Download Materi Sertifikasi Ruqyah Syar’iyyah (Kajian Ruqyah, Perdukunan & Solusi al-Islam)

BRC-2

Pelatihan & Sertifikasi untuk Para Terapis BRC 21 & 28 September 2012

Download Makalah Pelatihan (PDF):

Makalah Pelatihan BRC – Ruqyah Syar’iyyah – Edited

Makalah Pelatihan BRC- Alam Jin

Makalah Pelatihan BRC- Sihir

Do’a-Do’a Ruqyah Syar’iyyah

Link Kajian-Kajian Terkait Lainnya: Link Download

Mengkritisi Pola Pikir yang Menjustifikasi Demokrasi

De
الحمدلله رب العالمين والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله وأصحابه أجمعين وبعد

Demokrasi berasal dari peradaban jahiliyyah Yunani Kuno, ia dirumuskan oleh para pencetusnya (orang-orang kafir) tentu bukan tanpa falsafah, karena ia berbicara tentang konsep pengaturan kehidupan bernegara (politik). Jadi jika ada fulan yang mengaku muslim namun ia mencoba menjelaskan Demokrasi kepada makna lain sehingga diklaim sesuai dengan ajaran Islam (baca: justifikasi mengatasnamakan Islam). Maka setidaknya ada beberapa poin kritis yang tak perlu diperdebatkan tapi dipikirkan dan dijawab oleh mereka yang mencoba-coba menjustifikasi Demokrasi:

Pertama: Apakah para filsuf pencetus dan pembangun sistem politik Demokrasi mencetuskannya tanpa falsafah dasar?? Seakan-akan Demokrasi itu sesederhana istilah jenis kuliner cilok (sunda: aci dicolok/ adonan aci ditusuk sate) yakni singkatan tanpa makna untuk merumuskan suatu konsep pengaturan bernegara (politik). Demokrasi itu sendiri hadir bukan tanpa kontroversi, dari asal-usulnya saja ia sudah mengundang kontroversi, lalu mengapa menjustifikasinya?? Syaikh Dr. Ja’far Syaikh Idris mengungkapkan:

لم تجد الديمقراطية في تاريخها كله رواجاً مثلما وجدت في عصرنا هذا : لقد كان معظم المفكرين الغربيين منذ عهد اليونان كثيري النقد لها ، بل ورفضها

“Demokrasi tidak pernah meraih popularitas sepanjang sejarahnya, seperti apa yang kita temukan di zaman ini: Padahal sungguh, sebagian besar pemikir Barat sendiri semenjak masa Yunani, telah mengkritik Demokrasi bahkan menolaknya.” (Lihat: Dr. Ja’far Syaikh Idris. “Al-Diimuqraathiyyah Ismun Laa Haqiiqata Lahu”: Majalah Al-Bayaan. No. 196)

Kedua: Jika ada ajaran furuu’ (cabang) dalam Demokrasi yang diklaim sejalan dengan ajaran Islam karena ada kemiripan, mana yang layak diambil? Ajaran Demokrasi yang mirip atau ajaran Islam seutuhnya? Seperti memilih kera betina dan seorang manusia wanita, kira-kira mana yang akan dipilih oleh mereka yang masih berpikir untuk dijadikan istri meski ada kemiripan (sama-sama punya dua kaki dan dua tangan)??

Ketiga: Jika kaum kuffaar, munafiqiin para pemuja sistem politik Demokrasi itu sendiri tak pernah mengklaim bahwa ia sejalan dengan ajaran Islam (karena jelas perbedaan-perbedaan ushuul dan furuu’nya dengan Islam), lalu mengapa masih ada di negeri ini fulan yang seakan rela merendahkan Islam yang agung dengan menyamakan sebagian ajaran Islam yang agung dari Rabb Semesta Alam, Allah ‘Azza wa Jalla dengan sebagian furuu’ Demokrasi hanya dengan klaim adanya kemiripan?? Allah al-Musta’aan… (salah satu syubhat: syuraa’ dalam Islam = musyawarah Demokrasi??).

Islam ajaran yang sempurna yaa ikhwah, tak membutuhkan ajaran selainnya. Allah ’Azza wa Jalla berfirman:

الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا

“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu Jadi agama bagimu.” (TQS. Al-Maa’idah [5]: 3)

Al-‘Allamah asy-Syanqithi (w. 1339 H) ketika menjelaskan ayat ini mengatakan:

وقد صرح الله تعالى في هذه الاية الكريمة أنه أكمل لنا ديننا فلا ينقصه أبدًا، ولا يحتاج إلى زيادة أبدًا؛ ولذلك ختم الأنبياء بنبينا، عليهم صلوات الله وسلامه جميعًا

“Sungguh Allah telah menjelaskan dalam ayat yang mulia ini bahwa Dia telah menyempurnakan bagi kita agama kita, agama ini tidak kurang dan tidak membutuhkan tambahan selama-lamanya; dan oleh karena itu para Nabi ditutup oleh Nabi kita (Nabi Muhammad –shallallaahu ‘alayhi wa sallam-) semoga Allah melimpahkan shalawat serta salam kepada mereka semuanya.” (Muhammad Al-Amin bin Muhammad al-Mukhtar asy-Syanqithi. Al-Islaam Diin Kaamil. Hlm. 3.)

Justifikasi atas Demokrasi tidak akan membuahkan kebaikan kecuali berbagai penyimpangan. Kewajiban bagi setiap da’i, muballigh, asaatidz, memahami paham-paham sesat menyesatkan semisal Demokrasi dan menjelaskannya kepada umat sebagaimana dituturkan sya’ir:

عرفت الشرّ لا للشرّ لكن لتوقيّه
ومن لا يعرف الشرّ من النّاس يقع فيه
“Aku mengetahui keburukan bukan tuk melakukan keburukan, melainkan memproteksi diri darinya”
“Dan barangsiapa tak mengetahui keburukan, maka ia akan terjerumus ke dalamnya”

Dan dikatakan kepada Umar bin al-Khaththab –radhiyallaahu ’anhu– bahwa seseorang tidak mengetahui sesuatu yang buruk, lalu Umar berkata:

أحذر أن يقع فيه

“Peringatkan ia agar tidak terjerumus pada keburukan.” (Lihat: Prof. Dr. Muhammad Ali ash-Shabuni. Rawâ’i al-Bayân (Tafsîr Aayât al-Ahkâm). Juz. I/ Hlm. 76. Damaskus: Maktabah al-Ghazali. Cet. III).

Dan memahamkan umat kewajiban menegakkan syari’at Islam kaaffah dalam naungan sistem warisan Rasulullah -shallallaahu ‘alayhi wa sallam- yakni al-Khilaafah ‘alaa minhaaj an-nubuwwah. Umat mesti dipahamkan agar segera mencampakkan Demokrasi dan sistem-sistem batil lainnya, karena pilar sistem adalah umat. []

Jawaban kami terhadap justifikasi atas Demokrasi: Link Artikel

Irfan Abu Naveed

Da’i yang Menyeru Kepada Petunjuk atau Kesesatan?

Dakwah merupakan poros hidup para Nabi dan Rasul, ia adalah jalan mulia yang memuliakan orang-orang mengembannya dan menghinakan para penentangnya, hal itu terukir dalam kisah agung perjalanan dakwah para utusan Allah –’alayhim as-salaam-. Prof. Dr. Ahmad Ahmad Ghulusy, Dekan Fakultas Dakwah Al-Asbaq, menuturkan[1]: “Sesungguhnya amal yang paling mulia dan paling luhur adalah dakwah kepada Allah, di dalamnya terkandung keagungan dari apa yang disampaikan, kebesaran wasilah, kemuliaan amal perbuatan, dan keluhuran tujuan.” Allah ’Azza wa Jalla berfirman:

وَمَنْ أَحْسَنُ قَوْلًا مِمَّنْ دَعَا إِلَى اللَّهِ وَعَمِلَ صَالِحًا وَقَالَ إِنَّنِي مِنَ الْمُسْلِمِينَ

“Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal salih dan berkata, “Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri?” (QS Fushshilat [41]: 33).

Prof. Dr. Ahmad pun menegaskan bahwa Allah telah memberikan kekhususan bagi para Rasul-Nya yang mulia untuk memulai amal mulia ini, dan mentaklif mereka dengannya dan mengutus mereka dengan membawa wahyu dari-Nya untuk mereka sampaikan kepada umat manusia[2]:

رُسُلًا مُبَشِّرِينَ وَمُنْذِرِينَ لِئَلَّا يَكُونَ لِلنَّاسِ عَلَى اللَّهِ حُجَّةٌ بَعْدَ الرُّسُلِ ۚ وَكَانَ اللَّهُ عَزِيزًا حَكِيمًا

“(Mereka Kami utus) selaku Rasul-rasul pembawa berita gembira dan pemberi peringatan agar supaya tidak ada alasan bagi manusia membantah Allah sesudah diutusnya Rasul-rasul itu. dan adalah Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. An-Nisaa’ [4]: 165)

يَا أَيُّهَا الرَّسُولُ بَلِّغْ مَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ مِنْ رَبِّكَ ۖ وَإِنْ لَمْ تَفْعَلْ فَمَا بَلَّغْتَ رِسَالَتَهُ ۚ وَاللَّهُ يَعْصِمُكَ مِنَ النَّاسِ ۗ إِنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الْكَافِرِينَ

“Hai rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu. dan jika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti) kamu tidak menyampaikan amanat-Nya. Allah memelihara kamu dari (gangguan) manusia. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir.” (QS. Al-Maa’idah [5]: 67)

Dengan perantaraan dakwah, Islam –bi fadhlillaahi ta’aalaa- tersebar ke seluruh penjuru dunia dari Timur ke Barat, dari Utara ke Selatan. Bisa dibayangkan jika seandainya tiada wasilah dakwah, maka Islam tidak akan hadir di tengah-tengah kita saat ini. Dari Mekkah-Madinah sampai ke Nusantara. Hal itu karena objek dakwah mencakup mereka yang masih dalam kekafiran agar memeluk Islam,[3] dan kaum muslimin yang melakukan kemaksiatan agar kembali kepada keta’atan. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman:

وَلْتَكُنْ مِنْكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ ۚ وَأُولَٰئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ

“Hendaklah ada di antara kalian segolongan umat yang menyerukan kebajikan, menyuruh kemakrufan dan mencegah kemungkaran. Merekalah orang-orang yang beruntung.” (QS Ali Imran [3]: 104).

Imam ath-Thabari menjelaskan ayat ini: “Hendaklah ada di antara kalian, wahai orang-orang Mukmin, segolongan umat yang menyeru manusia pada kebajikan, yakni kepada Islam dan syariah-syariahnya.”[4] 

Namun sebagai evaluasi, da’i seperti apakah anda? Imam Ibn Manzhur (w. 711 H) ketika mendefinisikan kata da’i menyatakan:

الدعاة: قوم يدعون إلى بيعة هُدى أو ضلالة، واحدهم داع. ورجل داعية إذا كان يدعو الناس إلى بدعة أو دين، أُدخلت الهاءَ فيه للمبالغة. والنبي -صلى الله عليه وسلم- داعي الله تعالى، وكذلك المؤذن

“Du’aat adalah kaum yang menyeru kepada petunjuk atau kesesatan, tunggalnya adalah daa’i. Dan seorang disebut daa’iyyah jika ia menyeru manusia kepada bid’ah atau din, dan ditambahkan kata haa’ sebagai penguatan. Dan Nabi –shallallaahu ‘alayhi wa sallam- adalah da’i Allah, begitu pula orang yang berazan.”[5] 

Rasulullaah -shallallaahu ‘alayhi wa sallam- adalah teladan bagi para da’i ilaa Allah. 

لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا

“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan Dia banyak menyebut Allah.”(QS. Al-Ahzâb [33]: 21)

Ayat yang agung ini diawali dengan penegasan-penegasan, dimana dalam ilmu balaghah penegasan-penegasan ini menafikan segala bentuk keraguan dan penolakan. Keteladanan beliau pun mencakup metode dakwah dan keteguhan dalam berdakwah tanpa kenal lelah. Semoga kita termasuk orang yang menempuh jalannya dan berupaya meneladani keteguhannya.

Da’i ilaa Allah sudah semestinya mendakwahi umat agar menjadikan Islam sebagai solusi kehidupan, mengungkapkan keburukan sistem dan ideologi rusak produk hawa nafsu manusia (saat ini; demokrasi, sekularisme, kapitalisme, komunisme, -), mengadopsi permasalahan umat dan menjelaskan hukum syara’ atasnya, memahamkan umat akan kesesatan ajaran SEPILIS dan yang semisalnya, dikatakan sebagaimana dituturkan sya’ir:

عرفت الشرّ لا للشرّ لكن لتوقيّه
ومن لا يعرف الشرّ من النّاس يقع فيه
“Aku mengetahui keburukan bukan tuk melakukan keburukan, melainkan memproteksi diri darinya”
“Dan barangsiapa tak mengetahui keburukan, maka ia akan terjerumus ke dalamnya”[6] 

Dan dikatakan kepada Umar bin al-Khaththab –radhiyallaahu ’anhu– bahwa seseorang tidak mengetahui sesuatu yang buruk, lalu Umar berkata: 

أحذر أن يقع فيه

“Peringatkan ia agar tidak terjerumus pada keburukan.”[7] 

Semoga kita termasuk da’i yang menyeru kepada Allah, meneladani Rasulullah –shallallaahu ‘alayhi wa sallam- dan termasuk dalam golongan orang yang meraih keutamaan ini:

مَنْ دَلَّ عَلَى خَيْرٍ فَلَهُ مِثْلُ أَجْرِ فَاعِلِهِ

“Barangsiapa yang menunjukkan kepada sebuah kebaikan maka baginya seperti pahala pelakunya.” (HR. Muslim)

Allah al-Musta’aan

اللهم اجعلنا من الدعاة الصالحين الناجحين…

Catatan Kaki:

[1] Lihat: Prof. Dr. Ahmad Ahmad Ghulusy. Silsilatu Târiikh ad-Da’wah ilâ Allâh Ta’âlâ: Da’watur Rusuul ‘Alayhim as-Salâm. Hlm. 5.

[2] Ibid.

[3] Lihat: Prof. Dr. Muhammad Rawwas Qal’ah Ji & Dr. Hamid Shadiq. Mu’jam Lughatil Fuqâhâ’.

[4] Lihat: Al-Hafizh Ath-Thabari. Jâmi’ al-Bayân fî Ta’wîl al-Qur’ân. VII/90.

[5] Lihat: Imam Ibn Manzhur. Lisaan al-‘Arab. Juz. IV, Hlm. 361. Beirut: Dar Ihya’ at-Turats al-‘Arabiy; Lihat pula al-Mu’jam al-Wasiith, Hlm. 287.

[6] Lihat: Prof. Dr. Muhammad Ali ash-Shabuni. Rawâ’i al-Bayân (Tafsîr Aayât al-Ahkâm). Juz. I/ Hlm. 76. Damaskus: Maktabah al-Ghazali. Cet. III.

[7] Ibid.

Koalisi Pragmatis dalam Pandangan Islam

Koalisi-Imam2

Penulis: Irfan Abu Naveed

Staff Kulliyyatusy-Syarî’ah wad-Dirâsât al-Islâmiyyah Jâmi’atur-Râyah, Lajnah Tsaqafiyyah DPD II HTI Cianjur

Majalah Al-Wa’ie: Link Koalisi Pragmatis Haram

Pengertian dan Fakta Koalisi Saat Ini

Koalisi secara bahasa berasal dari serapan bahasa Inggris, coalition yang artinya penggabungan, penyatuan. Dalam KBBI Online pun disebutkan bahwa koalisi: kerja sama antara beberapa partai untuk memperoleh kelebihan suara di parlemen.[1] 

Koalisi menurut pengertian bahasa (etimologi) artinya adalah kerjasama antara beberapa partai. (W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, hlm. 514). Dalam bahasa Inggris, coalition diartikan sebagai pergabungan atau persatuan, sedang coalition party artinya adalah partai koalisi. (John M. Echols & Hassan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, hlm. 121). Menurut pengertian istilah (terminologi), koalisi memiliki banyak definisi. Menurut Ensiklopedi Populer Politik Pembangunan Pancasila Edisi IV (1988:50), koalisi berasal dari bahasa Latin co-alescare, artinya tumbuh menjadi alat penggabung. Maka koalisi dapat diartikan sebagai ikatan atau gabungan antara dua atau beberapa negara untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu. Atau dapat diartikan sebagai gabungan beberapa partai/fraksi dalam parlemen untuk mencapai mayoritas yang dapat mendukung pemerintah. (Murdiati, 1999).[2] 

Pengertian koalisi tersebut sepadan dengan istilah at-tahâluf as-siyâsiy yangsecara etimologi dari kata al-hilf:

الحِلْفُ العَهْد يكون بين القوم

Al-Hilf: perjanjian di antara kaum.” [3] 

Lebih rinci, Imam Ibn al-Atsir pun mendefinisikan al-hilf:

أصل الحِلْف: المُعاقَدةُ والمعاهدة على التَّعاضُد والتَّساعُد والاتّفاق

“Asal-usul kata al-hilf: saling mengikat dan mengadakan perjanjian dalam hal bekerja sama, tolong menolong dan kesepakatan.”[4] 

Adapun istilah at-tahâluf, Prof. Dr. Muhammad Rawwas Qal’ah Ji mendefinisikan:

التحالف : حلف كل واحد من الفريقين

At-Tahâluf: yakni kesepakatan satu sama lain di antara dua pihak (atau lebih).[5] 

Realitas koalisi dalam politik praktis saat ini, dilakukan oleh sejumlah parpol yang bersepakat dan bekerja sama membangun suatu pemerintahan. Koalisi yang ada adalah koalisi memilih Capres dan Cawapres beserta perangkatnya yang faktanya bertugas menegakkan sistem Demokrasi dan sistem hukum positif.

Koalisi Pragmatis dalam Pandangan Islam

Islam adalah agama yang mengatur segala aspek kehidupan manusia termasuk hukum berkoalisi yang realitasnya adalah bekerja sama mengangkat penguasa beserta perangkatnya yang menegakkan sistem kufur Demokrasi dan sistem hukum jahiliyah, maka hukumnya haram secara syar’i.

Sebagian perinciannya sebagai berikut:

Pertama, Larangan berhukum dengan selain hukum Islam (hukum jahiliyah) (lihat: QS. Al-Ahzâb [33]: 36, QS. al-Mâ’idah [5]: 44; 45; 47, -) dan kewajiban berhukum dengan hukum Islam (lihat: QS. an-Nisâ’ [4]: 65, QS. al-Mâ’idah [5]: 48, QS. Al-Baqarah [2]: 208, QS. An-Nûr [24]: 51, -) dan nash-nash lainnya disertai banyak sekali penjelasan para ulama mengenai ini.

Kedua, Keharaman tolong menolong dalam dosa dan pelanggaran, maka meskipun koalisi tersebut dibangun oleh partai-partai “berbasis massa islam”, jika berkoalisi (saling tolong menolong) mengangkat penguasa yang menegakkan Demokrasi, sistem hukum jahiliyah maka hukumnya tetap haram karena nyata bekerja sama dalam kemungkaran.

وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَىٰ ۖ وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ

“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah Amat berat siksa-Nya.” (QS. Al-Mâ’idah [5]: 2)

Ayat yang mulia ini jelas mengharamkan tolong menolong dalam dosa dan pelanggaran. Tuntutan dalam ayat ini pun tegas berdasarkan indikasi “sesungguhnya Allah Amat berat siksa-Nya.

Imam Ibnu Katsir menjelaskan ayat di atas: “Allah Swt. telah memerintahkan kepada para hamba-Nya yang beriman untuk tolong-menolong dalam mengerjakan perbuatan baik, yaitu kebajikan (al-birr), dan meninggalkan kemungkaran-kemungkaran, yaitu ketakwaan (at-taqwa). Allah Swt. juga melarang mereka untuk tolong-menolong dalam kebatilan (al-bâthil), dalam dosa (al-ma’âtsim) dan dalam hal-hal yang diharamkan (al-mahârim).”[6] 

Rasulullah –shallallaahu ’alayhi wa sallam– menegaskan:

لاَ حِلْفَ فِي الإِسْلام

Tidak boleh ada perjanjian (yang batil) dalam Islam.” (HR al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud dan Ahmad).[7] 

Al-Hafizh Nawawi memaknai hadis itu dengan menyatakan:

فَالْمُرَاد بِهِ حِلْف التَّوَارُث وَالْحِلْف عَلَى مَا مَنَعَ الشَّرْع مِنْهُ

“Yang dimaksud dengan hilf[un] yang dilarang dalam hadis di atas adalah perjanjian untuk saling mewarisi [yang ada pada masa awal hijrah bagi orang-orang yang saling dipersaudarakan oleh Rasulullah –shallallaahu ‘alayhi wa sallam-] dan perjanjian pada segala sesuatu yang dilarang oleh syariah.”[8] 

Imam Ibn al-Atsir ketika menjamak dua kelompok hadits mengenai hilf (yang seakan bertentangan) menuturkan:

يريد من المُعاقدة على الخير ونُصْرَة الحق، وبذلك يجتمع الحديثان، وهذا هو الحِلْف الذي يَقْتَضِيه الإسلام، والمَمْنُوع منه ما خالف حُكْم الإسلام

“(Islam) menghendaki (mewajibkan) akad saling mengikatkan diri adalah dalam kebaikan dan menolong kebenaran, dan itu (disimpulkan) dari dikumpulkannya dua kelompok hadits, dan inilah perjanjian (koalisi)yang dituntut oleh Islam, adapun perjanjian (koalisi) yang dilarang dalam Islam adalah yang menyelisihi hukum Islam.”[9] 

Ketiga, Setiap syarat dalam koalisi yang bertentangan dengan al-Qur’an dan as-Sunnah adalah akad batil yang dibatalkan oleh Islam. Rasulullah –shallallaahu ‘alayhi wa sallam- bersabda:

مَنْ اشْتَرَطَ شَرْطًا لَيْسَ فِي كِتَابِ اللهِ فَهُوَ بَاطِلٌ. وَإِنْ كَانَ مِائَة شَرْط كِتَاب [الله] أَحَق؛ وَشَرْط الله أَوْثَق

“Barangsiapa membuat persyaratan (perjanjian) yang tidak sesuai dengan kitab Allah, maka syarat tersebut batal walaupun mengajukan seratus persyaratan, karena syarat Allah lebih benar dan lebih kuat.” (HR. Bukhari & Muslim)

كُلُّ شَرْطٍ لَيْسَ فِي كِتَابِ اللَّهِ فَهُوَ بَاطِلٌ وَإِنْ كَانَ مِائَةَ شَرْطٍ

Setiap syarat yang tidak sesuai dengan Kitabullah, maka ia adalah batil, meskipun ada seratus syarat.”(HR Bukhari no 2375; Muslim no 2762; Ibnu Majah no 2512; Ahmad 24603; Ibnu Hibban no 4347).

Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-’Asqalani menjelaskan:

أَنَّ الشُّرُوط الْغَيْر الْمَشْرُوعَة بَاطِلَة وَلَوْ كَثُرَتْ

“Sesungguhnya syarat-syarat yang tidak sesuai syara’ adalah batil, meski banyak jumlahnya.” (Ibnu Hajar Al-’Asqalani, Fathul Bari, 8/34).

Keempat, Koalisi adalah sarana pemenuhan syarat bagi partai-partai untuk mengangkat Capres dan Cawapres dimana keduanya adalah hakim yang bertugas menegakkan sistem kufur Demokrasi dan sistem hukum jahiliyah. Maka jelas sarana ini hukumnya haram, sesuai kaidah syar’iyyah:

الوَسِيْلَةُ إِلَى الْحَرَامِ مُحَرَّمَةٌ

“Sarana yang menyampaikan kepada perkara haram maka diharamkan.”

Imam al-Jurjani, dipertegas Prof. Dr. Muhammad Rawwas Qal’ah Ji, mendefinisikan wasîlah yakni:

الوَسِيْلَةُ: هِيَ مَا يُتَقَرَّب بِهِ إِلى الغَيْرِ

Wasilah yakni dimana suatu hal dihantarkan olehnya kepada hal lainnya”.[10] 

Kaidah tersebut bisa diterapkan pada kasus ini karena: (1) Hukum yang menjadi tujuannya jelas haram dan keharamannya dinyatakan oleh nash; yakni keharaman menegakkan kemungkaran sistem kufur Demokrasi dan sistem hukum jahiliyah. (2) Sarana (koalisi) tersebut berdasarkan ghalabatu azh-zhann mengantarkan kepada perbuatan mengangkat presiden dan wakilnya yang bertugas menegakkan sistem kufur Demokrasi dan sistem hukum jahiliyah.

Bantahan Argumentatif atas Berbagai Dalih

Di antara syubhat yang menjustifikasi koalisi pragmatis adalah untuk menolak madharat dan mewujudkan kemaslahatan atau maslahat mursalah. Benarkah klaim tersebut? Ada yang menjustifikasi koalisi pragmatis dengan menukil pernyataan asy-Syafi’i yang menyatakan bahwa patokan boleh dan tidaknya tahâluf dengan non muslim adalah kemaslahatan umat [11]. Dan pernyataan Ibnu Taimiyah yang berkata bahwa pemberlakuan tahâluf tidak harus bertendensi kepada ideologi melainkan kepada maslahat umat agar tidak di luar koridor, maka ia memberikan batasan sepanjang tidak bertentangan dengan al-Qur’an dan Sunnah Nabi -shallallaahu ‘alayhi wa sallam-.[12] 

Padahal pernyataan Ibn Taimiyah di atas, jelas menjadikan al-Qur’an dan as-Sunnah sebagai patokan utama, sebagaimana dituturkan olehnya dalam kesempatan lain (24/280): “Bukan menjadi hak hamba untuk menepis setiap mudharat dengan apa saja yang disukai, dan tidak pula meraih setiap manfaat dengan apa saja yang disukai, melainkan ia tidak boleh meraih manfaat kecuali dengan apa yang mengandung taqwa pada Allâh, dan tidak pula menepis mudharat kecuali dengan sesuatu yang mengandung taqwa kepada Allâh.”[13] 

Begitu pula dengan Imam asy-Syafi’i yang mengkritik keras maslahat mursalah:  

مَنْ اِسْتَصْلَحَ فَقَدْ شَرَّعَ كَمَنْ اِسْتَحْسَنَ فَقَدْ شَرَّعَ

“Siapa saja yang menggunakan maslahat (sebagai hujah) maka ia benar-benar telah membuat syari’ah, sama halnya dengan orang yang menggunakan istihsan maka ia benar-benar telah membuat syari’ah.”[14] 

Imam Al-Amidi pun menegaskan:

وهو ما ظن أنه دليل وليس بدليل فكشرع من قبلنا ومذهب الصحابي والاستحسان والمصلحة المرسلة

“(Poin kedua) yakni apa-apa yang diduga dalil padahal ia bukanlah dalil seperti syar’u man qablanâ, madzhab sahabat, istihsan dan maslahat mursalah.”[15] 

Para ahli fikih dari berbagai madzhab pun tidak menjadikannya sebagai dalil, meski bisa disebut syubhah ad-dalîl, tentu keliru jika sesuatu yang diduga dalil lebih diutamakan daripada nash-nash al-Qur’an dan as-Sunnah. Alasan mewujudkan kemaslahatan dengan batasan yang tidak jelas dan dugaan semata tentu tidak bisa dijadikan dalil untuk menggugurkan apa yang sudah jelas keharamannya berdasarkan nash al-Qur’an dan as-Sunnah. Al-Amidi menuturkan:

وقد اتفق الفقهاء من الشافعية والحنفية وغيرهم على امتناع التمسك به وهو الحق إلا ما نقل عن مالك أنه يقول به مع إنكار أصحابه لذلك عنه

“Para ahli fikih dari syafi’iyyah, hanafiyyah dan lainnya melarang berpegang padanya (maslahah mursalah) dan itu adalah benar kecuali apa yang dinukil dari Imam Malik bahwa beliau berpendapat dengannya namun para sahabatnya mengingkari hal itu dari beliau.”

Di sisi lain, koalisi pragmatis hanya membuahkan madharat yang nyata dibalik perbuatan bekerja sama mengangkat Capres dan Cawapres serta perangkatnya yang bertugas menegakkan sistem kufur Demokrasi dan sistem hukum jahiliyah, apakah ia diasumsikan sebagai madharat yang sepele? Banyak petunjuk al-Qur’an dengan penunjukkan yang pasti mengecam perbuatan berpaling dari syari’at Allah dan hal itu jelas merupakan bahaya yang nyata dunia dan akhirat. Prof. Dr. Muhammad Ali Ash-Shabuni dalam ceramahnya [16] memperingatkan: “Pesanku ini ditujukan kepada seluruh dunia dan umat manusia seluruhnya. Kehidupan manusia saat ini, hidup dalam kehidupan yang benar-benar tiada kedamaian, tiada kelapangan, tiada kehormatan, tiada ketenangan dan tiada kejelasan, itu semua disebabkan berpalingnya manusia (menjauh) dari petunjuk Allah dan tidak adanya upaya berpegangteguh melaksanakan perintah-perintah-Nya. Padahal Allah telah memperingatkan kita dari hal itu dengan firman-Nya:

وَمَنْ أَعْرَضَ عَنْ ذِكْرِي فَإِنَّ لَهُ مَعِيشَةً ضَنْكًا وَنَحْشُرُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَعْمَىٰ

“Dan barangsiapa yang berpaling dari peringatan-Ku (Al-Qur’an) maka baginya penghidupan yang sempit dan akan Kami kumpulkan ia pada hari kiamat dalam keadaan buta” (QS. Thâhâ [20]: 124)

Prof. Dr. Muhammad Amahzun menuturkan:

ولا شك أن تنحية شرع الله وعدم التحاكم إليه في شؤون الحياة ، من أخطر وأبرز مظاهر الانحراف في مجتمعات المسلمين، وكانت عواقب الحكم بغير ما أنزل الله في بلادهم ما حل بهم من أنواع الفساد والشرور والبغي والظلم والذل ومحق البركة.

“Dan tidak ada keraguan bahwa berpaling dari syari’at Allah dan tidak berhukum dengannya dalam kehidupan, termasuk hal yang paling berbahaya dan paling jelas penyimpangannya bagi kaum muslimin, dan berhukum dengan selain hukum Allah di negeri-negeri kaum muslimin mengakibatkan berbagai kerusakan, keburukan, penindasan, kezhaliman, kehinaan dan menghilangkan keberkahan hidup.”[17] 

Kaidah ahwân asy-syarrayn, akhaffu al-mafsadatayn dan yang semisalnya pun tidak bisa digunakan dalam kasus koalisi pragmatis. Karena kita tidak dihadapkan pada kondisi darurat, apakah melakukan koalisi batil merupakan kondisi darurat yang mengancam nyawa dan tak bisa dihindari? Prof. Dr. Muhammad Rawwas Qal’ah Ji mendefinisikan dharurah:

الضرورة : الحاجة الشديدة والمشقة والشدة التي لا مدفع لها

“Darurat: kebutuhan yang teramat sangat, kesempitan dan kesulitan yang tidak bisa dihindari.”

Menurut Imam as-Suyuthi, Izzuddin bin Abdus Salam dan al-Qarafi, kaidah ini hanya diterapkan dalam kondisi darurat atau terpaksa. Sebab, kaidah ini merupakan cabang dari kaidah Adh-Dhararu Yuzâlu (Bahaya harus dihilangkan)”. Kita tidak bisa beralih ke hukum cabang (kaidah cabang) apabila hukum asal (kaidah asal) masih bisa diberlakukan. Hukum pokoknya adalah: segala kemadaratan, mafsadat dan keharaman harus dihilangkan; kecuali jika dua bahaya bertentangan dan tidak mungkin keduanya dihindari sekaligus maka bahaya yang lebih besar harus dihindari dengan terpaksa menempuh bahaya yang lebih kecil atau lebih ringan.

Dr. Mahmud Abdul Karim Hasan menyatakan bahwa para ulama yang mengadopsi kaidah tersebut telah merinci syarat-syarat dan konteks pengamalannya, dan tidak sah mengambil teks kaidah tersebut seakan-akan ia adalah syar’i secara mutlak atau mengadopsinya dengan menghilangkan syarat-syarat penerapannya kemudian mengeluarkan fatwa-fatwa berdasarkan kaidah tersebut menghalalkan perkara haram dan mengelabui manusia.

Intinya ia menjelaskan bahwa kaidah ini hanya diberlakukan pada kondisi-kondisi sebagaimana yang dijelaskan para ulama yang mengadopsi kaidah-kaidah tersebut:

Pertama, jika seseorang sudah sampai pada batas darurat  yang menimbulkan kekhawatiran akan hilangnya nyawa, dan pada saat itu ia hanya menemukan dua keharaman dan ia mesti memilih yang paling ringan keharamannya (tidak ada pilihan lain), namun jika ia menemukan perkara halal maka ia tidak berlaku.

Kedua, jika seseorang meninggalkan dua keharaman tersebut, namun jika begitu ia malah akan terjerumus pada keduanya atau pada keharaman lain yang lebih besar dari keduanya.[18] 

Dalam konteks ini Imam Izzuddin bin Abdis Salam berkata: “Ketika berkumpul beberapa bahaya, jika mungkin untuk meninggalkannya, maka kita harus meninggalkan semuanya. Jika tidak mungkin, kita harus meninggalkan yang paling besar bahayanya, kemudian yang di bawahnya dan seterusnya. Jika derajat bahayanya sama, harus ditangguhkan. Kadangkala di antara bahaya-bahaya itu ada yang bisa dipilih, ada yang diperselisihkan dalam kesamaan dan perbedaannya. Dalam bahaya ini tidak ada perbedaan antara yang diharamkan dengan yang dimakruhkan (artinya sama-sama harus ditinggalkan).”[19] 

Di sisi lain penentuan mana bahaya yang lebih besar dan yang lebih kecil tidak boleh diserahkan pada akal dan hawa nafsu, tetapi harus merujuk pada syari’ah. Karena syari’ah menjelaskan halal dan haram serta mana yang lebih ringan keharamannya, dan akal tak mampu menentukan mana yang terpuji dan tercela, mana yang diganjar pahala dan dibalas dengan siksa. Al-Qadhi Taqiyuddin an-Nabhani berkata:

أن الخير في نظر المسلم ما أرضى الله والشر هو ما أسخطه

“Bahwa predikat baik (al-khayr) dalam penilaian seorang muslim adalah sesuatu yang diridhai Allâh, sedangkan buruk (al-syarr) adalah sesuatu yang dimurkai-Nya.”

Al-Qadhi al-Baqilani berkata:

اَلْحَسَنُ مَا حَسَّنَهُ الشَّرْعُ وَالْقَبِيْحُ مَا قَبَّحَهُ الشَّرْعُ

“Yang terpuji adalah apa yang dipuji oleh syariah, sedangkan yang tercela adalah apa yang dicela oleh syariah.”[20] 

Kita tetap wajib terikat pada hukum syara’ meskipun di Dârul Kufur seperti saat ini. Allah SWT berfirman:

فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ

“Maka bertakwalah kepada Allah sesuai kesanggupanmu..” (QS. At-Thaghâbûn [64]: 16)

Imam asy-Syawkani berkata:

فإن أحكام الشرع لازمة للمسلمين في أي مكان وُجِدوا، ودار الحرب ليست بناسخة للأحكام الشرعية أو لبعضها

“Sungguh hukum-hukum syara’ itu mengikat kaum muslimin di manapun mereka berada dan Dâr al-Harbi tidak bisa menghapuskan hukum-hukum syara’ secara keseluruhan atau sebagian.”[21]

Identitas Partai Politik Islam

Partai politik wajib berasaskan akidah Islam, dan dari akidah inilah terpancar berbagai peraturan yang diadopsi oleh partai, dan ia wajib terikat padanya dalam hal apapun mencakup metode, pemikiran dan uslub yang digunakan. Aktivitasnya adalah menyerukan al-khayr yakni al-Islam, menyuruh kepada yang ma’ruf dan melarang dari kemungkaran.

وَلْتَكُنْ مِنْكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ ۚ وَأُولَٰئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ

“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada al-khayr (al-Islam), menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung.” (QS. Âli Imrân [3]: 104)

Parpol Islam, sudah semestinya menyerukan perubahan sistem berdasarkan metode perubahan yang dicontohkan Rasulullah –shallallaahu ‘alayhi wa sallam– sebaik-baiknya teladan.

لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا

“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan Dia banyak menyebut Allah.” (QS. Al-Ahzâb [33]: 21)

Yakni dengan membina umat ini menjadi da’i yang menyeru kepada al-Islam, menjadikan Islam sebagai solusi kehidupan, mengungkapkan keburukan sistem dan ideologi rusak produk hawa nafsu manusia (saat ini; demokrasi, sekularisme, kapitalisme, komunisme, -), mengadopsi permasalahan umat dan menjelaskan hukum syara’ atasnya, melakukan thalabun nushrah kepada para pemilik kekuatan riil agar berjuang bersama umat dan partai untuk menegakkan sistem Islam dan menjaganya, yakni al-Khilafah yang tegak di atas manhaj kenabian yang menjadi metode menerapkan dan mendakwahkan Islam ke seluruh penjuru alam, tidak mudah memang namun diam bukanlah jawaban. Allâh al-Musta’ân.

وَمَنْ يَتَهَيَّبُ صُعُوْدَ الجِبَالِ # يَعِشْ أَبَدَ الدَّهْرِ بَيْنَ الحُفَرِ

“Siapa yang takut naik gunung # Akan hidup di antara lubang selamanya.”[22] 

[]

 

Catatan Kaki:

[1] Lihat: http://kbbi.web.id/koalisi 

[2] Dinukil dari tulisan KH. Muhammad Shiddiq al-Jawi:

http://hizbut-tahrir.or.id/2009/04/30/koalisi-parpol-islam-dan-parpol-sekuler-dalam-pandangan-islam/ 

[3] Lihat: Ibn al-Manzhur dalam Lisân al-‘Arab; Imam Ar-Raghib al-Ashfahani. Al-Mufradât fî Gharîb al-Qur’ân. Maktabah Nazâr Mushthafa al-Bâz. Juz. I, Hlm. 170.

[4] Lihat: Imam Ibn Al-Atsir. An-Nihâyah fî Gharîb al-Hadîts wa al-Atsar. Juz. I, Hlm. 424. Al-Maktabah al-Islamiyyah.

[5] Lihat: Prof. Dr. Muhammad Rawwas Qal’ah Ji & Dr. Hamid Shadiq. 1988. Mu’jam Lughatil Fuqâhâ’. Cet. II. Beirut: Dar an-Nafa’is.

[6] Lihat: Al-Hafizh Ibn Katsir. Tafsîr Ibnu Katsîr. II/12-13.

[7] HR Bukhari no 2130; Muslim no 4593; Abu Dawud no 2536; Ahmad no 13475.

[8] Lihat: Al-Hafizh An-Nawawi. Syarh Muslim. III/302.

[9] Lihat: Ibn Al-Atsir. An-Nihâyah fî Gharîb al-Hadîts wa al-Atsar. Juz. I, Hlm. 425. Lihat pula penegasan Imam Ibn Manzhur dalam Lisân al-‘Arab.

[10] Lihat: Ali bin Muhammad as-Sayyid asy-Syarif al-Jurjani. Mu’jam at-Ta’rîfât. Muhaqqiq: Muhammad Shiddiq al-Minsyawi. Kairo: Dar al-Fadhilah; Prof. Dr. Muhammad Rawwas Qal’ah Ji & Dr. Hamid Shadiq. 1988. Mu’jam Lughatil Fuqâhâ’.

[11] Lihat: Mughnî al-Muhtâj; 4/221.

[12] Lihat: Majmû’ al-Fatâwâ 35/92-97; dinukil dalam Fatwa-Fatwa Dewan Syariah (Jakarta: ROBBANI PRESS, 2005), hlm 191-197.

[13] Dinukil dari; Irfan Abu Naveed. Menyingkap Jin dan Dukun Hitam Putih Indonesia. Halim Jaya: Surabaya.

[14] Lihat: Hujjat al-Islam al-Ghazali. Al-Musthasfa min ‘Ilm al-Ushûl. II/506.

[15] Lihat: Al-Amidi. Al-Ihkâm fî Ushûl Al-Ahkâm. Muhaqqiq: Al-‘Allamah Abdurrazzaq ‘Afifi.

[16] Dalam video yang diterjemahkan oleh penulis dan dipublish di: www.irfanabunaveed.com 

[17] Lihat: Prof. Dr. Muhammad Amhazun. Thâghût Al-‘Ashr. Majallatul Bayân. No. 303.

[18] Lihat: Dr. Mahmud Abdul Karim Hasan. Qâ’idatu Ahwan asy-Syarrayn. Majallatul Wa’ie. No. 224. Thn. Ke-20. Edisi Ramadhan 1426 H.

[19] Lihat: Imam ’Izzuddin bin ’Abdussalam. Qawâ’id Al-Ahkâm fî Mashâlih al-Anâm; dinukil dari Al-Wa’ie No. 224. Thn. Ke-20. Edisi Ramadhan 1426 H.

[20] Lihat: Al-Qadhi Abu Bakar al-Baqillani, Al-Anshâf fîmâ Yajibu I’tiqâduhu wa Lâ Yajuzu al-Jahlu bihi; Al-Qadhi Taqiyuddin an-Nabhani. Mafâhîm Hizb at-Tahrîr. Beirut: Dar al-Ummah.

[21] Lihat: Imam Muhammad bin Ali asy-Syawkani. 1425 H. As-Saylu al-Jarrâr al-Mutadaffiq ’alâ Hadâ’iq al-Azhâr. Cet. I. Beirut: Dar Ibn Hazm. Lihat pada halaman 963, Kitab As-Siyar.

[22] Lihat: Dr. Muhammad bin ‘Abdurrahman al-‘Arifi. Istamti’ bi Hayâtika: Funun al-Ta’ammil Ma’a an-Nâs fii Zhilli Shirâth Dzikrayyât Aktsar min ‘Isyriin Sanah.

Ini Jawaban Kami Yaa Rijaal… Ini Jawaban Kami Yaa Rijaal

Irfan

Yaa rijaal.. waktu kami terlalu berharga tuk dihabiskan menjawab pertanyaan yang sebenarnya tak butuh jawaban kecuali sebagai bahan olok-olokkan, sebagaimana terlalu berharganya waktu kami jika dihabiskan meladeni pernyataan yang tak dibangun kecuali dari suu ‘azh-zhann dan fanatisme buta pada golongan… 

Yaa rijaal.. hati-hati dengan kerugian habiskan waktu memancing permusuhan dan perdebatan kusir ala sufahaa’ menyenangkan syaithan-syaithan wal ‘iyaadzu billaah… Jika hanya diam tenggelam dalam keimanan yang sebatas klaim dan berbangga dengan amal yang sedikit nian dikatakan merugi lantas bagaimana jika waktu ini dihabiskan untuk memicu permusuhan dan pelanggaran??… Dimana Allah yang Maha Agung telah berfirman:

وَالْعَصْرِ (١) إِنَّ الْإِنْسَانَ لَفِي خُسْرٍ (٢) إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ (٣

“Demi Masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman, mengerjakan amal shalih dan saling menasehati untuk mentaati kebenaran dan saling menasihati untuk menetapi kesabaran.” (QS. Al-‘Ashr [103]: 1-3)

Yaa rijaal.. Bagaimana bisa? Aktvitas dakwah islam yang agung antum jadikan bahan olok-olokan… Dakwah yang agung antum katakan omong doang… Pengorbanan besar, seruan agung tuk tegakkan al-Khilaafah wasy-Syarii’ah di jalan-jalan, dalam berbagai mu’tamar, nadawaat, dauraat memahamkan umat menuju kebangkitan yang Allah berkahi dengan kelancaran dan keberhasilan antum katakan hanya diam… Para ulama dan du’aat ilaa Allah yang dicintai umat antum katakan tukang fitnah, tukang ghiibah… Allah al-Musta’aan…

Padahal Allah ‘Azza wa Jalla yang Maha Terpuji saja memuji dakwah dengan sebaik-baiknya perkataan…

وَمَنْ أَحْسَنُ قَوْلًا مِمَّنْ دَعَا إِلَى اللَّهِ وَعَمِلَ صَالِحًا وَقَالَ إِنَّنِي مِنَ الْمُسْلِمِينَ

“Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal salih dan berkata, “Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri?” (QS Fushshilat [41]: 33).

Padahal Allah ‘Azza wa Jalla yang Maha Mulia saja memuliakan para ulama beberapa derajat dari kita yang sekedar terlihat ‘aalim dalam pakaian….

يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ

“Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat..” (QS. al-Mujaadilah [58]: 11)

Yaa rijaal… Kami tak butuh pujian antum sebagaimana kami pun membenci olok-olokan siapapun pada dakwah islam… Dimana dakwah, adalah kewajiban dari Allah Al-‘Aziiz Penguasa Semesta Alam… Allah al-Musta’aan

Yaa rijaal.. antum banggakan ustadz-ustadz antum, guru-guru antum, qiyaadah-qiyaadah antum… tapi jangan lupa dengan syairnya Imam Hasan al-Bashri yang bertutur dalam:

لا تكن ممن يجمع علم العلماء، وطرائف الحكماء، ويجري في العمل مجرى السفهاء

”Janganlah engkau menjadi golongan orang yang gemar mengumpulkan ilmu para ahli ilmu, kebajikan-kebajikan orang-orang bijak, namun ia beramal seperti amalan orang-orang pandir.” (Mawaa’izh al-Imaam Hasan al-Bashriy, hlm. 68)

Yaa rijaal… Jika antum masih menanggapi tulisan sederhana ini dengan keburukan lisan… Hati-hati dengan fitnah kesesatan kebebasan Demokrasi yang antum jadikan jalan karena bukan kami yang merugi yaa rijaal dengan olok-olokan sebagaimana tak lantas beruntung orang yang dipuji insan… Allah al-Musta’aan….

Dokumentasi Seminar Ruqyah Pada Kalam Fair 2011 UPI Bandung

Kalam

Seminar Ruqyah dalam Even KALAM Fair 2011

DIGITAL CAMERA

Sebagian Peserta Ikhwan

DIGITAL CAMERA

Sebagian Peserta Ikhwan dan Akhwat

Menthoring

Sesi Halaqah Fokus Paska Seminar

Seminar mengenai bekam dan ruqyah pada acara KALAM FAIR 2011 yang diselenggarakan oleh KALAM Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) – Bandung.

Semoga ada sesi lainnya untuk menyelenggarakan kajian atau seminar lebih rinci dan mendalam mengenai aliran-aliran satanisme yang berusaha menginvasi kaum muslimin di dunia Islam dan solusinya dalam Islam secara sistemik.

Kontak Kajian untuk Seminar/ Pelatihan: Kontak Irfan Abu Naveed

Kajian Mengenai Ruqyah, Sihir & Perdukunan Berikut Solusinya? Link Download