Nasihat Al-Qur’an, Al-Sunnah, Atsar & Ulama (Taqiyuddin An-Nabhani, dll): Pelajarilah Bahasa Arab

kitab

Motivasi Mempelajari Bahasa Arab

Bagaimana pendapat saudara jika ada aktivis dakwah yang lebih giat mempelajari bahasa asing -selain bahasa arab- daripada mempelajari bahasa arab, padahal ia belum memahami bahasa arab dan tak ada upaya untuk mempelajari dan memahami bahasa arab? Tentu aneh, apa alasannya? Diantaranya sejumlah poin inti dan ringkas berikut ini:

:: Motivasi dari Al-Qur’an Al-Karim

Allah SWT berfirman:

إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ قُرْآنًا عَرَبِيًّا لَعَلَّكُمْ تَعْقِلُونَ

“Sesungguhnya Kami menurunkannya (al-Qur’an) dengan berbahasa Arab, agar kamu memahaminya. (QS. Yusuf [12]: 2)

Dengan memahami bahasa arab (disamping ilmu tajwiid), seorang qari’ terbantu dalam menjaga lisan dari kesalahan membaca harakat ayat-ayat al-Qur’an (lahn), dan kesalahan dalam hal ini bisa menyimpangkan makna, dan perkara ini jelas tidak sepele.

Di antara contoh lahn ini, apabila seorang qari’ membaca surat al-Fatihah:

Pertama, Mengganti huruf ع dibaca madd pada kata (العالمين) yang berarti ‘Alam Semesta’, dengan huruf أ yang dibaca madd (الألمين) yang berarti ‘Penyakit’. Kedua, Menghilangkan bacaan tasydîd ي dan memendekkan bacaan ا pada kalimat (إياك). Yang seharusnya dibaca (إِيَّاكَ), diubah menjadi (إِيَكَ), mengubah makna yang tadinya kepada Allah, jadi kepada sinar matahari-Nya.

Al-‘Alim al-Syaikh al-Nawawi al-Bantani berfatwa dalam Syarh Sullam al-Munâjâh ketika membahas bacaan al-Fâtihah:

لَوْ تَرَكَ التَّشْدِيْدَ مِنْ إِيَّاكَ عَامِدًا عَالِمًا مَعْنَاهُ كَفَرَ

“Namun jika dia meninggalkan tasydîd dari kalimat Iyyâka, dengan sengaja (serta) mengetahui artinya, maka orang tersebut menjadi kafir.”

Beliau menjelaskan: “Karena sesungguhnya kalimat al-Iyya dengan dibaca kasroh hamzah-nya dan diringankan ya-nya (tak dibaca tasydîd-nya) dan memendekkan bacaan alif (menghilangkan madd), adalah bermakna ‘sinar matahari’. Maka (penyimpangan seperti itu), menjadikan seseorang seakan berkata, ‘Kami menyembah sinar matahari-Mu.[1]

:: Motivasi dari Al-Sunnah Al-Nabawiyyah

Rasulullah SAW bersabda:

احِبُّوْا العَرَبَ لِثَلاثٍ لأَنِّي عَرَبِيٌّ، والقُرْانُ عَرَبِيٌّ، وَكَلاَم أَهْلِ الجَنَّةِ فِيْ الجَنَّةِ عَرَبِيٌّ

“Cintailah bahasa arab karena tiga hal: karena aku adalah orang arab, al-Qur’an menggunakan bahasa arab dan bahasa ahli surga adalah bahasa arab. (HR. al-Thabrani)

:: Motivasi dari Atsar Shahabat Rasulullah SAW

‘Umar bin al-Khaththab r.a. menuturkan:

اَحْرِصُوْا عَلى تَعَلُّمِ اللُّغَةِ العَرَبِيَّةِ فَإِنَّهُ جُزْءٌ مِنْ دِيْنِكُمْ

“Perhatikanlah pembelajaran bahasa arab (belajar mengajar) karena hal itu merupakan bagian dari agamamu.”

Di sisi lain sahabat yang mulia, ‘Umar bin al-Khaththab r.a. pun menegaskan bahwa Allah telah memuliakan kita dengan Islam, bukan dengan selainnya. Dan bahasa Arab adalah bahasa Islam.

نَحْنُ قَوْمٌ أَعَزَّنَا اللهُ بِاْلإِسْلاَمِ، وَمَتىَ ابْتَغَيْنَا اْلعِزَّ بِغَيْرِ دِيْنِ اللهِ أَذَلَّنَا اللهُ

“Kita adalah kaum yang telah dimuliakan Allâh dengan Islam, sehingga kapan saja kita mencari kemuliaan dengan selain agama Allâh, maka Allâh menghinakan kita.”[2]

:: Motivasi dari Aqwaal Para Ahli Ilmu:

Al-‘Allamah Taqiyuddin al-Nabhani menasihati:

أما سبب انحطاطه فيرجع إلى شيء واحد، هو الضعف الشديد الذي طرأ على الأذهان في فهم الإسلام. وسبب هذا الضعف هو فصل الطاقة العربية عن الطاقة الإسلامية حين أهمل أمر اللغة العربية في فهم الإسلام وأدائه منذ أوائل القرن السابع الهجري . فما لم تمزج الطاقة العربية بالطاقة الإسلامية بأن تجعل اللغة العربية – التي هي لغة الإسلام – جزءاً جوهرياً لا ينفصل عنه فسيبقى الانحطاط يهوي بالمسلمين، لأنّها الطاقة اللغوية التي حملت طاقة الإسلام فامتزجت بها، بحيث لا يمكن أداء الإسلام أداء كاملاً إلاّ بها ، ولآن بإهمالها سيبقى الاجتهاد بالشرع مفقوداً ، ولا يمكن الاجتهاد بالشرع إلاّ باللغة العربية، لأنّها شرط أساسي فيه. والاجتهاد ضروري للأمّة، لأنّه لا تقدم للأمّة إلاّ بوجود الاجتهاد.

“Adapun sebab kemunduran ini (dunia Islam-pen.) kembali kepada satu hal yaitu kelemahan yang teramat parah dalam hal pemahaman umat terhadap Islam yang merasuk ke dalam pikiran kaum muslimin. Penyebab lemahnya pemahaman ini adalah pemisahan potensi kekuatan yang dimiliki bahasa Arab (thaqah ‘arabiyyah) dengan potensi kekuatan Islam (thaqah islamiyyah). Hal ini berawal tatkala bahasa Arab mulai diremehkan (sebagai ilmu alat-pen.) dalam memahami Islam sejak awal abad VII Hijriyah. Selama kekuatan yang dimiliki bahasa arab tidak disatukan dengan kharisma Islam, yakni dengan cara menjadikan bahasa arab –yang merupakan bahasa Islam– sebagai unsur inti yang tidak terpisahkan dari Islam, maka kemunduruan itu akan tetap melanda kaum muslimin. Mengapa demikian? Karena bahasa Arab merupakan kekuatan bahasa yang mengemban kekuatan Islam. Sehingga, Islam dan bahasa Arab merupakan satu kesatuan ketika Islam tidak mungkin dapat dilaksanakan secara sempurna kecuali dengan memahami bahasa Arab. Dan karena dengan meremehkan bahasa Arab akan menghilangkan ijtihad terhadap syari’at, karena ijtihad hukum syara’ tidak mungkin terlaksana tanpa memahami bahasa Arab, karena bahasa arab merupakan syarat mendasar dalam berijtihad. Dan kedudukan ijtihad itu sendiri sangat penting bagi umat Islam, sebab tidak ada kemajuan bagi umat ini tanpa keberadaan ijtihad.”[3]

Al-‘Alim al-Syaikh ‘Atha bin Khalil membantah pemahaman yang menafikan pentingnya pemahaman bahasa arab dalam menafsirkan al-Qur’an[4]. Al-Syaikh ‘Atha bin Khalil pun menegaskan:

ومن الجدير ذكره أن من أراد أن يفهم القرآن بغير لغته التي بها أنزل يكون قد عطّل فهم القرآن والعمل به، ويكون بذلك قد ارتكب إثما عظيما لأن القرآن قد أنزل باللغة العربية وبغيرها لا يمكن أن يفهم فهما سليما.

“Dan di antara hal yang sudah semestinya disampaikan bahwa siapa saja yang ingin memahami al-Qur’an tanpa ada kemauan untuk memahami bahasanya (bahasa arab) yang Al-Qur’an diturunkan dengan bahasa tersebut, pasti akan gagal memahami al-Qur’an dan mengamalkannya, dan karena faktor ini ia telah berdosa dengan dosa yang besar karena al-Qur’an telah turun dengan bahasa arab dan tanpa memahami bahasa arab tidak mungkin ia memahami al-Qur’an dengan pemahaman yang benar.”[5]

Al-Syaikh ‘Atha bin Khalil menambahkan:

ولهذا حرص الفقهاء على العربية وعلومها، ناهيك عن المجتهدين ليتمكنوا من فهم القرآن واستنباط الأحكام الشريعة منه

“Dan oleh karena itu, para ulama ahli fikih memerhatikan bahasa arab dan ilmu-ilmunya, belum lagi  para mujtahidin (dimana salah satu syarat asasi ijtihad adalah bahasa arab-pen.), sehingga mampu memahami al-Qur’an dan menggali hukum-hukum syari’ah darinya.”

Dan dalam kitab tafsirnya pun Al-Syaikh ‘Atha bin Khalil menyatakan bahwa diantara sebab kesesatan adalah kelemahan dalam memahami bahasa arab.

 Al-Imam al-Syathibi menyatakan:

الضعيف في علوم اللغة فهو ضعيف في الشريعة، والمتوسط في علوم اللغة فهو متوسط في الشريعة، والمنتهي في علوم اللغة فهو المنتهي في الشريعة

“Lemah dalam memahami ilmu bahasa (bahasa arab) maka lemah dalam ilmu syari’ah, dan sedang dalam memahami ilmu bahasa maka sedang pula dalam ilmu syari’ah, cakap dalam memahami ilmu bahasa maka cakap pula dalam ilmu syari’ah.”[6]

Dalam sebuah pernyataan, dituliskan:

ويقول الشافعي: “لا أسأل عن مسألةٍ من مسائل الفقه، إلا أجبت عنها من قواعدِ النحو”، وهذا يدلُّ على تمكنِه – رحمه الله – في العربية، وقال أيضًا: “ما أردت بها – يعني: العربية – إلا الاستعانةَ على الفقه”، وقال: “من تبحَّرَ  في النحوِ، اهتدى إلى كلِّ العلوم”،وتُنسبُ هذه المقولةُ أيضًا للكسائي.

“Imam al-Syafi’i menuturkan: “Tidaklah Saya ditanya tentang suatu permasalahan dari permasalahan fiqh, kecuali Saya jawab dengan kaidah nahwu.” Dan hal ini menunjukkan kemampuan beliau –rahimahullah- dalam ilmu bahasa arab, al-Syafi’i pun menuturkan: “Tidaklah Saya menginginkan kemahiran atasnya yakni kemahiran bahasa arab kecuali untuk membantu Saya dalam mengkaji permasalahan fikih”, dan beliau pun berkata: “Barangsiapa mendalami ilmu nahwu, maka meraih petunjuk untuk memahami seluruh ilmu”, pernyataan ini pun dinisbahkan pada Imam al-Kasaa’iy.”

Syaikhul Islam menuturkan: “Bahasa arab adalah bagian dari agama (Islam). Mengetahuinya adalah fardhu dan wajib. Sebab, memahami al-Qur’an dan al-Sunnah hukumnya fardhu. Keduanya tak akan bisa dipahami, kecuali dengan memahami bahasa arab. Sementara itu, jika sebuah kewajiban tidak akan sempurna melainkan dengan adanya sesuatu, sesuatu itu menjadi wajib.”[7]

Bahasa itu sendiri merupakan hal yang sangat penting dalam kehidupan manusia. Sebagaimana diungkapkan para ahli:

اللغة هي وسيلة التفاهم بين الناس، وأداة التعبير عن المعاني الموجودة في النفس، واللغة تتكون من كلمات

“Bahasa adalah alat untuk saling memahami di antara manusia, dan media pengungkapan makna-makna yang ada dalam diri, dan bahasa tersusun dari kata-kata.”[8]

Para ahli bahasa Arab pun bertutur:

الصرفُ أمُّ العلومِ والنحوُ أبوها

“Ilmu sharf adalah induknya ilmu, sedangkan ilmu nahwu adalah bapaknya.”

PERHATIAN: BAHASA ARAB ADALAH BAHASA ISLAM, BAHASA AL-KHILAFAH AL-ISLAAMIYYAH & DUNIA INTERNASIONAL.


[1] Lihat: Syarh Sullamul Munaajah, Syaikh Muhammad Nawawi bin ‘Umar al-Jawi asy-Syafi’i.

[2] HR. al-Thabari dalam tafsirnya 13/478.

[3] Lihat: Mafaahiim Hizb Al-Tahriir, Qadhi Taqiyuddin al-Nabhani – Dar al-Ummah: Beirut.

[4] Lihat dalam  Al-Taysiir fii Ushuul al-Tafsiir, Al-‘Alim al-Syaikh ‘Atha bin Khalil Abu Ar-Rasythah, Cet. II: 1427 H/2002 – Dar Al-Ummah: Beirut.

[5] Lihat: Al-Taysiir fii Ushuul al-Tafsiir, Al-‘Alim al-Syaikh ‘Atha bin Khalil Abu Ar-Rasythah, Cet. II: 1427 H/2002 – Dar Al-Ummah: Beirut.

[6] Lihat: Al-Muwaafaqaat, Al-Imam Asy-Syathibi.

[7] Lihat: Al-Iqtidhaa’ Al-Shiraath Al-Mustaqiim, Syaikh Ibn Taimiyyah – Maktabah al-Sunnah al-Muhammadiyyah: Kairo, Cet. II: 1369, juz. II, hlm. 207.

[8] Lihat: Al-Nahwu Al-Kaafiy, Ayman Amiin ‘Abd al-Ghaniy – Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah: Beirut.

Jawaban atas Tuduhan Terhadap HTI Terkait Status “Ormas Islam” (I)

2a

Pernyataan Seorang Aktivis ’Gerakan Underground’ Sekitar Tahun 2008:

“Hizbut Tahrir Indonesia apa bedanya dengan PKS? Tidak furqan, berkorporasi dengan pemerintah NKRI, Karena HTI daftar di Departemen Sosial.”

POIN-POIN TANGGAPAN & JAWABAN[1]:

Pertama: HTI Tidak Daftar di Depsos Tapi Depkumham

HTI tidak mendaftarkan diri sebagi Ormas Islam di Departemen Sosial (Depsos) tapi di Depkumham. Dengan menyebut HTI tidak furqan artinya HTI tidak memisahkan haq dengan bathil? Karena menurut para ulama’ diantaranya Al-Hafizh Ath-Thabari (2/70), makna furqan adalah:

الفصل بين الحق والباطل

“Pemisah antara yang haq & yang bathil”.

HTI mencampuradukkan antara yang haq & yang bathil? Na’udzubillaah tsumma na’udzubillaah. Allah SWT berfirman:

وَلَا تَلْبِسُوا الْحَقَّ بِالْبَاطِلِ وَتَكْتُمُوا الْحَقَّ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ

“Dan janganlah kamu campur adukkan yang hak dengan yang bathil dan janganlah kamu sembunyikan yang hak itu, sedang kamu mengetahui.(QS. Al-Baqarah [2]: 42)

 Al-‘Alim al-Syaikh ‘Atha’ bin Khalil –rahimahullaah– menjelaskan:

أي لا تخلطوا الحق بالباطل، فالباء للإلصاق وبذلك فالآية تنهى عن أمرين: خلط الحق بالباطل وكتمان الحق وهم يعلمون؛ فإن خلط الحق بالباطل تضليل، وكتمان الحق إخفاء له وتضييع له وكلاهما من الكبائر في دين الله

“Yakni janganlah kalian mencampurkan antara kebenaran dengan kebatilan, dan huruf ba’ (dalam ayat ini) untuk menunjukkan pencampuran. Maka ayat ini mengandung dua larangan: Pertama, mencampuradukkan kebenaran dengan kebatilan. Kedua, menyembunyikan kebenaran padahal mereka mengetahuinya; maka perbuatan mencampuradukkan kebenaran dan kebatilan merupakan penyesatan, dan menyembunyikan kebenaran yakni menyembunyikannya dan menghilangkannya, maka kedua perbuatan tersebut merupakan dosa besar dalam Din Allah.”[2]

Dan HTI menentang perbuatan mencampuradukkan antara kebenaran dan kebatilan, maka berhati-hatilah dengan perkataan yang mengandung tuduhan tersebut, Karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

لاَ تَحَاسَدُوا وَلاَ تَنَاجَشُوا وَلاَ تَبَاغَضُوا وَلاَ تَدَابَرُوا وَلاَ يَبِعْ بَعْضُكُمْ عَلَى بَيْعِ بَعْضٍ وَكُونُوا عِبَادَ اللهِ إِخْوَانًا، الْمُسْلِمُ أَخُو الْمُسْلِمِ لاَ يَظْلِمُهُ وَلاَ يَخْذُلُهُ وَلاَ يَحْقِرُهُ، التَّقْوَى هَاهُنَا (وَيُشِيرُ إِلَى صَدْرِهِ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ)، بِحَسْبِ امْرِئٍ مِنْ الشَّرِّ أَنْ يَحْقِرَ أَخَاهُ الْمُسْلِمَ كُلُّ الْمُسْلِمِ عَلَى الْمُسْلِمِ حَرَامٌ دَمُهُ وَمَالُهُ وَعِرْضُهُ.

“Janganlah kalian saling mendengki, saling memfitnah, saling membenci, dan saling memusuhi. Janganlah ada seseorang di antara kalian yang berjual beli sesuatu yang masih dalam penawaran muslim lainnya dan jadilah kalian hamba-hamba Allah yang saling bersaudara. Muslim yang satu dengan muslim yang lainnya adalah bersaudara tidak boleh menyakiti, merendahkan, ataupun menghina. Takwa itu ada di sini (Rasulullah menunjuk dadanya, beliau mengucapkannya sebanyak tiga kali). Seseorang telah dianggap berbuat jahat apabila ia menghina saudaranya sesama muslim. Muslim yang satu dengan yang Iainnya haram darahnya. hartanya, dan kehormatannya.” (HR. Muslim)

Kedua: Kedudukan Hukum Islam di r al-Islâm & Dâr al-Kufr

Sebelum kita kaji bit-tafsil mari kita perhatikan maqalah para ulama’ yang masyhur ketaqwaan, keikhlasan serta ilmunya tentang halal-haram. Al-Imam al-Syafi’i menegaskan:

أن الحلال في دار الإسلام حلال في دار الكفر، والحرام في دار الإسلام حرام في دار الكفر

“Bahwa yang halal di Dâr al-Islâm (Negara Islam), halal pula di Dâr al-Kufr, bahwa yang haram di Dâr al-Islâm haram pula di Dâr al-Kufr.”[3]

Dan kami tegaskan bahwa dalam hal ini tidak ada perbedaan di antara para ulama. Al-Imam al-Syawkani berkata:

فإن أحكام الشرع لازمة للمسلمين في أي مكان وجدوا، ودار الحرب ليست بناسخة للأحكام الشرعية أو لبعضها

“Sungguh hukum-hukum syara’ itu mengikat bagi kaum Muslim di manapun dia berada dan Dâr al-Harbi[4] tidak bisa menghapuskan hukum-hukum syara’ secara keseluruhan atau sebagian.”[5]

Sebagai contoh, uang yang diberikan oleh seorang calon Walikota/Gubernur ketika kampanye adalah dianggap risywah. Mengapa? Rasulullah SAW bersabda:

لَعْنَةُ اللَّهِ عَلَى الرَّاشِي وَالْمُرْتَشِي

“Laknat Allah atas penyuap dan yang menerima suap.” (HR. Ibn Majah)[6]

Imam Al-Qaari’ menjelaskan: “Maksud (hadits tersebut) yang memberi dan yang mengambil risywah.  Yang dimaksud risywah adalah sarana (yang mengantarkan) pada suatu hajah (maksud) dengan rekayasa. Ada (juga) yang menyatakan bahwa risywah adalah yang diberikan untuk membatilkan yang haq atau menjadikan yang batil menjadi haq.”[7]

Hal yang sama dinyatakan oleh Al-Hafizh Ibn Al-Atsir seperti dikutip oleh Ibn Mandzur dalam kitab Lisaanul ’Araab-nya.[8]

Dalam riwayat lainnya, ‘Abdullah bin ‘Amru berkata:

لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الرَّاشِيَ وَالْمُرْتَشِيَ

“Rasulullah SAW melaknat penyuap dan yang menerima suap.” (HR. Al-Tirmidzi. Hadits hasan shahih)[9]

Di sisi lain, menjadi Gubernur (dalam sistem jahiliyyah seperti Demokrasi) hukumnya haram. Gubernur adalah hakim sebagaimana Presiden. Jadi kita tidak boleh mencalonkan menjadi Presiden atau Gub/Wagub. Maka, hukum memilihpun sama. Dalam hal ini, hukum memberi/menerima uang dalam Pilgub termasuk risywah dan tidak boleh karena Pilgub termasuk aktivitas batil dan menjadikan yang batil menjadi yang haq. Inilah hujjah sehingga kita memasukkan kasus di atas ke dalam makna risywah. Wallaahu a’lam.

Ketiga: HTI Tidak Mengikuti Perbuatan Menghalalkan Apa yang Diharamkan Allah Atau Sebaliknya

Benar bahwa hukum yang berlaku di negeri ini adalah hukum kufur. Lalu apakah registrasi di Depkumham adalah bertahkim pada hukum kufur/thaghut? Al-Hafizh Ibn Katsir meriwayatkan bahwa ketika Al-Qur’an menyebut orang-orang Yahudi & Nasrani menjadikan pendeta-pendeta mereka sebagai ’Arbaab’ (QS. At-Taubah : 31), Adi bin Hatim berkata: ”mereka tidak menyembah pendeta dan rahib-rahib mereka?” Nabi pun menegaskan, ”tapi mereka mengharamkan yang halal & menghalalkan yang haram lalu mereka, orang Nasrani & Yahudi, mengikuti mereka, maka itulah (pengertian) bahwa mereka beribadah pada pendeta dan rahib mereka.”[10]

Lebih lengkapnya, hadiits ini diriwayatkan Imam al-Thabraniy dalam kitabal-Mu’jam al-Kabiir[11]:

“Dari ‘Adiy bin Hatim, ia berkata: “Aku pernah mendatangi Nabi SAW dan di leherku tergantung sebuah salib yang terbuat dari emas.” Lantas Rasulullah SAW bersabda:

«يَا عَدِيُّ اطْرَحْ هَذَا الْوَثَنَ مِنْ عُنُقِكَ»،

Wahai ‘Adiy, tanggalkan berhala itu dari lehermu.

Lalu aku tanggalkan salib ini (dari leherku-pen.) lalu beliau SAW membaca ayat bara’ah (surat al-Tawbah) yakni membaca ayat ini:

اتَّخَذُوا أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ أَرْبَابًا مِنْ دُونِ اللهِ

“Mereka menjadikan para pendeta dan rahib mereka sebagai Rabb selain Allah” (QS. Al-Tawbah [9]: 31)

Hingga beliau terdiam, maka aku berkata: ”Sesungguhnya kami tidak menyembah mereka”. Lalu Rasulullah SAW bersabda:

«أَلَيْسَ يُحَرِّمُونَ مَا أَحَلَّ اللهُ فَتُحَرِّمُونُهُ، ويُحِلُّونَ مَا حَرَّمَ اللهُ فَتَسْتَحِلُّونَهُ؟»

Bukankah mereka mengharamkan apa yang dihalalkan Allah dan kalian ikut mengharamkannya? Dan mereka menghalalkan apa yang diharamkan Allah dan kalian pun ikut menghalalkannya?”.

Aku berkata: ”Ya”. Lalu beliau SAW bersabda:

فَتِلْكَ عِبَادَتُهُمْ

Itulah bentuk penyembahan kepada mereka”.

Maka siapa pun yang menghalalkan yang haram atau sebaliknya, lalu orang-orang mengikuti dan membenarkannya, menghalalkan apa yang diharamkan Allah atau sebaliknya, artinya orang-orang tersebut menjadikan mereka sebagai Rabb! Disini HTI perlu tegaskan bahwa kita tidak mengikuti atau membenarkan mereka yang menghalalkan yang diharamkan Allah atau sebaliknya, wal ’iyadzu billaah.

Justru sebaliknya, selama ini HTI aktif dan lantang dalam mendakwahi penguasa zhalim yang menerapkan hukum thaghut di negeri ini agar kembali kepada penerapan syari’at Islam secara menyeluruh dalam naungan Al-Khilaafah Al-Islaamiyyah, menunaikan kewajiban dari Allah dan Rasul-Nya. Bukankah kita semua mendengar sabda yang mulia Rasulullah SAW:

أَفْضَلَ الْجِهَادِ كَلِمَةُ حَقٍّ عِنْدَ سُلْطَانٍ جَائِرٍ

“Sebaik-baik jihad adalah perkataan yang haq pada pemimpin yang zhalim.” (HR. Ahmad, Ibn Majah, al-Thabrani, al-Bayhaqi & al-Nasa’i. Lihat: Imam al-Suyuthi, kitab al-Jami’, juz. I, hlm. 187, hadits no. 1246)

Keempat: Hukum Mendaftar Sebagai Ormas Islam di Depkumham

Jika daftar hukumnya bagaimana? Yaa akhiy al-kariim.. Al-Quran & Al-Sunnah tidak melarang kita bermu’amalah di Daarul Kufr sepanjang tidak mengharamkan yang dihalalkan Allah atau sebaliknya. Tentu mu’amalah tersebut ada administrasinya, misalnya berjual-beli barang ada kwitansinya, begitu pula ketika transaksi kredit/cash ada aturannya, kadang complicated kadang simple, tergantung masalahnya. Adakalanya berhubungan langsung dengan negara, dan adakalanya tidak. Misal beli rumah, kita perlu sertifikat, tentu yang mengeluarkan adalah negara. Hal ini sekali lagi (kami tegaskan) termasuk perkara administratif yang secara syar’i hukumnya mubah dan tidak ada ulama yang terpercaya (‘alim ilmu dan kejujurannya) yang mengharamkannya.

Bukankah kita mengetahui apa yang dilakukan oleh Khalifah ‘Umar bin al-Khaththab r.a. ketika ia mengadopsi sistem pembukuan administrasi dari Persia? Beliau dijuluki al-faruuq, bukan hanya karena mengharamkan apa yang diharamkan Allah, tapi juga menghalalkan apa yang dihalalkan Allah. Dan beliau termasuk Khalifah di antara al-Khulafaa’ al-Raasyidiin, para khalifah seperti yang digambarkan para ulama sebagai berikut:

وكانت غاية كلّ من هؤلاء الخلفاء الأربعة خدمة الإسلام في دعوته ودولته، وكانوا حريصين على المصلحة العامة لجماعة المسلمين، وكلّ منهم كان يسترشد استرشادا كاملا بالقرآن الكريم وبأقوال الرسول صلى الله عليه وسلم وأعماله في قيادته وإرادته. ولذلك سُمُّوا ((الخلفاء الراشدين))، ويُعْرَفُ عصرُهم بعصر ((الخلفاء الراشدين)).

“Dan tujuan para khalifah yang empat ini adalah berkhidmat untuk Islam dalam aktivitas mendakwahkannya dan membangun negaranya, dan mereka sangat memerhatikan kemaslahatan umum bagi kaum muslimin, dan setiap khalifah ini mengambil petunjuk dengan petunjuk yang sempurna dari Al-Qur’an dan perkataan serta perbuatan Rasulullah SAW (al-sunnah-pen.) baik dalam kepemimpinan maupun kebijakan yang mereka kehendaki. Oleh karena itulah mereka dinamakan al-Khulafaa’ al-Raasyidiin, dan masa pemerintahan mereka dikenal pun dengan masa al-Khulafaa’ al-Raasyidiin.[12]

Semoga Allah menjauhkan kita semua dari sifat orang-orang yang sedikit ilmu namun berani banyak berbicara dan berfatwa, menyatakan ini halal atau haram tanpa ilmu sehingga ia termasuk orang yang disabdakan Rasulullaah SAW:

مَنْ أَفْتَى بِغَيْرِ عِلْمٍ لَعَنَتْهُ مَلاَئِكَةُ السَّمَاءِ وَالأَرْضِ

Barangsiapa berfatwa tanpa ilmu, maka dilaknat oleh Malaikat langit dan bumi.(HR. Ibn ‘Asaakir dari ‘Ali r.a, hadits ini sanadnya hasan ditakhrij pula oleh al-Hafizh al-Suyuthi dalam kitab al-Jaami’ al-Shaghiir)[13]

Al-Syaikh Al-‘Alim Nawawi al-Bantani menjelaskan hadits ini:

وذلك لكونه أخبر عن حكم الله بغير علم، أفاده العزيزي

“Hal itu karena perbuatannya menjelaskan tentang hukum Allah tanpa ilmu, sebagaimana dijelaskan Imam al-‘Aziziy.”

Dalam ilmu ushûl al-fiqh, hadits di atas jelas mengandung indikasi tegas (qarînah jâzimah)[14] mengharamkan perbuatan berfatwa tanpa ilmu dengan keberadaan lafazh la’ana yang dimaknai para ‘ulama sebagai berikut:

اللعن في اللغة: هو الإبعاد والطرد من الخير و قيل الطرد والإبعاد من الله ومن الخلق السب والشتم. و أما اللعن في الشرع: هو الطرد والإبعاد من رحمة الله وهو جزء من جزئيات المعنى اللغوي فمن لعنه الله فقد طرده وأبعده عن رحمته واستحق العذاب. و الأعمال التي لعن مقترفها هي من كبائر الذنوب.

“Lafazh al-la’n secara bahasa yakni jauh dan terhempas dari kebaikan, dikatakan pula yakni terjauhkan dari rahmat Allâh dan dari makhluk-Nya secara terhina dan terkutuk. Adapun makna laknat (al-la’n) secara syar’i adalah terhempas dan terjauhkan dari rahmat Allâh dan makna ini merupakan bagian dari maknanya secara bahasa pula, maka barangsiapa yang dilaknat Allâh, maka Allâh telah menghempaskan dan menjauhkannya dari rahmat-Nya dan layak mendapatkan adzab-Nya. Dan perbuatan-perbuatan yang terlaknat itu merupakan dosa besar.”[15]

Imam al-Raghib al-Ashfahani menjelaskan:

معنى اللعن : الطرد والإبعاد على سبيل السخط، وذلك من الله في الآخرة عقوبة، وفي الدنيا انقطاع من قبول رحمته وتوفيقه.

“Makna laknat (al-la’n) adalah terhempas dan terjauhkan masuk ke jalan kemurkaan, yakni terhempas dan terjauhkan dari Allâh, di akhirat mendapat siksa, dan di dunia ia terputus dari rahmat dan taufik-Nya.[16]

Kelima: Tidak Ada Ketentuan yang Menjerumuskan HTI Mengharamkan yang Halal (Atau Sebaliknya)

Registrasi yang dilakukan HTI tidak ada syarat batil yang memaksa, menjerumuskan dan mengkondisikan HTI menghalalkan apa yang diharamkan Allah atau sebaliknya, karena jika ada syarat yang seperti itu tentu hal tersebut menjadi batil. Rasulullah SAW menegaskan:

كل شرط ليس في كتاب الله فهو باطل

“Setiap syarat yang bukan dari Kitabullaah maka ia bathil.” (HR. Ibnu Hibban 10/84)

Dalam riwayat Imam al-Nasa’i diriwayatkan bahwa Rasulullah SAW bersabda:

كُلُّ شَرْطٍ لَيْسَ فِي كِتَابِ اللَّهِ فَهُوَ بَاطِلٌ وَإِنْ كَانَ مِائَةَ شَرْطٍ

“Setiap syarat yang tidak ada di dalam Kitab Allah adalah batil walaupun seratus syarat. (HR. al-Nasa’i. Para perawi dalam hadits ini tsiqah)[17]

Keenam: Pesan Islam Kepada Kita untuk Menjaga Lisan

Penulis berpesan kepada mereka yang menuduh dan mencela HT karena masalah ini dengan nasihat “Jagalah Lisan Anda”, karena Islam menasihati kita dengan nasihat-nasihat emas berikut ini:

Rasulullah SAW bersabda:

مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ

Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, maka berkatalah yang baik atau diam.” (HR. al-Bukhari,  Muslim, Abu Dawud, al-Tirmidzi, Ahmad & Malik)

Hadits shahih yang mulia di atas telah meletakkan prinsip yang agung dalam berbicara. Tuntutan perintah dalam hadits ini hukumnya wajib, karena mengandung indikasi yang tegas “Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir” terhadap kata-kata perintah “maka berkatalah yang baik atau diam.

Kalimat “Dan barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir” merupakan indikasi yang menunjukkan hukum wajib. Al-Syaikh ‘Atha’ bin Khalil menjelaskan:

إذا كان الطلب مقترنًا بالإيمان أو ما يقوم مقامه كأن يكون متبوعًا بـ (من كان يرجو الله واليوم الآخر) فإنها قرينة على الوجوب

“Jika adanya tuntutan tersebut disertai keterangan iman atau yang semakna dengannya. Misalnya kalimat (Barangsiapa yang mengharapkan rahmat Allah dan (tibanya) hari Akhir) maka sesungguhnya kalimat tersebut mengindikasikan hukum wajib.”[18]

Lafazh “qul” dan “liyashmut” pun termasuk bentuk mufrad yang memberikan arti perintah. Kata “liyashmut” merupakan kata kerja mudhaari’ (sekarang atau yang akan datang) yang disertai laam al-amr (laam perintah). Al-Syaikh ‘Atha’ bin Khalil ketika menjelaskan berbagai ungkapan yang bermakna perintah mengutarakan:

الفعل المضارع المقترن بلام الأمر (ليفعل)

“Kata kerja al-mudhaari’ yang disertai huruf laam perintah.”[19]

Sama halnya dengan penjelasan Syaikh al-‘Utsaimin ketika menjelaskan shiyaghul amri (lafazh-lafazh perintah), diantaranya:

المضارع المقرون بلام الأمر

“Kata kerja al-mudhaari’ yang disertai laam perintah.”[20]

Lebih menariknya, al-Hafizh al-Nawawi menjelaskan hadits di atas:

فمعناه أنه إذا أراد أن يتكلم فإن كان ما يتكلم به خيرا محققا يثاب عليه، واجبا أو مندوبا فليتكلم . وإن لم يظهر له أنه خير يثاب عليه، فليمسك عن الكلام سواء ظهر له أنه حرام أو مكروه أو مباح مستوي الطرفين . فعلى هذا يكون الكلام المباح مأمورا بتركه مندوبا إلى الإمساك عنه مخافة من انجراره إلى المحرم أو المكروه . وهذا يقع في العادة كثيرا أو غالبا

“Maknanya adalah jika seseorang ingin mengatakan sesuatu, jika didalamnya mengandung kebaikan dan ganjaran pahala, sama saja apakah wajib atau sunnah untuk diungkapkan maka ungkapkanlah. Jika belum jelas kebaikan perkataan tersebut diganjar dengan pahala maka ia harus menahan diri darinya, sama saja apakah jelas hukumnya haram, makruh atau mubah. Dan dalam hal ini perkataan yang mubah dianjurkan untuk ditinggalkan, disunnahkan untuk menahan diri darinya, karena khawatir perkataan ini berubah menjadi perkataan yang diharamkan atau dimakruhkan. Dan kasus kesalahan seperti ini banyak terjadi.”

Imam Ibn Daqiiq al-‘Ied (w. 702 H) menjelaskan hadits ini:

قوله: “من كان يؤمن بالله واليوم الآخر” يعني من كان يؤمن الإيمان الكامل المنجي من عذاب الله الموصل إلى رضوان الله “فليقل خيراً أو ليصمت” لأنّ من آمن بالله حق إيمانه خاف وعيده ورجا ثوابه واجتهد في فعل ما أمر به وترك ما نهي عنه وأهم ما عليه من ذلك: ضبط جوارحه التي هي رعاياه وهو مسئول عنها كما قال تعالى: {إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْؤُولاً}. وقال تعالى: {مَا يَلْفِظُ مِنْ قَوْلٍ إِلَّا لَدَيْهِ رَقِيبٌ عَتِيدٌ}.

“Sabda Rasulullah SAW: “Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir” yakni barangsiapa yang beriman dengan keimanan yang sempurna terlindung dari ‘adzab Allah dan menyampaikan kepada keridhaan-Nya “maka berkatalah yang baik atau diam” karena barangsiapa yang beriman kepada Allah, maka di antara tuntutan keimanannya adalah merasa takut terhadap peringatan-Nya, mengharapkan pahala dari-Nya, dan bersungguh-sungguh dalam melaksanakan segala hal yang diperintahkan Allah kepadanya dan meninggalkan segala hal yang dilarang-Nya, dan diantara hal yang paling penting: menjaga apa yang ada pada dirinya yang mesti dijaga (dari kemaksiatan-pen.) dan ia bertanggungjawab terhadap itu semua sebagaimana firman Allah SWT: Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungjawaban.[21] Dan firman Allah SWT: Tiada suatu ucapanpun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir[22].[23]

Imam Ibn Daqiiq al-‘Ied pun menegaskan:

وآفات اللسان كثيرة، ولذلك قال النبي صلى الله عليه وسلم: “هل يكب الناس في النار على مناخرهم إلا حصائد ألسنتهم”. وقال: “كل كلام ابن آدم عليه إلا ذكر الله تعالى وأمر بمعروف ونهي عن منكر”. فمن علم ذلك وآمن به حق إيمانه اتقى الله في لسانه فلا يتكلم إلا بخير أو يسكت.

“Dan bahaya lisan itu banyak sekali, oleh karena itu Rasulullah SAW bersabda: Tidaklah manusia dijatuhkan ke dalam neraka di atas hidung mereka melainkan akibat lisan-lisan mereka”[24] dan sabdanya: “Setiap perkataan anak cucu Adam itu membahayakannya (tidak berguna baginya) kecuali berdzikir kepada Allah dan perkataan yang memerintahkan kepada kebaikan dan melarang kemungkaran[25] Maka siapa saja yang mengetahui hal ini dan beriman terhadapnya maka diantara tuntutan keimanannya bertakwa kepada Allah dalam menjaga lisannya, dan tidaklah ia berkata-kata kecuali perkataan baik atau diam.”[26]

Rasulullah SAW pun berpesan:

إِنَّ الْعَبْدَ يَتَكَلَّمُ بِالكَلِمَةِ مَا يَتَبَيَّنُ فِيْهَا يَزِل بِهَا إِلَى النَّارِ أَبْعَدَ مِمَّا بَيْنَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ

“Sesungguhnya seorang hamba Allah yang asal bicara tanpa memikirkan baik buruknya, bisa tergelincir ke dalam jurang neraka yang dalamnya melebihi jarak antara Timur dan Barat. (HR. al-Bukhari & Muslim)

Lebih jelasnya, penulis nukil hadits-hadits yang diriwayatkan Imam al-Tirmidzi:

وَهَلْ يَكُبُّ النَّاسَ فِي النَّارِ عَلَى وُجُوهِهِمْ أَوْ عَلَى مَنَاخِرِهِمْ إِلَّا حَصَائِدُ أَلْسِنَتِهِمْ

“Tidaklah manusia itu dijatuhkan ke dalam neraka di atas muka atau hidung mereka melainkan akibat lisan-lisan mereka.” (HR. al-Tirmidzi, Ahmad & Ibn Majah. Ini lafazh al-Tirmidzi. Imam al-Tirmidzi menuturkan: “Hadits ini hasan shahih”)

كُلُّ كَلَامِ ابْنِ آدَمَ عَلَيْهِ لَا لَهُ إِلَّا أَمْرٌ بِمَعْرُوفٍ أَوْ نَهْيٌ عَنْ مُنْكَرٍ أَوْ ذِكْرُ اللَّهِ

“Setiap perkataan anak cucu Adam itu membahayakannya, tidak berguna baginya kecuali perkataan menyuruh kepada kebaikan dan melarang kemungkaran, atau berdzikir kepada Allah.” (HR. al-Tirmidzi & Ibn Majah. Imam al-Tirmidzi berkata: “Hadits ini hasan gharib, kami tidak mengetahuinya kecuali dari hadits Muhammad bin Yazid bin Khunais”)

Imam Ibn Daqiiq al-‘Ied lebih jauh lagi menjelaskan:

وقال بعضهم في معنى هذا الحديث: إذا أراد الإنسان أن يتكلم فإن كان ما يتكلم به خيراً محققاً يثاب عليه فليتكلم وإلا فليمسك عن الكلام سواء ظهر أنه حرام أو مكروه أو مباح، فعلى هذا يكون الكلام المباح مأموراً بتركه مندوباً إلى الإمساك عنه مخافة أن ينجر إلى المحرم أو المكروه

“Sebagian ulama berkata dalam menjelaskan hadits ini: “Jika manusia ingin mengatakan suatu perkataan yang mengandung kebaikan memperoleh pahala maka katakanlah, jika selainnya maka ia harus menahan diri darinya sama saja apakah perkataan yang diharamkan, makruh atau mubah. Oleh karena itu, perkataan mubah diperintahkan untuk ditinggalkan, disukai agar menahan diri darinya, lebih ringan daripada peringatan untuk meninggalkan perkataan yang diharamkan atau dihukumi makruh.”

Allah SWT berfirman:

مَا يَلْفِظُ مِنْ قَوْلٍ إِلَّا لَدَيْهِ رَقِيبٌ عَتِيدٌ

 “Tiada suatu ucapanpun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir.  (QS. Qaaf [50]: 18)

Imam Ibn Daqiiq al-‘Ied menjelaskan ayat ini:

واختلف العلماء في أنه هل يكتب على الإنسان جميع ما يلفظ به وإن كان مباحاً أو لا يُكتب عليه إلا ما فيه الجزاء من ثواب أو عقاب. وإلى القول الثاني ذهب ابن عباس وغيره، فعلى هذا تكون الآية الكريمة مخصوصة أي: {مَا يَلْفِظُ مِنْ قَوْلٍ} يترتب عليه جزاء.

“Dan para ulama berbeda pendapat, apakah dituliskan (dihisab-pen.) seluruh perkataan manusia termasuk perkataan-perkataan yang mubah atau tidak dituliskan perkataannya kecuali perkataan yang mengandung balasan kebaikan atau siksa? Ibn ‘Abbas dan selainnya mengambil pendapat yang kedua. Oleh karena itu, ayat al-Qur’an yang mulia ini bersifat khusus: Tiada suatu ucapanpun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir. [27]

Al-Hafizh al-Nawawi bahkan menuliskan satu bab khusus tentang Hifzh al-Lisaan (menjaga lisan) dalam salah satu kitabnya –al-Adzkaar al-Nawawiyyah-, ia berkata:

اعلم أنه لكلّ مكلّف أن يحفظَ لسانَه عن جميع الكلام إلا كلاماً تظهرُ المصلحة فيه، ومتى استوى الكلامُ وتركُه في المصلحة، فالسنّة الإِمساك عنه، لأنه قد ينجرّ الكلام المباح إلى حرام أو مكروه، بل هذا كثير أو غالب في العادة

“Ketahuilah bahwa setiap mukallaf wajib menjaga lisannya dari setiap perkataan kecuali perkataan yang jelas mengandung kemaslahatan, dan ketika memutuskan untuk tidak berbicara karena lebih bermaslahat, maka disunnahkan untuk menahan diri darinya, karena terkadang ditemukan perkataan mubah mengantarkan kepada keharaman atau makruh, bahkan hal ini merupakan fenomena yang banyak terjadi atau sudah menjadi kebiasaan.”[28]

المُسْلِمُ مَنْ سَلِمَ المُسْلِمُوْنَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ

“Seorang muslim itu ialah yang kaum muslimun selamat dari lisan dan tangannya.” (HR. Al-Bukhari & Abu Dawud)[29]

Dari Abu Hurairah r.a. dari Nabi SAW bersabda:

كُلُّ سُلَامَى عَلَيْهِ صَدَقَةٌ كُلَّ يَوْمٍ يُعِينُ الرَّجُلَ فِي دَابَّتِهِ يُحَامِلُهُ عَلَيْهَا أَوْ يَرْفَعُ عَلَيْهَا مَتَاعَهُ صَدَقَةٌ وَالْكَلِمَةُ الطَّيِّبَةُ وَكُلُّ خَطْوَةٍ يَمْشِيهَا إِلَى الصَّلَاةِ صَدَقَةٌ وَدَلُّ الطَّرِيقِ صَدَقَةٌ

 “Pada setiap ruas tulang ada kewajiban shadaqah. Setiap hari dimana seseorang terbantu dengan tunggangannya yang mengangkat atau mengangkut barang-barangnya di atasnya adalah shadaqah. Ucapan yang baik adalah shadaqah dan setiap langkah yang dilakukan seseorang menuju shalat adalah shadaqah dan orang yang menunjuki jalan adalah shadaqah.” (HR. Al-Bukhari)

Rasulullah SAW pun bersabda:

اتَّقُوا النَّارَ وَلَوْ بِشِقِّ تَمْرَةٍ فَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَبِكَلِمَةٍ طَيِّبَةٍ

“Jagalah diri kalian dari neraka sekalipun hanya dengan sebiji kurma, kalaulah tidak bisa, lakukanlah dengan ucapan yang baik.” (HR. Al-Bukhari)

 

Al-Hafizh al-Nawawi menuturkan dalam kitab fatwanya bahwa seorang ‘alim berkata: “Lidah itu bagaikan binatang buas, jika engkau tidak mengikatnya ia yang akan menerkammu.”[30]

Ketujuh: Agama adalah Nasihat

Agama adalah nasihat, dan jika ada saudara sesama muslim melakukan kesalahan, siapapun ia, aktivis dakwah dari harakah islamiyyah manapun diantaranya syabab Hizbut Tahrir maka perhatikan bahwa Rasulullah SAW bersabda:

الدِّيْنُ النَّصِيْحَةُ

“Agama itu adalah nasihat”

Para sahabat bertanya: “Untuk siapa?” Rasulullah SAW bersabda:

لِلّهِ، وَلِكِتَابِهِ، وَلِرَسُوْلِهِ، وَلِأَئِمَّةِ المُسْلِمِيْنَ، وَعَامَتِهِمْ

Untuk Allah, kitab suci-Nya, Rasul-Nya, pemimpin kaum muslimin dan kaum muslimin pada umumnya. (HR. Muslim)

Apa maknanya? Para ulama menjelaskan:

ومعنى قوله: “الدين النصيحة” أي عماد الدين وقوامه: النصيحة

“Makna sabda Rasulullah SAW: “Agama itu adalah nasihat” yakni tiang agama dan pondasinya adalah al-nasiihah.”

Imam Ibn Daqiq al-‘Ied menjelaskan:

والنصيحة في اللغة: الإخلاص يقال: نصحت العسل إذا صفيته وقيل غير ذلك. والله أعلم.

“Lafazh al-nashiihah secara bahasa: al-ikhlaash (kemurnian), dikatakan: nashahtu al-‘asala (saya telah memurnikan madu) jika menyucikannya, dan dikatakan pula makna selainnya. Wallaahu a’lam.

Adapun penafsiran terdahap lafazh “al-nasihah” dan jenis-jenisnya dalam hadits ini, dijelaskan Imam Ibn Daqiq al-‘Ied yang menukil pernyataan Imam al-Khithabi dan para ulama lainnya, diantaranya bentuk nasihat untuk kaum muslimin:

وأما نصيحة عامة المسلمين، وهم من عدا ولاة الأمر، فإرشادهم لمصالحهم في آخرتهم ودنياهم، وإعانتهم عليها، وستر عوراتهم وسد خلاتهم، ودفع المضار عنهم وجلب المنافع لهم، وأمرهم بالمعروف ونهيهم عن المنكر برفق وإخلاص، والشفقة عليهم وتوقير كبيرهم ورحمة صغيرهم، وتخولهم بالموعظة الحسنة وترك غشهم وحسدهم، وأن يحب لهم ما يحب لنفسه من الخير ويكره لهم ما يكره لنفسه من المكروه، والذب عن أموالهم وأعراضهم وغير ذلك من أحوالهم بالقول والفعل، وحثهم على التخلق بجميع ما ذكرناه من أنواع النصيحة. والله أعلم.

“Adapun nasihat untuk kaum muslimin pada umumnya –selain para penguasa-, yakni dengan menunjuki mereka kepada kemaslahatan diri di akhirat dan di dunia, menolong mereka untuk mewujudkannya, menasihati agar mereka menutupi ‘auratnya, menutupi ‘aib mereka, menyingkirkan bahaya dari mereka dan mewujudkan kemaslahatan-kemaslahatan bagi mereka, memerintahkan kepada kebaikan dan mencegah mereka dari kemungkaran dengan cara yang lembut dan niat ikhlas, mengasihi mereka, menghormati orang tua dan mengasihi yang kecil di antara mereka, memikat hati mereka dengan nasihat yang baik serta menjauhi sifat culas dan dengki, mencintai kebaikan bagi mereka sebagaimana ia mencintai untuk dirinya sendiri, dan membenci keburukan terjadi pada mereka sebagaimana ia benci jika hal itu terjadi padanya, membela harta, kehormatan dan lain sebagainya yang menjadi hak mereka dengan perkataan dan perbuatan dan  mendorong mereka untuk bertingkahlaku sebagaimana yang telah kami sebutkan dari beragam nasihat ini. Wallaahu A’lam.”

Catatan Irfan Abu Naveed:

1- Jawaban Amir HT -Al-‘Alim Asy-Syaikh ‘Atha bin Khalil tentang Registrasi HT – Bahasa Arab (Link)

2- Jawaban Amir HT -Al-‘Alim Asy-Syaikh ‘Atha bin Khalil tentang Registrasi HT – Bahasa Inggris (Link)

Silahkan jika ada yg mau menyanggah, maka sanggahlah dengan ilmu: tulis kajian tentang masalah ini secara mendalam, sertakan dalil-dalil dengan tahqiiq al-manath dan istidlaal berdasarkan ilmu. Karena selama ini yg mengkritik HTI tentang statusnya sbg ormas, hanya komentar-komentar pendek dengan simpulan gegabah dalam masalah hukum dan takalluf dalam penggunaan dalil-dalil syara’ (termasuk kritik dari pemuda aktivis yg diskusi dengan ana di dlm artikel ini). Jika sudah dikaji dan ditulis, silahkan bagikan ke fb ane:Irfan Abu Naveed

والله أعلم بالصواب


[1] Jawaban ini penulis susun dari jawaban KH. Mushthafa Ali Murtadha’ (tokoh HTI), Ustadz Yuana Ryan Tresna (Ketua DPD HTI Kota Bandung), KH. Drs. Agus Akhyar Purakusumah (tokoh HTI Jabar) dan penulis sendiri, namun perlu penyusun (Irfan Abu Naveed) tegaskan bahwa jawaban kami ini tidak mewakili Hizbut Tahrir sebagai institusi dakwah. Yang penyusun maksud dgn “bukan jawaban HT sebagai institusi dakwah” yakni ini bukan jawaban resmi dari HT, meski dijawab oleh sejumlah pengurus HTI. Sebagaimana tertulis dalam website resmi HTI -www.hizbut-tahrir.or.id- (ini terkait etika berorganisasi):

“Publikasi-publikasi yang diterbitkan atas nama Hizbut Tahrir Pusat dan Wilayah, Kantor Media (al-Maktab al-I’lami), Juru Bicara dan Perwakilan Media Hizbut Tahrir saja yang merupakan pendapat Hizbut Tahrir. Dan yang selain itu merupakan pendapat penulisnya, sekalipun dipublikasikan dalam website Hizbut Tahrir Indonesia, Majalah, Tabloid, Multimedia yang diproduksi Hizbut Tahrir Indonesia.”

Dan tertulis pula di website resmi Al-Maktab Al-I’lami HT:

فقط إصدارات حزب التحرير، الولايات، المكاتب الإعلامية، الناطقين الرسميين والممثلين الاعلامين لحزب التحرير تعبر عن رأي الحزب، وما عدا ذلك فهو يعبر عن رأي كاتبه وإن نشر في مواقع حزب التحرير أو مجلة المكتب الاعلامي

[2] Lihat: Al-Taysîr fî Ushûl al-Tafsîr (Sûrah al-Baqarah), Syaikh ‘Atha’ bin Khalil Abu Rusythah – Dar al-Ummah: Beirut. Cet. II: 1427 H/ 2006.

[3] Lihat: Al-Umm, IV/160.

[4] Negara yang memerangi Islam.

[5] Lihat: Al-Sâil Al-Jarâr, 4/152.

[6] Para perawi hadits ini tsiqah dari sanad:

“Telah menceritakan kepada kami Ali bin Muhammad berkata telah menceritakan kepada kami Waki’ berkata telah menceritakan kepada kami Ibnu Abu Dzi`b dari pamannya Al-Harits bin ‘Abdurrahman dari Abu Salamah dari Abdullah bin Amru ia berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: (redaksi hadits di atas).”

[7] Lihat: Aunul Ma’bud, 8/80.

[8] Lihat: Lisaanul ’Araab, 14/322.

[9] Lihat pula riwayat Imam Ahmad dalam Musnad-nya dan Imam Abu Dawud dalam Sunan-nya.

[10] Lihat: Tafsir Ibnu Katsir, 2/66

[11] Lihat pula: Al-Taariikh Al-Kabiir (VII h.108), Sunan Al-Tirmidzi (V h.279 no.3020), Al-Mu’jam Al-Kabiir (XVII h.92), Sunan Al-Bayhaqi Al-Kubra (X h.116).

[12] Lihat: Shuwarun Min Al-Taariikh Al-Islaamiy – Jaami’atul Imaam Muhammad bin Su’uud Al-Islaamiyyah – Cet. II: 1425 H/ 2004.

[13] Lihat: Mirqaatu Shu’uud al-Tashdiiq

[14] Pembahasan tentang ini bisa dirujuk dalam Taysîr al-Wushûl ilâ al-Ushûl, al-‘Alim al-Syaikh ‘Atha’ bin Khalil (Amir HT).

[15] Lihat: al-Mal’ûnûn fî al-Sunnah al-Shahîhah, Doktor Fayshal al-Jawabirah – Wizârah al-Syu’ûn al-Islâmiyyah.

[16] Lihat: Mufradât Alfâzh al-Qur’ân al-Karîm, Imam al-Raghib al-Ashfahani. Lihat pula As-ilatun Bayâniyyatun fî al-Qur’ân al-Karîm karya Dr. Fadhil Shalih al-Saamarâ-iy.

[17] Telah mengabarkan kepada kami Ishaq bin Ibrahim, ia berkata; telah memberitakan kepada kami Jarir dari Hisyam bin ‘Urwah dari ayahnya dari Aisyah binti Abi Bakr. Begitu pula riwayat yang diriwayatkan Imam Ibn Majah dalam Sunan-nya.

[18] Lihat: Taysîr al-Wushûl ilâ al-Ushûl: Dirâsât fii Ushûl al-Fiqh, Syaikh ‘Atha’ bin Khalil Abu Rusythah – Dar al-Ummah: Beirut – Cet. III: 1421 H/ 2000.

[19] Lihat: Taysîr al-Wushûl ilâ al-Ushûl: Dirâsât fii Ushûl al-Fiqh, Syaikh ‘Atha’ bin Khalil.

[20] Lihat: Ushuul al-Fiqh, al-Syaikh Muhammad Shalih al-‘Utsaimin.

[21] Lihat: QS. Al-Israa’ [17]: 36

[22] Lihat: QS. Qaaf [50]: 18

[23] Lihat: Syarh al-Arba’iin al-Nawawiyyah fii al-Ahaadiits al-Shahiihah al-Nawawiyyah, Imam Ibn Daqiiq al-‘Ied.

[24] HR. Imam Ahmad (5/236 dan 237) dan al-Tirmidzi dalam al-Iman (no. 2616); hadits ini merupakan hadits shahih yang panjang. Adapun Imam al-Tirmidzi memandang bahwa hadits ini hasan shahih.

[25] HR. al-Tirmidzi dalam Al-Zuhd (no. 2412) dari Ummu Habibah r.a.. Abu ‘Isa (Imam al-Tirmidzi) berkata: “Hadits ini hasan gharib, tidak diketahui kecuali dari riwayat Muhammad bin Yazid bin Khunays.”

[26] Ibid

[27] Lihat: Syarh al-Arba’iin al-Nawawiyyah fii al-Ahaadiits al-Shahiihah al-Nawawiyyah, Imam Ibn Daqiiq al-‘Ied.

[28] Lihat: Al-Adzkâr Al-Muntakhabah Min Kalaam Sayyid Al-Abraar –Shallallaahu ‘Alayhi wa Sallam-, Al-Hafizh Muhyiddin Abu Zakariya Yahya bin Syarf al-Nawawi (631-676 H) – Al-Dar al-Mishriyyah al-Lubnaniyyah: Mesir.

[29] Hadits ini hadits mutawatir

[30] Lihat: Fataawaa Al-Imaam Al-Nawawi Al-Musammaa Al-Masaa-il Al-Mantsuurah, Al-Hafizh al-Imam Muhyiddin Abu Zakaria bin Syarf al-Nawawi – Dar al-Fikr: Beirut.

11 Tanya Jawab Seputar Ulama & Aktivitas Politik (KH. Mushthafa Ali Murtadha’)

Masyaayikh

Soal-Jawab[1] 

Pertanyaan Pertama:

Masih ada sebagian orang yang menganggap Islam tidak boleh dikaitkan dengan politik. mengapa muncul anggapan seperti itu?

Jawab:

Syaikh Dr. Samih Athif Az-Zain dalam buku  As-Siyaasah wa As-Siyaasatu Ad-Dawliyyah, menjelaskan makna  siyasah secara bahasa sebagai berikut[2]:

ساس الدوب يسوسها سياسة, اذا قام عليها وراضها وادبها…

“Apabila seseorang mengurus hewan tersebut, membimbing serta melatihnya”. Maka pengertian politik kebanyakan digunakan untuk ri’ayah (pemeliharaan), pembinaan serta pelatihan hewan tunggangan…”

Kemudian  secara majazi digunakan untuk ri’ayah (pemeliharaan) terhadap urusan masyarakat. Ibnu Ahmad al-Farahidi dalam Kitab al-‘Ain menyatakan[3]:

والراعي يرعاها رعاية إذا ساسها وسرحها

Pengarang kitab Al-Mughrib fii Tartibil Mu’rib, juga menegaskan hal yang sama[4]:

وَيُقَالُ الرَّجُلُ ( يَسُوسُ ) الدَّوَابَّ إذَا قَامَ عَلَيْهَا وَرَاضَهَا ( وَمِنْهُ ) الْوَالِي يَسُوسُ الرَّعِيَّةَ سِيَاسَةً أَيْ يَلِي أَمْرَهُمْ

Jadi  dapat kita simpulkan bahwa kata siasah identik ri’ayah.

Secara lebih spesifik  pengertian politik di dalam Islam didiskripsikan di dalam Mu’jamu Lughatil Fuqaha’ dengan[5]:

 رعاية شؤون الامة بالداخل والخارج وفق الشريعة الاسلامية.

“Pemeliharaan terhadap urusan umat baik di dalam negeri maupun di luar negeri sesuai dengan syariah Islam”.

Makna seperti inilah yang terdapat dalam hadits yang diriwayatkan Imam Muslim dari Abu Hurairah ra[6]:

كَانَتْ بَنُو إِسْرَائِيلَ تَسُوسُهُمْ الْأَنْبِيَاءُ كُلَّمَا هَلَكَ نَبِيٌّ خَلَفَهُ نَبِيٌّ وَإِنَّهُ لَا نَبِيَّ بَعْدِي وَسَتَكُونُ خُلَفَاءُ تَكْثُرُ تَأْمُرُنَا قَالَ فُوا بِبَيْعَةِ الْأَوَّلِ فَالْأَوَّلِ وَأَعْطُوهُمْ حَقَّهُمْ فَإِنَّ اللَّهَ سَائِلُهُمْ عَمَّا اسْتَرْعَاهُمْ

Imam an-Nawawi dalam shahih Muslim bisyarhin Nawawi menjelaskan pengertian “tasusuhum al-anbiyaa’” dengan: Mengatur urusan mereka sebagaimana yang dilakukan oleh para pemimpin dan wali terhadap rakyat (nya)[7].

Dalam hadits diatas Rasulullah SAW menegaskan, bahwa yang mengatur atau yang memelihara  urusan Bani Israil adalah para nabi, sedangkan untuk umat beliau SAW adalah para khulafa’, dan jumlahnya banyak. Maka Imam Al-hafidz An-nawawipun menegaskan[8]:

وَمَعْنَى هَذَا الْحَدِيث : إِذَا بُويِعَ لِخَلِيفَةٍ بَعْد خَلِيفَة فَبَيْعَة الْأَوَّل صَحِيحَة يَجِب الْوَفَاء بِهَا ، وَبَيْعَة الثَّانِي بَاطِلَة يَحْرُم الْوَفَاء بِهَا ، وَيَحْرُم عَلَيْهِ طَلَبهَا ، وَسَوَاء عَقَدُوا لِلثَّانِي عَالِمِينَ بِعَقْدِ الْأَوَّل أَوْ جَاهِلِينَ ، وَسَوَاء كَانَا فِي بَلَدَيْنِ أَوْ بَلَد ، أَوْ أَحَدهمَا فِي بَلَد الْإِمَام الْمُنْفَصِل وَالْآخَر فِي غَيْره ، هَذَا هُوَ الصَّوَاب الَّذِي عَلَيْهِ أَصْحَابنَا وَجَمَاهِير الْعُلَمَاء …

“Makna hadits ini adalah apabila terjadi bai’ah untuk seorang khalifah setelah (sebelumnya dibai’ah) khalifah, maka bai’ah yang pertamalah yang benar, dan wajib mencukupkan diri dengan bai’ah untuk yang pertama tersebut. Sedangkan bai’ah yang kedua adalah bathil dan haram mencukupkan diri dengan bai’ah tersebut. Dan haram atas yang kedua menuntut bai’ah, baik apakah dia tahu ataupun tidak terhadap bai’ah yang pertama. Baik mereka berdua ada di dua negeri atau di satu negeri,  atau salah satu dari keduanya berada di negerinya yang (posisinya) terpisah sedangkan yang lain di luar negerinya. Inilah yang benar dimana shahabat-shahabat kita di dalamnya, begitupula Jamahir Al-ulama’…”

Penjelasan singkat ini sebenarnya sudah lebih dari cukup bagi kita untuk menegaskan kembali bahwa politik di dalam Islam adalah hal yang ma’lumun minaddin bidz dzarurah. Banyak nash baik dalam al-Qur’an maupun as-Sunnah yang menegaskan hal yang sama. Dalam surah an Nahl ayat 89, ditegaskan:

وَنَزَّلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَابَ تِبْيَانًا لِكُلِّ شَيْءٍ وَهُدًى وَرَحْمَةً وَبُشْرَى لِلْمُسْلِمِينَ

Sayyidina Abdullah Ibn Mas’ud ra menjelaskan, sebagaimana dikutip oleh Al-hafidz Ibn Katsir dalam tafsirnya[9]:  “Sungguh Dia (Allah) telah menjelaskan untuk kita semua ilmu dan semua hal”. Ayat ini menegaskan bahwa Allah melalui al-Qur’an telah menjelaskan semua hal, tentu termasuk hal-hal yang berkaitan dengan kehidupan bernegara dan bermasyarakat.

Khulashatul qaul, politik dapat kita devinisikan sebagai permeliharaan (ri’ayah) urusan umat baik dalam negeri maupun luar negeri, yang subyeknya adalah Negara dan umat. Negara, secara real melaksanakan pemeliharaan tersebut, dan umat yang melakukan control terhadap ri’ayah yang dilakukan oleh Negara. Muhammad M Radhi dalam tesis masternya di Universitas Baghdad yang berjudul Hizbut Tahrir Tsaqafatuhu wa Manhajuhu fi Iqamati Daulatil Khilafah[10] menegaskan bahwa kurang lebih seperti inilah devinisi politik dalam Islam menurut para Ulama’ baik yang kontemporer maupun yang terdahulu. Jadi, kalau kita bicara politik dalam Islam artinya kita sedang bicara tentang ri’ayah terhadap urusan umat dengan menerapkan hukum Islam dalam seluruh aspek kehidupan serta kontrol umat terhadap penguasa yang merupakan subyek ri’ayah tersebut. Dengan begitu kita  menjadi mafhum mengapa ketika para Fuqaha’ sedang mengkaji masalah politik, mereka selalu mengkaitkan dengan imamah, atau khilafah. Karena tanpa khilafah dan imamah tersebut aktifitas politik dalam Islam tidak akan sempurna dilakukan[11].

Pertanyaannya, mengapa muncul fenomena atau bahkan ada upaya yang terencana oleh segelintir orang yang mencoba memisahkan Islam dengan politik, dan  Islam ‘dikarangkeng’ dengan hanya sebatas ibadah mahdhah dan moral? Ini  bukan hal baru. Latar belakangnya? Paling tidak ada dua hal. Pertama, propaganda sekularisasi yang dilakukan oleh Kafir Barat di dunia Islam baik secara langsung maupun tidak langsung, melalui ghazwul fikri yang diikuti dengan ghazwul ‘askari dan ghazwu as-siyasi. Harapannya? Tentu agar umat Islam memperlakukan Islam layaknya mereka memperlakukan agama Kristen. Mereka telah bekerja sangat keras untuk mengupayakan hal itu. Kongkritnya mereka mengupayakan secara sangat sistematis dan sophisticated untuk menjauhkan kaum Muslim dengan Islam, dengan cara menjauhkan mereka dengan sumber Islam, yakni Al-qur’an dan As-sunnah. Dari  yang paling ekstrim dengan mengopinikan bahwa teks Al-qur’an itu otentitasnya diragukan, atau seruan untuk membuang ayat-ayat Madaniyyah dan perhatian kaum Muslim difokuskan pada ayat Makiyyah yang menitikberatkan pada aqidah dan moral sampai propaganda yang lebih ‘soft’, dengan mengupayakan ‘taufiq’ antara Islam dengan peradaban Barat kontemporer. Misalnya bahwa syura dalam Islam itu identik dengan demokrasi dll.

Umpan dalam bentuk propaganda ini kemudian ‘termakan’ oleh sebagian kecil kaum Muslim. Lalu sadar atau tidak mereka telah menjadi perpanjangan tangan mereka[12].  Latar belakangnya? Pertama, karena telah menjadi ‘agen (pemikiran) Barat’. Kedua, karena silau dengan kemajuan Barat, dan pada saat yang sama  terjangkit Pandemic Inveriority Complex.

Kedua,  karena tiadanya gambaran yang clear tentang Islam, bilkhusus sistem pemerintahan dan sistem ekonomi[13]. Malah bisa dikatakan  bahwa gambaran sistem pemerintahan, serta sistem ekonomi dalam Islam tersebut telah lama lenyap dari benak sebagian besar kaum Muslim. Mengapa? Ini erat kaitannya dengan proses kajian terhadap Islam yang berlangsung selama ini. Kondisi ini semakin diperparah dengan ‘keterlibatan’ langsung kafir Barat dalam menyusun kurikulum pendidikan agama yang berlaku di Sekolah maupun di PT di negeri-negeri Islam[14]. Dalam sistem pendidikan formal baik di sekolah maupun di PT di negeri-negeri Islam, kajian Islam  lebih ditekankan pada upaya ‘taufiq (memadukan)’ ajaran Islam dengan Nasionalisme dan Sekularisme, serta kajian Islam yang ‘memperlakukan’ Islam sebatas ritus dan moral.

Pertanyaan Kedua:

Islam dan politik tidak bisa dipisahkan, bagaikan dua sisi mata uang, penjelasannya bagaimana?

Jawab:

Benar. Politik  dalam Islam adalah suatu yang maklumun minad din bidz-dzarurah.  Memisahkan   politik dari Islam, dengan menjadikan Islam hanya sebatas ritus dan moral adalah  pendiskreditan Islam. Logis  kalau Ide  pemisahan Islam dengan politik ini tidak kita jumpai pada generasi Islam terdahulu. Ini adalah ide ‘nyleneh’ yang sebelumnya tidak dikenal di dalam Islam.

Memang, dalam hazanah turats Islam kadang  kita jumpai pendapat atau orang yang ‘nyleneh’. Abu Bakar Al-asham misalnya. Dia seorang  tokoh Muktazilah yang ekstrim. Dia menyatakan bahwa mengangkat imam itu tidak wajib. Pendapat ini didokumentasikan dengan sangat baik  oleh Imam Al-qurtubi dalam tafsirnya[15]:  “Al-asham berkata: imamah itu tidak wajib dalam agama bahkan hal tersebut hanya melengkapinya (saja). Bahwa umat itu ketika mereka menegakkan hujjah, jihad, serta mengatur apa yang ada diantara mereka, mencurahkan yang haq dengan diri mereka, membagi ghanimah, fa’i, zakat atas yang berhak, dan menegakkan had-had atas siapa saja yang diwajibkan atasnya, maka Allah akan membalas mereka atas hal tersebut. Tidak diwajibkan atas mereka untuk mengangkat imam untuk mengatur hal tersebut”.

Meski  Abu Bakar al-Asham menegaskan bahwa mengangkat Imam (khalifah) itu tidak wajib, tapi dia  masih mensyaratkan bahwa hukum-hukum yang seharusnya dilaksanakan oleh Imam mesti terlaksana. Rupanya bagi Abu Bakar al-Asham esensi keberadaan khilafah lebih penting dibanding sosok khilafah itu sendiri. Maka bagi dia, asalah semua hukum yang seharusnya diimplementasikan dengan khilafah sudah berjalan maka keberadaan khilafah itu bukan suatu keharusan. Tapi pertanyaan yang menarik yang kita terpaksa kemukakan adalah mungkinkah? Jawabannya jelas dan pasti, yaitu tidak mungkin. Padahal  ide pemisahan politik dari Islam, yang sekarang ‘dijajakan’ oleh segelintir kaum Muslim adalah pemisahan tanpa syarat. Bukankah ini lebih ‘nyleneh’ dan lebih menyimpang dibanding dengan pendapat Abu Bakar al-Asham al-Muktazili?

Pertanyaan Ketiga:

Lalu siapa yang harus berpolitik? Apakah ada pihak yang memiliki ‘kewajiban lebih’ dibanding yang lain?

Jawab:

Dengan devinisi politik seperti yang tadi maka fokus aktifitas politik adalah ri’ayah yang dilakukan oleh penguasa terhadap masyarakat, dan  kontrol terhadap ri’ayah tersebut. Subyek pertama adalah penguasa, dan yang kedua adalah masyarakat. Allah SWT berfirman dalam surah Ali Imran ayat 104:

وَلْتَكُنْ منكُمْ أمّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ ويَأمُرُونَ بِالمَعْرُوفِ ويَنْهَوْنَ عَنِ المُنْكَرِ وَأُولئكَ هُمُ المُفْلِحُون

Rasulullah menjelaskan pada kita pengertian “ilal khair” sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ibn Mardawaih yang dinukil oleh imam al-Hafidz Ibn Katsir dengan “mengikuti Al-qur’an dan sunnahku”[16]. Imamul Mufassirin al-Imam Al-hafidz Ath-thabari menjelaskan bahwa pengertian kata “umat” adalah jama’ah[17]. Sedangkan  pengertian “ilal khair” adalah pada Islam dan syariatnya. Imam al-Qurthubi menjelaskan: Kata “min” dalam ayat tersebut adalah li at-tab’idh (menunjukkan makna sebagian)[18]. Dan maknanya, kata beliau adalah wajib adanya para Ulama’ (yang melakukan kwajiban tersebut) dan bukan setiap manusia. Kemudian beliau melanjutkan bahwa amar ma’ruf nahi munkar itu hukumnya fardhu kifayah[19].

Ada tiga point penting yang bisa kita fahami dari penjelasan tiga Ulama’ tafsir terkemuka tersebut. Pertama, bahwa keberadaan jama’ah yang melakukan aktifitas seperti yang dimaksud oleh ayat tersebut adalah fardhu kifayah. Kedua, aktifitas jama’ah tersebut adalah mengajak pada Al-qur’an dan Sunnah Nabi SAW atau dengan kata lain pada Islam dan syariatnya serta melakukan aktifitas amar makruf nahi munkar. Ketiga, bahwa para Ulama’ lebih wajib dibanding yang lain.

Disini ada yang perlu digarisbawahi,  bahwa mengajak pada al-khair atau pada Islam dan syariatnya, bukan berarti kita terjebak pada perdebatan masalah-masalah yang sifatnya ijtihadi, tidak…! Kita  tidak boleh memaksakan kesamaan pendapat atas sesuatu yang memang secara syar’i boleh atau bisa berbeda. Justru menyamakan hal-hal tersebut malah bertentangan dengan Islam. Karena ikhtilaf dalam masalah hukum sudah terjadi sejak masa rasulullah SAW.

Tentang hal ini  Hadzratusy syeikh KH Hasyim Asy’ari dalam kitab At-tibyan fii an-Nahyi an al-Muqatha’ah Al-arham wa al-Aqarib wa al-Ikhwan berpesan pada para Ulama’[20]: “…Wahai manusia, diantara kalian (saat ini) sedang bercokol orang-orang kafir yang telah memenuhi seluruh penjuru negeri, lalu siapa dari kalian yang (berani) menolak untuk diskusi dengan mereka atau menolak untuk ‘legowo’ terhadap arahan  mereka? Wahai para Ulama’ untuk masalah semacam ini, bersungguh-sungguhlah serta berta’assublah. Adapun   ta’assub kalian pada masalah cabang dalam agama, serta pemaksaan kalian semua pada manusia untuk (mengikuti) madzhab yang satu dan pendapat yang satu, hal tersebut tidak diterima oleh Allah, juga tidak diridhai oleh Rasulnya SAW. Sungguh pemaksaan kalian atas hal tersebut tidak ada motif lain kecuali karena ta’assub, saling bersaing atau karena saling dengki. Kalau seandainya Asy-syafi’i, Abu hanifah, Malik, Ahmad, dan Ibnu Hajar, serta Ar-ramli (masih) hidup tentu mereka akan mengingkari kalian dengan keras, dan mereka akan berlepas diri dari kalian dan apa yang kalian lakukan…”

Alhasil, sudah seharusnya kita memfokuskan pada hal-hal yang pokok; contohnya tentang kwajiban  bertahkim pada hukum Allah dalam seluruh aspek kehidupan adalah konsekwensi akidah kita sebagai Mukmin.

Pertanyaan Keempat:

Ulama’ berpolitik, ada sebagian orang yang menilai negatif ungkapan itu karena keagungan Ulama’ akan ternodai jika terjun dalam politik, benarkah?

Jawab:

Pertanyaan ini mengingatkan kita pada yang dikemukakan oleh Dr Samikh Athif Az Zein dalam bukunya As-siyasah wa Siyasah Ad-dauliyyah. Beliau menyatakan:[21] “… Maka politik sebagaimana kita ketahui, adalah pemeliharan  serta perbaikan, penegakan, petunjuk, serta bimbingan. Artinya politik itu identik dengan kebaikan serta perbaikan. Namun  sosok politik yang cemerlang ini dikaburkan dengan konvensi (yang berlaku) di masyarakat saat ini bahwa politik itu identik dengan perilaku menyimpang dari yang haq, dan pendiskripsian bahwa politik itu identik dengan kebohongan, kecurangan serta penyesatan yang memang lazim dilakukan oleh para politikus serta penguasa (saat ini).  Artinya penyimpangan (perilaku) para politikus dari yang haq, kedzaliman yang mereka lakukan terhadap rakyat, serta perampasan terhadap kepentingan masyarakat tersebut telah mengacaukan pengertian politik yang bersih. Akibatnya  para penguasa tersebut menjadi  ‘musuh’ rakyat, padahal seharusnya  politik tersebut menjadikan mereka sebagai para wali yang shalih serta muhsin. Hal tersebut mengantarkan pada munculnya metode yang sangat berbahaya dan ini dieksploitasi secara habis-habisan oleh para propagandis pemisahan agama dan Negara. Bahkan  hal tersebut semakin mengkristalkan propaganda mereka untuk menjauhkan para pengemban agama dari politik dengan dalih bahwa orang yang ta’at beragama adalah manusia yang takut pada Allah, mereka tidak boleh menceburkan diri dalam aktifitas politik, karena politik itu penuh dengan kebohongan, tipu muslihat serta keculasan dsb. Ini adalah memaparkan fakta yang tepat, tapi tujuannya batil… “.

Begitulah diskripsi Az Zain. Idzan  kita bisa memahami mengapa dengan dalih menjaga kesucian nilai-nilai Islam, para Ulama’ dan pengemban dakwah ‘dilarang’ mendekati politik, karena politik identik dengan kebohongan, tipu muslihat serta keculasan. Hebatnya  seruan yang diback up oleh kafir Barat  ini hampir merata di seluruh negeri Islam. Inilah gerakan trans nasional…

Benar, bahwa aktifitas politik saat ini memang seperti yang digambarkan oleh Az-zain. Politik  dalam sistem kapitalis-sekuler menjadikan kaedah “tujuan menghalalkan semua cara” sebagai kaedah pokok bahkan ya’lu wala yu’la alaih. Wajar kalau banyak hal yang tidak benar yang terjadi, banyak kezaliman bahkan ‘pemerkosaan’ terhadap hak-hak masyarakat. Pelayanan kesehatan mahal, pendidikan mahal, jumlah dana masyarakat yang dipakai bayar utang LN jauh lebih besar dibanding biaya pembangunan, penjualan asset Negara ke asing dsb seakan ‘lagu merdu’ bagi kita semua. Celakanya ‘kekacauan’ yang terjadi akibat dominasi sistem kapitalistik ini, justru dijadikan alat oleh mereka untuk mencegah kembalinya Islam dalam kehidupan masyarakat dengan ‘melarang’ para Ulama’ dan para pengemban dakwah dalam aktifitas politik. Padahal biang kerok lembah hitam politik tersebut karena diterapkannya sistem kapitalis dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.

Pertanyaan Kelima:

Bagaimana deskripsi aktualisasi politik Ulama’ saat ini?

Jawab:

Aktualisasi kongkritnya adalah dengan menjadikan Ulama’-Ulama’ terdahulu radhiyallahu anhum sebagai contoh! Dalam kitab-kitab tarikh  tercatat dengan tinta emas sepak terjang para Ulama’ dalam melakukan aktifitas politik. Misalnya,  apa yang dilakukan oleh Abdullah Ibn Thawus.

Dalam kitab Wafiyyatul A’yan, Ibn Khalikan meriwayatkan pertemuan antara Ibn Thawwus yang didampingi oleh Malik Ibn Anas rahimahumallahu Ta’ala dengan Abu Ja’far al-Manshur sebagai berikut[22]: “Ketika Abu Ja’far Al-manshur memanggil Abdullah bin Thawwus bersama dengan Malik bin Anas rahimahumallah, setelah mereka masuk, beberapa saat kemudian Abu Ja’far Al-manshur menoleh  pada Ibn Thawwus dan berkata padanya beritahu saya (hadits) dari bapak anda. Ibnu Thawwus berkata telah menceritakan pada saya bapak saya “sesungguhnya manusia yang adzabnya paling dahsyat pada hari kiamat kelak adalah seorang laki-laki yang menyekutukan Allah Ta’ala dalam kekuasaannya, yaitu dengan melakukan aniaya dalam pemerintahannya”. Abu Ja’farpun terdiam untuk sesaat. Malik bercerita: akupun melipat bajuku karena kwatir darah Ibn Tawwus mengenai bajuku. Kemudian Al-manshur berkata pada Ibn Thawwus, berikan padaku tinta  itu. Al-manshur mengulang permintaannya sampa tiga kali, tapi Ibn Tawwus (tetap) tidak melakukannya. Al-manshur berkata lagi, anda tidak mau memberikan tinta itu? Ibn Thawwuspun menjawab: saya takut anda menulis dengan tinta tersebut suatu yang maksiyyah, dan kemudian (karena mengambil tinta itu) menjadikan aku bersama-sama dengan anda dalam maksiyyah tersebut… Ketika Al-manshur mendengar hal tersebut dia berkata: (anda) melawan saya?  Ibnu Thawwus menjawab: tidak, saya tidak membangkang (pada anda)… Kemudian Malik berkata: saya selalu ingat keutamaan ibn Thawwus sejak hari itu.

Ulama’ seperti inilah yang kita rindukan… tidak takut pada siapapun kecuali al-khaliq yang menciptakan dia. Masih tentang Ulama’, al-Qadhi Ibn Iyadh berkata[23]: “Ulama’ itu adalah ibarat ‘bunganya’ umat ketika musim semi. Apabila orang sakit melihatnya, kalaulah  tidak menyembuhkan paling tidak akan meringankan. Apabila orang fakir melihatnya dia merasa menjadi kaya”. Rasanya ini  cukup untuk bagi kita untuk menggambarkan apa dan bagaimana Ulama’ itu.

Hujjatul Islam Abu Hamid al-Ghazali dalam kitab Ihya’ Ulumuddin mengklasifikasikan Ulama’ menjadi dua kategori besar, Ulama’ dunia atau Ulama’ su’ dan Ulama’ akhirat. Ulama’ dunia ciri-cirinya antara lain adalah menjadikan ilmu untuk mendapatkan kenikmatan duniawi serta sebagai sarana untuk memperoleh kemasyhuran dan popularitas. Sedangkan Ulama’ akhirat sebaliknya[24].

Al-hafidz Ibnul Qayyim Al-jauziyyah dalam tafsirnya[25] meriwayatkan pernyataan sebagian salafush shalih.  Misalnya Mujahid dan Asy-sya’bi yang berkata bahwa orang yang ‘alim itu adalah yang takut pada Allah. Sedangkan Ar-rabi’ bin Anas berkata: siapa saja yang tidak takut pada Allah, dia bukan orang ‘alim.

Al-hafidz Ibn Katsir dalam tafsirnya menukil perkataan Imam Ats-tsauri dari Abi Hayyan dari seorang laki-laki, dia berkata[26]: “dikatakan bahwa Ulama’ itu ada tiga kategori. Yang ‘alim tentang Allah yang ‘alim tentang perintah Allah, dan yang ‘alim tentang Allah tapi tidak ‘alim terhadap perintah Allah, serta yang ‘alim tentang terhadap perintah Allah tapi tidak ‘alim tentang Allah. Orang yang ‘alim tentang Allah dan perintah Allah maka dia takut pada Allah dan tahu batasan-batasan serta apa yang difardhukan-Nya. Sedangkan yang ‘alim tentang Allah tapi tidak ‘alim terhadap perintah Allah, dia takut pada Allah tapi tidak tahu batas-batas (yang telah ditetapkan Allah) serta tidak tahu terhadap yang difardhukan. Sedangkan yang ‘alim terhadap perintah Allah tapi tidak ‘alim tentang Allah, adalah yang tahu batas-batas (yang ditetapkan Allah) dan yang difardhukan tapi dia tidak takut pada Allah”.

Jadi Ulama’ yang kita maksud adalah Ulama’ akhirat. Yakni Ulama’ yang takut pada Allah karena dia ‘alim tentang Allah, serta ‘alim terhadap batasan-batasan yang ditetapkan Allah, serta apa-apa yang difardhukan-Nya.

Aktualisasi Ulama’ saat ini? Realnya  adalah seperti yang digambarkan oleh Syeikh Ali Bin Haj  Ulama’ terkemuka FIS, dalam kitabnya Fashlul Kalam fii Muwajahati Dzulmil Hukkam[27].  Pertama, Ulama’ yang memadukan ilmu dan amal. Yaitu  Ulama’ yang  connected antara ilmu yang dia  kuasai dengan aktifitas yang dia lakukan. Kedua, selalu membela dan memperjuangkan hak-hak umat.

 

Pertanyaan Keenam:

Bicara politik juga harus bicara partai politik, bagaimana panduan tentang partai politik dalam Islam?

Jawab:

Ada perbedaan yang mendasar antara partai politik dalam sistem kapitalis dan dalam sistem Islam. Kiprah partai politik dalam sistem kapitalis secara sangat bagus di diskripsikan oleh Carl J friedrich dalam bukunya Constitustional Government and Democracy: Theori  and Practice in Europe and America dengan[28]: “sekelompok manusia yang terorganisir secara setabil dengan tujuan untuk merebut atau mempertahankan penguasaan terhadap pemerintahan bagi pimpinan partainya dan, berdasarkan penguasaan ini memberikan kepada anggota partainya kemanfaatan yang sifatnya ideal serta material”. Artinya di dalam  sistem kapitalis identik dengan adanya partai oposisi dan partai yang berkuasa. Itu yang pertama. Kedua, partai dalam system kapitalis memang di setup untuk kemaslahatan keluarga besar partai tersebut, bukan untuk rakyat.

Bagaimana di dalam Islam? di dalam Islam keberadaan partai politik, berdasarkan surah Ali Imran ayat 104, adalah wajib kifa’i. Pengertian “Umat” dalam ayat tersebut menurut Imam Ath-thabari diatas adalah jama’ah, menurut Syeikh Muhammad Ali Ash-shabuni dalam tafsirnya Shafwah At-tafasir adalah jama’ah atau Hizb. Apakah  aktifitas partai di dalam Islam juga dalam rangka merebut kekuasaan atau untuk mempertahankan kekuasaan? Tentu tidak… Partai  di dalam Islam aktifitasnya adalah mengajak pada al-khair yakni mengajak pada Al-qur’an dan As-sunnah, yakni mengajak pada Islam dan (menerapkan) syariatnya, serta amar makruf nahi munkar.

Ketika Islam belum diberlakukan sebagai sistem kehidupan maka yang dilakukan partai politik  adalah mengajak kaum Muslim pada Islam, artinya mengajak bertahkim pada hukum Allah dalam seluruh aspek kehidupan dan berjuang untuk menerapkan syariat-Nya. Selain itu dalalah al-iqtidha’ dari nash-nash tentang kwajiban tahkim juga mengharuskan kita untuk menegakkan institusi untuk menerapkan hukum Allah tersebut. Itu pertama. Kedua, amar makruf nahi munkar. Antara lain, dengan muhasabah terhadap penguasa.

Jadi di dalam sistem Islam tidak dikenal adanya partai oposisi atau partai penguasa. Di  dalam sistem Khilafah, tugas partai politik adalah melakukan muhasabah terhadap khalifah, bukan dalam rangka menjatuhkan atau untuk merebut kekuasaan tapi dalam rangka untuk mencegah penyimpangan atau kekurangoptimalan amanah sebagai ra’i terhadap masyarakat. Ketika khilafah belum ada maka aktifitas partai politik adalah mengajak kaum Muslimin untuk kembali pada Islam dan syariahnya dengan bertahkim pada hukum Allah dalam seluruh aspek kehidupan. Bertahkim pada hukum Allah dalam kehidupan bernegara serta dalam kehidupan bermasyarakat. Alhasil, dalam Islam juga tidak dikenal adanya partai yang memang dimaksudkan untuk merebut kekuasaan atau untuk mempertahankan kekuasaan.

 

Pertanyaan Ketujuh:

Saat ini partai politik identik dengan ‘hanya’ concern terhadap urusan kekuasaan, lalu bagaimana dalam Islam apakah peran partai politik di tengah umat memang seperti itu atau bagaimana?

Jawab:

Memang dalam sistem Kapitalis partai memang “harus” concern dengan kekuasaan. Itu konsekuensi ideologis. Ketika pemilu mereka berlomba untuk jadi pemenang pemilu baik sendiri maupun berkoalisi. Tapi ketika kalah ya menjadi oposisi dengan harapan pada pemilu berikutnya menjadi pemenang dan menjadi partai yang berkuasa. Lazimnya untuk mencapai tujuan tersebut, tidak ada cara yang diharamkan,  semua boleh. Money  politics, konspirasi dsb. Sehingga ada guyonan di sebagian Pesantren, kalau di Pesantren pakai Tafsir Jalalain, tapi kalau di Partai Politik pakai  tafsir jalan lain. Ini adalah sarkasme… Sekali lagi di dalam Islam tidak dikenal adanya partai pemerintah atau partai oposisi.

 

 

Pertanyaan Kedelapan:

Dalam konteks partai politik seperti itu apakah Ulama’ mesti berkecimpung dalam partai politik? mohon  dijelaskan?

Jawab:

Jawabannya ya dan tidak. Ya kalau yang dimaksud adalah partai politik dalam rangka mengimplementasikan perintah Allah SWT dalam surah Ali Imran ayat 104, bahkan bukan hanya ya tapi hukumnya wajib kifa’i. Tidak, kalau berkiprah hanya  untuk secara kolektif melakukan keculasan, kebohongan atau kedzaliman dengan menerapkan keedah “tujuan itu membolehkan (penggunaan) semua cara”, serta melakukan cover up terhadap sistem kapitalis. Kalau yang semacam ini yang tidak boleh bukan hanya Ulama’, tapi juga seluruh kaum Muslimin.

Terhadap jenis partai yang kedua yang seharusnya dilakukan oleh para Ulama’ adalah mengimplementasikan perintah qudwatuna Rasulullah SAW dengan memberikan nashehat pada mereka dengan niat ikhlash semata karena Allah. Tapi ingat pengertian nashehat disini adalah seperti yang diungkapkan oleh Al-hafidz Ibn al-Atsir dalam kitab Jami’ul Ushul fii Ahaditsi Ar-rasul, iradatul khairi lil mansukh (harapan kebaikan atas yang diberi nashehat). Kalau untuk memerankan hal ini Ulama’ tidak harus menjadi bagian integral dari partai.

Pertanyaan Kesembilan:

Jika Ulama’ tidak berkecimpung dalam patai politik, bagaimana gambaran aktualisasi politik Ulama”?

Jawab:

Kwajiban dakwah itu ada yang sifatnya individu ada yang sifatnya kolektif atau jama’i. Misalnnya menghilangkan kemunkaran seperti yang terdapat dalam hadits nabi yang diriwayatkan oleh Imam Muslim[29]:

مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَذَلِكَ أَضْعَفُ الْإِيمَان

 “Barangsiapa melihat kemunkaran maka hendaknya dia merubah kemunkaran tersebut dengan tangan apabila tidak mampu maka hendaknya dia (merubah) dengan hatinya dan itu adalah selemah-lemahnya imam”.

Ini menjadi kwajiban kita masing-masing, begitu pula dengan para Ulama’.

Selain kwajiban yang sifatnya individu, ada kwajiban yang sifatnya kolektif.. Kalau kwajiban yang sifatnya kolektif tentu harus melalui jama’ah atau partai. Misalnya kwajiban iqamah ad-daulah al-khilafah. Imam al-hafidz an-Nawawi menegaskan bahwa keberadaan Imam bagi umat untuk menegakkan agama, menolong as-sunnah menolong orang yang didzalimi serta menempatkan hak-hak pada tempatnya adalah fardhu kifayah[30]. Fardhu kifayah, seperti yang ditegaskan oleh Imam Al-amidi dalam kitab al-Ihkam,  sebagai kwajiban tidak berbeda dengan fardhu ‘ain[31]. Adapun peleksanaannya memang tidak harus seluruh kaum Muslimin  melaksanakan kwajiban tersebut. Tapi perlu dicatat bahwa kwajiban yang sifatnya fardhu kifayah itu disebut sebagai selesai dilaksanakan apabila memang telah terlaksana, jika belum maka kwajiban tersebut tetap dibebankan atas kaum Muslimin yang terkena khitab taklif. Itulah yang bisa kita fahami dari penjelasan Imam Asy-syirazi dalam kitab al-Luma[32].

Kongkritnya yang seharusnya dilakukan oleh para Ulama’ adalah melaksanan izalah al-munkarat ketika menyaksikan kemunkaran, dan secara kolektif berada di garda terdepan  bersama-sama dengan kaum Muslimin yang lain melaksanakan aktifitas dakwah kepada Islam dan syariahnya dengan dakwah isti’naf al-hayah al-Islamiyyah biiqamati daulah al-khilafah, serta amar makruf nahi munkar, utamanya muhasabah lil hukkam

Pertanyaan Kesepuluh:

Ketika Ulama’ terjun dalam partai politik dikhawatirkan Ulama’ akan kehi-langan “keulama’annya” dan akhirnya terkooptasi oleh urusan kekuasaan dan kepentingan, bagaimana agar hal itu tak terjadi?

Jawab:

Hal tersebut  terjadi karena Ulama’ tersebut adalah Ulama’ su’. Na’udzubillah  tsumma na’udzubillah.. Allahummansur ummata Muhammad ya Allah ya Kariem. Untuk  menghindari hal tersebut jangan sampai menjadi atau ada Ulama’ su’.  Jadilah Ulama’ akhirat.

Pertanyaan Kesebelas:

Bagaimana gambaran peran Ulama’ dalam partai politik, mohon didiskripsikan?

Jawab:

Bagi   kita sebenarnya pernyataan para salafush shalih saja sudah lebih dari cukup untuk memahami kedudukan para Ulama’ dalam Islam. Al-hasan misalnya, dia berkata[33]: “kalaulah bukan karena Ulama’ maka manusia akan seperti hewan ternak”. Yahya bin Mu’adz menegaskan[34]: “Ulama’ itu lebih menyayangi umat Muhammad dibanding bapak dan ibu mereka. Ketika dia ditanya mengapa begitu? Dia menjawab karena bapak dan ibunya menjaga mereka dari neraka dunia sedangkan Ulama’ menjaga mereka dari neraka akhirat”.

Secara  singkat Imam Fakhruddin ar-Razi di dalam tafsir Mafatihul Ghaib fii At-tafsir menjelaskan bahwa di dalam al-Qur’an Allah mendiskripsikan tentang Ulama’ dengan lima “manaqib”. Pertama, tentang keimanannya, sebagaimana firman Allah dalam surah Ali imran ayat 7. kedua, tentang tauhid dan syahadah, sebagaimana firman Allah dalam surah Ali Imran ayat 18. Ketiga, banyak menangis, sebagaimana firman Allah salam surah Al-isra’ ayat 109. keempat, khusyu’ sebagaimana firman Allah dalam surah Al-isra’ ayat 107, dan yang kelima adalah takut (pada Allah), sebagaimana firman Allah dalam surah fathir ayat 28.[35]

Inilah Ulama’.

Peran Ulama’ saat ini? Sebelum membahas hal tersebut ada baiknya kita memotret sekilas kondisi obyektif kita, kaum Muslim. Allah berfirman di dalam Al-Qur’an Surah Ar-Rum ayat 41:

ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ لِيُذِيقَهُمْ بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ

 

Al-Hafizh Asy-Syaukani dalam tafsir Fathul Qadir menjelaskan pengertian ayat diatas, bahwa sesungguhnya syirik dan maksiah itu merupakan sebab dzahirnya “fasad” di dunia[36]. Sedangkan Imam Abul ‘Aliyyah sebagaimana dikutip oleh al-Hafidz Ibn Katsir dalam tafsirnya menjelaskan bahwa siapa yang maksiyah pada Allah di atas bumi, sungguh dia telah menimbulkan kerusakan di bumi, karena baiknya bumi dan langit adalah dengan ketaatan (pada Allah)[37].

Jadi dalam prespektif Islam fasad atau kerusakan yang selama ini terjadi seperti banjir, tanah longsor, krisis social, penjajahan ekonomi dan campur tangan asing pada hampir seluruh dimensi kehidupan, begitu pula dengan  hilangnya kemerdakaan kita adalah  buah perbuatan maksiyah yang kita lakukan.

Tentu  peran Ulama’ dalam mengupayakan menghilangkan kefasidan multi dimensional  itu adalah penting sekali. Mengapa? Karena pada diri para Ulama’ terpadu dua hal yang istimewa. Pertama. pemahaman  tentang Allah yang akan melahirkan sikap hanya  takut pada adzab Allah, sikap ikhlash, serta ta’at pada Allah. Kedua, pemahaman tentang batasan-batasan atau larangan-larangan yang telah ditetapkan Allah serta hal-hal yang difardhukan oleh-Nya, yang diperlukan untuk melaksanakan keta’atan pada Allah.

Mengutip penjelasan Syeikh Ali Bilhaj diatas bahwa ciri Ulama’ adalah terpadunya ilmu dan amal pada dirinya, serta selalu membela hak-hak masyarakat. Dengan ilmunya para Ulama’ sangat faham bahwa menerapkan hukum Allah adalah merupakan konsekwensi akidah kita. Bahkan kita memahami  hal tersebut juga dari para Ulama’. Guru-guru kita baik di Pesantren, kulliyatul Mua’allimin, majlis ta’lim, pengajian maupun di sekolah dan di Pergurun Tinggi. Pada saat yang sama kita juga mengetahui bahwa kita sebagai rakyat telah lama hak-hak kita terabaikan. Kita  terus menerus terdzalimi. Pendidikan mahal, perawatan kesehatan semakin tidak terjangkau, BBM langka, harga-harga bahan pokok melambung tinggi, lebih menyedihkan lagi kita dipaksa untuk berhadapan dengan kenyataan bahwa jaminan keamanan, terutama harta saat ini telah menjadi ‘makhluq’ langka. Ketika kita ditimpa bencana pemerintah juga lebih sering lamban dst.

Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud[38], At-tirmidzi[39], Ad-darimi[40], Ibnu Hibban[41], dan Imam Ath-thabarani[42] serta Ath-thahawi[43] Rasulullah SAW menegaskan:

… وَإِنَّ الْعُلَمَاءَ وَرَثَةُ الْأَنْبِيَاءِ وَإِنَّ الْأَنْبِيَاءَ لَمْ يُوَرِّثُوا دِينَارًا وَلَا دِرْهَمًا وَرَّثُوا الْعِلْم…

  “… Bahwa Ulama”’ adalah ahli waris para Nabi. Dan para Nabi itu tidak mewariskan dinar atau dirham tapi mewariskan ilmu… “.

Jadi adalah suatu hal yang maklum kalau  para Ulama’ sosok yang menonjol adalah keberadaannya sebagai ahli waris para Nabi; yakni dakwah dan ilmu (tentang dien). Secara singkat kiprah Ulama’ dalam partai politik paling tidak ada tiga point.  Pertama, bersama-sama dengan kaum Muslimin dengan menempatkan diri pada garda terdepan dalam melakukan aktifitas kolektif yang sifatnya wajib kifa’i. Yakni dakwah ilal khair; yakni berdakwah untuk mengajak pada Islam dan (penerapan) syariah,  serta amar makruf nahi munkar. Mengapa berada di garda terdepan? Karena dengan paduan ilmu dan amal para Ulama’, tentu Ulama’ akhirat,  memiliki isthitha’ah diatas kaum Muslimin pada umumnya dalam berdakwah ilal khair serta amar makruf nahi munkar. Bukankah Imam al-Qurthubi diatas telah menegaskan bahwa yang (lebih) diwajibkan melaksanakan perintah Allah dalam Surah Ali imran 104 diatas adalah para Ulama’?

Kalau begitu apakah aktifitas kita, begitu juga para Ulama’ perlu ada prioritas? Tentu. Tentang  prioritas amal ini ada baiknya kita renungkan apa yang dijelaskan oleh al-Hafidz  Ibnul Qayyim  Al-jauziyyah dalam kitab I’lamul Muwaqqi’in, Beliau menyatakan[44]: “Sungguh Iblis telah mengelabuhi banyak makhluk dengan membagus-baguskan pelaksanaan mereka atas berbagai macam dzikir, qiara’at (al-Qur’an), shalat serta puasa, dan zuhud dari dunia bahkan memutuskan hubungan dengan dunia. Sementara itu mereka mengabaikan ubudiyyah (itu), yakni jihad, amar makruf nahi munkar.  Sungguh  tidak muncul (keinginan) dalam hati mereka untuk melaksanakan ubudiyyah tersebut. Mereka itu bagi para pewaris para Nabi adalah termasuk orang yang diennya paling dangkal. Karena (konsekwensi) dien itu adalah melaksanakan apa yang diperintahkan Allah, (dengan niat) hanya untuk Allah. Orang yang meninggalkan hak-hak Allah yang telah diwajibkan padanya adalah seburuk-buruk keadaan dalam pandangan Allah dan Rasul-Nya dibanding pelaku maksiyyah…”.

Khulashatul qaul, mengabaikan kwajiban karena kita disibukkan oleh ibadah-ibadah nafilah, seperti dzikir, baca al-Qur’an maupun puasa (sunnah) adalah perbuatan dosa. Bahkan  menurut al-Hafidz Ibnul Qayyim lebih tercela dibanding pelaku maksiyyah.

Kedua, dengan tidak diterapkannya hukum Allah dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat maka kwajiban kita, kaum Muslimin terutama para Ulama’ adalah memperjuangkan untuk penerapan hukum Allah pada seluruh aspek kehidupan, atau dengan istilah lain isti’naf al-hayah al-islamiyyah dengan iqamah ad-daulah al-khilafah. Kwajiban berhukum pada hukum Allah ini adalah konskwensi akidah kita.

Tentu para Ulama’ tahu  wajibnya menjelaskan pada masyarakat bahwa adanya Imam atau khalifah untuk menerapkan hukum Allah, menolong sunnahnya, membela yang didzalimi serta menempatkan hak-hak pada tempatnya adalah fardhu kifayah. Ini amanah ilmu. Rasulullah SAW menegaskan, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Ibn Majah,  sanksi yang akan diberikan di hari kiamat kelak bagi yang mereka yang kitman terhadap Ilmu dengan sabda beliau[45]:

مَا مِنْ رَجُلٍ يَحْفَظُ عِلْمًا فَيَكْتُمُهُ إِلَّا أُتِيَ بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مُلْجَمًا بِلِجَامٍ مِنْ النَّارِ

 “Tidaklah seorang laki-laki yang menghafal satu ilmu lalu dia menyembunyikannya kecuali dia akan didatangkan pada hari kiamat dalam keadaan (diberi) kekang dengan (kekang) dari api neraka”.

Alhasil, tidak seorang Ulama’ pun yang mempersoalkan kwajiban ini. Selama kwajiban ini belum tertunaikan maka kwajiban tersebut tetap terbebankan pada seluruh kaum Muslim yang terkena taklif. Tentunya para Ulama’ lebih wajib dibanding yang lain.

Namun masih ada sebagian dari kita yang tidak melaksanakan kwajiban tersebut karena alasan tidak mampu. Dan  bukankah Allah tidak membebankan kwajiban lebih dari yang kita mampu? Benar… bahwa Allah tidak akan membebankan di pundak kita kwajiban yang diluar kemampuan kita. Begitulah penjelasan Imam al-Hafidz ibn Katsir[46] dan Imam Al-qurthubi[47] ketika menjelaskan firman Allah Ta’ala surah al-Baqarah ayat 286:

لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا

Pertanyaannya apakah nashbul khalifah litathbiqi syari’atillah merupakan kewajiban yang di luar batas kemampuan kita? Memang… kalau kewajiban tersebut hanya dilaksanakan  oleh individu-individu  kaum muslimin, tentu akan melampaui batas kemampuan mareka. Tapi bukankah kewajiban nasbu al-khalifah tersebut adalah fardhu kifayah? Kewajiban yang dibebankan terhadap kita kaum muslimin secara umum terutama para Ulama’? Artinya, selama kewajiban tersebut belum tertunaikan maka kewajiban nashbul khalifah tetap dibebankan diatas pundak kita, seluruh kaum muslimin. Tentu diam, dan tidak memperjuangkan hal tersebut tanpa udzur syar’i tidak bisa dikategorikan tidak mampu, apatah lagi menghambat atau menentang perjuangan tersebut.

Ketiga. Masih menurut Syeikh Ali bin Hajj, ciri Ulama’ yang berikutnya adalah selalu  membela hak-hak umat. Bagaimana? Dengan dua hal. Pertama, menyadarkan umat akan hak serta kwajiban mereka. Dengan menjelaskan fakta yang sebenarnya terjadi serta mengungkapkan secara jujur dan ikhlash bagaimana asing telah men-setup seluruh segmen kehidupan sehingga mereka bisa menguasai seluruh urat nadi ekonomi, melakukan control total terhadap sistem politik dan sosial tanpa peduli terhadap nasib masyarakat. Tentu  hal ini membutuhkan kemampuan berfikir politik yang prima. Kedua, melakukan muhasabah terhadap penguasa. Inilah   kurang lebih kiprah para Ulama’ yang di idam-idamkan oleh umat. Wallahu a’lam.

Wahai Ulama-1

Wahai Ulama


[1] Oleh Musthafa A Murtadlo

[2] Lihat Dr Samih Athif Az-zain, As-siyasah wa As-siyasah Ad-dauliyyah, hal 31

[3] Lihat Ibnu Ahmad al-Farahidi, Kitab al-‘Ain, juz I hal 136

[4] Lihat Al-mughrib fii Tartib Al-mu’rib, Juz III hal 107

[5] Lihat Muhammad Qal’aji, Mu’jamu Lughatil Fuqaha’, juz I hal 253

[6] Lihat Amirul Mukmukmin fii Al-hadits, Imam Muslim bin Al-hajjaj An-naisaburi, Shahih Muslim, juz IX hal 378  hadits nomor 3429

[7] Imam Al-hafidz Abu Zakaria Yahya bin Syaraf bin Marwa An-nawawi, Syarah An-nanawi ‘ala Shahihil Muslim, juz VI hal 316 syarah hadits nomor 3420

[8] Idem

[9] Imam Al-Hafidz Abul Fida’ Ismail Ibn Katsir, Tafsirul Qur’anil Adzim, juz IV hal 594

[10] Untuk lebih lengkapnya silahkan lihat Muhammad M Radhi, Hizbut Tahrir Tsaqafatuhu wa Manhajuhu fi Iqamati Daulatil Khilafah, hal 194

[11]قال الامام ابو القاسم الشافعي النيسابوري:  … أجمعت الأمة على أن المخاطب بقوله { فاجلدوا } هو الإمام حتى احتجوا به على وجوب نصب الإمام فإن ما لا يتم الواجب إلا به فهو واجب. ( الامام أبو القاسم الحسن بن محمد بن حبيب بن أيوب  الشافعي النَّيْسابُورى, تفسير النيسابوري, الجزء 5 صحيفة 465)

[12] Antara lain  lihat tulisan Agus Maftuh di Jawapos pada tanggal 27 Oktober 2007, dengan title: Teologi Kekuasaan, dia mengutip dan menegaskan pandangan Gamal al-Banna, bahwa menghadirkan sistem politik khilafah dalam mimpi saja sudah merupakan sesuatu yang mustahil, apalagi menghadirkannya dalam realitas politik. Bagi Gamal, Islam adalah agama dan bangsa, bukan agama dan negara.

[13] Lihat Asy-syeikh Taqiyyuddin An-nabhany, Ad-daulah Al-islamiyyah hal 9-12

[14] Idem hal 237-244

[15] Al-asham berkata: imamah itu tidak wajib dalam agama bahkan hal tersebut melengkapinya (saja). Bahwa umat itu ketika mereka telah menegakkan hujjah, jihad, mengatur apa yang ada diantara mereka, mencurahkan yang haq dengan diri mereka, membagi ghanimah, fa’I, zakat atas yang berhak, dan menegakkan had-had atas siapa saja yang diwajibkan atasnya, maka Allah akan membalas mereka atas hal tersebut.Tidak diwajibkan atas mereka untuk mengangkat imam untuk mengatur hal tersebut. (lihat Imam Al-qurthubi, Al-jami’ li Ahkamil Qur’an, Juz I hal 264-265)

[16] Lihat Al-hafidz Abul Fida’ Ismail Ibn Katsir, Tafsirul Qur’anil Adzim, juz II hal 91

[17] Lihat Imam Al-hafidz Abu ja’far Ath-thabari, Jami’ul Bayan fi Ta’wilil Qur’an, juz VII hal 90

[18] Lihat Imam Al-qurthubi, Al-jami’ li Ahkamil Qur’an Juz IV hal 165

[19] idem

[20] Lihat Al-allamah Asy-syeikh Muhammad Hasyim Asy’ari, At-tibyan fi An-nahyi ‘an Muqatha’atil Arham wal Aqarib wal Ikhwan hal 33

[21] Lihat Dr Samikh Athif Az Zein, As-siyasah wa Siyasah Ad-dauliyyah hal 32

[22] Lihat Ibn Khalikan, Wafiyyatul A’yan, juz II hal 511

[23] Lihat Asy-syeikh Abu Abdul Fatah Ali bin Haj, Fashlul Kalam fii Muwajahati Dzulmil Hukkam, hal 255

[24] Lihat Hujjatul Islam Abu Hamid Al-ghazali, Ihya’ Ulumuddin, Juz I hal 62-65

[25] Lihat Imam Al-hafidz Ibnul Qayyim Al-jauziyyah,  Zadul Masir, juz 5 hal 179

[26] Lihat Imam Al-hafidz Abul Fida’ Ismail Ibn Katsir, Tafsirul Qur’anil Adzim, Juz VI hal 545

[27] Lihat Asy-syeikh Abu Abdul Fatah Ali bin Haj, Fashlul Kalam fii Muwajahati Dzulmil Hukkam, hal 255-258

[28] Lihat Carl J friedrich dalam bukunya Constitustional Goverment and Democracy: Theori  and Practice in Europe and America hal 419

[29] Lihat Imam Muslim bin Hajaj An-naisaburi, Shahih Muslim, Juz I hal 167

[30] Lihat Imam Al-hafidz An-nawawi, Raudhah Ath-thalibin wa Umdah Al-muftin, Juz I hal 386

[31] Liham Imam Saifuddin Al-amidi, Al-ihkam fii Ushulil Ahkam, juz I hal 100

[32] Lihat Imam Asy-syirazi, Al-luma’ fii Ushulil Fiqhi, hal 82

[33] Lihat Syeikh Ali bin Hajj,  Fashlul Kalam fii Muwajahati Dzulmil Hukkam, hal 255

[34] Idem hal 255-256

[35] Lihat Imam Fakhruddin Ar-razi, Mafatihul Ghaib fii At-tafsir, Juz I hal 458

[36] Lihat Imam Al-hafidz Asy-saukani, Fathul Qadir, Juz V hal 475

[37] Lihat Imam Al-hafidz Ibn Katsir, Tafsirul Qur’anil Adzim, juz VI hal 320

[38] Lihat Imam abu Dawud, Sunan Abu Dawud, Juz X hal 49

[39] Lihat Imam At-tirmidzi, Sunan at-tirmidzi, Juz IX hal 296

[40] Lihat Imam Ad-darimi, Sunan Ad-darimi, Juz I hal 383

[41] Lihat Imam Ibn Hibban Al-basthi, Shahih Ibn Hibban, Juz I hal 171

[42] Lihat Imam Ath-thabarani, Musnad Asy-syamiyyin, juz IV hal 175

[43] Lihat Imam Al-Hafizh Ath-thahawi, Musykilul Atsar, Juz II hal 465

[44] Lihat Al-Hafizh Ibnul  Qayyim Al-jauziyyah, I’lam Al-muwaqqi’in Juz II hal 177

[45] Lihat Imam Ibn Majah, Sunan Ibn Majah, juz I hal 305

[46] Lihat Imam al-hafidz Ibn Katsir, Tafsirul Qur’anil adzim, juz I hal 737

[47] Lihat Imam Al-qurthubi, Al-jami’ li Ahkamil Qur’an, Juz III hal 429

Soal Jawab Seputar Penggunaan Panji al-‘Uqab dan al-Liwa oleh Al-Khulafaa’ Al-Raasyidiin

267818_546059825416217_341836033_n

بسم الله الرحمن الرحيم
سلسة أجوبة الشيخ العالم عطاء بن خليل أبو الرشتة أمير حزب التحرير على أسئلة رواد صفحته على الفيسبوك

جواب سؤال حول استخدام الخلفاء الراشدين راية العقاب واللواء
إلى الواثق بنصر الله

السؤال:

 السلام عليكم ورحمة الله وبركاته

هل ورد أن الخلفاء الراشدين رفعوا راية العقاب واللواء؟ وهل ورد هذا في الأثر؟ وبارك الله فيكم.

الجواب:

وعليكم السلام ورحمة الله وبركاته،

نعم يا أخي كان الخلفاء الراشدون يستعملون راية العقاب واللواء، أما الأدلة على ذلك فهي ما ورد عن رسول الله صلى الله عليه وسلم بأن رايته كانت العقاب ولواءه كان أبيض، ومن هذه الأدلة:

1- أخرج النسائي في سننه الكبرى، والترمذي عَنْ جَابِرٍ، أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ «دَخَلَ مَكَّةَ وَلِوَاؤُهُ أَبْيَضُ». وأخرج ابن أبي شيبة في مصنفه عَنْ عَمْرَةَ قَالَتْ: «كَانَ لِوَاءُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَبْيَضَ».

2- أخرج أحمد، وأبو داود، والنسائي في سننه الكبرى عن يُونُسُ بْنُ عُبَيْدٍ مَوْلَى مُحَمَّدِ بْنِ الْقَاسِمِ، قَالَ: بَعَثَنِي مُحَمَّدُ بْنُ الْقَاسِمِ إِلَى الْبَرَاءِ بْنِ عَازِبٍ يَسْأَلُهُ عَنْ رَايَةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَاهى؟ فَقَالَ: «كَانَتْ سَوْدَاءَ مُرَبَّعَةً مِنْ نَمِرَةٍ».

3- أخرج الترمذي وابن ماجه عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ: «كَانَتْ رَايَةُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سَوْدَاءَ، وَلِوَاؤُهُ أَبْيَضَ».

4- أخرج ابن أبي شيبة في مصنفه: عَنِ الْحَسَنِ، قَالَ: «كَانَتْ رَايَةُ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سَوْدَاءَ تُسَمَّى الْعُقَابَ».

ويكفي هذا دليلاً بأن يكون الخلفاء الراشدون قد اقتدوا برسول الله صلى الله عليه وسلم بالراية واللواء، فهم كانوا لا يتركون أمراً أعلنه الرسول صلى الله عليه وسلم بينهم إلا ويفعلونه، ولا داعي لمزيد بحث عن الراية واللواء في عهد الخلفاء الراشدين، وذلك لأمرين:

الأول: أن الحكم الشرعي يؤخذ من الرسول صلى الله عليه وسلم.

الثاني: أن الخلفاء الراشدين لا يتركون أمراً مشهوداً فعله رسول الله صلى الله عليه وسلم كالراية واللواء.

أخوكم عطاء بن خليل أبو الرشتة

رابط الجواب من صفحة الأمير على الفيسبوك

١٥ رجب ١٤٣٤هـ
الموافق ٢٥ مايو ٢٠١٣م

TERJEMAH:

Soal Jawab Seputar Penggunaan Panji al-‘Uqab dan al-Liwa oleh Khulafa’ ar-Rasyidin

بسم الله الرحمن الرحيم

(Rangkaian Jawban asy-Syaikh al-‘Alim ‘Atha’ bin Khalil Abu ar-Rasytah Amir Hizbut Tahrir atas Berbagai Pertanyaan di Akun Facebook Beliau)

 Jawab Soal: Penggunaan Panji al-‘Uqab dan al-Liwa oleh Khulafa’ ar-Rasyidin Kepada al-Watsiq Binashrillah

 http://hizbut-tahrir.or.id/2013/05/29/soal-jawab-seputar-penggunaan-panji-al-uqab-dan-al-liwa-oleh-khulafa-ar-rasyidin-kepada-al-watsiq-binashrillah/

Pertanyaan:

السلام عليكم ورحمة الله وبركاته

“Apakah dinyatakan bahwa Khulafa’ ar-Rasyidin meninggikan rayah al-‘Uqab dan al-Liwa’? Apakah hal itu dinyatakan di dalam atsar? Barakallah fikum”

Jawab:

وعليكم السلام ورحمة الله وبركاته

Benar ya Akhi, dahulu Khulafa’ ar-Rasyidin menggunakan rayah al-‘Uqab dan al-Liwa’. Sedangkan dalil-dalil atas hal itu, adalah apa yang dinyatakan berasal dari Rasulullah saw bahwa rayah beliau adalah al-‘Uqab dan Liwa’ beliau berwarna putih. Diantara dalil-dalil itu:

Pertama, Imam An-Nasai dalam Sunan al-Kubra, dan at-Tirmidzi telah mengeluarkan dari Jabir:

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ «دَخَلَ مَكَّةَ وَلِوَاؤُهُ أَبْيَضُ»

“Bahwa Nabi saw masuk ke Mekah dan Liwa’ beliau berwarna putih.”

dan Ibn Abiy Syaibah dalam Mushannaf-nya mengeluarkan dari ‘Amrah ia berkata:

«كَانَ لِوَاءُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَبْيَضَ»

“Liwa Rasulullah saw berwarna putih.” 

Kedua, Imam Ahmad, Abu Dawud dan An-Nasai di Sunan al-Kubra telah mengeluarkan dari Yunus bin Ubaid mawla Muhammad bin al-Qasim, ia berkata: Muhammad bin al-Qasim mengutusku kepada al-Bara’ bin ‘Azib bertanya tentang rayah Rasulullah saw seperti apa? Al-Bara’ bin ‘Azib berkata:

«كَانَتْ سَوْدَاءَ مُرَبَّعَةً مِنْ نَمِرَةٍ»

“Rayah Rasulullah saw berwarna hitam persegi panjang terbuat dari Namirah.”
Ketiga, Imam At-Tirmidzi dan Ibn Majah telah mengeluarkan dari Ibn Abbas, ia berkata:

«كَانَتْ رَايَةُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سَوْدَاءَ، وَلِوَاؤُهُ أَبْيَضَ»

“Rayah Rasulullah saw berwarna hitam dan Liwa beliau berwarna putih.”

Keempat, Ibn Abiy Syaibah telah mengeluarkannya di Mushannaf-nya dari al-Hasan, ia berkata:

«كَانَتْ رَايَةُ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سَوْدَاءَ تُسَمَّى الْعُقَابَ»

“Rayah Nabi saw berwarna hitam disebut al-‘Uqab.”

Ini sudah cukup menjadi dalil bahwa Khulafa’ ar-Rasyidin telah meneladani Rasulullah saw menggunakan ar-Rayah dan al-Liwa tersebut. Mereka tidak meninggalkan satu perkara yang telah diumumkan oleh Rasul saw ditengah mereka kecuali mereka lakukan. Tidak ada keperluan terhadap tambahan pembahasan tentang ar-Rayah dan al-Liwa’ pada masa Khulafa’ ar-Rasyidin. Hal itu karena dua hal:

Pertama, bahwa hukum syara’ itu diambil dari Rasul saw.

Kedua, Khulafa’ ar-Rasyidin itu mereka tidak meninggalkan satu perkara yang sudah diketahui luas dilakukan oleh Rasulullah saw seperti ar-Rayah dan al-Liwa’ tersebut.

Saudaramu:

‘Atha’ bin Khalil Abu ar-Rasytah

 15 Rajab 1434

25 Mei 2013

Kewajiban Menegakkan Al-Khilaafah Al-Islaamiyyah (Part. I)

403498_382366125190273_804936386_n

Khilâfah merupakan perkara yang sudah dipahami bagian dari urusan Dîn yang penting (معلوم من الدين بالضرورة). Menegakkan Khilâfah Islam adalah kewajiban[1], من أعظام الواجبات. Berdasarkan nash-nash syara’, baik dari al-Qur’ân, al-Sunnah maupun Ijmâ’ Sahabat. Sebagaimana disepakati oleh para ulama.

Namun, ada saja segelintir umat Islam yang berpendapat syadz (kontroversial, ganjil) menolak kewajiban ini, dan sebagian yang lain mempertanyakan dalil al-Qur’ân tentang kewajiban menegakkan Khilâfah, karena menurut mereka tak ditemukan ayat yang mewajibkan kita menegakkan Khilâfah. Benarkah?

Para ‘ulama bersepakat bahwa dalam memahami ayat-ayat al-Qur’ân dan al-Sunnah digunakan dua pendekatan yang benar.[2]

Pertama, memahami pengertian secara tersurat, yakni dipahami secara langsung dari lafazh atau bentuk lafazh dalam nash (harfiah/manthûq).

Kedua, pengertian secara tersirat, yakni dipahami melalui penafsiran secara logis dari petunjuk atau makna lafazh atau makna keseluruhan kalimat yang dinyatakan dalam nash (kontekstual/mafhûm). Makna ini menjadi kelaziman makna lafazh secara langsung

Dan dengan menggunakan dua pendekatan di atas, akan kita temukan dalil-dalil al-Qur’ân, al-Sunnah didukung Ijmâ’ Sahabat yang menunjukkan kewajiban menegakkan al-Khilâfah al-Islâmiyyah dan Khalîfah yang satu untuk seluruh dunia.

Pertama, Allâh memerintahkan kita mena’ati ulil amri.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنكُمْ ۖ فَإِن تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ۚ ذَ‌ٰلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا

Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allâh dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allâh (Al-Qurân) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allâh dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (QS. al-Nisâ’ [4]: 59)

Ibnu Athiyyah[3] menyatakan bahwa ayat ini merupakan perintah untuk menta’ati Allâh SWT, Rasul-Nya dan para penguasa. Pendapat ini dipegang oleh Abu Hurairah, Ibnu ‘Abbas, Ibn Zaid, dan lainnya, begitu pula jumhur ulama.

Lebih jauh ayat ini juga memerintahkan kita untuk mewujudkan penguasa yang wajib dita’ati. Semua yang dinyatakan Allâh SWT adalah benar. Allâh SWT juga tidak mungkin memerintahkan sesuatu yang tidak bisa atau tidak mungkin kita laksanakan. Dan kewajiban menta’ati ulil amri bisa terwujud jika sosoknya ada. Jika tidak ada, maka tidak bisa. Padahal, itu adalah kewajiban dan tidak mungkin Allâh SWT salah memberikan kewajiban. Maka sebagai konsekuensi kebenaran pernyataan Allâh SWT itu, maka sesuai ketentuan dalâlah al-iltizam, perintah menta’ati ulil amri juga merupakan perintah mewujudkan ulil amri sehingga kewajiban tersebut terlaksana. Maka ayat tersebut juga bermakna, kewajiban mengangkat ulil amri (penguasa).[4]

Dan bukan sembarang penguasa, melainkan penguasa yang mukmin (مِنْكُمْ), dan diangkat untuk menerapkan syari’at Islam. Syaikh Abu Bakar al-Jazairy menegaskan, “Yang dimaksud dengan seruan-Nya yang berbunyi “dan ulil amri di antara kamu” adalah agar kita selalu ta’at dan patuh kepada pemerintah atau penguasa yang beriman… Bentuk keta’atan kepada mereka (penguasa) tidak mutlak, tapi harus sesuai dengan kitab dan sunnah (syari’at Islam).”[5]

Ditegaskan argumentasi poin kedua berikut ini.

Kedua, Allâh SWT mewajibkan kita melaksanakan syari’at Islam dalam setiap aspek kehidupan (kâffah). Allâh berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا ادْخُلُوا فِي السِّلْمِ كَافَّةً وَلَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ ۚ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُّبِينٌ

Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhan, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu. (QS. al-Baqarah [2]: 208)

Imam al-Raziy dalam tafsir-nya menjelaskan kata “udkhuluu fii al-silmi kaaffah” yakni:

أي في شرائع الإسلام كافة، ولا يتمسكوا بشيء من أحكام التوراة اعتقادا له وعملا به، لأنها صارت منسوخة

“Yakni masuklah kedalam aturan-aturan syari’at Islam secara menyeluruh, dan jangan berpedoman terhadap sesuatu pun dari hukum-hukum taurat secara akidah maupun amal., karena syari’atnya sudah dihapus (diganti oleh syari’at Islam-pen.).”

Imam al-Raziy pun menegaskan:

ادخلوا في جميع شرائع الإسلام اعتقادا وعملا

“Masuklah ke dalam seluruh aturan-aturan Islam (al-syarii’ah al-islaamiyyah) secara akidah maupun amal.”

Di sisi lain, frase “khuthuwaat al-syaithaan” dijelaskan para ahli tafsir, di antaranya Imam al-Qurthubi yang berkata:

(خطوات الشيطان) وقال مقاتل: استأذن عبدالله بن سلام وأصحابه بأن يقرؤوا التوراة في الصلاة، وأن يعملوا ببعض ما في التوراة، فنزلت. “ولا تتبعوا خطوات الشيطان” فإن اتباع السنة أولى بعد ما بعث محمد صلى الله عليه وسلم من خطوات الشيطان. وقيل: لا تسلكوا الطريق الذي يدعوكم إليه الشيطان. “إنه لكم عدو مبين” ظاهر العداوة

“(Langkah-langkah syaithan): Muqatil berkata: ‘Abdullah bin ‘Abdissalam dan sahabat-sahabatnya meminta izin (kepada Rasûlullâh ) untuk membaca taurat dalam shalat dan mengamalkan sebagian isi taurat, maka turunlah ayat: “dan janganlah kalian mengikuti langkah-langkah syaithan”. Maka sesungguhnya mengikuti sunnah yang layak (wajib-pen.) diikuti setelah diutusnya Muhammad daripada mengikuti langkah-langkah syaithan. Dan dikatakan: “Janganlah kalian menempuh jalan yang diserukan syaithan kepada kalian.” (Sesungguhnya ia musuh yang nyata bagimu) yakni yang menampakkan permusuhan.”

Dalam banyak kitab tafsir, para ulama ahli tafsir menjelaskan bahwa al-Baqarah ayat 208 turun kepada segolongan ahli kitab (yahudi) yang masuk islam, namun mereka hendak mengagungkan sebagian syi’ar dan syari’at taurat. Maka turun lah ayat yang melarang mengikuti langkah-langkah syaithan dengan mengambil sebagian syari’at taurat yang sudah di nasakh (dihapus oleh syari’at islam) yang berarti meninggalkan sebagian syari’at islam. Di sisi lain taurat adalah kitab samawi yang Allah turunkan kepada Nabi Musa ‘alayhissalam.

Syaikh Abu Bakar Jabir al-Jazairy ketika menjelaskan ayat tersebut berkata, “Atas dasar itu, dapatkah Islam menerima orang-orang yang mengaku muslim tetapi berkata,……. ‘Saya menerima Islam, tetapi Saya tidak setuju dengan syari’at Islam yang menetapkan bahwa hak wanita dalam warisan adalah setengah dari bagian laki-laki.’ Atau ‘Saya mengakui kebenaran Islam, namun saya menolak hukum potong tangan bagi pencuri dan rajam bagi pezina.’? Jawabannya adalah tidak. Islam selamanya tidak akan menerima orang-orang seperti itu. Mereka adalah orang-orang kafir yang akan menghuni neraka selama-lamanya apabila ketika mati belum sempat bertaubat dan masih dalam kekafirannya.”[6]

Al-Imam al-Syatibi menegaskan bahwa syari’at Islam berlaku umum bagi semua orang mukallaf[7] dalam setiap keadaan.[8]

Al-Imam al-Syawkani berkata:

فإن أحكام الشرع لازمة للمسلمين في أي مكان وجدوا، ودار الحرب ليست بناسخة للأحكام الشرعية أو لبعضها

“Sungguh hukum-hukum syara’ itu mengikat bagi kaum Muslim di manapun dia berada dan Dâr al-Harbi[9] tidak bisa menghapuskan hukum-hukum syara’ secara keseluruhan atau sebagian.”[10]

Al-Imam al-Syafi’i menegaskan:

أن الحلال في دار الإسلام حلال في دار الكفر، والحرام في دار الإسلام حرام في دار الكفر

“Bahwa yang halal di dalam Dâr al-Islâm (Negara Islam)halal pula di dalam Dâr al-Kufr, bahwa yang haram di Dâr al-Islâm juga haram di Dâr al-Kufr.”[11]

Syaikhul Islam berkata:

وإذا جنى شخص فلا يجوز أن يعاقب بغير العقوبة الإسلامية

“Apabila ada orang yang melakukan kesalahan, maka tak boleh dihukum dengan selain hukum Islam.”[12]

Para ulama’ sepakat bahwa berhukum dengan hukum kufur adalah haram. Wasilah menuju yang haram adalah haram pula. Hukum ini berlaku baik di Negara Islam (Dâr al-Islâm) maupun Dâr al-kufr. Ketika al-Qur’ân menyebut orang Yahudi dan Nasrani menjadikan pendeta-pendeta mereka sebagai ‘arbâb‘ (QS. al-Tawbah: 31), Adi bin Hatim berkata, “bukankah mereka tidak menyembah pendeta dan rahib-rahib mereka?” Rasûlullâh SAW pun menegaskan: Tapi mereka mengharamkan yang halal dan menghalalkan yang haram. Lalu mereka, orang Nashrani dan Yahudi, mengikuti mereka, maka itulah (pengertian) bahwa mereka beribadah pada pendeta dan rahib mereka.[13]

وَأَنِ احْكُم بَيْنَهُم بِمَا أَنزَلَ اللَّهُ وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ وَاحْذَرْهُمْ أَن يَفْتِنُوكَ عَن بَعْضِ مَا أَنزَلَ اللَّهُ إِلَيْكَ

“Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allâh, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebagian apa yang telah diturunkan Allâh kepadamu. (QS. al-Mâidah [5]: 49)

Ayat di atas, begitu pula QS. al-Mâ’idah [5]: 48, secara tersurat (tekstual/manthûq) memerintahkan Rasul untuk menghukumi dengan apa yang diturunkan Allâh SWT. Kata  pada kalimat mâ anzala Allâh merupakan lafazh ‘âm (umum). Maka ayat di atas bermakna perintah untuk menghukumi sesuai dengan apa-apa yang diturunkan Allâh SWT (syari’at Islam) dan larangan untuk mengikuti hukum atau ajaran yang lain, karena yang lain berasal dari hawa nafsu, yang bisa memalingkan dari apa yang diturunkan Allâh SWT. Maknanya; memalingkan kamu dari sebagian al-Qur’ân, meski amat sepele, dengan menggambarkan kebatilan sebagai kebenaran.[14]

Dalam Tafsir al-Jalalayn disebutkan ayyaftinûka yaitu yudhillûka (menyesatkan kamu (Muhammad SAW)).

Perintah di atas pun berlaku bagi kita, karena berlaku kaidah syar’iyyah:

خِطَابُ الرَّسُوْلِ خِطَابٌ ِلأُمَّتِهِ مَا لَمْ يَرِدْ دَلِيْلٌ يُخَصِّصُ بِهِ

“Seruan kepada Rasul merupakan seruan kepada umatnya selama tidak ada dalil yang mengkhususkan kepada Rasul.”

Di sisi lain, tidak ada dalil yang mengkhususkan seruan Allâh SWT itu hanya untuk Rasul. Diperkuat banyaknya qarînah (indikasi) yang mengindikasikan bahwa perintah tersebut adalah perintah yang tegas.

وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَا أَنزَلَ اللَّهُ فَأُولَـٰئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ

“Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allâh, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.” (QS. al-Mâidah [5]: 44)

وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَا أَنزَلَ اللَّهُ فَأُولَـٰئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ

“Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allâh, maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim.” (QS. al-Mâidah [5]: 45)

Di samping ayat di atas, banyak sekali dalil-dalil syari’at yang menunjukkan kewajiban menerapkan aturan persanksian dalam Islam. Misalnya QS. al-Baqarah [2]: 178 yang menunjukkan wajibnya menegakkan hukum jinayah berupa qishâsh, QS. al-Nûr [24]: 2 yang mewajibkan had jilid bagi pezina (ghayr muhshan), QS. al-Nûr [24]: 3-4 yang mewajibkan had bagi penuduh zina (qadzaf) dan QS. al-Mâ’idah [5]: 38 yang mewajibkan had berupa potong tangan bagi pencuri:

وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْدِيَهُمَا جَزَاءً بِمَا كَسَبَا نَكَالًا مِّنَ اللَّهِ ۗ وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ

Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. al-Mâidah [5]: 38)

Semua ayat-ayat tersebut (di samping dalil-dalil syara’ lainnya) merupakan dalil qath’iy yang pasti keberadaannya (qath’iy al-tsubût) dan pasti penunjukkan maknanya (qath’iy al-dalâlah), sehingga menutup pintu penolakan dan penafsiran kepada makna yang lain, maka penafsiran kepada makna yang lain dalam hal ini merupakan penyimpangan atau kesesatan (inhirâf ‘an al-Islâm). Begitu pula nash-nash syari’at yang merinci masalah jihad, perang (al-qitâl), hubungan luar negeri, dan masalah-masalah mu’amalah. Di sisi lain, Islam sebagaimana ditunjukkan al-Sunnah, menetapkan metode syar’i untuk menerapkan itu semua secara totalitas melalui intitusi negara dan penguasa. Maka, menegakkan Khilâfah Islâm dan mengangkat Khalîfah merupakan kewajiban, sesuai kaidah ushul:

مَا لاَ يَتِمُّ الْوَاجِبُ إِلاَّ بِهِ فَهُوَ وَاجِبٌ

“Suatu kewajiban tidak akan bisa dilaksanakan dengan sempurna, kecuali dengan adanya sesuatu yang lain, maka hukum sesuatu yang lain itu pun menjadi wajib.”

Sedangkan dalil-dalil al-Sunnah diantaranya:

Imam (penguasa) dalam Islam itu sebagaimana sabda Rasulullah SAW:

إِنَّمَا الْإِمَامُ جُنَّةٌ يُقَاتَلُ مِنْ وَرَائِهِ وَيُتَّقَى بِهِ

“Seorang imam itu laksana perisai, dimana (orang-orang) akan berperang di belakangnya (mendukung) dan berlindung (dari musuh) dengan (kekuasaan) nya.” (HR. Muslim, Ahmad, Abû Dawud & al-Nasa’i)

Hadits di atas menunjukkan ikhbâr (informasi) yang mengandung pujian, yakni imam laksana perisai (الإمام جنة). Jika adanya “hal yang dipuji” tersebut menjadi sebab tegaknya hukum Islam, sebaliknya apabila hal tersebut tidak ada menyebabkan hukum Islam tidak tegak, maka pujian tersebut merupakan qarînah jazîmah (indikasi tegas) bahwa “hal yang dipuji” itu hukumnya adalah wajib. Yakni al-Khilâfah al-Islâmiyyah. Begitu pula pahami hadits berikut ini:

مَنْ مَاتَ وَلَيْسَ فِي عُنُقِهِ بَيْعَةٌ مَاتَ مِيتَةً جَاهِلِيَّةً

“Barangsiapa yang mati sedangkan dipundaknya tiada bai’at (kepada Khalîfah), maka ia mati seperti mati jahiliyyah.” (HR. Muslim)

Bai’at[16] secara terminologis adalah hak umat dalam melaksanakan akad penyerahan kekhilafahan. Para ulama menegaskan bahwa bai’at merupakan metode syar’i untuk mengangkat Khalîfah[17]. Dr. Mahmud al-Khalidi menjelaskan bahwa hadits ini mendorong orang agar berbai’at dan mengancam orang yang meninggalkannya. Dengan demikian, hadits ini menunjukkan wajibnya berbai’at kepada Imam (Khalifah).[18] Sebab, menolak berbai’at merupakan kemaksiatan kepada Allâh.[19]

Al-Imam al-Nawawi berkata: “Yakni, dia mati seperti keadaan matinya orang-orang jahiliyyah, dimana hidup mereka kacau, dan tak memiliki seorang pemimpin.”[20]

Al-Hafizh al-Imam Ibnu Hajar al-‘Asqalaniy berkata: “Mereka hidup dalam kesesatan, dan mereka mati di atas kesesatan. Namun tidak dimaksudkan bahwa ia mati dalam kekafiran, tetapi ia mati dalam kemaksiatan.”[21]

Hadits di atas menunjukkan dalil (penunjukkan) yang jelas, kewajiban menegakkan Khilafah dan mengangkat Khalîfah sehingga terpenuhi kewajiban bai’at, sebagaimana dijelaskan para ‘alim ‘ulama.

Dalil-dalil di atas, diperkuat dalil Ijmâ’ Sahabat, yakni ketika Rasûlullâh SAW wafat, para sahabat رضي الله عنهم mendahulukan pengangkatan Khalîfah Abu Bakar sebelum menguburkan jenazah Rasûlullâh SAW, padahal menguburkan jenazah adalah suatu kewajiban.

Dengan demikian tidak mengherankan apabila para ulama dari berbagai madzhab, termasuk para Imam Madzhab yang empat[22], bersepakat atas kewajiban mengangkat Khalîfah (Nasb al-Khalîfah), menegakkan Khilâfah (Iqâmah al-Khilâfah), apabila keduanya tidak ada.[23]

Imam al-Hafidz Ibn Hazm al-Andalusi رحمه الله mendokumentasikan Ijmâ’ Ulama bahwa (keberadaan) Imamah itu fardhu[24]:

… واتفقوا أن الامامة  فرض وانه لا بد من امام

“ …Mereka (para ‘ulama’) sepakat bahwa imamah itu fardhu dan adanya Imam itu merupakan  suatu keharusan…”

Imam Abul Qasim al-Naisaburi al-Syafi’i رحمه الله berkata[25]:

… أجمعت الأمة على أن المخاطب بقوله { فاجلدوا } هو الإمام حتى احتجوا به على وجوب نصب الإمام فإن ما لا يتم الواجب إلا به فهو واجب.

“…umat telah sepakat bahwa yang menjadi obyek seruan (“maka jilidlah”) adalah imam. Dengan demikian mereka berhujjah atas wajibnya mengangkat imam. Sebab, apabila suatu kewajiban itu tidak sempurna tanpa adanya sesuatu tersebut maka ada sesuatu tersebut menjadi wajib pula.”

Imam ‘Alauddin al-Kasani al-Hanafi رحمه الله berkata[26]: “…dan karena sesungguhnya mengangkat imam yang agung itu adalah fardhu. (ini) tidak ada perbedaan pendapat diantara ahlul haq. Dan tidak diperhatikan—perbedaan dengan sebagian Qadariyyah—karena Ijmâ’ shahabat atas hal tersebut, serta urgensitas kebutuhan terhadap imam yang agung tersebut. Untuk keteritakan terhadap hukum. Untuk menyelamatkan orang yang didzalimi dari orang yang dzalim. Untuk memutuskan perselisihan yang merupakan obyek yang menimbulkan kerusakan, dan kemaslahatan-kemaslahatan yang lain yang memang tidak akan tegak kecuali dengan adanya imam… “

Imam al-Hafizh Abu Zakaria al-Nawawi رحمه الله berkata[27]:

لا بد للأمة من إمام يقيم الدين وينصر السنة وينتصف للمظلومين ويستوفي الحقوق ويضعها مواضعها

“Adalah suatu keharusan bagi umat adanya imam yang menegakkan agama dan yang menolong sunnah serta yang memberikan hak bagi orang yang didzalimi serta menunaikan hak dan menempatkan hal tersebut pada tempatnya.”

Ketika Imam Fakhruddin Al-Razi رحمه الله, menjelaskan firman-Nya pada Surah Al-Ma’idah ayat 38, beliau menegaskan, “… para Mutakallimin ber-hujjah dengan ayat ini bahwa wajib atas umat untuk mengangkat seorang imam yang spesifik untuk mereka. Dalilnya adalah bahwa Dia Ta’ala mewajibkan di dalam ayat ini untuk menegakkan had atas pencuri dan pelaku zina. Maka adalah merupakan keharusan adanya seseorang yang melaksanakan seruan tersebut. Sungguh umat telah sepakat bahwa tidak seorangpun dari rakyat yang boleh menegakkan had atas pelaku kriminal tersebut. Bahkan mereka telah sepakat bahwa tidak boleh (haram) menegakkan had atas orang yang merdeka pelaku kriminal kecuali oleh imam. Karena itu ketika taklif tersebut sifatnya pasti (jazm) dan tidak mungkin keluar dari ikatan taklif ini kecuali dengan adanya imam, dan ketika kewajiban itu tidak tertunaikan kecuali dengan sesuatu, dan itu masih dalam batas kemampuan mukallaf maka (adanya) imam adalah wajib. Maka adalah suatu yang pasti qath’inya atas wajibnya mengangkat imam, seketika itu pula… “[28]

Khulashatul qaul, Islam menegaskan bahwa mengangkat Imam/al-Khalîfah (nasb al-Khalîfah) dan menegakkan Imamah/al-Khilâfah al-Islâmiyyah (iqâmah al-Khilâfah) yang tegak sesuai manhaj kenabian merupakan kewajiban.

والله أعلم بالصواب


[1] Lihat pembahasan yang sangat bagus dalam kitab Nizhâm al- Hukmi fî Islâm, buah tangan al-‘Allamah al-Imam Taqiyuddin al-Nabhani. Dan penjelasan para ‘ulama mu’tabar dalam kitab-kitab fikih.

[2] Namun, pengambilan pengertian dari nash syara’ melalui kedua pendekatan tersebut, tidak boleh keluar dari ketentuan pengambilan pengertian dalam bahasa arab.

[3]  al-Muharrir al-Wajîz (IV/158), Ibnu Athiyyah.

[4] Ayat ini memerintahkan keta’atan kepada Allah, Rasulullah saw dan kepada pemimpin, dimana hukum keta’atan tersebut adalah wajib. (Lihat: al-Qawâ’id fî Nizhâm al-Hukmi, al-Khaalidi (hlm. 239)).

[5] Syaikh Abu Bakar Jabir Al-Jazairy. Nidâ’âtu al-Rahmân li Ahli al-Imân.

[6] Lihat: Syaikh Abu Bakar Jabir Al-Jazairy dalam Nidâ’âtu al-Rahmân li Ahli al-Imân.

[7] Orang yang sudah dikenai taklif atau beban kewajiban melaksanakan syari’at.

[8] Dalam kitab al-Muwafaqat, karya al-Imam al-Syathibi.

[9] Negara yang memerangi Islam.

[10] Lihat: alSail al-Jarâr, 4/152.

[11] Lihat: al-Umm, IV/160.

[12] Lihat: Majmû’ al-Fatâwâ Ibn Taimiyyah, 28/15.

[13] Lihat: Tafsîr Ibn Katsîr (II/66).

[14] Lihat: Tafsîr Abu Syu’ud (II/251).

[15] Lihat: Irsyâd al-Fuhûl, Imam al-Syawkani.

[16] Kata bai’at secara bahasa adalah lafal yang memiliki banyak arti (musytarak), lihat: al-Bai’at fî Fikr al-Siyâsiy al-Islâmiy karya Dr. Mahmud al-Khalidi.

[17] Lihat: Nihâyatul Muhtaj Ilâ Syahril Minhaj (VII/29), al-Ahkâm al-Sulthaniyyah karya Imam al-Mawardi (hlm. 15), al-Ahkâm al-Sulthaniyyah karya Abu Ya’la (hlm. 24), al-Bai’at fî Fikr al-Siyâsiy al-Islâmiy karya Dr. Mahmud al-Khalidi.

[18] Lihat: al-Bai’at fî Fikr al-Siyâsiy al-Islâmiy karya Dr. Mahmud al-Khalidi, Haqîqatul Islâm (hlm. 46).

[19] al-Bai’at fî Fikr al-Siyâsiy al-Islâmiy.

[20] Lihat: Shahîh Muslim bi Syarh al-Nawawi (XII/237).

[21] Lihat: Fat-h al-Bârî’ bi Syarh al-Bukhârî (XVI/2)

[22] Kesatuan Khilafah untuk seluruh kaum muslimin di dunia sesungguhnya telah disepakati oleh empat imam madzhab, yakni Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam al-Syafi’i, dan Imam Ahmad, rahimahumullah (Lihat Abdurrahman Al-Jaziri, Al-Fiqh ‘Alâ Al-Madzâhib Al-Arba’ah, V/308; Muhammad ibn Abdurrahman al-Dimasyqi, Rahmatul Ummah fi Ikhtilaf Al-A`immah, hal. 208)

[23] Lihat: al-Fashl (Imam Ibnu Hazm), Nayl al-Authâ(Imam al-Syaukani), al-Siyâsah al-Syar’iyyah (Syaikh Ibn Taimiyyah), al-Ahkâm al-Sulthaniyyah (Imam al-Mawardi), dan lain-lain.

[24] Imam Al-Hafidz Abu Muhammad Ali bin Hazm Al-andalusi Adz-Dzahiri, Maratibul Ijma’ , juz 1 hal 124

[25] Imam Abul Qasim Al-hasan bin Muhammad bin Habib bin Ayyub al-Syafi’I al-Naisaburi, TafsîAlNaisaburi, juz 5 hal 465.

[26] Imam ‘Alauddin Al-Kassani Al-Hanafi, Bada’iush Shanai’ fî Tartibis Syarai’, juz 14 hal. 406.

[27] Imam Al-Hafidz Abu Zakaria Yahya bin Syaraf bin Marwa Al-Nawawi, Raudhatuth Thâlibîn wa Umdatul Muftin, juz III hal 433).

[28] Imam Fakhruddin al-Razi, Mafâtihul Ghayb fî alTafsîr, juz 6 hal. 57 dan 233

Tuntutan Syari’at Islam: Ilmu Tajwid dalam Membaca Al-Qur’ân

Al-Quran-Al-Kariim

Definisi Ilmu Tajwid

وَهُـوَ إِعْـطَـاءُ الْـحُـرُوفِ حَقَّـهَـا

مِــنْ صِـفَـةٍ لَـهَـا وَمُستَحَـقَّـهَـا

“Ilmu yang memberikan pengertian tentang hak-hak huruf dari sifat huruf dan mustahaqqul hurûf.”[1]

Pokok Bahasan

  1. Haqqul Hurûf (حق الحروف): sifat-sifat huruf dan tempat-tempat keluarnya huruf.
  2. Mustahaqqul Hurûf (مستحق الحروف): meliputi hukum-hukum baru (‘aridhah) semisal izh-har, ikhfa’, iqlab, idhgham, mad, waqaf, tafkhim, tarqiq, qalqalah, ghunnah,-.

Wajib Membaca Al-Qur’ân dengan Tajwidnya

Saat membaca al-Qur’ân dalam terapi ruqyah, wajib pula diperhatikan pengamalan tajwidnya, berdasarkan dalil al-Qur’ân dan al-Sunnah.

  • Dalil-Dalil Al-Qur’ân

 وَرَتِّلِ الْقُرْآنَ تَرْتِيلًا

“…Dan bacalah al-Qur’ân itu dengan perlahan-lahan.(QS. Muzzammil [73]: 4)

Melalui ayat yang agung ini, Allâh SWT memerintahkan kita membaca al-Qur’ân secara perlahan sehingga memudahkan kita memahami dan merenungi al-Qur’ân. Sebagaimana yang dicontohkan oleh Rasûlullâh SAW, beliau membaca panjang ayat yang seharusnya dibaca panjang (madd), dan membaca pendek ayat yang seharusnya dibaca pendek.

وَقُرْآنًا فَرَقْنَاهُ لِتَقْرَأَهُ عَلَى النَّاسِ عَلَىٰ مُكْثٍ وَنَزَّلْنَاهُ تَنْزِيلًا

Dan al-Qur’ân itu telah Kami turunkan dengan berangsur-angsur agar kamu membacakannya perlahan-lahan kepada manusia dan Kami menurunkannya bagian demi bagian.” (QS. Al-Isrâ’ [17]: 106)

لَا تُحَرِّكْ بِهِ لِسَانَكَ لِتَعْجَلَ بِهِ

“Janganlah kamu gerakkan lidahmu untuk (membaca) al-Qur’ân karena hendak cepat-cepat (menguasai)nya.” (QS. Al-Qiyâmah [75]: 16)

  • Dalil Al-Sunnah

Salah satu dalil hadîts tentang tajwid ialah hadîts dari Qatadah r.a. ia berkata, Anas r.a. pernah ditanya:

كَيْفَ كَانَتْ قِرَاءَةُ النَّبِيِّ فَقَالَ كَانَتْ مَدًّا ثُمَّ قَرَأَ { بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ }يَمُدُّ بِبِسْمِ اللهِ وَيَمُدُّ بِالرَّحْمَنِ وَيَمُدُّ بِالرَّحِيمِ

“Bagaimanakah bacaan (al-Qur’ân) Nabi SAW?” Ia pun menjawab, “Beliau membaca dengan madd (dipanjangkan).” Lalu Anas r.a. mencontohkan, “Bismillâhirrahmânirrahîm” Anas r.a. menjelaskan, “Beliau SAW memanjangkan bacaan, ‘Bismillâh’ dan juga memanjangkan bacaan, ‘arrahmân’ serta bacaan, ‘arrahîm’.” (HR. al-Bukhârî)

Pendapat Para Ulama Berdasarkan Dalil-Dalil Syar’i

Syaikh Muhammad al-Mahmud menegaskan:

اَلتَّجْوِيْدُ لاَخِلاَفَ فِيْ اَنَّهُ فَرْضُ كِفَايَةٍ وَالْعَمَلُ بِه فَرْضُ عَيْنٍ عَلٰى كُلِّ مُسْلِمٍ وَمُسْلِمَةٍ مِنَ اْلمُكَلِّفِيْنَ

“Tidak ada perbedaan pendapat bahwasanya (mempelajari) ilmu tajwid hukumnya fardhu kifayah (baca: ilmu tajwid sebagai disiplin ilmu), sementara mengamalkannya (saat membaca al-Qur’ân) hukumnya fardhu ‘ain bagi setiap muslim dan muslimah yang telah mukallaf.”[2]

Ada yang bertanya, “Apabila ada seseorang yang secara sengaja membaca al-Qur’ân dengan menyalahi ketentuan-ketentuan pembacaan yang semestinya (tak menerapkan ilmu tajwid) tanpa ada suatu udzur, haramkah hukumnya atau makruh saja?” Imam al-Nawawi menjawab, “Hukumnya haram.”[3]

Imam Ibn al-Jazari dalam sya’irnya menuturkan:

وَالأَخْـذُ بِالتَّـجْـوِيـدِ حَـتْــمٌ لازِمُ

مَــنْ لَــمْ يُـجَـوِّدِ الْـقُـرَآنَ آثِــمُ

لأَنَّــهُ بِـــهِ الإِلَـــهُ أَنْـــزَلاَ

وَهَـكَـذَا مِـنْـهُ إِلَـيْـنَـا وَصَـــلاَ

“Membaca al-Qur’ân dengan tajwid, hukumnya wajib.

Siapa saja yang membaca al-Qur’ân tanpa tajwid, hukumnya dosa.

Karena sesungguhnya Allâh menurunkan al-Qur’ân berikut tajwidnya.

Demikianlah yang sampai kepada kita dari-Nya.”[4]

Para ulama qira’at telah sepakat bahwa membaca al-Qur’ân tanpa tajwid merupakan suatu لحن (kesalahan)[5]. Imam Jalaluddin al-Suyuthi رحمه الله menjelaskan bahwa setidaknya ada dua macam لحن yang mungkin terjadi pada orang yang membaca al-Qur’ân tanpa tajwid;

  • al-Lahn al-Jâliy (اللحن الجلي)

Yakni kesalahan yang nyata pada lafazh sehingga kesalahan tersebut dapat diketahui oleh para ulama Qira’at, maupun orang Islam pada umumnya. Misalnya mengganti huruf dengan huruf lain (إبدال حرف بحرف), mengganti harakat dengan harakat lain (إبدال حركة بحركة), mengganti sukun dengan harakat (إبدال سكن بحركة) atau menambah atau mengurangi huruf (زيادة أو نقصان الحروف). Mengubah makna atau tidak, hukumnya haram.

Di antara contoh lahn ini, apabila seorang qari’ membaca surat al-Fatihah:

Pertama, Mengganti huruf ع dibaca madd pada kata (العلمين) yang berarti ‘Alam Semesta’, dengan huruf أ yang dibaca madd (الألمين) yang berarti ‘Penyakit’. Kedua, Menghilangkan bacaan tasydîd ي dan memendekkan bacaan ا pada kalimat (إياك). Yang seharusnya dibaca (إِيَّاكَ), diubah menjadi (إِيَكَ), mengubah makna yang tadinya kepada Allah, jadi kepada sinar matahari-Nya.

Al-‘Alim al-Syaikh al-Nawawi al-Bantani berfatwa dalam Syarh Sullam al-Munâjâh ketika membahas bacaan al-Fâtihah,

لَوْ تَرَكَ التَّشْدِيْدَ مِنْ إِيَّاكَ عَامِدًا عَالِمًا مَعْنَاهُ كَفَرَ

“Namun jika dia meninggalkan tasydîd dari kalimat Iyyâka, dengan sengaja (serta) mengetahui artinya, maka orang tersebut menjadi kafir.”

Beliau menjelaskan, “Karena sesungguhnya kalimat al-Iyya dengan dibaca kasroh hamzah-nya dan diringankan ya-nya (tak dibaca tasydîd-nya) dan memendekkan bacaan alif (menghilangkan madd), adalah bermakna ‘sinar matahari’. Maka (penyimpangan seperti itu), menjadikan seseorang seakan berkata, ‘Kami menyembah sinar matahari-Mu.’”

  • al-Lahn al-Khâfiy (اللحن الخفي).

Yakni kesalahan yang tersembunyi pada lafazh. Kesalahan ini hanya dapat diketahui oleh para ulama Qira’at atau kalangan tertentu yang mendalami Qira’at. Misalnya menggetarkan (takrîr) huruf ر (ra’) secara berlebihan atau sebaliknya.

Tujuan Mempelajari Ilmu Tajwid

Syaikh Muhammad al-Mahmud berkata:

غَايَتُهُ بُلُوْغُ النِّهَايَةِ فِي اِتْقَانِ لَفْظِ الْقُرْآنِ عَلَى مَاتُلُقِّيَ مِنَ الْحَضْرَةِ النَّبَوِيَّةِ اَلاَفْصَحِيَّةِ وَقِيْلَ غَايَتُهُ صَوْنُ اللِّسَانِ عَنِ الْخَطَاءِ فِي كِتَابِ اللهِ تَعَالَى

“Tujuan (memahami ilmu tajwid-pen.) ialah agar dapat membaca ayat-ayat al-Qur’ân secara betul (fasih) sesuai dengan yang diajarkan oleh Nabi SAW. Dengan kata lain, agar dapat memelihara lisan dari kesalahan-kesalahan ketika membaca kitab Allâh SWT.”[6]

Sunnah Membaca Al-Qur’ân dengan Suara yang Merdu

Adapun menghiasi bacaan al-Qur’ân dengan suara merdu, merupakan amalan yang mandub (hukumnya sunnah) berdasarkan hadîts, dari Abu Hurairah bahwa Ia mendengar Rasûlullâh SAW bersabda:

مَا أَذِنَ اللهُ لِشَيْءٍ مَا أَذِنَ لِنَبِيٍّ حَسَنِ الصَّوْتِ يَتَغَنَّى بِالْقُرْآنِ يَجْهَرُ بِهِ

“Allâh tidak menaruh perhatian terhadap sesuatu, seperti perhatian-Nya terhadap Nabi ketika melagukan al-Qur’ân dengan suara yang indah dan nyaring.” (HR. Muslim no. 1319)[7]

زَيِّنُوا الْقُرْآنَ بِأَصْوَاتِكُمْ

Hiasilah al-Qur’ân dengan suara-suara kalian.” (HR. Ahmad)

Namun, sangat disayangkan apabila ada orang yang membaca al-Qur’ân dengan suara yang merdu, tapi melalaikan penerapan tajwidnya. Misalnya membaca panjang yang seharusnya dibaca pendek (atau sebaliknya) karena disesuaikan dengan alunan suara, ini termasuk cara al-tathrib (التطريب) yang dilarang syari’at. Yang perlu diperhatikan adalah skala prioritas. Namun alangkah baiknya membaca al-Qur’ân sesuai dengan kaidah tajwidnya (fardhu ‘ain) dan dilantunkan dengan suara yang merdu (sunnah).

Peringatan Penting! Cara Membaca Al-Qur’ân yang Dilarang

Syaikh Muhammad Makkiy Nashr merinci beberapa cara membaca atau tingkah laku yang menyimpang dari tujuan membaca al-Qur’ân.

  • Al-Tarqish (الترقيص)

Ketika membaca al-Qur’ân sengaja berhenti pada huruf mati namun lantas dihentikan secara tiba-tiba, seakan-akan melompat atau berjalan cepat meliuk-liuk seperti penari.

  • Al-Tahzin (التحزين)

Membaca al-Qur’ân dengan mimik atau gaya yang dibuat sedih atau hampir menangis dengan tujuan semata-mata menarik perhatian pendengar.

  • Al-Tar’id (الترعيد)

Mengalunkan suara yang terlalu bergetar layaknya orang yang kedinginan atau kesakitan.

  • Al-Tathrib (التطريب)

Melagukan al-Qur’ân sehingga membaca panjang (mad) tak pada tempatnya atau memanjangkan yang seharusnya dibaca pendek karena disesuaikan dengan lagunya.

  • Al-Tarji’ (الترجيع)

Membaca al-Qur’ân dengan tempo naik turun; rendah kemudian tinggi, lantas merendah  dan meninggi lagi dalam satu bacaan panjang (mad).

  • Al-Tahrif (التحريف)

Membaca al-Qur’ân bersamaan beberapa orang (koor) suatu ayat yang panjang dengan bergantian berhenti bernafas, sehingga jadilah ayat yang panjang itu bacaan yang tak terputus-putus.

Termasuk bacaan yang terlarang adalah bacaan syadz, yakni bacaan yang menyalahi bacaan masyhur yang telah disepakati ke-mutawattir-annya (qira’at sab’ah). Imam al-Nawawi berkata, “Tidak boleh (haram) membaca al-Qur’ân dengan bacaan yang syadz, baik dalam shalat maupun di luar shalat.”[8]

Dalam kitab Fatwa al-‘Allamah al-Imam al-Nawawi dikisahkan: “Sebagian orang jahil di Damaskus membaca al-Qur’ân atas jenazah-jenazah dengan bacaan yang dipanjang-panjangkan suaranya, merusak hukum bacaan dan melagukannya secara berlebihan, juga memasukkan huruf-huruf tambahan dalam bacaan, dan lain-lain. Tercelakah perbuatan itu? Imam al-Nawawi menjawab, “Perbuatan itu sangat mungkar, tercela, serta keji. Hukumnya haram berdasarkan Ijma’ para ‘ulama.” Imam al-Mawardi dan lainnya meriwayatkan ijma’ ulama tentang haramnya perbuatan tersebut. Ia berpendapat bahwa para pemegang pemerintahan harus melarang mereka serta memberikan sanksi ta’zir kepada para pelakunya dan menyuruh mereka bertaubat. Dan setiap mukallaf wajib mengingkari dan menentang perbuatan tersebut dengan sekuat tenaga.”[9]

Beragam bentuk cara membaca al-Qur’ân yang terlarang, dapat dilihat dalam kitab Nihâyatul Qaulil Mufîd dan Haqqul Tilawah.

 


[1] Imam Ibn al-Jazari رحمه الله dalam Matan al-Jazariyyah.

[2] Lihat: Hidâyatul Mustafid fî Ahkâm al-Tajwîd (hlm. 5) dan Nihâyatul Qaulil Mufîd (hlm. 7)

[3] Lihat: Fatâwâ al-Imâm al-Nawawi al-Musammâ al-Masâ’il al-Mantsûrah.

[4] Lihat: Matan al-Jazariyyah, bab. al-Tajwîd, karya Syaikh Syamuddin Muhammad bin al-Jazary.

[5] Lihat: al-Itqân fî ‘Ulûm al-Qur’ân, Juz. I, hlm. 102, karya Imam al-Suyuthi.

[6] Lihat: Hidâyatul Mustafid fî Ahkâm al-Tajwîd (hlm.4) & Nihâyatul Qaulil Mufîd (hlm.13).

[7] Imam Muslim, meriwayatkan hadits seperti ini melalui jalur-jalur lainnya. Lihat: Shahîh Muslim.

[8] Lihat: Fatâwâ al-Imâm al-Nawawi al-Musammâ al-Masâ’il al-Mantsûrah.

[9] Ibid.

Klarifikasi Seputar Penolakan Hizbut Tahrir dan Amirnya atas Kritik dan Koreksi

Jawab

ata abu-alrashtah

بسم الله الرحمن الرحيم

جواب سؤال حول رفض حزب التحرير وأميره الانتقادات والتصحيحات

إلى Muafa Abu Haura

السؤال:

السلام عليكم ورحمة الله

هل حقا ما اشتهر بإندونيسيا أن حزب التحرير وأميره يرفض الانتقادات والتصحيحات والمناقشات العلمية حتى قيل: إذا أردت أن تغير حزب التحرير فلا بد من أن تكون أميره أولا!… نريد ان نتناقش عن موضوعات شتى تتعلق بالحكم الشرعي، فكر إسلامي، أشياء إدارية وغير ذلك.

الجواب:

وعليكم السلام ورحمة الله وبركاته

إننا نرحب بأي نقاش هادف على أن يكون مبنياً على ما ورد في كتبنا من أفكار وأحكام… وليس ما قيل عنا في كتب أخرى من افتراءات… أي أننا نقبل أن تقول: جاء في كتابنا كذا…، وبعد ذلك قل ما شئت من سؤال عليه أو انتقاد له، ونحن نجيبك بإذن الله، لكن لا نقبل إضاعة الوقت في نقل ما افتراه علينا بعض الحاقدين على الإسلام، فتسألنا عنه كأن تقول: جاء في كتاب فلان أنكم كذا وكذا… فهذا ما لا نحب أن نضيع الوقت فيه، بل نكل أمر المفترين إلى العزيز القهار.

وكذلك فإنا لا نناقش الأمور الإدارية التكتلية لأن هذه مكانها غير هذه الصفحة.

إننا يا أخي لم نضع في كتبنا كلمة إلا بعد دراسة مستوفاة بالأدلة وبوجه الاستدلال… لهذا فنحن على استعداد للمناقشة فيها والجواب على أي استفسار حولها.

أخوكم عطاء بن خليل أبو الرشتة

14 رجب 1434هـ
24 أيار/مايو 2013

 TERJEMAH:

Jawab Soal Seputar Penolakan Hizbut Tahrir dan Amirnya atas Berbagai Kritik dan Koreksi

 بسم الله الرحمن الرحيم

(Rangkaian Jawaban asy-Syaikh al-‘Alim ‘Atha’ bin Khalil Abu ar-Rasytah Amir Hizbut Tahrir atas Berbagai Pertanyaan di Akun Facebook Beliau)

 Kepada Muafa Abu Haura

Pertanyaan:

السلام عليكم ورحمة الله

“Apakah benar berita yang disyi’arkan di Indonesia bahwa Hizbut Tahrir dan amirnya menolak berbagai kritik, koreksi dan diskusi ilmiah hingga dikatakan: Jika Anda ingin mengubah Hizbut Tahrir, maka Anda harus jadi amirnya terlebih dahulu!”

“Kami ingin mendiskusikan topik-topik berkaitan dengan hukum syara’, pemikiran islami, permasalahan administratif dan lain sebagainya.”

Jawab:

وعليكم السلام ورحمة الله وبركاته

“Kami menyambut baik diskusi apapun yang berarti dan berguna dengan dasar dibangun di atas apa yang dinyatakan di buku-buku kami, baik pemikiran maupun hukum … dan bukan yang dikatakan tentang kami di buku-buku lain di antara hal-hal yang dibuat-buat … Artinya kami menerima dikatakan: di buku kami dikatakan demikian … Dan setelah itu, silahkan Anda katakan apa yang Anda inginkan, baik pertanyaan terhadapnya atau kritik atasnya, dan kami akan menjawabnya, dengan izin Allah. Akan tetapi kami tidak menerima untuk menyia-nyiakan waktu dalam mengutip apa yang dituduhkan terhadap kami oleh sebagian orang yang dengki terhadap Islam, lalu Anda tanyakan tentangnya kepada kami seperti Anda katakan: di buku Fulan dikatakan bahwa Anda begini dan begitu… Ini sesuatu yang tidak kami sukai untuk menyia-nyiakan waktu membahasnya, sebaliknya kami serahkan urusan orang-orang yang membuat-buat kebohongan itu kepada Zat yang Maha Perkasa dan Maha Mengalahkan.”

“Demikian juga kami tidak mendiskusikan perkara-perkara administratif kepartaian, sebab tempatnya bukan di laman ini.”

“Kami ya Akhi, tidak menempatkan di buku kami kecuali setelah dikaji secara cukup dengan dalil-dalil dan arah istidlalnya … Untuk itu kami siap berdiskusi tentangnya dan menjawab atas permintaan penjelasan apapun seputarnya.”

Saudaramu

‘Atha’ bin Khalil Abu ar-Rasytah

14 Rajab 1434

24 Mei 2013

Khalifah: Wajib Satu untuk Seluruh Dunia pada Satu Masa (Qawl Imam al-Mawardi)

267818_546059825416217_341836033_n

-Kajian Kitab Ringkas: Aadaab al-Dunyaa’ wa al-Diin, Imam ‘Ali bin Muhammad bin Habib al-Mawardi al-Syafi’i (Imam al-Mawardi)-

Download Kitab:

أدب الدنيا والدين

اداب الدنيا والدين

Di antara perbedaan Islam dengan konsep-konsep politik jahiliyyah (diantaranya Demokrasi) adalah dalam masalah kepemimpinan. Berbeda dengan Demokrasi, Islam tidak memperbolehkan banyaknya pemimpin (Khalifah) lebih dari satu pada satu masa, yang menggambarkan perpecahan umat ini.

Imam al-Mawardi -hafizhahullaah- menuturkan:

فَأَمَّا إقَامَةُ إمَامَيْنِ أَوْ ثَلاَثَةٍ فِي عَصْرٍ وَاحِدٍ، وَبَلَدٍ وَاحِدٍ فَلاَ يَجُوزُ إجْمَاعًا

“Adapun mengangkat dua orang penguasa atau tiga orang (atau lebih) dalam satu masa dan satu negeri maka tidak diperbolehkan secara ijma’.”

Lalu Imam al-Mawardi pun mengungkapkan pendapat kelompok syadz -kontroversial-, yang memperbolehkan berbilangnya khalifah dalam rangka membantahnya:

فَأَمَّا فِي بُلْدَانَ شَتَّى وَأَمْصَارٍ مُتَبَاعِدَةٍ فَقَدْ ذَهَبَتْ طَائِفَةٌ شَاذَّةٌ إلَى جَوَازِ ذَلِكَ؛ لِأَنَّ الامَامَ مَنْدُوبٌ لِلْمَصَالِحِ. وَإِذَا كَانَ اثْنَيْنِ فِي بَلَدَيْنِ أَوْ نَاحِيَتَيْنِ كَانَ كُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا أَقْوَمَ بِمَا فِي يَدَيْهِ، وَأَضْبَطَ لِمَا يَلِيهِ. وَلِأَنَّهُ لَمَّا جَازَ بَعْثَةُ نَبِيَّيْنِ فِي عَصْرٍ وَاحِدٍ وَلَمْ يُؤَدِّ ذَلِكَ إلَى إبْطَالِ النُّبُوَّةِ، كَانَتْ الامَامَةُ أَوْلَى وَلاَ يُؤَدِّي ذَلِكَ إلَى إبْطَالِ الامَامَةِ.

Adapun dalam konteks negeri yang beragam dan wilayah yang berjauhan, maka satu golongan yang syadz (tidak dikenal, kontroversial) memperbolehkannya, (dengan alasan) karena penguasa merupakan duta (penolong umat-pen) untuk mewujudkan berbagai kemaslahatan. Dan (diasumsikan) jika ada dua penguasa dalam dua negeri atau dua bagian dimana setiap pemimpin dari dua pihak ini bisa lebih kokoh dengan kekuasaan yang ada di tangannya, dan lebih terkontrol dengan apa yang ada di sisinya (daripada kekuasaan berada dalam satu orang pemimpin-pen.), dan dikarenakan bolehnya pengutusan dua orang Nabi dalam satu masa dan tidak berdampak pada batalnya kenabian, maka kepemimpinan lebih memerlukan hal itu dan tidak lantas merusak kepemimpinan tersebut.

Imam al-Mawardi lantas mengoreksinya dan menjelaskan:

وَذَهَبَ الْجُمْهُورُ إلَى أَنَّ إقَامَةَ إمَامَيْنِ فِي عَصْرٍ وَاحِدٍ لاَ يَجُوزُ شَرْعًا لِمَا رُوِيَ عَنْ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم أَنَّهُ قَالَ: {إذَا بُويِعَ أَمِيرَانِ فَاقْتُلُوا أَحَدَهُمَا}. وَرُوِيَ عَنْ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم أَنَّهُ قَالَ: {إذَا وَلَّيْتُمْ أَبَا بَكْرٍ تَجِدُوهُ قَوِيًّا فِي دِينِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ ضَعِيفًا فِي بَدَنِهِ. وَإِذَا وَلَّيْتُمْ عُمَرَ تَجِدُوهُ قَوِيًّا فِي دِينِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ قَوِيًّا فِي بَدَنِهِ، وَإِنْ وَلَّيْتُمْ عَلِيًّا تَجِدُوهُ هَادِيًا مَهْدِيًّا}. فَبَيَّنَ بِظَاهِرِ هَذَا الْكَلاَمِ أَنَّ إقَامَةَ جَمِيعِهِمْ فِي عَصْرٍ وَاحِدٍ لاَ يَصِحُّ، وَلَوْ صَحَّ لاَشَارَ إلَيْهِ، وَلَنَبَّهَ عَلَيْهِ.

“Dan mayoritas ulama mengadopsi pendapat bahwa mengangkat dua orang penguasa dalam satu masa tidak diperbolehkan secara syar’i berdasarkan apa yang diriwayatkan dari Nabi SAW bahwa beliau bersabda: “Jika diangkat dua orang pemimpin maka bunuhlah salah satunya (yang terakhir dari keduanya-pen.).” Dan diriwayatkan dari Nabi SAW bahwa beliau bersabda: “Jika kalian mengangkat Abu Bakr menjadi pemimpin maka kalian temukan dirinya kuat dalam Din Allah dan lemah fisiknya, dan jika kalian mengangkat ‘Umar menjadi pemimpin maka kalian temukan dirinya kuat dalam Din Allah dan kuat fisiknya, dan jika kalian mengangkat ‘Ali sebagai pemimpin maka akan kalian temukan bahwa ia adalah orang yang menyampaikan petunjuk dan dianugerahi petunjuk.”  Maka penjelasan dengan zhahir hadits ini bahwa mengangkat mereka semua sebagai pemimpin dalam satu masa tidak sah (secara syar’i), meskipun di sisi lain dibenarkan mengisyaratkan hadits ini dan memperhatikannya.”[1]

Saya (Irfan Abu Naveed) katakan: “Dan pendapat mayoritas ulama inilah yang lebih raajih dan pasti bermaslahat karena berdasarkan hujjah sunnah Rasulullah SAW, bukan kemaslahatan hawa nafsu. Lantas bagaimana dengan Demokrasi dan pemahaman-pemahaman jahiliyyah lainnya yang memecah belah umat dalam Nation States?? Maka, kami tegaskan bahwa kaum muslimin mengugat Demokrasi yang memecah belah umat dan wajib diganti dengan al-Khilaafah al-Islaamiyyah!”


[1] Lihat: Aadab al-Dunyaa’ wa al-Diin, Imam ‘Ali bin Muhammad bin Habib al-Mawardi al-Syafi’i (Imam al-Mawardi)

Salah Satu Guru Besar Al-Azhar Al-Syariif Menjadi Pejuang Khilafah!

Terjemah Surat dari Syaikh Hasan al-Janaayiniy –Guru Besar Universitas al-Azhar Kairo, Presenter Program Acara Tsumma Takuunu Khilaafatan ‘Alaa Minhaajin-Nubuwwah- Kepada Al-‘Alim ‘Atha’ bin Khalil Abu Al-Rusythah

Risaalah-1Risaalah-2

Sumber Video: 

رسالة من الشيخ حسن الجنايني إلى أمير حزب التحرير

المكتب الإعلامي المركزي لحزب التحرير

19 من رجب 1434
الموافق 2013/05/29م

 الحمدلله رب العالمين والصلاة والسلام على المبعوث رحمة للعالمين سيدنا محمد صلى الله عليه وعلى آله وصحبه وسلم تسليمًا كثيرًا

Sesungguhnya surat ini adalah surat yang terpetik dari lubuk hati kepada al-‘Alim al-Jaliil ‘Atha’ bin Khalil Abu al-Rusythah Amiir Hizb al-Tahriir -semoga Allah menjaga dan melindunginya-.

Ini adalah surat ucapan terima kasih yang berasal dari seorang hamba yang dha’iif (dihadapan Allah SWT) yang mengharapkan keridhaan Rabb-nya, hamba Allah yang telah dilapangkan dan disejukkan hatinya oleh-Nya, hamba Allah yang telah mendengarkan kata-kata dan nasihat yang baik dari al-Syaikh ‘Atha’ bin Khalil berupa surat suara yang Saya terima.

Maka demi Allah yang tiada sesembahan selain-Nya, sungguh Saya merasa pada saat itu merasa terlahir kembali.

Dan Saya kirimkan surat ini kepada Anda dari tempat dekat yang jauh (dekat dalam qalbu namun jauh dalam pandangan mata). Saya berdo’a kepada Allah agar Saya dan Anda dinaungi di dunia ini dengan naungan Khilaafah di atas Manhaj Kenabian.

Dan Saya berdo’a semoga kita termasuk orang-orang yang berkumpul dengan Rasulullah SAW di telaganya (telaga al-kautsar), sehingga kita bisa meminum minuman yang menghilangkan rasa haus untuk selama-lamanya.

Dan sungguh Allah telah menganugerahkan kepada Saya (anugerah yang besar di antara hal lainnya) dua kali (*): Pertama, ketika Allah menjadikan Saya seorang muslim yang bersaksi Tiada Ilah Selain Allah dan bahwa Muhammad adalah Rasulullah. Kedua, ketika Saya dipertemukan dengan kelompok yang menyadari dan meyakini janji Allah dan kabar gembira dari Rasul-Nya (tegaknya al-Khilaafah al-Islaamiyyah).

Segala puji bagi Allah yang telah memberikan taufik kepada Saya untuk berada di atas jalan kebaikan; menjadi pengemban dakwah bersama Hizb al-Tahrir, beramal dengannya dan bersama umat untuk melanjutkan kehidupan Islam, dengan menegakkan Khilafah Islaamiyyah Raasyidah yang merupakan kabar gembira dari Rasulullah SAW ketika beliau bersabda: “Kemudian akan tegak kembali Khilafah di atas manhaj kenabian. Kemudian beliau terdiam.”

Dan Khilafah akan kembali atas idzin Allah, dan akan tegak seperti Khilafah yang pertama, Khilaafah Raasyidah yakni Khilafah sahabat Rasulullah SAW (yang tegak di atas manhaj kenabian).

Dan sesungguhnya Saya berdo’a kepada Allah agar membukakan mata kita untuk melihat tegaknya Khilafah dalam waktu dekat, sebagai panutan bagi realitas kehidupan dunia ini. Sebagaimana Saya pun berdo’a kepada Allah agar menjadikan kita termasuk orang yang ikut serta dalam upaya memperjuangkannya bersama al-Hizb (Hizbut Tahrir) yang menunjukkan dirinya kepada amal dakwah yang agung ini.

Semoga Allah memberkahi Anda wahai Syaikh kami yang mulia dan semoga Allah melindungi Anda dari segala keburukan, dan memahkotai kesungguhan Anda dengan keberhasilan dan mewujudkan kabar gembira dari Nabi kita SAW ini melalui tangan Anda (kepemimpinan di HT), sehingga tidak ada kebaikan di dalam perut Bumi ini kecuali Allah mengeluarkannya, dan tidak ada kebaikan di langit Dunia ini kecuali Allah menurunkannya. Sesungguhnya Allah Yang Maha Suci Maha Kuasa atas itu semua.

وَعَدَ اللهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنكُمْ وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ لَيَسْتَخْلِفَنَّهُمْ فِي الْأَرْضِ كَمَا اسْتَخْلَفَ الَّذِينَ مِن قَبْلِهِمْ

Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh- sungguh akan menjadikan mereka berkuasa dimuka bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa.” (QS. Al-Nuur [24]: 55)

Dan Saya berdo’a kepada Allah agar Dia mengumpulkan Saya dan Anda di dunia dalam naungan Khilafah Raasyidah dan di akhirat dalam naungan rahmat-Nya.

جزاكم الله خيرًا وبارك الله فيكم

والسلام عليكم ورحمة الله وبركاته

Telah selesai diterjemahkan:

Siang Hari yang Panas pada 1 Sya’ban 1434 H (10 Juni 2013), pukul 13:49 WIB

Hayyi Jaami’atir-Raayah

الفقير إلى الله

Irfan Abu Naveed

Informasi Lainnya:

Lihat Surat Suara Amir HT Kepada Syaikh Hasan –rahimahumullaah-:

Ulama Al-Azhar Berjuang Menegakkan Khilafah

Ulama Al-Azhar Kecam Penguasa yang Tidak Mau Tegakkan Al-Khilafah

______________

(*) Syaikh Hasan berkata: ” ليُقَدِّمَنَّ اللهُ عَلَيَّ “. Kata kerja قَدَّمَ – يُقَدِّمُ ditambahkan laam al-ibtidaa’ dan nuun al-tawkiid al-tsaqiilah yang menjadi penegasan dari kata kerja tersebut.

”Syabab HT Omdo”?! Inilah Jawaban Al-Qur’an & Al-Sunnah (Jawaban Tuntas Syar’iyyah)

180249_253758008063166_861965630_n

MUQADDIMAH

الحمدلله رب العالمين والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله وأصحابه أجمعين، أما بعد

 Muqaaranah dan mujaadalah (perbandingan dan debat) merupakan fenomena yang sudah terjadi sejak masa awal sejarah manusia. Al-Qur’an telah mendokumentasikan hal yang dialami para Nabi –‘Alayhimussalaam-. Allah SWT berfirman:

وَمَا نُرْسِلُ الْمُرْسَلِينَ إِلَّا مُبَشِّرِينَ وَمُنْذِرِينَ ۚ وَيُجَادِلُ الَّذِينَ كَفَرُوا بِالْبَاطِلِ لِيُدْحِضُوا بِهِ الْحَقَّ ۖ وَاتَّخَذُوا آيَاتِي وَمَا أُنْذِرُوا هُزُوًا

“Dan tidaklah Kami mengutus rasul-rasul hanyalah sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan; tetapi orang-orang yang kafir membantah dengan yang batil agar dengan demikian mereka dapat melenyapkan kebenaran, dan mereka menganggap ayat-ayat kami dan peringatan- peringatan terhadap mereka sebagai olok-olokan.”(QS. al-Kahfi [18]: 56).

Kisah-kisah mujadalah juga termuat dalam dokumen sejarah, baik yang tercantum dalam sunnah, atsar dan dokumen-dokumen sejarah lainnya. Motif utama dari diskusi dan perbandingan adalah mencari kebenaran, sekaligus untuk mengoreksi pendapat-pendapat dan keyakinan-keyakinan yang salah. Dengannya, akan diketahui pendapat siapakah yang paling dekat dengan kebenaran, dan pendapat siapa yang lemah. Bila suatu pendapat telah terbukti lemah dan salah, maka pendapat itu harus ditinggalkan dengan sikap lapang dada, dan penuh keikhlasan.

Tapi amat disayangkan, diskusi dan perdebatan terkadang dihiasi dengan kata-kata tercela yang dicela syari’at, sehingga melenceng jauh dari tujuan yang benar. Merasa kalah beragumentasi, lalu melarikan diri dari adu argumentasi menjadi stigmatisasi dengan beragam dalih yang diada-adakan. Sikap seperti ini bukanlah sikap seorang muslim yang baik, mengalihkan topik pembicaraan, melecehkan lawan diskusi, dan tidak bertanggungjawab terhadap dirinya untuk mengakui kebenaran. 

Jika dievaluasi, kian menguatkan bukti bahwa kehidupan kaum muslimin saat ini yang jauh dari Islam di bawah naungan sistem kehidupan rusak Demokrasi, telah diracuni prinsip kebebasan berbicara. Hingga menjangkiti sebagian dari perdebatan di antara para aktivis gerakan Islam –Allaahummaghfirlanaa-. Berangkat dari keprihatinan terhadap fenomena perdebatan dalam dunia maya, penulis tergerak untuk menyajikan nasihat di jalan taqwa, yang sejatinya berlaku bagi penyusun sendiri, dan bagi semua hamba Allah karena nasihat-nasihat ini penyusun nukil dari mutiara nasihat Allah dan Rasul-Nya yang dijabarkan para ‘ulama. Penyusun tidak mewakili harakah manapun, meski penyusun adalah -aktivis gerakan dakwah internasional- namun nasihat ini berlaku bagi siapapun, dari harakah manapun. Penulis bahas masalah ini pada sejumlah poin pasal pembahasan:

Pasal I:

Kecaman Syari’at Atas Perbuatan Mencela Sesama Muslim “Omdo”, “Hanya Koar-Koar Pake Toa”

Pasal II:

Mencela Dakwah HT Dengan ”Omdo”, ”Koar-Koar Pake Toa” = Perbuatan Meremehkan Keta’atan

Pasal III:

Ingat: Dakwah Merupakan Kewajiban! Tak Boleh Dan Tak Pantas Dicela!

Pasal IV:

Mari Kita Evaluasi: Hati-Hati Dengan Kebencian

Pasal V:

Celaan ”Omdo”, ”Koar-Koar Pake Toa” Berasal Dari Hawa Nafsu

Pasal VI:

Agama Itu Adalah Nasihat

Pasal VII:

Celaan ”Omdo” & Fitnah Kebebasan Berbicara Ala Demokrasi 

PASAL I:

KECAMAN SYARI’AT ATAS PERBUATAN MENCELA SESAMA MUSLIM “OMDO”, “HANYA KOAR-KOAR PAKE TOA”

Ironis, seringkali penulis temukan perkataan-perkataan tercela yang disampaikan para oknum yang sebenarnya hanya menyibukkan diri untuk memprovokasi perdebatan, mereka berkata seakan-akan perkataan tersebut tidak akan dimintai pertanggungjawaban. Mereka mencela aktivitas syabab Hizbut Tahrir dengan perkataan “omong doang”, “tukang gosip”, “koar-koar pake toa” dan beragam penghinaan lainnya. Apakah mereka tidak menyadari bahwa hal itu bisa merusak ukhuwwah islaamiyyah? Jika semua itu dilakukan dengan klaim untuk menasihati sesama muslim maka Islam sebenarnya telah mengoreksi perkataannya sebelum ia mengoreksi orang lain.

Lebih ironis lagi, jika perdebatan tersebut dibanjiri ikon-ikon senyum lebar sembari mengkritik pedas dalam perdebatan yang sebenarnya tidak lucu, dan tidak ada alasan wajar untuk tertawa sehingga lawan diskusi memandangnya sebagai bentuk olok-olok. Dan terkadang dalam perdebatan di dunia maya tak jarang ditemukan pernyataan atau ikon yang menyatakan “IQ/otak jongkok” yang dilakukan sejumlah oknum. Siapapun yang melakukan kesalahan-kesalahan di atas –siapapun ia dan dari harakah manapun- sudah semestinya mengaca diri, terlebih diskusi-diskusi tersebut selama ini membahas tentang Islam dan kepentingan kaum muslimin, tidak adakah rasa malu? Ia berbicara tentang Islam, mengatasnamakan Islam namun Islam telah mencela dan mengoreksi perkataannya tersebut.

Ketahuilah wahai ikhwah fillaah, tentang celaan-celaan di atas para ulama banyak menjelaskan keharamannya. Diantaranya al-Syaikh Nawawi al-Bantani ketika menjelaskan contoh-contoh maksiat lisan:

الاستهزاء أي السخرية بالمسلم وهذا محرم مهما كان مؤذيًا

“Melecehkan yakni mengolok-olok muslim, perbuatan ini diharamkan bahkan berbahaya.”

Bukankah perbuatan ini bisa menghancurkan persaudaraan sesama muslim?

Sedangkan al-Hafizh al-Nawawi menyusun satu bab khusus tentang “Pengharaman Merendahkan & Melecehkan Kaum Muslimin” (بابُ تَحريمِ احْتِقار المسلمينَ والسُّخْرِيةِ منهم) dalam kitab al-Adzkaar-nya.

Imam al-Nawawi menukil dalil-dalil firman Allah SWT:

الَّذِينَ آتَيْنَاهُمُ الْكِتَابَ يَتْلُونَهُ حَقَّ تِلَاوَتِهِ أُولَٰئِكَ يُؤْمِنُونَ بِهِ ۗ وَمَن يَكْفُرْ بِهِ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الْخَاسِرُونَ

 “(Orang-orang munafik itu) yaitu orang-orang yang mencela orang-orang mukmin yang memberi sedekah dengan sukarela dan (mencela) orang-orang yang tidak memperoleh (untuk disedekahkan) selain sekedar kesanggupannya, maka orang-orang munafik itu menghina mereka. Allah akan membalas penghinaan mereka itu, dan untuk mereka azab yang pedih. (QS. Al-Tawbah [9]: 79)

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا يَسْخَرْ قَوْمٌ مِّن قَوْمٍ عَسَىٰ أَن يَكُونُوا خَيْرًا مِّنْهُمْ وَلَا نِسَاءٌ مِّن نِّسَاءٍ عَسَىٰ أَن يَكُنَّ خَيْرًا مِّنْهُنَّ ۖ وَلَا تَلْمِزُوا أَنفُسَكُمْ وَلَا تَنَابَزُوا بِالْأَلْقَابِ ۖ بِئْسَ الِاسْمُ الْفُسُوقُ بَعْدَ الْإِيمَانِ ۚ وَمَن لَّمْ يَتُبْ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ

Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki mengolok-olok kumpulan yang lain, bisa jadi yang diolok-olok itu lebih baik dari mereka. Dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh jadi yang direndahkan itu lebih baik. Dan janganlah suka mencela dirimu sendiri[1] dan jangan memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk sesudah iman[2] dan barangsiapa yang tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim. (QS. Al-Hujuraat [49]: 11)

Imam al-Syawkani dalam kitab tafsir Fath al-Qadiir menuturkan:

ومعنى الآية : النهي للمؤمنين عن أن يستهزىء بعضهم ببعض ، وعلل هذا النهي بقوله : { عسى أَن يَكُونُواْ خَيْراً مّنْهُمْ } أي : أن يكون المسخور بهم عند الله خيراً من الساخرين بهم

“Dan makna ayat: merupakan larangan bagi orang-orang beriman untuk saling merendahkan, alasan larangan ini pada frase: “bisa jadi yang diolok-olok itu lebih baik dari mereka” yakni pihak yang direndahkan lebih baik kedudukannya di sisi Allah daripada orang-orang yang merendahkan.”[3]

Al-Hafizh al-Thabari menafsirkan:

يقول تعالى ذكره: يا أيها الذين صدّقوا الله ورسوله، لا يهزأ قوم مؤمنون من قوم مؤمنين –عَسَى أَنْ يَكُونُوا خَيْرًا مِنْهُمْ- يقول: المهزوء منهم خير من الهازئين

“Allah SWT berfirman yang maknanya: Wahai orang-orang yang membenarkan Allah dan Rasul-Nya janganlah suatu golongan dari orang-orang beriman mengolok-olok golongan lain dari orang-orang beriman “bisa jadi yang diolok-olok itu lebih baik dari mereka” yakni orang yang diolok-olok lebih baik daripada mereka yang mengolok-olok.”[4]

Ketika menjelaskan berbagai pandangan para ulama terkait ayat ini, al-Hafizh al-Thabari menegaskan:

والصواب من القول في ذلك عندي أن يقال: إن الله عمّ بنهيه المؤمنين عن أن يسخر بعضهم من بعض جميع معاني السخرية، فلا يحلّ لمؤمن أن يسخر من مؤمن لا لفقره، ولا لذنب ركبه، ولا لغير ذلك

“Dan yang paling tepat dalam hal ini dalam pandanganku: sesungguhnya Allah melarang secara umum orang-orang beriman terhadap perbuatan saling merendahkan (mengolok-olok-pen.) mencakup keseluruhan ungkapan yang bermakna ejekan, maka tidak halal bagi orang yang beriman merendahkan orang beriman lainnya, apakah karena kemiskinannya, dosa yang telah dilakukannya, dan lain sebagainya.”

وَيْلٌ لِّكُلِّ هُمَزَةٍ لُّمَزَةٍ

“Kecelakaanlah bagi setiap pengumpat lagi pencela.” (QS. Al-Humazah [104]: 1)

وأما الأحاديث الصحيحةُ في هذا الباب فأكثرُ من أن تُحصر، وإجماعُ الأمة منعقدٌ على تحريم ذلك، واللّه أعلم‏.‏

“Adapun hadits-hadits shahih lebih banyak dari apa yang diringkas (dinukil) dalam bab ini, dan kesepakatan umat ini telah pasti atas pengharamannya. Wallaahu a’lam.

Dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

لاَ تَحَاسَدُوا وَلاَ تَنَاجَشُوا وَلاَ تَبَاغَضُوا وَلاَ تَدَابَرُوا وَلاَ يَبِعْ بَعْضُكُمْ عَلَى بَيْعِ بَعْضٍ وَكُونُوا عِبَادَ اللهِ إِخْوَانًا، الْمُسْلِمُ أَخُو الْمُسْلِمِ لاَ يَظْلِمُهُ وَلاَ يَخْذُلُهُ وَلاَ يَحْقِرُهُ، التَّقْوَى هَاهُنَا (وَيُشِيرُ إِلَى صَدْرِهِ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ)، بِحَسْبِ امْرِئٍ مِنْ الشَّرِّ أَنْ يَحْقِرَ أَخَاهُ الْمُسْلِمَ كُلُّ الْمُسْلِمِ عَلَى الْمُسْلِمِ حَرَامٌ دَمُهُ وَمَالُهُ وَعِرْضُهُ.

“Janganlah kalian saling mendengki, saling memfitnah, saling membenci, dan saling memusuhi. Janganlah ada seseorang di antara kalian yang berjual beli sesuatu yang masih dalam penawaran muslim lainnya dan jadilah kalian hamba-hamba Allah yang saling bersaudara. Muslim yang satu dengan muslim yang lainnya adalah bersaudara tidak boleh menyakiti, merendahkan, ataupun menghina. Takwa itu ada di sini (Rasulullah menunjuk dadanya, beliau mengucapkannya sebanyak tiga kali). Seseorang telah dianggap berbuat jahat apabila ia menghina saudaranya sesama muslim. Muslim yang satu dengan yang Iainnya haram darahnya. hartanya, dan kehormatannya.” (HR. Muslim)

Mengomentari hadits ini, al-Hafizh al-Nawawi menuturkan:

ما أعظم نفع هذا الحديث وأكثر فوائده لمن تدبره‏.‏

“Alangkah agungnya manfaat hadits ini dan betapa banyak faidahnya bagi orang yang menyelaminya.”

Al-Hafizh al-Nawawi pun menukil sabda Rasulullah SAW:

قَالَ لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ مَنْ كَانَ فِي قَلْبِهِ مِثْقَالُ ذَرَّةٍ مِنْ كِبْرٍ

“Tidak akan masuk surga, orang yang di dalam hatinya terdapat seberat biji sawi dari kesombongan.”

 Seorang laki-laki bertanya: “Sesungguhnya seorang pria itu senang jika baju dan sandalnya bagus (apakah ini termasuk kesombongan)?” Beliau SAW menjawab:

إِنَّ اللهُ جَمِيلٌ يُحِبُّ الْجَمَالَ الْكِبْرُ بَطَرُ الْحَقِّ وَغَمْطُ النَّاسِ

“Sesungguhnya Allah itu bagus menyukai yang bagus, kesombongan itu menolak kebenaran dan meremehkan manusia.” (HR. Muslim)[5]

قلتُ‏:‏ بَطر الحقّ بفتح الباء والطاء المهملة وهو دفعه وإبطاله، وغمطٌ بفتح الغين المعجمة وإسكان الميم وآخره طاء مهملة، ويروى غمص بالصاد المهملة ومعناهما واحد وهو الاحتقار‏.‏

Saya (Al-Nawawi) katakan: “Bathr al-Haq yakni menolak dan membantahnya, dan ghamth al-naas maknanya adalah merendahkan (manusia).”

Para ulama lainnya –selain Imam al-Nawawi- banyak menjelaskan keharaman perbuatan ini dalam kitab-kitab buah tangan mereka, semoga Allah menjadikannya sebagai pemberat amal kebaikan mereka dan memberkahinya untuk kaum muslimin. Ketika menjelaskan berbagai kemaksiatan, al-Syaikh Muhammad Nawawi al-Bantani menjelaskan dalam kitab Bahjatul Wasaa-il bi Syarh Masaa-il:

التكبر على عباد الله تعالى: كأن يرى في نفسه أنه خير من غيره، وأن يحتقر الناس.

“Takabur terhadap hamba-hamba Allah SWT: yakni ia memandang dirinya lebih baik daripada orang lain dan merendahkannya.”

Allah SWT pun berfirman:

وَوُضِعَ الْكِتَابُ فَتَرَى الْمُجْرِمِينَ مُشْفِقِينَ مِمَّا فِيهِ وَيَقُولُونَ يَا وَيْلَتَنَا مَالِ هَٰذَا الْكِتَابِ لَا يُغَادِرُ صَغِيرَةً وَلَا كَبِيرَةً إِلَّا أَحْصَاهَا ۚ وَوَجَدُوا مَا عَمِلُوا حَاضِرًا ۗ وَلَا يَظْلِمُ رَبُّكَ أَحَدًا

“Dan diletakkanlah kitab, lalu kamu akan melihat orang-orang bersalah ketakutan terhadap apa yang (tertulis) di dalamnya, dan mereka berkata: “Aduhai celaka kami, kitab apakah ini yang tidak meninggalkan yang kecil dan tidak (pula) yang besar, melainkan ia mencatat semuanya; dan mereka dapati apa yang telah mereka kerjakan ada (tertulis). Dan Tuhanmu tidak menganiaya seorang juapun.” (QS. Al-Kahfi [18]: 49) 

Syaikh Nawawi al-Bantani menukil penafsiran Ibnu ‘Abbas yang berkata dalam menafsirkan ayat yang agung ini:

إن الصغيرة التبسم بالاستهزاء بالمؤمن، والكبيرة القهقهة بذلك.

“Sesungguhnya “yang kecil” (dalam ayat ini-pen.) yakni tersenyum (sinis) untuk merendahkan orang beriman, dan makna “yang besar” yakni tertawa terbahak-bahak untuk maksud yang sama.”[6]

Syaikh Nawawi al-Bantani menegaskan:

وهذا إشارة إلى أن الضحك على الناس من جملة الذنوب والكبائر

“Dan ini menjadi isyarat bahwa menertawakan manusia (untuk mengolok-olok-pen.) termasuk perbuatan salah dan dosa besar”

Dan Allah tidak menyukai orang-orang yang angkuh serta membanggakan diri.

وَلَا تُصَعِّرْ خَدَّكَ لِلنَّاسِ وَلَا تَمْشِ فِي الْأَرْضِ مَرَحًا ۖ إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ كُلَّ مُخْتَالٍ فَخُورٍ

“Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri.” (QS. Luqman [31]: 18)

Dari Abdullah r.a., ia berkata bahwa Nabi SAW bersabda:

سِبَابُ الْمُسْلِمِ فُسُوقٌ وَقِتَالُهُ كُفْرٌ

“Memaki orang muslim adalah kedurhakaan (fasik) dan membunuhnya adalah kekufuran.”  (Hadits Muttafaqun ‘Alayh)

Hadits ini mengandung indikasi yang tegas yang menunjukkan keharaman memaki muslim lainnya. Al-Hafizh Ibn Hajar Al-‘Asqalani menjelaskan:

قوله: “فسوق” الفسق في اللغة: الخروج. وفي الشرع: الخروج عن طاعة الله ورسوله، وهو في عرف الشرع أشد من العصيان، قال الله تعالى :{ وَكَرَّهَ إِلَيْكُمُ الْكُفْرَ وَالْفُسُوقَ وَالْعِصْيَانَ}[7]

“Sabda Rasulullah “fusuuq[un]”secara bahasa, al-fisq berarti al-khuruuj (keluar). Secara terminologi berarti keluar dari keta’atan terhadap Allah dan rasul-Nya. Kata “al-fisq (kefasikan)” dalam pandangan syariat lebih tinggi tingkat keburukannya daripada kata maksiat. Allah SWT berfirman: “…dan (Allah) menjadikan kamu benci kepada kekafiran, kefasikan dan kedurhakaan (kemaksiatan). (TQS. Al-Hujuraat [49]: 7)”

Al-Hafizh Ibn Hajar menegaskan:

ففي الحديث تعظيم حق المسلم والحكم على من سبه بغير حق بالفسق

“Maka hadits ini menunjukkan penghormatan terhadap hak seorang muslim dan status hukum orang yang mencelanya tanpa alasan yang benar merupakan kedurhakaan.”

Keharaman ini berlaku kepada kita semua dari harakah manapun. Dan ketahuilah bahwa perbuatan ini sangat berbahaya karena bisa merusak ukhuwwah islaamiyyah, padahal kaum muslimin itu diibaratkan bagaikan satu tubuh. Dan Allah telah mensifati orang-orang mukmin dengan persaudaraan, dimana ayat tersebut termaktub sebelum QS. al-Hujuraat ayat 11 (tentang larangan mengolok-olok orang beriman).

إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ فَأَصْلِحُوا بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ

 “Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara, maka damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan bertakwalah kepada Allah, supaya kamu mendapat rahmat.” (QS. Al-Hujuraat [49]: 10)

Ketakaburan Merupakan Sifat Iblis La’natullaahi ‘Alayh

Di sisi lain, sikap merasa diri lebih mulia dan merendahkan orang lain merupakan ketakaburan yang dikecam keras oleh Allah dan Rasul-Nya. Ketakaburan merupakan sifat Iblis yang dilaknat Allah.

Iblis, berasal dari kata ablasa (أبلس) yang artinya membangkang atau putus asa (dari rahmat Allâh ‘Azza wa Jalla). Dalam al-Mu’jam al-Wasîth, Iblis dinyatakan sebagai “رأس الشياطين” (pemimpin para syaithân).[8]

وَإِذْ قُلْنَا لِلْمَلَائِكَةِ اسْجُدُوا لِآدَمَ فَسَجَدُوا إِلَّا إِبْلِيسَ كَانَ مِنَ الْجِنِّ فَفَسَقَ عَنْ أَمْرِ رَبِّهِ

“Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat: “Sujudlah kamu kepada Adam, maka sujudlah mereka kecuali Iblis. Dia dari golongan jin, dan ia telah mendurhakai perintah Rabb-nya.” (QS. Al-Kahfi [18]: 50)

Iblis dinyatakan “ففسق عن أمر ربه” karena ia keluar dari keta’atan terhadap Allah dengan menolak bersujud memberikan penghormatan kepada Nabi Adam a.s.[9]

قَالَ مَا مَنَعَكَ أَلَّا تَسْجُدَ إِذْ أَمَرْتُكَ ۖ قَالَ أَنَا خَيْرٌ مِنْهُ خَلَقْتَنِي مِنْ نَارٍ وَخَلَقْتَهُ مِنْ طِينٍ

 “Allah berfirman: “Apakah yang menghalangimu untuk bersujud (kepada Adam) di waktu aku menyuruhmu?.” Iblis menjawab: “Saya lebih baik daripadanya; Engkau ciptakan aku dari api, sedangkan Ia Engkau ciptakan dari tanah.” (QS. Al-A’râf [7]: 12)

Lantas, mengapa iblis mendurhakai perintah Allâh dengan menolak bersujud untuk memuliakan dan menghormati Nabi Adam a.s.? Iblis la’natullâhi ‘alayh mendurhakai Allâh, terjerembab ke dalam kehinaan yang kekal karena sifat ketakaburannya. Ia merasa lebih mulia daripada Adam a.s., karena wujudnya diciptakan Allâh dari api, sedangkan Adam a.s. diciptakan-Nya dari tanah liat yang kering. Hal ini bisa kita ketahui dari informasi yang Allah sampaikan kepada kita dalam QS. Al-Hijr [15]: 29-33 dan QS. Al-A’râf [7]: 11-15.

Syaikh Dr. Samih ‘Athif al-Zayn menuturkan:

فلما أمر بالسجود لآدم رفض إبليس هذا السجود، واستكبر واستعلى (حتى يكون مثال الكافرين اللاهثين وراء الباطل والشرّ) كما أخبرنا الله العزيز بقوله تعالى: ((فَسَجَدَ الْمَلَائِكَةُ كُلُّهُمْ أَجْمَعُونَ (٧٣) إِلَّا إِبْلِيسَ اسْتَكْبَرَ وَكَانَ مِنَ الْكَافِرِينَ (٧٤)))[10]. ثم ناداه سبحانه: ((مَا مَنَعَكَ أَنْ تَسْجُدَ لِمَا خَلَقْتُ بِيَدَيَّ ۖ أَسْتَكْبَرْتَ أَمْ كُنْتَ مِنَ الْعَالِينَ))[11]. فأجاب إبليس: ((قَالَ أَنَا خَيْرٌ مِنْهُ ۖ خَلَقْتَنِي مِنْ نَارٍ وَخَلَقْتَهُ مِنْ طِينٍ))[12]

“Ketika Allah memerintahkan untuk bersujud kepada Adam a.s. (sujud penghormatan), maka Iblis menolak untuk bersujud, dan ia takabur dan merasa tinggi hati (sehingga ia menjadi panutan kaum kafir dalam hal kebatilan dan keburukan). Sebagaimana informasi dari Allah Yang Maha Perkasa dalam firman-Nya: “Lalu seluruh malaikat-malaikat itu bersujud semuanya, kecuali iblis; dia menyombongkan diri dan adalah dia termasuk orang-orang yang kafir.”  kemudian Allah berseru kepadanya: “Apa yang menghalangimu bersujud kepada yang telah Ku-ciptakan dengan kedua tangan-Ku. Apakah kamu menyombongkan diri ataukah kamu (merasa) termasuk orang-orang yang (lebih) tinggi?”  Lalu Iblis menjawab: “Aku lebih baik darinya, karena Engkau ciptakan aku dari api, sedangkan dia Engkau ciptakan dari tanah.”[13]

 

PASAL II:

MENCELA DAKWAH HT DENGAN ”OMDO”, ”KOAR-KOAR PAKE TOA” = PERBUATAN MEREMEHKAN KETA’ATAN

Ketika menjelaskan berbagai jenis kemaksiatan, al-Syaikh Nawawi al-Bantani menggolongkan perbuatan meremehkan keta’atan sebagai salah satu bentuk kemaksiatan, ia menuturkan:

(التصغير) أي التحقير (لما عظم الله من طاعة أو معصية)

“Meremehkan yakni memandang rendah terhadap perkara-perkara besar (tidak sepele) di sisi Allah baik berupa keta’atan atau kemaksiatan.”

Adakah keta’atan yang sepele? Jika Allah al-‘Azhiim saja memuliakan amal dakwah, lantas mengapa manusia yang hakikatnya faqiir di sisi-Nya merendahkan amal dakwah ini dengan celaan yang dicela oleh-Nya “omong doang”. Pantaskah dicela dengan sebutan “omong doang” terhadap perkataan para da’i ilallaah yang menjelaskan tafsir, syari’at Allah, hukum-hukum al-Qur’an dan al-Sunnah, menyampaikan wahyu-Nya?? Padahal Allah telah mensifati wahyu-Nya sebagai perkataan terbaik dan Allah yang memuji para da’i ini:

وَمَنْ أَحْسَنُ قَوْلًا مِمَّنْ دَعَا إِلَى اللَّهِ وَعَمِلَ صَالِحًا وَقَالَ إِنَّنِي مِنَ الْمُسْلِمِينَ

“Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal yang saleh, dan berkata: “Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang menyerah diri?” (QS. Fushshilat [41]: 33)

Dan sungguh Allah tidak mungkin salah dalam memberikan pujian!

لَا خَيْرَ فِي كَثِيرٍ مِنْ نَجْوَاهُمْ إِلَّا مَنْ أَمَرَ بِصَدَقَةٍ أَوْ مَعْرُوفٍ أَوْ إِصْلَاحٍ بَيْنَ النَّاسِ ۚ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَٰلِكَ ابْتِغَاءَ مَرْضَاتِ اللَّهِ فَسَوْفَ نُؤْتِيهِ أَجْرًا عَظِيمًا

 “Tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisikan-bisikan mereka, kecuali bisikan-bisikan dari orang yang menyuruh (manusia) memberi sedekah, atau berbuat ma’ruf, atau mengadakan perdamaian di antara manusia. dan Barangsiapa yang berbuat demikian karena mencari keridhaan Allah, Maka kelak Kami memberi kepadanya pahala yang besar.” (QS. Al-Nisaa’ [4]: 114)

 اللهُ نَزَّلَ أَحْسَنَ الْحَدِيثِ كِتَابًا مُتَشَابِهًا مَثَانِيَ

“Allah telah menurunkan perkataan yang paling baik (yaitu) Al-Qur’an yang serupa (keagungan ayat-ayatnya) lagi berulang-ulang.” (QS. Al-Zumar [39]: 23) 

Di sisi lain, bagi orang yang menunjukkan orang lain pada kebenaran, maka dianugerahi keutamaan yang banyak. Rasulullaah SAW bersabda:

مَنْ دَلَّ عَلَى خَيْرٍ, فَلَهُ مِثْلُ أَجْرِ فَاعِلِهِ

“Barangsiapa menunjukkan (seseorang) kepada kebaikan, ia memperoleh pahala seperti pahala orang yang melakukannya.” (HR. Muslim)

Maka sambutlah seruan dakwah tersebut, jangan menampiknya apalagi melecehkannya. Nasihati para da’i ini jika mereka melakukan kesalahan dengan nasihat yang baik dan didasari takwa kepada Allah. Jangan terjebak pada kesalahan yang sama.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اسْتَجِيبُوا لِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ إِذَا دَعَاكُمْ لِمَا يُحْيِيكُمْ

“Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul apabila Rasul menyeru kamu kepada suatu yang memberi kehidupan kepada kamu.” (QS. Al-Anfaal [8]: 24)

Dari Abu Dzar r.a. bahwa Rasulullaah SAW bersabda:

لَا تَحْقِرَنَّ مِنْ اَلْمَعْرُوفِ شَيْئًا, وَلَوْ أَنْ تَلْقَى أَخَاكَ بِوَجْهٍ طَلْقٍ

 “Janganlah engkau meremehkan perbuatan baik sekecil apapun, meski dengan wajah yang manis ketika berjumpa saudaramu. (HR. Muslim)

Dari Jabir r.a. bahwa Rasulullah SAW bersabda:

كُلُّ مَعْرُوفٍ صَدَقَةٌ

Setiap kebaikan merupakan sedekah(HR. al-Bukhari)

Di sisi lain, Rasulullah SAW telah memuji amal dakwah menyampaikan kalimat yang haq kepada penguasa zhalim:

أَفْضَلَ الْجِهَادِ كَلِمَةُ حَقٍّ عِنْدَ سُلْطَانٍ جَائِرٍ

“Sebaik-baik jihad adalah perkataan yang haq pada pemimpin yang zhalim.” (HR. Ahmad, Ibn Majah, al-Thabrani, al-Bayhaqi & al-Nasa’i)[14]

سَيِّدُ الشُهَدَاءِ حَمْزَةُ بْنُ عَبْدُ الْمُطَلِّبِ، وَرَجُلٌ قَامَ إِلَى إِمَامٍ جَائِرٍ فَأَمَرَهُ وَنَهَاهُ فَقَتَلَهُ

“Penghulu para syuhada’ adalah Hamzah bin ‘Abd al-Muthallib dan orang yang mendatangi penguasa zhalim lalu memerintahkannya (kepada kebaikan) dan mencegahnya (dari keburukan), kemudian ia (penguasa zhalim itu) membunuhnya.” (HR. al-Hakim dalam al-Mustadrak dari Jabir)[15]

PASAL III:

INGAT: DAKWAH MERUPAKAN KEWAJIBAN! TAK BOLEH DAN TAK PANTAS DICELA!

Wahai ikhwah fillaah…

Jika sebelumnya penulis tegaskan kedudukan mulia dakwah, maka diantara poin penting lainnya bahwa dakwah merupakan kewajiban, ia adalah poros hidup para Nabi dan Rasul –’Alayhimussalaam-. Manusia yang faqiir di hadapan Allah tidak berhak melarang kewajiban dakwah ini, dan syari’at telah mengecam celaan terhadap amal keta’atan berupa dakwah ilallaah.

وَالْعَصْرِ (١) إِنَّ الْإِنْسَانَ لَفِي خُسْرٍ (٢) إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ (٣

 “Demi Masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shalih dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran.” (QS. Al-‘Ashr [103]: 1-3) 

Ayat ini menjelaskan, bahwa manusia benar-benar dalam keadaan merugi. Pertama, dijelaskan dengan qassam (sumpah) “والعصر” (demi masa). Kedua, dijelaskan dengan ta’kid “إنّ” (benar-benar). Ketiga, dijelaskan dengan ta’kid “لفي” (sungguh dalam). Ketiga bentuk penjelasan ini, semuanya menguatkan makna pembahasan ayat ini, yaitu kerugian manusia yang sangat luar biasa. Kecuali orang yang beriman, beramal shalih dan saling menasihati dalam kebaikan dan penuh kesabaran, secara terus-menerus, sehingga selamat dari kesalahan.[16]

Ketika ada di antara elemen umat atau penguasa yang bermaksiat pada Allâh SWT dan Rasul-Nya, maka dicegah, diberantas dan digantikan dengan kebaikan Islam. Para ulama pun menegaskan kewajiban amar makruf nahi mungkar. Sebagaimana ditegaskan Imam Ibnu Katsir ketika menafsirkan QS. Âli Imrân [3]: 104.[17]

وَلْتَكُنْ مِنْكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ ۚ وَأُولَٰئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ

“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar, merekalah orang-orang yang beruntung.” (QS. Âli Imrân [3]: 104)

Syaikh Yasin bin Ali menegaskan pendapat senada dengan argumentasi bahwa perintah amar makruf nahi mungkar seringkali disandingkan dengan amalan-amalan fardhu ‘ain, seperti shalat dan zakat. Misalnya firman Allâh dalam QS. al-Hajj [22]: 41, QS. al-Tawbah [9]: 71.[18]

Di sisi lain, redaksi amar makruf nahi mungkar dalam ayat yang agung ini pun adalah redaksi yang bermakna umum. Termasuk di dalamnya aktivitas amar makruf nahi mungkar terhadap para penguasa (muhâsabah li al-hukkam).

Melakukan muhâsabah atas penguasa yang zhalim pun diwajibkan oleh Islam kepada kita berdasarkan dalil al-Sunnah.

أَفْضَلَ الْجِهَادِ كَلِمَةُ حَقٍّ عِنْدَ سُلْطَانٍ جَائِرٍ

“Sebaik-baik jihad adalah perkataan yang haq pada pemimpin yang zhalim.” (HR. Ahmad, Ibn Majah, al-Thabrani, al-Bayhaqi & al-Nasa’i)[19]

سَيِّدُ الشُهَدَاءِ حَمْزَةُ بْنُ عَبْدُ الْمُطَلِّبِ، وَرَجُلٌ قَامَ إِلَى إِمَامٍ جَائِرٍ فَأَمَرَهُ وَنَهَاهُ فَقَتَلَهُ

“Penghulu para syuhada’ adalah Hamzah bin ‘Abd al-Muthallib dan orang yang mendatangi penguasa zhalim lalu memerintahkannya (kepada kebaikan) dan mencegahnya (dari keburukan), kemudian ia (penguasa zhalim itu) membunuhnya.” (HR. al-Hakim dalam al-Mustadrak dari Jabir)[20]

Kedua hadits di atas menjelaskan kedudukan aktivitas menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah kemungkaran (al-‘amr bi al-ma’rûf wa al-nahy ‘an al-munkar) atau muhâsabah kepada penguasa. Konteks pernyataan Rasûlullâh SAW di atas adalah ikhbâr (pemberitahuan). Namun, ungkapan Rasûlullâh SAW, “sebaik-baik jihad” dan ”penghulu para syuhada’” adalah indikasi yang merupakan pujian kepada orang-orang yang melakukan aktivitas muhâsabah kepada penguasa. Maka, pemberitahuan tersebut bermakna jazim (tegas). Sebab, jika sesuatu yang dipuji tersebut tidak dilakukan akan mengakibatkan terjadinya pelanggaran dan runtuhnya pelaksanaan hukum Islam, dan sebaliknya hukum Islam akan dapat terlaksana jika aktivitas tersebut dilaksanakan, maka aktivitas tersebut hukumnya wajib. Dan merupakan kewajiban yang ada di pundak anggota masyarakat yang menyaksikan kezhaliman penguasa.

Dipertegas dalam hadits-hadits lainnya:

وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَتَأْمُرُنَّ بِالْمَعْرُوفِ وَلَتَنْهَوُنَّ عَنْ الْمُنْكَرِ أَوْ لَيُوشِكَنَّ اللَّهُ أَنْ يَبْعَثَ عَلَيْكُمْ عِقَابًا مِنْهُ ثُمَّ تَدْعُونَهُ فَلَا يُسْتَجَابُ لَكُمْ

“Demi Dzat yang jiwaku berada di tangannya, hendaknya kalian beramar ma’ruf dan nahi munkar atau jika tidak niscaya Allâh akan mengirimkan siksa-Nya dari sisi-Nya kepada kalian, kemudian kalian memohon kepada-Nya namun do’a kalian tidak lagi dikabulkan.” (HR. al-Tirmidzi & Ahmad. Hadits Hasan) 

مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَذَلِكَ أَضْعَفُ الْإِيمَانِ

“Barangsiapa di antara kamu melihat kemungkaran hendaklah ia mencegah kemungkaran itu dengan tangannya. Jika tidak mampu, hendaklah mencegahnya dengan lisan, jika tidak mampu juga, hendaklah ia mencegahnya dengan hatinya. Itulah selemah-lemah iman.” (HR. Muslim, Ahmad, Abu Dawud, al-Tirmidzi, al-Nasa’i, Ibn Majah)

Dan bukankah Allah telah mensifati orang-orang beriman dengan kedudukan yang mulia dalam ayat ini?

وَالْمُؤْمِنُونَ وَالْمُؤْمِنَاتُ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ ۚ يَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَيُقِيمُونَ الصَّلَاةَ وَيُؤْتُونَ الزَّكَاةَ وَيُطِيعُونَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ ۚ أُولَٰئِكَ سَيَرْحَمُهُمُ اللَّهُ ۗ إِنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ حَكِيمٌ

”Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat pada Allâh dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allâh; sesungguhnya Allâh Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. al-Tawbah [9]: 71)

Dan Allah pun telah mensifati orang-orang mukmin dengan persaudaraan, dimana ayat tersebut termaktub sebelum QS. al-Hujuraat ayat 11 (tentang larangan mengolok-olok orang beriman).

إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ فَأَصْلِحُوا بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ

 “Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara, maka damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan bertakwalah kepada Allah, supaya kamu mendapat rahmat.” (QS. Al-Hujuraat [49]: 10)

Ingat dengan pesan Rasulullaah SAW? Beliau bersabda:

المُسْلِمُ مَنْ سَلِمَ المُسْلِمُوْنَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ

“Seorang muslim itu kaum muslimun selamat dari lisan dan tangannya.” (HR. Al-Bukhari & Abu Dawud)

PASAL IV:

MARI KITA EVALUASI: HATI-HATI DENGAN KEBENCIAN

 Wahai ikhwah fillaah… Ingat dengan pesan Allah SWT:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ لِلَّهِ شُهَدَاءَ بِالْقِسْطِ ۖ وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ عَلَىٰ أَلَّا تَعْدِلُوا ۚ اعْدِلُوا هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَىٰ ۖ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۚ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ

 “Wahai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang sentiasa menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil, dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. berlaku adillah, kerana adil itu lebih dekat kepada taqwa. dan bertaqwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS Al-Mâ’idah [5] : 8)

Jangan tutupi mata Anda dengan kebencian pada saudara sesama muslim, tak bisa dipungkiri bahwa secara individual, banyak syabab HT (baik di Indonesia maupun di dunia) yang berperan dalam pendidikan dan amal sosial; mengajar di perguruan tinggi, sekolah atau di pondok pesantren, mendirikan sekolah Islami atau perguruan tinggi dengan beasiswa (misalnya STEI Hamfara Yogyakarta, dan sepengetahuan penulis tidak sedikit pula ikhwah dari harakah lain yang menimba ilmu memperoleh beasiswa di sana), aktif dalam lembaga sosial semisal lembaga wakaf al-Qur’an, dan lain sebagainya. Di sisi lain mereka aktif berdakwah dan berkorban untuk itu, selama penulis aktif dan terlibat dalam barisan HT, penulis menemukan besarnya pengorbanan luar biasa para da’i ini, teruji keikhlasan dan pengorbanan (tadhiyyah) mereka, penulis berdo’a:

اللّهمّ اجعلها في ميزان حسناتنا… اللّهمّ آمين..

Dan cukuplah Allah sebagai pembalas amal kebaikan, bukan manusia. Dari sisi penghisaban, maka amal dakwah ini termasuk ke dalam keumuman ayat ini:

فَمَنْ يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ خَيْرًا يَرَهُ

”Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya.” (QS. Al-Zalzalah [99]: 7) 

Di sisi lain, dakwah HT meneladani metode dakwah fikriyyah tanpa kekerasan yang dicontohkan Rasulullah SAW. Beliau menjelaskan kebenaran kepada masyarakat dan menyingkap berbagai syubhat jahiliyyah ketika itu. Lantas, apakah layak celaan OMDO dialamatkan pada Rasulullah SAW? Wal ’iyaadzu billaah, penulis berlindung kepada Allah dari kemungkaran ini, Rasulullah SAW suci dari celaan tersebut.

PASAL V:

CELAAN ”OMDO”, ”KOAR-KOAR PAKE TOA” BERASAL DARI HAWA NAFSU

Ketika syari’at mencela perkataan tercela yang berasal dari akhlak buruk, maka sesungguhnya ia berasal dari hawa nafsu. Allah SWT berfirman:

وَمَا يَنْطِقُ عَنِ الْهَوَىٰ (١) إِنْ هُوَ إِلَّا وَحْيٌ يُوحَىٰ (٢

Dan tiadalah yang diucapkannya (Muhammad) itu menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).(QS. Al-Najm [53]: 3-4)

Ayat yang mulia ini mengisyaratkan bahwa segala hal yang bertentangan dengan al-wahyu berasal dari al-hawaa’ (hawa nafsu).

Alangkah cakapnya penjelasan Imam al-Mawardi tentang al-hawa’ dalam Aadab al-Dunyaa wa al-Diin:

وَأَمَّا الْهَوَى فَهُوَ عَنْ الْخَيْرِ صَادٌّ، وَلِلْعَقْلِ مُضَادٌّ؛ لِأَنَّهُ يُنْتِجُ مِنْ الاخْلاَقِ قَبَائِحَهَا، وَيُظْهِرُ مِنْ الافْعَالِ فَضَائِحَهَا، وَيَجْعَلُ سِتْرَ الْمُرُوءَةِ مَهْتُوكًا، وَمَدْخَلَ الشَّرِّ مَسْلُوكًا

“Adapun hawa nafsu, ia adalah penolak kebaikan, lawan dari al-‘aql (akal pikiran); karena hawa nafsu terlahir dari keburukan akhlak, tampak dalam perbuatan yang buruk, menyingkap kehormatan, dan pengantar keburukan yang dilakukan.”[21]

Tiada kemuliaan bagi yang diperbudak oleh hawa nafsunya. Sahabat Rasulullaah SAW sekaligus sepupunya, sayyidina ‘Ali r.a., menuturkan:

أخوف ما أخاف عليكم اتباع الهوى وطول الأمل. أما اتباع الهوى فيصد عن الحق

“Hal yang paling aku takutkan terjadi pada kalian adalah mengikuti hawa nafsu dan terbuai dalam panjang angan-angan. Adapun dengan mengikuti hawa nafsu, seseorang akan menolak kebenaran.”

Al-‘Allaamah al-Imam al-Syafi’i -rahimahullaah- berpesan:

ولم تدر حيث الخطا والصواب

إذا حار أمرك فـي معنيين

يـــقــــود الـــنـــفـــس إلـــى مـــا يـــعـــاب

فخالف هواك فإن الهوى

“Jika samar urusanmu pada dua maksud

Dan engkau tak mengetahui mana yang keliru dan yang benar diantaranya

Maka selisihilah hawa nafsumu, karena hawa nafsu

Mengarahkan jiwa pada apa yang dibencinya (keburukannya)”[22]

Dan apa ganjaran bagi orang yang menjauhi keburukan hawa nafsunya?

وَأَمَّا مَنْ خَافَ مَقَامَ رَبِّهِ وَنَهَى النَّفْسَ عَنِ الْهَوَىٰ (١) فَإِنَّ الْجَنَّةَ هِيَ الْمَأْوَىٰ (٢

“Dan adapun orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya. Maka sesungguhnya surgalah tempat tinggal(nya).” (QS. Al-Naazi’aat [79]: 40-41)

 

PASAL VI:

AGAMA ITU ADALAH NASIHAT

Jika ada saudara sesama muslim melakukan kesalahan, maka perhatikan bahwa Rasulullah SAW bersabda:

الدِّيْنُ النَّصِيْحَةُ

“Agama itu adalah nasihat”

Para sahabat bertanya: “Untuk siapa?” Rasulullah SAW bersabda:

لِلّهِ، وَلِكِتَابِهِ، وَلِرَسُوْلِهِ، وَلِأَئِمَّةِ المُسْلِمِيْنَ، وَعَامَتِهِمْ

Untuk Allah, kitab suci-Nya, Rasul-Nya, pemimpin kaum muslimin dan kaum muslimin pada umumnya. (HR. Muslim)

Apa maknanya? Para ulama menjelaskan:

ومعنى قوله: “الدين النصيحة” أي عماد الدين وقوامه: النصيحة

“Makna sabda Rasulullah SAW: “Agama itu adalah nasihat” yakni tiang agama dan pondasinya adalah al-nasiihah.”

Imam Ibn Daqiq al-‘Ied menjelaskan:

والنصيحة في اللغة: الإخلاص يقال: نصحت العسل إذا صفيته وقيل غير ذلك. والله أعلم.

“Lafazh al-nashiihah secara bahasa: al-ikhlaash (kemurnian), dikatakan: nashahtu al-‘asala (saya telah memurnikan madu) jika menyucikannya, dan dikatakan pula makna selainnya. Wallaahu a’lam.

Adapun penafsiran terdahap lafazh “al-nasihah” dan jenis-jenisnya dalam hadits ini, dijelaskan Imam Ibn Daqiq al-‘Ied yang menukil pernyataan Imam al-Khithabi dan para ulama lainnya:

Pertama, Nasihat untuk Allah SWT:

النصيحة لله تعالى معناها منصرف إلى الإيمان به ونفي الشرك عنه وترك الإلحاد في صفاته ووصفه بصفات الكمال والجلال كلها وتنزيهه عن جميع النقائص والقيام بطاعته واجتناب معصيته والحب فيه والبغض فيه وجهاد من كفر به والاعتراف بنعمته والشكر عليها والإخلاص في جميع الأمور والدعاء إلى جميع الأوصاف المذكورة والحث عليها والتلطف بالناس.

Al-Nashiihah bagi Allah maknanya adalah beriman kepada-Nya, menafikan segala hal yang menyekutukan-Nya, menjauhi kekufuran terhadap sifat-Nya dan menyifati-Nya dengan kesempurnaan dan kemuliaan, menyucikan keyakinan pada-Nya dari segala hal kekurangan, menegakkan keta’atan dan menjauhi kemaksiatan, mencintai-Nya, marah karena-Nya, memerangi kekufuran, mengakui dan mensyukuri segala kenikmatan dari-Nya, ikhlash dalam segala perkara, dan menyeru kepada seluruh sifat yang disebutkan di atas dan mendorong orang lain pada hal-hal tersebut, serta berbuat baik pada manusia.”

Kedua, Nasihat untuk Kitab-Nya:

وأما النصيحة لكتابه سبحانه وتعالى فبالإيمان أنه كلام الله تعالى وتنزيله، لا يشبهه شيء من كلام الناس، ولا يقدر على مثله أحد من الخلق، ثم تعظيمه وتلاوته حق تلاوته، وتحسينها والخشوع عندها، وإقامة حروفه في التلاوة، والذب عنه لتأويل المحرفين، والتصديق بما فيه والوقوف مع أحكامه وتفهم علومه وأمثاله، والاعتبار بمواضعه والتفكر في عجائبه، والعمل بمحكمه، والتسليم لمتشابهه، والبحث عن عمومه، والدعاء إليه وإلى ما ذكرنا من نصيحته.

“Adapun al-nashiihah untuk kitab suci-Nya maknanya adalah mengimani bahwa ia adalah firman Allah SWT dan wahyu-Nya, tidak perkataan manusia yang bisa diserupakan dengannya, dan tidak ada makhluk yang bisa menandinginya, kemudian mengagungkannya, membacanya dengan benar, memelihara bacaan dan khusyuk berinteraksi dengannya, memenuhi hak-hak huruf ketika membacanya, menolak pena’wilan orang-orang yang menyimpang, membenarkan kandungannya, menegakkan hukum-hukum didalamnya, memahami ilmu-ilmu al-Qur’an dan ungkapan-ungkapannya, mengambil pelajaran dari berbagai kandungannya, mentafakuri keagungannya, beramal dengan ayat-ayat yang muhkam (jelas), dan diam terhadap ayat-ayat mutasyabbih (samar), membahas keumumannya, dan menyeru manusia untuk kembali padanya dan kepada apa yang telah kami sebutkan dalam memahami makna nasihatnya.”

Ketiga, Nasihat untuk Rasulullah SAW:

وأما النصيحة لرسوله صلى الله عليه وسلم: فتصديقه على الرسالة والإيمان بجميع ما جاء به، وطاعته في أمره ونهيه، ونصرته حيا وميتا، ومعاداة من عاداه وموالاة من والاه، وإعظام حقه وتوقيره، وإحياء طريقته وسنته، وإجابة دعوته ونشر سنته، ونفي التهمة عنها واستئثار علومها والتفقه في معانيها، والدعاء إليها والتلطف في تعليمها وإعظامها، وإجلالها والتأدب عند قراءتها، والإمساك عن الكلام فيها بغير علم، وإجلال أهلها لانتسابهم إليها، والتخلق بأخلاقه، والتأدب بآدابه، ومحبة أهل بيته، وأصحابه، ومجانبة من ابتدع في سنته أو تعرض لأحد من أصحابه ونحو ذلك.

“Adapun al-nashiihah untuk Rasulullah SAW: membenarkan risalah yang dibawanya, beriman terhadap apa-apa yang diembannya, ta’at terhadap perintah dan larangannya, menolong sunnahnya baik ketika beliau hidup maupun setelah wafatnya, memusuhi siapa yang dimusuhinya, menolong siapa yang menolongnya, mengagungkan hak dan martabatnya, menghidupkan metode dan sunnahnya, menyambut seruannya dan menyebarkan sunnahnya, menepis tuduhan buruk terhadapnya, menelusuri ilmu-ilmunya, memahami makna-maknanya, beradab dalam mengajarkannya serta mengagungkannya, memuliakannya serta beradab ketika membacanya, menahan diri dari mengatakan sesuatu tentangnya tanpa ilmu, memuliakan ahli ilmu al-Sunnah karena keterkaitan mereka terhadap ilmu ini, berakhlak dengan akhlak Rasulullah, beradab dengan adab-adab Rasulullah, mencintai keluarga Rasulullah, para sahabatnya, menjauhi berbuat bid’ah dalam sunnahnya, atau berpaling dari salah seorang sahabatnya, dan lain sebagainya.”

Keempat, Nasihat untuk Imam Kaum Muslimin:

وأما النصيحة لأئمة المسلمين: فمعاونتهم على الحق، وطاعتهم وأمرهم به وتنبيههم وتذكيرهم برفق ولطف، وإعلامهم بما غفلوا عنه، وتبليغهم من حقوق المسلمين، وترك الخروج عليهم بالسيف، وتأليف قلوب الناس لطاعتهم والصلاة خلفهم والجهاد معهم وأن يدعو لهم بالصلاح.

“Adapun nasihat untuk para pemimpin kaum muslimin: mendukung mereka dalam kebenaran, menta’ati mereka, memerintahkan, memperingatkan dan mengingatkan mereka (ketika salah) dengan cara yang baik nan lembut, mengingatkan mereka dari kelalaiannya, menyampaikan hak-hak kaum muslimin kepada mereka, meninggalkan perbuatan memisahkan diri dari jama’ah dengan mengangkat pedang (memberontak), memikat hati masyarakat untuk mena’ati mereka, shalat di belakang mereka (bermakmum kepadanya-pen.), berjihad bersama mereka dan menyeru mereka untuk senantiasa melakukan perbaikan.”

Kelima, Nasihat untuk Kaum Muslimin Secara Umum –Selain Penguasa-:

وأما نصيحة عامة المسلمين، وهم من عدا ولاة الأمر، فإرشادهم لمصالحهم في آخرتهم ودنياهم، وإعانتهم عليها، وستر عوراتهم وسد خلاتهم، ودفع المضار عنهم وجلب المنافع لهم، وأمرهم بالمعروف ونهيهم عن المنكر برفق وإخلاص، والشفقة عليهم وتوقير كبيرهم ورحمة صغيرهم، وتخولهم بالموعظة الحسنة وترك غشهم وحسدهم، وأن يحب لهم ما يحب لنفسه من الخير ويكره لهم ما يكره لنفسه من المكروه، والذب عن أموالهم وأعراضهم وغير ذلك من أحوالهم بالقول والفعل، وحثهم على التخلق بجميع ما ذكرناه من أنواع النصيحة. والله أعلم.

“Adapun nasihat untuk kaum muslimin pada umumnya –selain para penguasa-, yakni dengan menunjuki mereka kepada kemaslahatan diri di akhirat dan di dunia, menolong mereka untuk mewujudkannya, menasihati agar mereka menutupi ‘auratnya, menutupi ‘aib mereka, menyingkirkan bahaya dari mereka dan mewujudkan kemaslahatan-kemaslahatan bagi mereka, memerintahkan kepada kebaikan dan mencegah mereka dari kemungkaran dengan cara yang lembut dan niat ikhlas, mengasihi mereka, menghormati orang tua dan mengasihi yang kecil di antara mereka, memikat hati mereka dengan nasihat yang baik serta menjauhi sifat culas dan dengki, mencintai kebaikan bagi mereka sebagaimana ia mencintai untuk dirinya sendiri, dan membenci keburukan terjadi pada mereka sebagaimana ia benci jika hal itu terjadi padanya, membela harta, kehormatan dan lain sebagainya yang menjadi hak mereka dengan perkataan dan perbuatan dan  mendorong mereka untuk bertingkahlaku sebagaimana yang telah kami sebutkan dari beragam nasihat ini. Wallaahu A’lam.”

 

PASAL VII:

CELAAN ”OMDO” & FITNAH KEBEBASAN BERBICARA ALA DEMOKRASI 

Demokrasi yang tegak dengan prinsip-prinsip kebebasannya, diantaranya kebebasan berbicara/ berpendapat bertentangan dengan syari’at Allah yang mewajibkan menjaga lisan dan berbuat sesuai dengan Islam, maka janganlah terpedaya dengan fitnah Demokrasi dengan prinsip kebebasannya yang batil. Ingat pesan yang mulia dari Rasulullaah SAW:

مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ

Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, maka berkatalah yang baik atau diam.” (HR. al-Bukhari,  Muslim, Abu Dawud, al-Tirmidzi, Ahmad & Malik)

Hadits shahih yang mulia di atas telah meletakkan prinsip yang agung dalam berbicara. Tuntutan perintah dalam hadits ini hukumnya wajib, karena mengandung indikasi yang tegas “Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir” terhadap kata-kata perintah “maka berkatalah yang baik atau diam.

Kalimat “Dan barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir” merupakan indikasi yang menunjukkan hukum wajib. Al-Syaikh ‘Atha’ bin Khalil menjelaskan:

إذا كان الطلب مقترنًا بالإيمان أو ما يقوم مقامه كأن يكون متبوعًا بـ (من كان يرجو الله واليوم الآخر) فإنها قرينة على الوجوب

“Jika adanya tuntutan tersebut disertai keterangan iman atau yang semakna dengannya. Misalnya kalimat (Barangsiapa yang mengharapkan rahmat Allah dan (tibanya) hari Akhir) maka sesungguhnya kalimat tersebut mengindikasikan hukum wajib.”[23]

Lafazh “qul” dan “liyashmut” pun termasuk bentuk mufrad yang memberikan arti perintah. Kata “liyashmut” merupakan kata kerja mudhaari’ (sekarang atau yang akan datang) yang disertai laam al-amr (laam perintah). Al-Syaikh ‘Atha’ bin Khalil ketika menjelaskan berbagai ungkapan yang bermakna perintah mengutarakan:

الفعل المضارع المقترن بلام الأمر (ليفعل)

“Kata kerja al-mudhaari’ yang disertai huruf laam perintah.”[24]

Sama halnya dengan penjelasan Syaikh al-‘Utsaimin ketika menjelaskan shiyaghul amri (lafazh-lafazh perintah), diantaranya:

المضارع المقرون بلام الأمر

“Kata kerja al-mudhaari’ yang disertai laam perintah.”[25]

Lebih menariknya, al-Hafizh al-Nawawi menjelaskan hadits di atas:

فمعناه أنه إذا أراد أن يتكلم فإن كان ما يتكلم به خيرا محققا يثاب عليه، واجبا أو مندوبا فليتكلم . وإن لم يظهر له أنه خير يثاب عليه، فليمسك عن الكلام سواء ظهر له أنه حرام أو مكروه أو مباح مستوي الطرفين . فعلى هذا يكون الكلام المباح مأمورا بتركه مندوبا إلى الإمساك عنه مخافة من انجراره إلى المحرم أو المكروه . وهذا يقع في العادة كثيرا أو غالبا

“Maknanya adalah jika seseorang ingin mengatakan sesuatu, jika didalamnya mengandung kebaikan dan ganjaran pahala, sama saja apakah wajib atau sunnah untuk diungkapkan maka ungkapkanlah. Jika belum jelas kebaikan perkataan tersebut diganjar dengan pahala maka ia harus menahan diri darinya, sama saja apakah jelas hukumnya haram, makruh atau mubah. Dan dalam hal ini perkataan yang mubah dianjurkan untuk ditinggalkan, disunnahkan untuk menahan diri darinya, karena khawatir perkataan ini berubah menjadi perkataan yang diharamkan atau dimakruhkan. Dan kasus kesalahan seperti ini banyak terjadi.”

Imam Ibn Daqiiq al-‘Ied (w. 702 H) menjelaskan hadits ini:

قوله: “من كان يؤمن بالله واليوم الآخر” يعني من كان يؤمن الإيمان الكامل المنجي من عذاب الله الموصل إلى رضوان الله “فليقل خيراً أو ليصمت” لأنّ من آمن بالله حق إيمانه خاف وعيده ورجا ثوابه واجتهد في فعل ما أمر به وترك ما نهي عنه وأهم ما عليه من ذلك: ضبط جوارحه التي هي رعاياه وهو مسئول عنها كما قال تعالى: {إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْؤُولاً}. وقال تعالى: {مَا يَلْفِظُ مِنْ قَوْلٍ إِلَّا لَدَيْهِ رَقِيبٌ عَتِيدٌ}.

“Sabda Rasulullah SAW: “Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir” yakni barangsiapa yang beriman dengan keimanan yang sempurna terlindung dari ‘adzab Allah dan menyampaikan kepada keridhaan-Nya “maka berkatalah yang baik atau diam” karena barangsiapa yang beriman kepada Allah, maka di antara tuntutan keimanannya adalah merasa takut terhadap peringatan-Nya, mengharapkan pahala dari-Nya, dan bersungguh-sungguh dalam melaksanakan segala hal yang diperintahkan Allah kepadanya dan meninggalkan segala hal yang dilarang-Nya, dan diantara hal yang paling penting: menjaga apa yang ada pada dirinya yang mesti dijaga (dari kemaksiatan-pen.) dan ia bertanggungjawab terhadap itu semua sebagaimana firman Allah SWT: Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungjawaban.[26] Dan firman Allah SWT: Tiada suatu ucapanpun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir[27].[28]

Imam Ibn Daqiiq al-‘Ied pun menegaskan:

وآفات اللسان كثيرة، ولذلك قال النبي صلى الله عليه وسلم: “هل يكب الناس في النار على مناخرهم إلا حصائد ألسنتهم”. وقال: “كل كلام ابن آدم عليه إلا ذكر الله تعالى وأمر بمعروف ونهي عن منكر”. فمن علم ذلك وآمن به حق إيمانه اتقى الله في لسانه فلا يتكلم إلا بخير أو يسكت.

“Dan bahaya lisan itu banyak sekali, oleh karena itu Rasulullah SAW bersabda: Tidaklah manusia dijatuhkan ke dalam neraka di atas hidung mereka melainkan akibat lisan-lisan mereka”[29] dan sabdanya: “Setiap perkataan anak cucu Adam itu membahayakannya (tidak berguna baginya) kecuali berdzikir kepada Allah dan perkataan yang memerintahkan kepada kebaikan dan melarang kemungkaran[30] Maka siapa saja yang mengetahui hal ini dan beriman terhadapnya maka diantara tuntutan keimanannya bertakwa kepada Allah dalam menjaga lisannya, dan tidaklah ia berkata-kata kecuali perkataan baik atau diam.”[31]

Lebih jelasnya, penulis nukil hadits-hadits yang diriwayatkan Imam al-Tirmidzi:

وَهَلْ يَكُبُّ النَّاسَ فِي النَّارِ عَلَى وُجُوهِهِمْ أَوْ عَلَى مَنَاخِرِهِمْ إِلَّا حَصَائِدُ أَلْسِنَتِهِمْ

“Tidaklah manusia itu dijatuhkan ke dalam neraka di atas muka atau hidung mereka melainkan akibat lisan-lisan mereka.” (HR. al-Tirmidzi, Ahmad & Ibn Majah. Ini lafazh al-Tirmidzi. Imam al-Tirmidzi menuturkan: “Hadits ini hasan shahih”)

كُلُّ كَلَامِ ابْنِ آدَمَ عَلَيْهِ لَا لَهُ إِلَّا أَمْرٌ بِمَعْرُوفٍ أَوْ نَهْيٌ عَنْ مُنْكَرٍ أَوْ ذِكْرُ اللَّهِ

“Setiap perkataan anak cucu Adam itu membahayakannya, tidak berguna baginya kecuali perkataan menyuruh kepada kebaikan dan melarang kemungkaran, atau berdzikir kepada Allah.” (HR. al-Tirmidzi & Ibn Majah. Imam al-Tirmidzi berkata: “Hadits ini hasan gharib, kami tidak mengetahuinya kecuali dari hadits Muhammad bin Yazid bin Khunais”)

Imam Ibn Daqiiq al-‘Ied lebih jauh lagi menjelaskan:

وقال بعضهم في معنى هذا الحديث: إذا أراد الإنسان أن يتكلم فإن كان ما يتكلم به خيراً محققاً يثاب عليه فليتكلم وإلا فليمسك عن الكلام سواء ظهر أنه حرام أو مكروه أو مباح، فعلى هذا يكون الكلام المباح مأموراً بتركه مندوباً إلى الإمساك عنه مخافة أن ينجر إلى المحرم أو المكروه

“Sebagian ulama berkata dalam menjelaskan hadits ini: “Jika manusia ingin mengatakan suatu perkataan yang mengandung kebaikan memperoleh pahala maka katakanlah, jika selainnya maka ia harus menahan diri darinya sama saja apakah perkataan yang diharamkan, makruh atau mubah. Oleh karena itu, perkataan mubah diperintahkan untuk ditinggalkan, disukai agar menahan diri darinya, lebih ringan daripada peringatan untuk meninggalkan perkataan yang diharamkan atau dihukumi makruh.”

Allah SWT berfirman:

مَا يَلْفِظُ مِنْ قَوْلٍ إِلَّا لَدَيْهِ رَقِيبٌ عَتِيدٌ

 “Tiada suatu ucapanpun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir.  (QS. Qaaf [50]: 18)

Imam Ibn Daqiiq al-‘Ied menjelaskan ayat ini:

واختلف العلماء في أنه هل يكتب على الإنسان جميع ما يلفظ به وإن كان مباحاً أو لا يُكتب عليه إلا ما فيه الجزاء من ثواب أو عقاب. وإلى القول الثاني ذهب ابن عباس وغيره، فعلى هذا تكون الآية الكريمة مخصوصة أي: {مَا يَلْفِظُ مِنْ قَوْلٍ} يترتب عليه جزاء.

“Dan para ulama berbeda pendapat, apakah dituliskan (dihisab-pen.) seluruh perkataan manusia termasuk perkataan-perkataan yang mubah atau tidak dituliskan perkataannya kecuali perkataan yang mengandung balasan kebaikan atau siksa? Ibn ‘Abbas dan selainnya mengambil pendapat yang kedua. Oleh karena itu, ayat al-Qur’an yang mulia ini bersifat khusus: Tiada suatu ucapanpun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir. [32]

Al-Hafizh al-Nawawi bahkan menuliskan satu bab khusus tentang Hifzh al-Lisaan (menjaga lisan) dalam salah satu kitabnya –al-Adzkaar al-Nawawiyyah-, ia berkata:

اعلم أنه لكلّ مكلّف أن يحفظَ لسانَه عن جميع الكلام إلا كلاماً تظهرُ المصلحة فيه، ومتى استوى الكلامُ وتركُه في المصلحة، فالسنّة الإِمساك عنه، لأنه قد ينجرّ الكلام المباح إلى حرام أو مكروه، بل هذا كثير أو غالب في العادة

“Ketahuilah bahwa setiap mukallaf wajib menjaga lisannya dari setiap perkataan kecuali perkataan yang jelas mengandung kemaslahatan, dan ketika memutuskan untuk tidak berbicara karena lebih bermaslahat, maka disunnahkan untuk menahan diri darinya, karena terkadang ditemukan perkataan mubah mengantarkan kepada keharaman atau makruh, bahkan hal ini merupakan fenomena yang banyak terjadi atau sudah menjadi kebiasaan.”[33]

المُسْلِمُ مَنْ سَلِمَ المُسْلِمُوْنَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ

“Seorang muslim itu barangsiapa yang kaum muslimun selamat dari lisan dan tangannya.” (HR. Al-Bukhari & Abu Dawud)[34]

Dari Abu Hurairah r.a. dari Nabi SAW bersabda:

كُلُّ سُلَامَى عَلَيْهِ صَدَقَةٌ كُلَّ يَوْمٍ يُعِينُ الرَّجُلَ فِي دَابَّتِهِ يُحَامِلُهُ عَلَيْهَا أَوْ يَرْفَعُ عَلَيْهَا مَتَاعَهُ صَدَقَةٌ وَالْكَلِمَةُ الطَّيِّبَةُ وَكُلُّ خَطْوَةٍ يَمْشِيهَا إِلَى الصَّلَاةِ صَدَقَةٌ وَدَلُّ الطَّرِيقِ صَدَقَةٌ

 “Pada setiap ruas tulang ada kewajiban shadaqah. Setiap hari dimana seseorang terbantu dengan tunggangannya yang mengangkat atau mengangkut barang-barangnya di atasnya adalah shadaqah. Ucapan yang baik adalah shadaqah dan setiap langkah yang dilakukan seseorang menuju shalat adalah shadaqah dan orang yang menunjuki jalan adalah shadaqah.” (HR. Al-Bukhari)

اتَّقُوا النَّارَ وَلَوْ بِشِقِّ تَمْرَةٍ فَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَبِكَلِمَةٍ طَيِّبَةٍ

“Jagalah diri kalian dari neraka sekalipun hanya dengan sebiji kurma, kalaulah tidak bisa, lakukanlah dengan ucapan yang baik.” (HR. Al-Bukhari)

Lantas, layakkah prinsip agung ajaran Allah dan Rasul-Nya di atas ditukar dengan paham kebebasan dalam Demokrasi? Maka ingatlah peringatan keras dari Allah SWT:

وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الْإِسْلَامِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الْآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ

 “Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi.” (QS. Ali ‘Imraan [3]: 85)

-{}-

 والله أعلم بالصواب


[1] Jangan mencela dirimu sendiri maksudnya ialah mencela antara sesama mukmin karana orang-orang mukmin seperti satu tubuh.

[2] Panggilan yang buruk ialah gelar yang tidak disukai oleh orang yang digelari, seperti panggilan kepada orang yang sudah beriman, dengan panggilan seperti: hai fasik, hai kafir dan sebagainya.

[3] Lihat: Fath al-Qadiir, al-Imam al-Syawkani

[4] Lihat: Tafsiir al-Thabari, Al-Hafizh Al-Imam al-Thabari.

[5] Lihat pula hadits yang diriwayatkan Imam al-Tirmidzi dalam Sunan-nya dan Imam Ahmad dalam Musnad-nya.

[6] Lihat: Mirqaatu Shu’uud al-Tashdiiq Syarh Sullam al-Tawfiiq, al-Syaikh Muhammad Nawawi bin Umar al-Jawi al-Syafi’i.

[7] QS. Al-Hujuraat [49]: 7

[8] Lihat: al-Mu’jam al-Wasîth (h.3/cet. V), Maktabah al-Syuruuq al-Dawliyyah.

[9] Lihat: Tafsiir al-Jalalayn.

[10] QS. Shaad [38]: 73-74

[11] QS. Shaad [38]: 75

[12] QS. Shaad [38]: 76

[13] Lihat: Majma’ al-Bayân al-Hadîts: Qashash al-Anbiyâ’ fî al-Qur’ân al-Karîm, Syaikh Dr. Samih ‘Athif al-Zayn – Dar al-Kitab al-Lubnaaniy & Dar al-Kitaab al-Mishriy – Cet. VII: 1426 H/ 2005.

[14] Lihat: Imam al-Suyuthi, kitab al-Jami’, juz. I, hlm. 187, hadits no. 1246.

[15] Ibid, juz. II, hlm. 59, hadits no. 4747.

[16] Lihat penjelasan KH. Drs. Hafizh ‘Abdurrahman, MA dalam buku Islam Politik & Spiritual.

[17] Lihat: Tafsiir Ibnu Katsiir, I/391.

[18] Lihat: Min Ahkam al-Amr bi al-Ma’ruuf wa al-Nahy ‘an al-Munkar, hlm. 24.

[19] Lihat: Imam al-Suyuthi, kitab al-Jami’, juz. I, hlm. 187, hadits no. 1246.

[20] Ibid, juz. II, hlm. 59, hadits no. 4747.

[21] Lihat: Aadab al-Dunyaa’ wad-Diin, Imam ‘Ali bin Muhammad bin Habib al-Mawaridi al-Syafi’iy (Imam al-Mawardi).

[22] Lihat: Diiwaan al-Imaam al-Syaafi’i, Qaafiyatul Hamzah, subjudul al-Hawaa’ wa al-‘Aql.

[23] Lihat: Taysîr al-Wushûl ilâ al-Ushûl: Dirâsât fii Ushûl al-Fiqh, Syaikh ‘Atha’ bin Khalil Abu Rusythah – Dar al-Ummah: Beirut – Cet. III: 1421 H/ 2000.

[24] Lihat: Taysîr al-Wushûl ilâ al-Ushûl: Dirâsât fii Ushûl al-Fiqh, Syaikh ‘Atha’ bin Khalil.

[25] Lihat: Ushuul al-Fiqh, al-Syaikh Muhammad Shalih al-‘Utsaimin.

[26] Lihat: QS. Al-Israa’ [17]: 36

[27] Lihat: QS. Qaaf [50]: 18

[28] Lihat: Syarh al-Arba’iin al-Nawawiyyah fii al-Ahaadiits al-Shahiihah al-Nawawiyyah, Imam Ibn Daqiiq al-‘Ied.

[29] HR. Imam Ahmad (5/236 dan 237) dan al-Tirmidzi dalam al-Iman (no. 2616); hadits ini merupakan hadits shahih yang panjang. Adapun Imam al-Tirmidzi memandang bahwa hadits ini hasan shahih.

[30] HR. al-Tirmidzi dalam Al-Zuhd (no. 2412) dari Ummu Habibah r.a.. Abu ‘Isa (Imam al-Tirmidzi) berkata: “Hadits ini hasan gharib, tidak diketahui kecuali dari riwayat Muhammad bin Yazid bin Khunays.”

[31] Ibid

[32] Lihat: Syarh al-Arba’iin al-Nawawiyyah fii al-Ahaadiits al-Shahiihah al-Nawawiyyah, Imam Ibn Daqiiq al-‘Ied.

[33] Lihat: Al-Adzkâr Al-Muntakhabah Min Kalaam Sayyid Al-Abraar –Shallallaahu ‘Alayhi wa Sallam-, Al-Hafizh Muhyiddin Abu Zakariya Yahya bin Syarf al-Nawawi (631-676 H) – Al-Dar al-Mishriyyah al-Lubnaniyyah: Mesir.

[34] Hadits ini hadits mutawatir