tidak? Murtadnya seseorang dari agama Islam, dianggap sebagai sesuatu yang legal atas nama “Hak Asasi dan Kebebasan Beragama”. Dan bukan suatu bentuk kriminal. Tidak ada perangkat kekuasaan yang memaksanya bertaubat kembali kepada Islam, atau menegakkan atasnya sanksi had murtad bagi orang yang menolak bertaubat kembali kepada Islam. Apakah ada sanksi bagi para murtaddin? Yang ada kaum murtaddin di negeri ini bisa memproklamirkan kemurtadannya terang-terangan bahkan diantaranya bebas hadir sebagai pembicara dalam acara debat muallaf vs murtaddin.
Apakah ini tidak cukup membuktikan kebobrokan prinsip kebebasan beragama ajaran sesat Demokrasi?? Bagaimana konsep Islam dan solusinya menjaga akidah umat ini? Dan siapa yang berwenang menegakkan sanksi ini?
Solusi Islam
Maka jelas Demokrasi berbeda dengan Islam, salah satu buktinya tak samar bahwa Khilâfah sebagai metode syar’i untuk menerapkan syari’at islam kâffah, merupakan perisai (junnah) yang menjaga kaum muslimin dari berbagai kemungkaran. Orang yang murtad, sudah semestinya didakwahi, diluruskan kembali oleh utusan Negara agar kembali kepada Islam, jika 3 hari ia masih tetap dalam kemurtadannya maka sudah semestinya penguasa menegakkan apa yang disabdakan Rasûlullâh –shallallaahu ‘alayhi wa sallam-:
مَنْ بَدَّلَ دِينَهُ فَاقْتُلُوهُ
“Barangsiapa mengganti agamanya (murtad dari Islam), maka hukum matilah ia.” (HR. al-Bukhârî & Ahmad)
Al-Hafizh Ibn Hajar al-‘Asqalani menjelaskan hadits ini:
فوضح أن المراد من بدل دين الإسلام بدين غيره لأن الدين في الحقيقة هو الإسلام قال الله تعالى (إن الدين عند الله الإسلام)
“Maka sudah jelas bahwa maksudnya adalah barangsiapa mengganti agama Islam dengan agama selainnya, karena ad-Diin hakikatnya adalah Islam. Allah SWT berfirman: “Sesungguhnya agama yang diridhai di sisi Allah hanyalah Islam.”. ”
Dalam kitab Matnul Ghaayah wa at-Taqriib, al-Qadhi Ahmad bin al-Husayn al-Ashfahani pun menjelaskan:
ومن ارتد عن الإسلام استتيب ثلاثا فإن تاب وإلا قتل ولم يغسل ولم يصل عليه ولم يدفن في مقابر المسلمين
“Dan barangsiapa murtad dari Islam, maka ia diminta bertaubat dengan jangka waktu selama tiga hari hingga ia bertaubat jika tidak maka ia wajib dihukum mati, tidak dimandikan, tidak dishalatkan dan tidak dimakamkan di pemakaman kaum muslimin.”
Adanya ancaman sanksi had dalam hadits ini menjadi dalil atas kecaman dan larangan keras murtad dari Islam. Dalam tanya jawab yang diasuh oleh Syaikh Dr. Shalih al-Munajjid (http://islamqa.info/ar/20327) dituliskan:
والمقصود بدينه أي الإسلام
“Yang dimaksud bi diinihi yakni al-Islam.”
Syaikh Dr. Shalih al-Munajjid menjelaskan lebih rinci:
إذا ارتد مسلمٌ ، وكان مستوفياً لشروط الردة – بحيث كان عاقلاً بالغاً مختاراً – أُهدر دمه ، ويقتله الإمام – حاكم المسلمين – أو نائبه – كالقاضي – ولا يُغسَّل ولا يُصلى عليه ولا يُدفن مع المسلمين
“Jika seorang muslim murtad, dan terpenuhi syarat-syarat kategori murtad, di sisi lain ia adalah orang yang berakal (bukan orang yang hilang akalnya (maaf-gila), sudah baligh, maka halal darahnya (jika setelah didakwahi tetap bersikeras dalam kemurtadan-pen.) dan Imam (penguasa kaum muslimin) wajib menghukum matinya, atau wakilnya -semisal hakim- dan ia tidak dimandikan, tidak dishalatkan dan tidak dikuburkan di pemakaman kaum muslimin.”
Sebagaimana sikap Khalîfah Abu Bakar al-Shiddiq r.a. ketika ia memerangi orang-orang yang menghalalkan diri untuk melanggar kewajiban berzakat. Muhammad bin Yusuf al-Farabiy berkata: “Diceritakan dari Abu ‘Abdullah dari Qabishah berkata:
هُمْ الْمُرْتَدُّونَ الَّذِينَ ارْتَدُّوا عَلَى عَهْدِ أَبِي بَكْرٍ فَقَاتَلَهُمْ أَبُو بَكْرٍ
“Murtaddûn disini adalah orang-orang yang murtad (keluar dari Islam karena menolak membayar zakat) pada zaman (Khalîfah) Abu Bakr, lalu Abu Bakr r.a. memerangi mereka.” (HR. Al-Bukhari)
Sikap benar Abu Bakr ash-Shiddiq r.a. merupakan salah satu gambaran riil dari apa yang diungkapkan al-Hafizh al-Imam al-Nawawi yang menyatakan:
لا بد للأمة من إمام يقيم الدين وينصر السنة وينتصف للمظلومين ويستوفي الحقوق ويضعها مواضعها
“Adalah suatu keharusan bagi umat adanya imam yang menegakkan agama dan yang menolong sunnah serta yang memberikan hak bagi orang yang didzalimi serta menunaikan hak dan menempatkan hal tersebut pada tempatnya.” (Lihat: Rawdhatuth Thâlibîn wa Umdatul Muftin (II/433), Al-Hafidz Abu Zakaria Yahya bin Syaraf Al-Nawawi)
Qâdhi Abû Ya’la al-Farrâ’ mengungkapkan: “Imam diwajibkan untuk mengurus urusan umat ini, yakni sepuluh urusan: Pertama, menjaga agama berkenaan dengan ushûl yang disepakati umat terdahulu. Jika orang yang bersekongkol mempunyai kesalahan terhadapnya, dia (imam) bertanggungjawab untuk menerangkan hujjah dan menyampaikan kebenaran terhadapnya. Dia juga yang bertanggungjawab untuk melaksanakan hak dan sanksi, agar agama ini tetap terjaga dan terpelihara dari kesalahan. Dan umat ini akan tetap terhindar dari ketergelinciran.” (Lihat: Al-Ahkâm Al-Sulthâniyyah (hlm. 27), Imam al-Mawardi)
Sama halnya ketika terjalin dalam diskusi “أهمية مكانة السلطان في إزالة المنكرات” (pentingnya kedudukan penguasa dalam menghapuskan berbagai kemungkaran di tengah-tengah kaum muslimin). Syaikh Doktor Abu ‘Abdullah menjelaskan kepada penulis:
فالواجب على من يتولى أمور المسلمين أن يمنع ما يضر المسلمين في دينهم ودنياهم
“Maka wajib bagi siapa saja yang menguasai urusan kaum muslimin (penguasa) untuk mencegah hal-hal yang bisa membayakan agama dan dunia kaum muslimin.”
Dan menegakkan sanksi yang tegas bagi orang yang murtad dari Islam dan bersikeras dengan kemurtadannya adalah bagian dari mena’ati perintah Allah dan Rasul-Nya. Syaikh Dr. Shalih al-Munajjid menuliskan:
أن قتل المرتد حاصلٌ بأمر الله سبحانه حيث أمرنا بطاعة الرسول صلى الله عليه وسلم فقال : { وأطيعوا الله وأطيعوا الرسول وأولي الأمر منكم } ، وقد أمرنا رسول الله صلى الله عليه وعلى آله وسلم بقتل المرتد كما تقدم بقوله : ” من بدل دينه فاقتلوه ” .
“Bahwa sanksi hukuman mati bagi orang yang murtad merupakan perintah Allah dimana Allah memerintahkan kita untuk mena’ati Rasulullah –shallallaahu ‘alayhi wa sallam- Allah berfirman (yang artinya): “Ta’atilah Allah, ta’atilah Rasul dan Ulil Amri di antara kalian”, dan Rasulullah –shallallaahu ‘alayhi wa sallam- sungguh telah memerintahkan kita untuk menghukum mati orang yang murtad sebagaimana disampaikan sebelumnya berdasarkan hadits: “Barangsiapa mengganti agamanya (Islam) maka hukum matilah ia.“
Kepada mereka yang murtad karena alasan dunia, sudah semestinya ia ingat bahwa diantara kenikmatan yang besar adalah meninggal dalam keadaan muslim. Diriwayatkan bahwa ‘Ali –radhiyallaahu ‘anhu- sebagaimana dinukil oleh Syaikh Nawawi al-Bantani dalam kitabnya Mirqaatu Shu’uud at-Tashdiiq, menuturkan:
تمام النعمة الموت على الإسلام
“Sempurnanya kenikmatan itu adalah meninggal dalam keadaan beragama Islam.”
Dan kita semua berlindung kepada Allah ‘Azza wa Jalla dari keburukan yang dituturkan al-Hafizh Ibn ‘Abd al-Bar al-Andalusi dalam sya’irnya:
أأخي إن من الرجال بهيمة في صورة الرجل السميع المبصر
فطن لكل مصيبة في مالــه وإذا يصاب بدينه لـم يشعــر
“Wahai saudaraku, diantara manusia ada yang bersifat bagaikan binatang”
“Dalam bentuk seseorang yang mampu mendengar dan berwawasan”
“Terasa berat baginya jika musibah menimpa harta bendanya”
“Namun jika musibah menimpa agamanya, tiada terasa”
(Bahjatul-Majâlis wa Unsul-Majâlis (I/169))
Dan tiada keraguan bahwa:
Tiada Kemuliaan Kecuali dengan Al-Islam
Sekilas Tentang Khilafah Penjaga Akidah Umat
Demokrasi: Qiila Wa Qiila Orang Awam VS Qaala Wa Qaala Para Ulama (Part. I)
Maka, sudah sangat jelas waadhihan syadiidan perbedaan antara sistem Islam dan Demokrasi. Lantas, mana yang anda pilih?? Demokrasi? Atau sistem Islam (al-Khilaafah al-Islaamiyyah)??
Lihat: Politik Islam Berbeda dengan Demokrasi
Note: Tentang masalah ini, saya (penulis) sedang merinci lebih lanjut sebagai bantahan atas syubhat-syubhat yang dilontarkan sebagian orang dan menyingkap bahaya prinsip kebebasan beragama dalam Demokrasi.