Download Makalah Kajian Ruqyah Syar’iyyah di Purwokerto

Pamflet Purwokerto

Download makalah kajian ruqyah syar’iyyah di Purwokerto, 22 Februari 2015:

Tips Syar’i & Jitu (In Syâ Allâh) Untuk Meruqyah Tempat (Rumah, Toko)

Ruqyah-1

Oleh: Irfan Abu Naveed (Penulis Buku Jin & Dukun Hitam Putih Indonesia)

Dalam kehidupan di bawah naungan sistem rusak Demokrasi saat ini, tak sedikit kaum awam yang terkelabui dengan beragam penampilan dukun. Tak jarang di antaranya temuan saya: semisal kasus “menjaga” rumah atau bangunan baru dengan cara mistis: menyembelih kerbau lalu kepalanya ditanam di pondasi rumah sebagai sesaji atau dengan memercikkan darah binatang sembelihan di dinding atau sudut rumah, atau menggunakan “apel jin” dengan biaya jutaan. Itu bukan cara syar’i dan jelas kebatilannya, kerugiannya mencakup rugi dunia dan akhirat; konsekuensi dosa dan harta mubadzdzir yang tak sedikit harus dikeluarkan, wal ‘iyaadzu biLlaah.

Dalil-Dalil Meruqyah Tempat

Ruqyah tempat Ini mencakup rumah, kamar pengantin, tempat usaha, dan lainnya. Tentang ruqyah, dalam kitab Fatawa al-Azhar, para ulama menjelaskan:

الرقى جمع رقية، وهى كلمات يقولها الناس لدفع شر أو رفعه ، أى يحصنون بها أنفسهم حتى لا يصيبهم مكروه ، أو يعالجون بها مريضا حتى يبرأ من مرضه.

“Al-Ruqa’ jamak dari ruqyah, merupakan kata-kata yang diucapkan manusia untuk menangkal keburukan atau menghilangkannya, yakni membentengi diri dari hal-hal yang dibenci dengannya, atau mengobati orang yang sakit hingga terbebas dari penyakitnya.”

Gambaran do’a, ruqyah sebagai perlindungan syar’i disebutkan dalam hadits shahih:

مَنْ قَرَأ عَشرَ آيات مِن سُورة البقرةِ في بَيت لم يَدْخُل ذلك البَيْتَ شَيْطَان تلك اللَيلةَ حتى يُصْبحَ أربَعَ آيات مِنْ أوَّلَها وآية الكُرسِي وآيتينِ بَعدَها وخوَاتِيمهَا

“Barangsiapa yang membaca sepuluh ayat dari surat al-Baqarah dalam satu rumah, syaithân tidak akan masuk ke dalam rumah tersebut pada malam itu hingga datang waktu pagi, yaitu empat ayat pada awal surat ditambah ayat kursi dan dua ayat sesudahnya dilanjutkan dengan ayat di akhir surat.” (HR. Muslim & Ibn Hibbân dalam shahîh-nya)

Khaulah binti al-Hakim al-Salamiyyah r.a. berkata, ‘Aku mendengar Rasûlullâh –shallaLlaahu ‘alayhi wa sallam– bersabda:

مَنْ نَزَلَ مَنْزِلا ثُمَّ قَالَ: أَعُوْذُ بِكَلِمَاتِ اللهِ التَّامَّاتِ مِنْ شَرِّ مَا خَلَقَ، مَا يَضُرُّهُ شَيْء حَتَّى يَرْتَحِلَ مِنْ مَنْزِلِهِ ذَلِكَ.

“Barangsiapa singgah di suatu tempat lalu mengatakan: “Aku berlindung dengan kalimat-kalimat Allâh yang sempurna dari keburukan apa yang diciptakan-Nya”, maka ia tidak akan ditimpa oleh marabahaya apapun sampai ia pergi dari tempat singgahnya itu.” (HR. Muslim)

Imam al-Nawawi menjelaskan: “Yang dimaksud dengan kalimat-kalimat Allâh yang sempurna adalah kata-kata yang tak mengandung kekurangan maupun cela, dan ada yang mengatakan, ‘Yang bermanfaat dan menyembuhkan,’ ada pula yang mengatakan maksudnya adalah al-Qur’ân.”

Syaikh Isma’il Zayn ditanya oleh seseorang: “Apa pendapatmu –semoga Allah senantiasa memuliakanmu- tentang perbuatan menjaga kebun dengan sihir, do’a atau anjing. Apakah semua itu diperbolehkan?”

Syaikh Isma’il menjawab:

مستمدّا من الله التوفيقَ للصوابِ: إنّ حماية البستان بالسحرِ لاتجوز قطعا لحرمة استعمال السحر مطلقا، وأما حمايتُهُ بالدعاء أو بالكلب فذلك جائز وقد وردت السنة بذلك فقد ورد في الشرع أدعيةٌ وأذكارٌ يقولها المسافرُ إذا نَزَلَ مَتْرِلا لِيَبِيْتَ فيه فيكون ذالك سَبَبا لحفْظِهِ في ذلك المكانِ من كل أفَةٍ أو عاهةٍ ومن شرّ الجنّ والإنسِ فاذا أتى الإنسانُ بتلك الأدعيةِ والأذكارِ أو بغيرِها مما هو مأثورٌ شرعا لقصدِ حفظِ بستانه أو غيرِهِ من مال أو أهلٍ أو ولد فإنّ ذلك جائزٌ بل سنةٌ وكذلك الحِرَاسَةُ للبستانِ بالكلبِ جائِزَةٌ ففي صحيح البخاري “الحديث. هذا هو الجواب، والله الموفق للصواب

Dengan meminta pertolongan Allâh untuk mendapat kebenaran... Adapun menjaga kebun dengan do’a dan anjing, hukumnya boleh. Dan keterangan hadits pun telah menjelaskan demikian. Sungguh banyak sekali keterangan syara’ yang menjelaskan tentang do’a-do’a dan zikir-zikir seorang musafir ketika menempati rumah dengan tujuan menginap. Do’a dan zikir tersebut menjadi penyebab (atas izin dan kehendak Allâh-pen.) terjaganya tempat tersebut dari segala malapetaka dan marabahaya dan juga dari kejahatan jin atau manusia. Ketika seseorang membaca do’a-do’a atau zikir-zikir tersebut, yaitu menurut apa yang dinukil dari syara’ dengan tujuan menjaga kebunnya, hartanya, kebunnya, anaknya atau lainnya, maka yang demikian itu diperbolehkan dan bahkan hukumnya sunnah…” (Hasyiyyah al-Jamal, hlm. 21, juz. V.)

Adapun sihir, maka jelas dalil-dalil al-Qur’an dan as-Sunnah secara qath’i (pasti, tegas) melarangnya, sebagaimana dijelaskan oleh para ulama.

Tata Cara atau Praktik Ruqyah Tempat

Lalu bagaimana praktik meruqyah tempat? Syaikh Wahid bin ‘Abdus-Salam Bali dalam kitab Wiqaayatul Insaan Min al-Jin wa asy-Syaythaan (beliau menukil kitab al-Waabil ash-Shayb) menuturkan:

١- تذهب أنت واثنان معك إلى هذا البيت وتقول: أناشدكم بالعهد الذي أخذه عليكم سليمان أن تخرجوا وترحلوا من بيتنا. أناشدكم الله أن تخرجوا ولا تؤذوا أحدًا – تكرر هذا ثلاثة أيام

٢- إذا استشعرت بعد ذلك بشيء في البيت تحضر ماءً في إناء وتقرب فاك منه وتقول – الأدعية الرقية ومنها سورة الصافات: ١-١٠

٣- ثم تتبع بهذا الماء جوانب الدار فتضع منه في كل جانب من جوانبها؛ فيخرجون بإذن الله تعالى

Yakni dengan penjelasan sebagai berikut:

Pertama, sampaikan peringatan. Kata-kata memiliki pengaruh terhadap manusia, sebagaimana disampaikan Imam Ibnu Qayyim. Peringatan yang dimaksud bisa dengan kata-kata ini:

أَنْشُدُكُمْ بِالْعَهْدِ الَّذِيْ أَخَذَهُ عَلَيْكُمْ سُلَيْمَانُ أَنْ تَخْرُجُوْا وَتَرْحَلُوْا مِنْ بَيْتِنَا. أُنَا شِدُكُمُ اللهَ أَنْ تَخْرُجُوْا وَلاَ تُؤْذُوْا أَحَدًا

“Aku peringatkan kalian dengan sumpah yang pernah diucapkan Nabi Sulaiman kepada kalian; keluarlah dan pergilah kalian dari rumah kami. Aku sumpah kalian dengan nama Allâh; keluarlah kalian dan janganlah kalian menyakiti seorang pun.” 

Hal ini berdasarkan kata-kata peringatan yang dicontohkan Rasûlullâh SAW ketika beliau mengusir syaithân golongan jin yang menyerupai ular rumah. Rasûlullâh SAW bersabda:

إِنَّ لِهَذِهِ الْبُيُوتِ عَوَامِرَ فَإِذَا رَأَيْتُمْ شَيْئًا مِنْهَا فَحَرِّجُوا عَلَيْهَا ثَلَاثًا فَإِنْ ذَهَبَ وَإِلَّا فَاقْتُلُوهُ فَإِنَّهُ كَافِرٌ

Sesungguhnya di dalam rumah-rumah ada sekelompok jin, jika kalian melihat sesuatu dari mereka maka persempitlah untuknya tiga hari jika ia bersedia pergi, dan jika tidak maka bunuhlah karena sesungguhnya dia kafir.” (HR. Muslim)              

Imam al-Nawawi menjelaskan bahwa bentuk ‘mempersempit’ dalam hadits tersebut: al-Qadhi berkata; Ibnu Hubaib telah meriwayatkan dari Nabi SAW bahwa beliau bersabda:

أَنْشُدُكُمْ بِالْعَهْدِ الَّذِي أَخَذَهُ عَلَيْكُمْ سُلَيْمَانُ بْنُ دَاوُدَ أَنْ لاَ تُؤْذُوْنَنَا وَ لاَ تَظْهَرَنَّ لَنَا

“Aku peringatkan kamu dengan janji yang telah diambil oleh Sulaiman bin Daud atas kalian, hendaklah kalian tidak menyakiti kami dan tidak menampakkan diri kepada kami. (Wiqâyatul Insân min al-Jin wa al-Syaithân, Syaikh Wahid ‘Abd al-Salam Bâli)

Kedua, bacakan do’a-do’a ruqyah syar’iyyah dan tiupkan pada air yang dicampur garam (sebagaimana keterangan hadits mengenai air yang dicampur garam:

بَيْنَا رَسُوْلُ الله ِ -صلى الله عليه وسلم -يُصَلِّيْ إِذْ سَجَدَ، فَلَدَغَتْهُ عَقْرَبٌ فِيْ أَصْبُعِهِ، فَانْصَرَفَ رَسُوْلُ اللهِ ِ-صلى الله عليه وسلم – وَقَالَ: لَعَنَ اللهُ اْلعَقْرَبَ مَا تَدَعُ نَبِيًّا وَلاَ غَيْرَهُ. قَالَ: ثُمَّ دَعَا بِإِنَاءٍ فِيْهِ مَاءٌ وَمِلْحٌ، فَجَعَلَ يَضَعَ مَوْضِعَ اللَّدَغَةِ فِيْ الْمَاءِ وَالْمِلْحِ، وَيَقْرَأُ: قُلْ هُوَ اللهُ أَحَدٌ وَالْمُعَوِّذَتَيْنِ حَتَّى سَكَنَتْ

“Ketika Rasûlullâh -صلى الله عليه وسلم- sedang sujud dalam shalatnya, jari beliau disengat Kalajengking. Setelah selesai shalat, beliau bersabda, ‘Semoga Allâh melaknat Kalajengking yang tidak memandang nabi atau selainnya.’ Lalu beliau mengambil wadah (ember) yang berisi air dan garam. Kemudian beliau meletakkan bagian tangan yang tersengat Kalajengking dalam larutan air dan garam (merendamnya), seraya membaca surat al-Ikhlâsh, al-Falaq dan al-Nâs, sampai beliau merasa tenang.” (HR. al-Baihaqi, hadits Hasan: Imam al-Haitsami رحمه الله menyatakan bahwa sanad hadîts tersebut hasan)

Imam ‘Abd al-Rauf al-Manawi menjelaskan: “Dalam riwayat itu Rasûlullâh telah memadukan antara obat yang bersifat alami dengan obat yang bersifat Ilahi. Sedangkan surat Ikhlâsh yang beliau baca, mengandung kesempurnaan tauhid, dari sisi pengetahuan dan keyakinan. Adapun surat al-Mu’awwidzatayn (al-Falaq dan al-Nâs) mengandung permohonan perlindungan dari segala hal yang tidak disukai, secara global dan terperinci. Dan garam yang beliau gunakan, merupakan materi yang sangat bermanfaat untuk menetralisir racun.”

Adapun tiupan dalam praktik ruqyah ini sebagaimana penjelasan Imam Ibn al-Atsir –rahimahullaah- yang berkata:

 النَّفْثُ : شبيه بالنَّفخ وهو أقل من التَّفْل ، لأن التَّفْل لا يكون إلا ومعه شيءٌ من الرِّيِق

al-Naftsu yakni seperti dengan al-nafkhu yakni dibawah al-Taflu, karena al-Taflu tidak mengandung sesuatu kecuali air liur.” (Al-Nihaayah fii Ghariib al-Hadiits (5/87))

Ketiga, memercikkan air tersebut ke sudut-sudut tempat yang diruqyah. Syaikh Wahid bin ‘Abdus-Salam Bali menjelaskan: “Kemudian bawalah air tersebut ke seluruh penjuru (sudut-sudut) rumah, dan letakkanlah (dipercikkan) sebagiannya di setiap penjuru rumah, maka dengan izin Allâh mereka (syayâthîn) akan keluar. Lakukanlah cara pengobatan ini dengan niat ikhlas ketika membaca do’a tersebut dan memohon pertolongan kepada Rabb langit dan bumi.” 

Mengenai cara ini ada penjelasan lebih lengkap dari Syaikh al-Tihamiy, yang menunjukkan praktik meruqyah tempat (khususnya kamar pengantin). Beliau berkata dalam kitabnya yang berbicara tentang pernikahan:

“Dan diantara tata krama bersetubuh juga adalah apa yang diisyaratkan beliau (Syaikh Ibnu Yamun) dengan ucapannya (sya’ir):

وغسلك اليدين والرّجلين في # آنية منها فهاك واقتف

ورشّه في كلّ ركن جاء # فاحفظ وقيت البأس والضّرّاء

“Dan basuhanmu kedua tangan dan kedua kaki sang istri di dalam # wadah, maka ambillah dan ikutilah. Dan menyiramnya ke setiap sudut rumah yang datang # maka peliharalah, niscaya engkau dijaga dari bahaya dan bencana.”

Syaikh at-Tihami pun menjelaskan:

فأخبر رحمه الله أنّه يطلب من الزّوج أيضا وقت الدّخول قبل أن يضع يده على ناصيتها أن يغسل طرف يدى العروسة ورخليه بماء في آنية، ويسمّى الله تعالى ويصلّى على رسوله -صلى الله عليه وسلم- ثمّ يرش بذٰلك الماء أركان البيت. فقد ورد أن فعل ذٰلك ينفى الشّرّ والشّيطان بفضل الله تعالى

“Maka Syaikh Ibnu Yamun memberitahukan bahwasanya seorang suami juga dituntut waktu hendak bersetubuh sebelum meletakkan tangannya di atas ubun-ubun istri, agar membasuh ujung kedua tangan pengantin wanita dan kedua kakinya dengan air di dalam wadah, mengucapkan asma Allâh dan bershalawat atas Rasûlullâh SAW, kemudian memercikkan air tersebut ke sudut-sudut rumah. Karena sungguh telah sampai (keterangan) bahwasanya melakukan hal itu akan meniadakan (menangkal) hal buruk dari syaithân, dengan sebab keutamaan (keagungan) Allâh.” (Qurratul ‘Uyûn bi Syarhi Nazham Ibnu Yâmûn, At-Tihami)

Bacaan yang Dibaca?

Seluruh ayat al-Qur’an pada dasarnya boleh digunakan dalam ruqyah syar’iyyah, namun di antaranya yang direkomendasikan:

  • Al-Faatihah
  • Al-Baqarah: 1-5, 255-257, 3 ayat terakhir
  • Ash-Shaaffaat: 1-10
  • Al-Ikhlash, Al-Falaq, An-Naas
  • Dan do’a-do’a perlindungan, kesembuhan dari as-Sunnah. DO’a-do’a selengkapnya (download pdf): Do’a-Do’a Ruqyah Syar’iyyah

Selamat mencoba, syari’at yang agung telah mengajarkan kita tata cara yang syar’i, sederhana namun jitu (pengalaman) bi idzniLlaah. []

Hukum Menghadiri Perayaan Kufur Agama Lain

الحمدلله رب العالمين والصلاة والسلام على رسول الله وبعد

Pada dasarnya, Islam telah melarang kaum muslim melibatkan diri di dalam perayaan hari raya orang-orang kafir, apapun bentuknya. Melibatkan diri di sini mencakup aktivitas: mengucapkan selamat, hadir di jalan-jalan untuk menyaksikan atau melihat perayaan orang kafir, mengirim kartu selamat, dan lain sebagainya. Sedangkan perayaan hari raya orang kafir di sini mencakup seluruh perayaan hari raya, perayaan orang suci mereka, dan semua hal yang berkaitan dengan hari perayaan orang-orang kafir (musyrik maupun ahlul kitab).

Ketentuan ini didasarkan pada firman Allah:

وَالَّذِينَ لَا يَشْهَدُونَ الزُّورَ وَإِذَا مَرُّوا بِاللَّغْوِ مَرُّوا كِرَامًا

“Dan orang-orang yang tidak memberikan persaksian palsu, dan apabila mereka bertemu dengan (orang-orang) yang mengerjakan perbuatan-perbuatan yang tidak berfaedah, mereka lalui (saja) dengan menjaga kehormatan dirinya.” (QS. Al-Furqân [25]: 72)

Menurut sebagian besar mufassir, makna kata az-zûr (kepalsuan) di sini adalah syirik (Imam al-Syaukani, Fath al-Qadîr, juz 4, hal. 89). Beberapa mufassir seperti Abu ‘Aliyah, Thawus, Muhammad bin Sirrin, al-Dhahhak, al-Rabi’ bin Anas, dan lainnya, memaknai al-zûr di sini adalah hari raya kaum Musyrik. Lebih luas, Amru bin Qays menafsirkannya sebagai majelis-majelis yang buruk dan kotor.[1]

Sedangkan kata lâ yasyhadûna, menurut jumhur ulama’ bermakna lâ yahdhurûna az-zûr, tidak menghadirinya.[2] Memang ada yang memahami ayat ini berkenaan dengan pemberian kesaksian palsu (syahâdah al-zûr) yang di dalam Hadits Shahih dikatagorikan sebagai dosa besar. Akan tetapi, dari konteks kalimatnya, lebih tepat dimaknai lâ yahdhurûnahu, tidak menghadirinya. Dalam frasa berikutnya disebutkan:

وَإِذَا مَرُّوا بِاللَّغْوِ مَرُّوا كِرَامًا

“Dan apabila mereka melewati (orang-orang) yang mengerjakan perbuatan-perbuatan yang tidak berfaedah, mereka lalui (saja) dengan menjaga kehormatan dirinya.” (QS al-Furqan [25]: 72).

Dengan demikian, keseluruhan ayat ini memberikan pengertian bahwa mereka tidak menghadiri az-zûr. Dan jika mereka melewatinya, maka mereka segera melaluinya, dan tidak mau terkotori sedikit pun oleh nya.[3]

Berdasarkan ayat ini pula, banyak fuqaha’ yang menyatakan haramnya menghadiri menghadiri perayaan hari raya kaum kafir. Imam Ahmad bin Hanbal berkata: “Kaum Muslim telah diharamkan untuk merayakan hari raya orang-orang Yahudi dan Nasrani.”[4]

Imam Baihaqi menyatakan: “Jika kaum muslim diharamkan memasuki gereja, apalagi merayakan hari raya mereka.”[5]

Imam al-Amidi dan Qadli Abu Bakar al-Khalal menyatakan: “Kaum muslim dilarang keluar untuk menyaksikan hari raya orang-orang kafir dan musyrik.”[6]

Al-Qadhi Abu Ya’la al-Fara’ berkata: “Kaum Muslim telah dilarang untuk merayakan hari raya orang-orang kafir atau musyrik”.[7]

Imam Malik menyatakan: “Kaum Muslim telah dilarang untuk merayakan hari raya orang-orang musyrik atau kafir, atau memberikan sesuatu (hadiah), atau menjual sesuatu kepada mereka, atau naik kendaraan yang digunakan mereka untuk merayakan hari rayanya. Sedangkan memakan makanan yang disajikan kepada kita hukumnya makruh, baik diantar atau mereka mengundang kita.”[8]

Ibnu Qayyim al-Jauziyyah mengatakan: “Sebagaimana mereka (kaum Musyrik) tidak diperbolehkan menampakkan syiar-syiar mereka, maka tidak diperbolehkan pula bagi kaum Muslim menyetujui dan membantu mereka melakukan syiar itu serta hadir bersama mereka. Demikian menurut kesepakatan ahli ilmu.”[9]

Abu al-Qasim al-Thabari mengatakan: “Tidak diperbolehkan bagi kaum Muslim menghadiri hari raya mereka karena mereka berada dalam kemunkaran dan kedustaan (zawr). Apabila ahli ma’ruf bercampur dengan ahli munkar, tanpa mengingkari mereka, maka ahli ma’ruf itu sebagaimana halnya orang yang meridhai dan terpengaruh dengan kemunkaran itu. Maka kita takut akan turunnya murka Allah atas jama’ah mereka, yang meliputi secara umum. Kita berlindung kepada Allah dari murka-Nya.”[10]

Abdul Malik bin Habib, salah seorang ulama Malikiyyah menyatakan, “Mereka tidak dibantu sedikit pun pada perayaan hari mereka. Sebab, tindakan merupakan penghormatan terhadap kemusyrikan mreka dan membantu kekufuran mereka. Dan seharusnya para penguasa melarang kaum Muslim melakukan perbuatan tersebut. Ini adalah pendapat Imam Malik dan lainnya. Dan aku tidak mengetahui perselisihan tentang hal itu.”[11]

Pada masa-masa kejayaan Islam, pemerintahan Islam saat itu –sejak masa Rasulullah saw –, kaum muslim tidak diperbolehkan merayakan hari raya ahlul Kitab dan kaum musyrik. Dari Anas ra bahwa ketika Rasulullah saw datang ke Madinah, mereka memiliki dua hari raya yang mereka rayakan, beliau pun bersabda:

قَدْ أَبْدَلَكُمْ اللَّهُ بِهِمَا خَيْرًا مِنْهُمَا : يَوْمَ الْأَضْحَى وَيَوْمَ الْفِطْرِ

“Sungguh Allah swt telah mengganti dua hari itu dengan dua hari yang yang lebih baik daripada keduanya, yaitu Idul Adha dan Idul Fithri.” (HR. Abu Dawud dan al-Nasa’i dengan sanad yang shahih).

Pada masa pemerintahan Khalifah ‘Umar bin al-Khaththab, beliau juga telah melarang kaum muslim merayakan hari raya orang-orang kafir. Imam Baihaqiy telah menuturkan sebuah riwayat dengan sanad shahih dari ‘Atha’ bin Dinar, bahwa Umar ra pernah berkata:

لَا تَعَلَّمُوا رَطَانَةَ الْأَعَاجِمِ وَلَا تَدْخُلُوا عَلَى الْمُشْرِكِينَ فِي كَنَائِسِهِمْ يَوْمَ عِيدِهِمْ فَإِنَّ السُّخْطَ يَنْزِلُ عَلَيْهِمْ

“Janganlah kalian mempelajari bahasa-bahasa orang-orang Ajam. Janganlah kalian memasuki kaum Musyrik di gereja-gereja pada hari raya mereka. Sesungguhnya murka Allah swt akan turun kepada mereka pada hari itu.” (HR. Baihaqiy).

Umar bin al-Khaththtab ra juga mengatakan:

اجْتَنِبُوا أَعْدَاءَ اللَّهِ فِي عِيدِهِمْ

“Jauhilah musuh-musuh Allah pada di hari raya mereka.”

Demikianlah, Islam telah melarang umatnya melibatkan diri di dalam perayaan hari raya orang-orang kafir, apapun bentuknya. Melibatkan diri di sini mencakup perbuatan; mengucapkan selamat, hadir di jalan-jalan untuk menyaksikan atau melihat perayaan orang kafir, mengirim kartu selamat, dan lain sebagainya. Adapun perayaan hari raya orang kafir di sini mencakup seluruh perayaan hari raya, perayaan orang suci mereka, dan semua hal yang berkaitan dengan hari perayaan orang-orang kafir (musyrik maupun ahlul kitab).[12]

Jelaslah, haram hukumnya kaum Muslim terlibat dalam perayaan hari raya kaum kaum kafir, baik Musyrik maupun Ahli Kitab.

Komisi Fatwa MUI pada 7 Maret 1981 pun mengeluarkan fatwa yang isinya antara lain menyatakan: (1) Mengikuti upacara Natal bersama bagi umat Islam hukumnya haram (2) agar umat Islam tidak terjerumus kepada syubhat dan larangan Allah SWT, dianjurkan untuk tidak mengikuti kegiatan-kegiatan Natal. Begitu pula dalam buku Tanya Jawab Agama  Jilid II, oleh Tim PP Muhammadiyah Majlis Tarjih, yang diterbitkan oleh Suara Muhammadiyah (1991), hal. 238-240, sudah diterangkan, bahwa hukum menghadiri PNB adalah Haram.[13]

Perincian fatwa: http://hizbut-tahrir.or.id/2013/12/18/fatwa-mui-tentang-haramnya-mengikuti-natal-bersama-dan-kegiatan-kegiatan-natal/

PNB: Perayaan Natal Bersama

Natal Bersama, Tahun Baru, dan Valentine bukanlah perayaan tanpa misi Kristen. Para tokoh ummat harus tegas bersikap.

“Bertaubatlah, bertaubatlah, karena bulan Desember sampai Pebruari biasanya Allah SWT akan menimpakan bala bencana kepada negeri kita, baik berupa bencana alam maupun bencana kemanusiaan,’’ seru KH Ma’ruf Amien, Ketua MUI.

Bencana itu, Kyai Ma’ruf menuturkan, selain disebabkan oleh perbuatan manusia merusak alam, juga lantaran kemusyrikan sebagian umat bahkan tokoh Islam. Yaitu mereka aktif dalam perayaan Natal (25 Desember), Tahun Baru (1 Januari), dan Valentine’s Day (14 Pebruari).

Menurut anggota Komisi Kerukunan Umat Beragama MUI, DR Adian Husaini, PNB hanyalah mitos yang patut dipertanyakan urgensinya. Sebab, kebersamaan ini hanyalah agenda sepihak umat lain. Umat Islam tidak merasa berhak dan perlu menuntut serupa atas umat lain, agar mengikuti semisal IFB, MNB, atau IAB tadi.

Dalih PNB untuk membina kerukunan antar umat beragama, juga mitos belaka. Sebab, jelas Adian, dalam PNB biasanya dilakukan berbagai acara yang menegaskan keyakinan umat Kristen terhadap Yesus, yang bertolak belakang dengan ajaran Islam.

Menurut Kristen, Yesus adalah anak Allah yang tunggal, juru selamat umat manusia, yang wafat di kayu salib untuk menebus dosa umat manusia. Kalau mau selamat, manusia diharuskan percaya kepada doktrin itu. (Yohanes, 14:16).

Sedangkan dalam surat Maryam disebutkan, memberikan sifat bahwa Allah punya anak, adalah satu “Kejahatan besar” (syaian iddan). Dan Allah berfirman dalam al-Quran: “Hampir-hampir langit runtuh dan bumi terbelah serta gunung-gunung hancur. Bahwasannya mereka mengklaim bahwa al-Rahman itu mempunyai anak.” (QS 19:90-91).

Karena itu, Prof Hamka menyebut tradisi PNB semacam itu bukan menyuburkan kerukunan umat beragama atau toleransi, tapi menyuburkan kemunafikan.

Sebagian aktivis PNB berkilah, toh tidak ada unsur misi Kristen dalam PNB. Menurut Adian Husaini, melihat PNB hanya dari sisi kerukunan dan toleransi tidaklah tepat. Sebab, dalam PNB unsur misi Kristen juga perlu dijelaskan secara jujur. PNB adalah salah satu media yang baik untuk menyebarkan misi Kristen, agar umat manusia mengenal doktrin kepercayaan Kristen, bahwa dengan mempercayai Tuhan Yesus sebagai juru selamat, manusia akan selamat.

Sebab, misi Kristen adalah tugas penting dari setiap individu dan Gereja Kristen. Konsili Vatikan II (1962-1965), mengeluarkan satu dokumen khusus tentang misi Kristen. Dalam ad gentes ditegaskan, misi Kristen harus tetap dijalankan dan semua manusia harus dibaptis. Disebutkan, bahwa Gereja telah mendapatkan tugas suci untuk menjadi “sakramen universal penyelamatan umat manusia (the universal sacrament of salvation), dan untuk memaklumkan Injil kepada seluruh manusia (to proclaim the gospel to all men). Juga ditegaskan, semua manusia harus dikonversi kepada Tuhan Yesus, mengenal Tuhan Yesus melalui misi Kristen, dan semua manusia harus disatukan dalam Yesus dengan pembaptisan.[14]

Bahaya Pluralisme dan Sinkritisme

Umat Islam harus mewaspadai seruan-seruan yang mangajak merayakan atau mengucapkan selamat natal dan tahun baru. Sebab dibalik seruan itu ada bahaya besar yang bisa mengancam aqidah umat Islam. Seruan berpartisipasi dalam perayaan natal, tidak lain adalah kampanye ide pluralisme. Paham kufur yang mengajarkan kebenaran semua agama-agama di dunia. Bagi penganut ajaran pluralisme, tidak ada kebenaran mutlak. Semua agama dianggap benar. Itu berarti, umat muslim harus menerima kebenaran ajaran umat lain, termasuk menerima paham trinitas dan ketuhanan Yesus.

Seruan itu juga merupakan propaganda sinkretisme, pencampuradukan ajaran agama-agama. Spirit sinkretisme adalah mengkompromikan hal-hal yang bertentangan. Dalam konteks Natal bersama dan tahun baru, sinkretisme tampak jelas dalam seruan berpartisipasi merayakan Natal dan tahun baru, termasuk mengucapkan selamat Natal. Padahal dalam Islam batasan iman dan kafir, batasan halal dan haram adalah sangat jelas. Tidak boleh dikompromikan!

Paham pluralisme dan ajaran sinkretisme adalah paham yang sesat dan haram bagi kaum muslimin untuk mengambilnya dan menyerukannya. Allah SWT telah menetapkan bahwa satu-satunya agama yang Dia ridhai dan benar adalah Islam. Selain Islam tidak Allah ridhai dan merupakan agama yang batil (lihat QS Ali Imran [3]: 19).Dengan tegas Allah SWT berfirman:

وَمَن يَبْتَغِ غَيْرَ الْإِسْلَامِ دِينًا فَلَن يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الْآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ

Barangsiapa mencari agama selain Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang merugi.” (QS Ali Imran [3]:85).

Allah SWT dengan tegas dan qath’i menyatakan bahwa Dia tidak beranak atau pun diperanakkan (QS al-Ikhlash [111]: 3). Jadi jelas ajaran trinitas Kristen merupakan ajaran syirik, menyekutukan Allah. Maka Allah SWT dengan qath’i menghukumi orang yang meyakini ajaran trinitas adalah kafir (QS al-Maidah [5]: 73). Allah pun tegas menyatakan orang kafir termasuk di dalamnya ahlul kitab (Yahudi dan Nashrani) akan dijebloskan ke neraka Jahannam dan mereka adalah seburuk-buruk makhluk (QS al-Bayyinah [98]: 6).

Perlu kita renungkan, bagaimana mungkin umat justru diminta tolong menolong dalam seruan dan perayaan kesyirikan yang benar-benar dimurkai Allah SWT ? Atau memberi selamat atas perayaan kelahiran Yesus yang mereka anggap sebagai tuhan, perkara yang sangat benci Allah SWT?

Wahai Kaum Muslim

Sungguh amat berbahaya bila hari ini umat justru diseru agar menggadaikan akidahnya dengan dalih toleransi dan kerukunan umat beragama. Begitulah yang terjadi ketika hukum-hukum Allah dicampakkan. Tidak ada lagi kekuasaan berupa negara al Khilafah yang melindungi aqidah umat ini. Islam dan ajarannya serta umat Islam terus dijadikan sasaran.

Perlu kita tegaskan, mengucapkan atau merayakan natal dan tahun baru tidak ada hubungannya dengan kerukunan umat beragama. Sesungguhnya kerukunan umat beragama bukan berarti dengan cara mengorbankan aqidah umat Islam. Dalam Islam tidak ada paksaan terhadap orang kafir untuk memeluk agama Islam, mereka juga boleh beribadah , keselamatan dan kesejahteraan mereka sebagai ahlul dzimmah pun dilindungi dan dijamin. Mereka tidak boleh didzolimi. Meskipun demikian, dalam masalah aqidah, Islam dengan tegas menyatakan bahwa agama mereka adalah kafir dan ajaran agama mereka adalah sesat .

Mudah-mudahan ke depan kita makin gigih menjelaskan Islam. Menyerukan syariah dan Khilafah, sehingga Islam benar-benar bisa terwujud secara nyata dalam kehidupan. Sebab hanya dengan syariah dan Khilafahlah, aqidah umat Islam terjaga sekaligus menjamin kesejahteraan dan keamanan umat manusia baik muslim maupun orang-orang kafir. [Disarikan dari http://www.hizbut-tahrir.or.id, diedit oleh Irfan Abu Naveed]

Lainnya:

Perayaan Natal dalam Negara Khilafah

Kebijakan Khilafah Terhadap Perayaan Keagamaan Orang-Orang Kafir

Toleran yang Kebablasan

Catatan Kaki:

[1] Imam Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, juz 3, hal. 1346.

[2] Imam al-Syaukani, Fath al-Qadîr, juz 4, hal. 89

[3] Imam Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, juz 3, hal. 1346

[4] Ibnu Tamiyyah, Iqtidhâ’ al-Shirâth al-Mustaqîm, hal.201.

[5] Ibid.

[6] Ibid.

[7] Ibid.

[8] Ibid.

[9] Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, Ahkâm Ahl al-Dzimmah, juz 1. hal. 235.

[10] Ibid.

[11] Ibnu Taimiyyah, Majmu’ al-Fatâwâ, juz 6 hal 110.

[12] http://hizbut-tahrir.or.id/2014/12/09/haram-terlibat-dalam-perayaan-natal/

[13] Ibid

[14] http://hizbut-tahrir.or.id/2008/12/25/perayaan-natal-sarat-misi-perusak-aqidah/

Peringatan Keras Terhadap Pembunuhan Atas Jiwa yang Tidak Halal Dibunuh

Sumber ilustrasi lahaonline.com

(Peringatan Keras Terhadap Pembunuhan Atas Almarhuum Asy-Syahiid -In Syaa Allah-, Tokoh Senior Pejuang Khilafah Suriah)

Pembunuhan atas seseorang yang tidak halal darahnya untuk ditumpahkan secara sengaja adalah perkara besar yaa ikhwah, dan kita berlindung kepada Allah darinya. Dalam nash al-Qur’an, Allah ’Azza wa Jalla menegaskan dengan ungkapan yang sudah semestinya menimbulkan khawf atas siksa-Nya dan rajâ’ kepada rahmat-Nya (dijauhkan dari perbuatan keji tersebut):

وَلا تَقْتُلُوا النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلا بِالْحَقِّ وَمَنْ قُتِلَ مَظْلُومًا فَقَدْ جَعَلْنَا لِوَلِيِّهِ سُلْطَانًا فَلا يُسْرِفْ فِي الْقَتْلِ إِنَّهُ كَانَ مَنْصُورًا

”Janganlah kalian membunuh jiwa yang diharamkan Allah, melainkan dengan suatu (alasan) yang benar. Siapa saja dibunuh secara zalim, sesungguhnya Kami telah memberi kekuasaan kepada ahli warisnya, tetapi janganlah ahli waris itu melampaui batas dalam membunuh. Sesungguhnya ia adalah orang yang mendapat pertolongan.” (QS. Al-Isrâ’ [17]: 33).

وَمَنْ يَقْتُلْ مُؤْمِنًا مُتَعَمِّدًا فَجَزَاؤُهُ جَهَنَّمُ خَالِدًا فِيهَا وَغَضِبَ اللَّهُ عَلَيْهِ وَلَعَنَهُ وَأَعَدَّ لَهُ عَذَابًا عَظِيمًا

“Dan barangsiapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja maka balasannya ialah Jahannam, kekal ia di dalamnya dan Allah murka kepadanya, dan melaknatnya serta Dia menyediakan adzab yang besar baginya.” (QS. An-Nisâ’ [4]: 93)

Al-Hafizh Abu Ja’far ath-Thabari (w. 310 H) ketika menafsirkan ayat di atas di antaranya menuturkan:

“وغضب الله عليه”، يقول: وغضب الله عليه بقتله إياه متعمدًا “ولعنه” يقول: وأبعده من رحمته وأخزاه “وأعد له عذابًا عظيمًا”، وذلك ما لا يعلم قدر مبلغه سواه تعالى ذكره.

“Dan Allah murka kepadanya” yakni Allah murka kepadanya atas pembunuhan secara sengaja tersebut, “dan Allah melaknatnya” yakni Allah menjauhkannya dari rahmat-Nya dan menghinakannya, “dan Dia menyediakan baginya ‘adzab yang besar” dan adzab ini tidak ada yang mengetahui kadar siksanya kecuali Allah –Subhânahu wa Ta’âlâ-.”[1]

Makna kata la’ana, sebagaimana dimaknai para ‘ulama sebagai berikut:

اللعن في اللغة: هو الإبعاد والطرد من الخير و قيل الطرد والإبعاد من الله ومن الخلق السب والشتم. و أما اللعن في الشرع: هو الطرد والإبعاد من رحمة الله وهو جزء من جزئيات المعنى اللغوي فمن لعنه الله فقد طرده وأبعده عن رحمته واستحق العذاب. و الأعمال التي لعن مقترفها هي من كبائر الذنو.

“Lafazh al-la’nu secara bahasa yakni jauh dan terhempas dari kebaikan, dikatakan pula yakni terjauhkan dari rahmat Allah dan dari makhluk-Nya secara terhina dan terkutuk. Adapun makna laknat (al-la’n) secara syar’i adalah terhempas dan terjauhkan dari rahmat Allah dan makna ini merupakan bagian dari maknanya secara bahasa pula, maka barangsiapa yang dilaknat Allah, maka Allah telah menghempaskan dan menjauhkannya dari rahmat-Nya dan layak mendapatkan adzab-Nya. Dan perbuatan-perbuatan yang terlaknat itu merupakan dosa besar.”[2]

Imam ar-Raghib al-Ashfahani menjelaskan:

معنى اللعن : الطرد والإبعاد على سبيل السخط، وذلك من الله — في الآخرة عقوبة، وفي الدنيا انقطاع من قبول رحمته وتوفيقه

“Makna al-la’nu adalah terhempas dan terjauhkan masuk ke jalan kemurkaan, yakni terhempas dan terjauhkan dari Allah –Subhânahu wa Ta’âlâ-, di akhirat mendapat siksa, dan di dunia ia terputus dari rahmat dan taufik-Nya.”[3]

Menurut Muqatil bin Hayyan, sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Ibnu Abi Hatim (w. 327 H), makna frase (عَذَاباً عَظِيْمًا) yakni (عَذَاباً وَافِرًا) yakni adzab yang besar.[4] Dimana kadarnya hanya Allah Yang Maha Tahu. Adzab di dalam ayat tersebut bisa jadi adzab yang sangat pedih berupa siksa api neraka dan atau siksaan di dunia. Imam ats-Tsa’labi (w. 427 H) menuturkan:

ولا يسمى هذا العذاب نارا، والعذاب قد يكون نارا وقد يكون غيرها في الدنيا ، ألا ترى إلى قوله (يُعَذِّبْهُمُ اللَّهُ بِأَيْدِيكُمْ) يعني القتل والأسر

“Adzab dalam ayat ini tidak dinamakan dengan istilah sika api neraka, karena adzab terkadang berupa siksa api neraka, dan terkadang berupa siksaan lainnya ketika di dunia, bukankah engkau menyimak firman-Nya: “Allah akan menghancurkan mereka dengan (perantaraan) tangan-tanganmu”, yakni pembunuhan dan penahanan.”[5]

Dari Abdullah –radhiyaLlâhu ‘anhu-, ia berkata bahwa Nabi –shallaLlâhu ’alayhi wa sallam- bersabda:

سِبَابُ الْمُسْلِمِ فُسُوقٌ وَقِتَالُهُ كُفْرٌ

“Memaki orang muslim adalah kedurhakaan dan membunuhnya adalah kekufuran.”(Hadits Muttafaqun ‘Alayh)

Dosa membunuh seorang muslim lebih besar dosanya daripada dosa mengejeknya atau memfitnahnya, lalu bagaimana jika ada pihak yang membunuh seorang muslim dengan mengandalkan fitnah atau prasangka belaka? Artinya menggabungkan dosa fitnah dan pembunuhan sekaligus.

Dalam hadits shahih lainnya:

اجْتَنِبُوُا السَّبْعَ الْمُوْبِقَاتِ, قُلْنَا: وَمَا هُنّ يَا رَسُوْلََ اللهِ؟ قَالَ: الشِّرْكُ بِاللهِ وَالسِّحْرُ وَقَتْلُ النَّفْسِ الَّتِيْ حَرَّمَ اللهُ إِلَّا بِالحْقِّ وَأَكْلَ الرِّبَا وَأَكْلَ مَالِ الْيَتِيْمِ وَالتَّوَلَّي يَوْمَ الزَّحْفِ وَقًذْفُ الْمُحْصَنَاتِ الْمُؤْمِنَاتَ الْغَافِلَاتِ

“Jauhilah tujuh perkara yang membinasakan. Kami bertanya, Apa itu wahai Rasûlullâh? Beliau menjawab, “Menyekutukan Allâh, sihir, membunuh jiwa yang diharamkan Allâh kecuali dengan alasan yang benar, memakan riba, memakan harta anak yatim, berlari dari pertempuran, menuduh zina mukminah yang menjaga kehormatannya.” (HR. al-Bukhârî & Muslim)

Imam ar-Raghib al-Ashfahani menegaskan bahwa lafazh ijtanibû (jauhilah) maknanya lebih mendalam daripada kata utrukû (tinggalkanlah). Ia menuturkan:

اجتنبوا الطاغوت)[6] عبارة عن تركهم إياه، (فاجتنبوه لعلكم تفلحون)[7] ، وذلك أبلغ من قولهم: اتركوه.

“(Jauhilah oleh kalian thaghut-thaghut) yakni ungkapan agar kalian wajib meninggalkannnya (jauhilah ia mudah-mudahan kalian adalah golongan yang beruntung), hal itu karena lafazh ijtanib lebih mendalam daripada perkataan mereka:utrukûhu (tinggalkanlah oleh kalian hal itu).”[8]

Dan Rasulullah –shallaLlâhu ’alayhi wa sallam- menggunakan lafazh ijtanib ketika memerintahkan kita menjauhi perbuatan dosa-dosa besar tersebut. Dan urutan tingkat dosanya yang ketiga setelah menyekutukan Allah dan perbuatan sihir adalah membunuh jiwa yang tidak halal darahnya untuk ditumpahkan.

Syaikh Nawawi bin Umar al-Jawi asy-Syafi’i pun dalam kitab Mirqâtu Shu’ûd at-Tashdîq Syarh Sullam at-Tawfîq, menggolongkan perbuatan membunuh jiwa yang diharamkan sebagai salah satu bentuk kemaksiatan tangan dan ia termasuk dosa besar.[9]

Maka salah satu ayat al-Qur’an dan dua hadits di atas adalah dalil di antara dalil-dalil yang jelas, tegas (qath’iy) mengharamkan perbuatan membunuh muslim dengan sengaja yang tidak halal darahnya untuk ditumpahkan.

Catatan Kaki:
[1] Tafsîr ath-Thabari, Abu Ja’far ath-Thabari.
[2] Al-Mal’ûnûn fî as-Sunnah al-Shahîhah, Dr. Fayshal al-Jawabirah.
[3] Mufradât fî Gharîb al-Qur’ân, Ar-Raghib al-Ashfahani.
[4] Tafsîr Al-Qur’ân al-‘Azhîm, Ibn Abi Hatim.
[5] Al-Kasyf wa al-Bayân ‘an Tafsîr al-Qur’ân, Ahmad bin Muhammad bin Ibrahim ats-Tsa’labi.
[6] QS. Az-Zumar: 17.
[7] QS. Al-Maa’idah: 90
[8] Mufradât fî Gharîb al-Qur’ân, Ar-Raghib al-Ashfahani.
[9] Mirqâtu Shu’ûd at-Tashdîq Syarh Sullam at-Tawfîq, Nawawi bin Umar al-Jawi, hlm. 168.

Kajian & Praktik Ruqyah Syar’iyyah di Pesantren Nidaa’ al-Haar Bekasi

Liputan kajian dan praktik Ruqyah Syar’iyyah termasuk pemaparan materi mengenai alam jin, sihir dan perdukunan dalam timbangan Islam di Pesantren Nidaa’ al-Haar Bekasi, 23 November 2014.

Download Makalah Pelatihan (PDF):

Makalah Pelatihan BRC – Ruqyah Syar’iyyah – Edited

Makalah Pelatihan BRC- Alam Jin

Makalah Pelatihan BRC- Sihir

Do’a-Do’a Ruqyah Syar’iyyah

Link Kajian-Kajian Terkait Lainnya: Link Download

Foto Liputan Kajian Ruqyah Syar’iyyah

Irfan Abu Naveed

Pemaparan Materi Kajian Oleh Irfan Abu Naveed

1499522_989679077716234_5766109979935403804_n

Sambutan Mudir Pesantren

10384109_318798038307250_6431078727630675439_n

Pemaparan Materi Kajian Oleh Irfan Abu Naveed

64783_989708931046582_6531435718294939130_n

Pemaparan Materi Kajian Oleh Irfan Abu Naveed

10639639_10203397798729223_3547550763011966129_n

Pemaparan Materi Kajian Oleh Irfan Abu Naveed

10408753_932033986808470_4855463718748840426_n

Berfoto Bersama Ketika Sesi Istirahat

1456039_989720341045441_3937787149211638322_n

Berfoto Bersama Ketika Sesi Istirahat

10805557_989883887695753_3154025486514521650_n

Sesi Tanya Jawab

10352938_989714204379388_1810915397868532528_n

Sesi Tanya Jawab

10389121_989882527695889_4095721266478022275_n

Pemaparan Materi dan Tanya Jawab

10407296_989704647713677_719556926832707534_n

Pemaparan Materi dan Tanya Jawab

10628177_989881951029280_7187187081807700263_n

Peserta Akhwat

10641136_989692061048269_2273045755525061100_n

Pemaparan Materi dan Tanya Jawab

 

Tanya Jawab: Susuk & Pengobatannya

Tanya Jawab Susuk

Tanya Jawab Mengenai Susuk & Pengobatannya di http://www.irfanabunaveed.com

Pertanyaan

Assalamualaikum…

Ustadz… pa kbr? Afwan ane mw tanya boleh? Ini trkait dg illmu kejawen… ada tmn sy tny dia dulunya memasukkan benda2 ke dlm tubuhnya dg menelannya ke dlm tubuh spt: intan, berlian, dll.dg tujuan memperoleh… khasiat dr benda2 tsb dg merapalkan suatu amalan2 yg di wiridkan… nah pertnyaan sy… bisakah smua benda2 yg ditanam.di dlm tubuh dia itu di keluarkan… bgaimana prosesnya spy.smua ilmu2 yg berada di dlm tubuhnya di hilangkan dg mgkn ruqyah syariyyah?… trmksh atas jwbnnya…

Soalnya ada anggapan bhwa ktika mreka memasukkan benda2 ke dlm tubuhnya itu ktika ingin mengeluarkannya yah harus kepada org yg mnjdi mbahnya ktika memasukkannya… nah… jwbn antum bs. Illa bi idznillah…lalu apa yg bs kita lakukan apakah hny org2 yg mengeluarkan illa.bi iidznillah itu yg blajar ruqyah syariyyah sja… ataukah… kami… wlopun blm prnh bljr… bisa aja mlakukannya dg panduan yg sudah antum tuliskan di dlm web itu…. mksh tadz atas jwbnya

LN

Jawaban

وعليكم السلام ورحمة الله وبركاته

الحمدلله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله وأصحابه أجمعين وبعد.

Pertama, Susuk Termasuk Benda Praktik Sihir

Adapun benda yang dimasukkan ke dalam tubuh dengan maksud-maksud seperti itu dinamakan susuk. Susuk jenis apapun jika ia ditujukan untuk hal-hal mistis, dalam istilah perdukunan semisal kekebalan, memancarkan atau membuka aura dan dilakukan dengan menggunakan bantuan jin maka itu sudah tergolong ke dalam praktik sihir. Bagaimana caranya sebuah benda padat bisa masuk ke dalam tubuh hanya dengan cara disentuh, ditekan dan dibacai mantra-mantra jika tidak menggunakan bantuan jin? Jika tak menggunakan bantuan jin maka itu tipuan belaka.

Dan sihir terjadi dengan bantuan syaithan-syaithan golongan jin, dalam kamus Lisân al-‘Arab Imam al-Laits berkata: “Sihir adalah suatu perbuatan yang dapat mendekatkan diri kepada syaithân dengan bantuannya.”

Imam Ibn Qayyim al-Jawziyyah pun mengemukakan:

والسِّحر هو مركَّب من تأثيرات الأرواح الخبيثة، وانفعال القُوَى الطبيعية عنها

“Sihir adalah gabungan dari berbagai pengaruh ruh-ruh jahat (baca: para syaithân), serta interaksi berbagai kekuatan alam dengannya.”[1]

Syaikh Prof. Dr. Muhammad Rawwas Qal’ah Ji:

الاستعانة بالشياطين على تحصيل ما لا يقدر عليه

“(Sihir) dengan meminta pertolongan syaithan-syaithan untuk meraih apa-apa yang tidak mampu dilakukannya (kejadian luar biasa).”[2]

Kedua, Wajib Bertaubat dari Praktik Sihir

Orang yang memasukkan susuk sihir tersebut wajib bertaubat dengan taubat yang sebenar-benarnya. Karena susuk dalam pengertian di atas termasuk benda dalam praktik sihir, dan para ulama bersepakat atas keharaman mempraktikkan ilmu sihir, karena bahkan bisa menyebabkan kekufuran dan kemurtadan, hal itu terjadi jika si pelaku meyakini keyakinan syirik misalnya keyakinan bahwa jin yang berkuasa atas urusannya, dan atau melakukan perbuatan bersujud kepada makhluk-Nya, menghinakan ayat-ayat suci al-Qur’an dengan darah haid atau darah sembelihan (seperti fakta yang ada) dan lain sebagainya.

Jumhur ulama mengharamkan secara mutlak pembelajaran ilmu sihir meskipun tidak dipraktikkan. Artinya, lebih tercela lagi jika dipraktikkan. Dikatakan: “Mempelajari ilmu sihir haram tanpa ada perselisihan di kalangan para ulama, dan meyakini kehalalan sihir itu kufur.” [3] Allâh SWT berfirman:

إِنَّمَا نَحْنُ فِتْنَةٌ فَلَا تَكْفُرْ

“Sesungguhnya kami cobaan (bagimu), maka janganlah kamu kafir” (QS. Al-Baqarah [2]: 102)

Al-Hafizh Ibn Hajar al-‘Asqalani berkata: “Di dalam firman-Nya ini terdapat isyarat yang menunjukkan bahwa mempelajari sihir adalah kufur.”[4]

Syaikhul Ushul ‘Atha’ bin Khalil Abu ar-Rasythah ketika menafsirkan ayat ini berkata: “(Sihir) diajarkan oleh dua malaikat Harut dan Marut kepada manusia. Allah telah menurunkan keduanya di negeri Babil untuk mengajarkan kepada manusia ilmu sihir, akan tetapi (Allah melalui kedua malaikat ini) memperingatkan manusia untuk tidak mengamalkan ilmu sihir dan mengabarkan kepada mereka bahwa kedua malaikat ini (yang membawa ilmu sihir) merupakan ujian bagi manusia dan cobaan berat bagi mereka (“keduanya (Harut & Marut) tidak mengajarkan (ilmu sihir) kepada seorangpun sebelum mengatakan: ‘Sesungguhnya Kami hanya cobaan (bagimu), sebab itu janganlah kamu kafir’.”).”

Syaikh Atha’ bin Khalil pun menegaskan:

وتعليم السحر للناس هو ابتلاء لهم، فمن آمن بالسحر وعمل به فقد كفر، ومن لم يؤمن به ولم يعمل به فقد نجا (إِنَّمَا نَحْنُ فِتْنَةٌ فَلَا تَكْفُرْ

“Pengajaran ilmu sihir bagi manusia merupakan bencana bagi mereka, karena barangsiapa mengimani (pembenaran yang pasti-pen.) sihir dan mengamalkannya maka sungguh kufur dan barangsiapa yang tak mengimani sihir dan tak mengamalkannya maka selamat. (“Sesungguhnya Kami hanya cobaan (bagimu), sebab itu janganlah kamu kafir”).[5]

Prof. Dr. Muhammad Ali Ash-Shabuni mengatakan: “Mayoritas ulama mengharamkan mempelajari dan mengajarkan ilmu sihir, karena al-Qur’ân[6] menyebut ilmu ini untuk mencela dan menjelaskan bahwa sihir itu kufur. Lantas bagaimana mungkin bisa diperbolehkan?”[7]

Ali ash-Shabuni pun berhujjah bahwa Rasûlullâh SAW menggolongkan perbuatan tersebut sebagai dosa besar yang membinasakan (al-kabaa’ir al-muhlikah).

اجْتَنِبُوُا السَّبْعَ الْمُوْبِقَاتِ, قُلْنَا: وَمَا هُنّ يَا رَسُوْلََ اللهِ؟ قَالَ: الشِّرْكُ بِاللهِ وَالسِّحْرُ وَقَتْلُ النَّفْسِ الَّتِيْ حَرَّمَ اللهُ إِلَّا بِالحْقِّ وَأَكْلَ الرِّبَا وَأَكْلَ مَالِ الْيَتِيْمِ وَالتَّوَلَّي يَوْمَ الزَّحْفِ وَقًَذْفُ الْمُحْصَنَاتِ الْمُؤْمِنَاتَ الْغَافِلَاتِ

“Jauhilah tujuh perkara yang membinasakan. Kami bertanya: “Apa itu wahai Rasûlullâh?” Beliau menjawab: “Menyekutukan Allâh, sihir, membunuh jiwa yang diharamkan Allâh kecuali dengan alasan yang benar, memakan riba, memakan harta anak yatim, berlari dari pertempuran, menuduh zina mukminah yang menjaga kehormatannya.” (HR. al-Bukhârî & Muslim)

Imam ar-Raghib al-Ashfahani menegaskan bahwa lafazh ijtanibû (jauhilah) maknanya lebih mendalam daripada kata utrukû (tinggalkanlah), ia menuturkan:

اجتنبوا الطاغوت:  عبارة عن تركهم إياه، (فاجتنبوه لعلكم تفلحون) ، وذلك أبلغ من قولهم: اتركوه

“(Jauhilah thaghut-thaghut) yakni ungkapan agar kalian wajib meninggalkannnya (jauhilah ia mudah-mudahan kalian menjadi golongan yang beruntung), hal itu karena lafazh ijtanib lebih mendalam daripada perkataan: utrukûhu (tinggalkanlah oleh kalian hal itu).”[8]

Dan Rasulullah –shallaLlâhu ’alayhi wa sallam– menggunakan lafazh ijtanib ketika memerintahkan kita menjauhi perbuatan dosa-dosa besar tersebut. Dan urutan tingkat dosanya yang kedua setelah menyekutukan Allah adalah perbuatan sihir, lalu bagaimana dengan sihir yang diupayaka dengan menggabungkan berbagai macam kemungkaran demi mencari keridhaan syaithan? Syirik memuja syaithan atau bersekutu dengannya, perzinaan, pembunuhan dan lain sebagainya.

Maka mereka yang mempelajari ilmu sihir kekebalan dan mempraktikkannya wajib bertaubat dengan taubat yang sebenar-benarnya.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا تُوبُوا إِلَى اللَّهِ تَوْبَةً نَصُوحًا

Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubatan nasuhaa (taubat yang semurni-murninya).(QS. At-Tahriim [66]: 8)

Ketiga, Mengeluarkan Susuk dari Dalam Tubuh

Lalu bagaimana cara mengeluarkan susuk tersebut? Apakah harus dengan mendatangi si dukun yang memasangkannya?

Tidak boleh mendatangi kembali dukun atau tukang sihir yang memasangkan susuk tersebut untuk mengeluarkan susuknya, karena Islam mengharamkan perbuatan mendatangi dukun atau paranormal (‘arraaf) termasuk kembali mendatangi mereka setelah bertaubat. Karena di antara wujud taubat yang sebenar-benarnya adalah tekad untuk tidak mengulangi kesalahannya dan kesalahan pertama mereka yang memasang susuk adalah mendatangi dan memakai jasa dukun tersebut.

مَنْ أَتَى عَرَّافًا فَسَأَلَهُ عَنْ شَيْءٍ لَمْ تُقْبَلْ لَهُ صَلَاةٌ أَرْبَعِينَ لَيْلَةً

“Barangsiapa mendatangi ‘arrâf lalu dia bertanya kepadanya tentang suatu hal, maka shalatnya tidak akan diterima selama empat puluh malam.” (HR. Muslim no. 4137 & Ahmad no. 22138)

مَنْ أَتَى كَاهِنًا فَصَدَّقَهُ بِمَا يَقُولُ فَقَدْ كَفَرَ بِمَا أُنْزِلَ عَلَى مُحَمَّدٍ

“Barangsiapa mendatangi kâhin lalu membenarkan (meyakini) apa yang dikatakannya maka sungguh ia telah kufur terhadap apa yang diturunkan kepada Muhammad.” (HR. Ahmad, al-Tirmidzi, Ibnu Majah, ad-Darimi)

Hadits dari Mu’awiyah bin al-Hakam r.a.:

قَالُوا وَمِنَّا رِجَالٌ يَأْتُونَ الْكُهَّانَ قَالَ فَلَا تَأْتُوا كَاهِنًا

“Aku berkata: Dulu kami biasa mendatangi dukun. Nabi –shallaLlaahu ‘alayhi wa sallam– bersabda: “Janganlah kalian mendatangi dukun.” (HR. Ahmad & Muslim. Lafal Ahmad)

Dalam ceramah Prof. Dr. Abdurrazzaq bin Abdul Muhsin al-Abbad, ia menyatakan bahwa bagaimana mungkin seorang muslim mendatangi dukun, tukang sihir, paranormal untuk mengharapkan kebaikan dari mereka (dengan praktik perdukunan, sihirnya)? Padahal Allah ‘Azza wa Jalla menegaskan bahwa mereka tidak akan meraih keberuntungan dari sisi mana pun datangnya:

وَلَا يُفْلِحُ السَّاحِرُ حَيْثُ أَتَىٰ

“Tidak akan beruntung tukang sihir itu dari arah manapun datangnya.” (QS. Thaahaa [20]: 69)

Imam Ahmad pun meriwayatkan dari Jabir bin Abdullah, Rasulullah –shallaLlaahu ‘alayhi wa sallam– pernah ditanya tentang pengobatan dukun, beliau menyatakan bahwa itu perbuatan syaithan.

Lalu bagaimana cara ‘mengeluarkan’ susuk tersebut? Lakukan ruqyah syar’iyyah, karena tidak jarang saya lakukan terapi ruqyah syar’iyyah untuk mereka yang pernah memasang susuk dan bertaubat, dan seketika saya larang untuk kembali mendatangi dukun atau tukang sihirnya.

Keempat, Lakukan Ruqyah Mandiri

Yang mesti dilakukan oleh mantan pelaku kekebalan:

  • Taubat dengan sebenar-benarnya,

  • Menegakkan amal kebaikan; misalnya mendawamkan shalat berjama’ah di masjid (bagi pria), menggiatkan diri menghadiri majelis-majelis ilmu, berjama’ah dalam jama’ah dakwah Islam dan berkawan dengan orang-orang shalih di lingkungan yang baik, dan lain sebagainya,

  • Melakukan ruqyah mandiri secara rutin. Praktik ruqyah mandiri dan dibantu ruqyah orang lain bisa dipelajari di sini:

Praktik Ruqyah Mandiri: Terapi Ruqyah Mandiri

Praktik Ruqyah Dibantu Oleh Pihak Lain: Terapi Ruqyah Dibantu Oleh Orang Lain

Catatan Kaki:

[1] Lihat: Zâd al-Ma’âd (4/126).

[2] Mu’jam Lughatil Fuqaahaa’, Prof. Dr. Muhammad Rawwas Qal’ah Ji.

[3] Al-Fiqh ‘alâ al-Madzâhib al-Arba’ah Juz. IV, al-Syaikh ‘Abd al-Rahman al-Jazayri.

[4] Fat-h al-Bârî (X/225) buah tangan al-Hafizh Ibn Hajar al-‘Asqalaniy.

[5] Taysîr fî Ushûl al-Tafsîr, al-‘Alim al-Syaikh Atha’ ibn Khalil.

[6] QS. al-Baqarah [2]: 102.

[7] Rawâ-‘i al-Bayân, Juz. I, Hal. 83-84

[8] Mufradât fî Gharîb al-Qur’ân, Ar-Raghib al-Ashfahani.

Terapi Ruqyah Syar’iyyah Secara Mandiri

Ruqyah

وعليكم السلام ورحمة الله وبركاته

الحمدلله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله وأصحابه أجمعين وبعد

Tanya Jawab Part. I: Tanya Jawab Seputar Ilmu Kekebalan & Terapi Pengobatannya Secara Syar’i

Adab-Adab Ruqyah Syar’iyyah

Perhatikan adab-adab ruqyah dan pegang teguh, jauhi hal-hal yang mendatangkan murka Allah.

Pertama, Meyakini bahwa tidak ada kesembuhan kecuali dari Allâh Ta’âlâ, dan ruqyah hanyalah salah satu wasîlah kesembuhan yang dapat diusahakan seorang hamba (sabab syar’i).

وَإِذَا مَرِضْتُ فَهُوَ يَشْفِينِ

“Dan apabila aku sakit, Dialah Yang menyembuhkan aku” (QS. Asy-Syu’arâ’ [26]: 80)

Imam Fakhruddin ar-Râzi menjelaskan bahwa dalam ayat ini, kesembuhan dinisbatkan dari Allah.[1]

Perhatikan pula ketika Rasûlullâh shallaLlâhu ‘alayhi wa sallam– mengatakan dalam do’a beliau:

لَا شِفَاءَ إلاَّ شِفَاؤُكَ

“Tidak ada kesembuhan kecuali kesembuhan dari-Mu” (HR. Muttafaq ‘alayh)

Kedua, Ikhlas menghadapkan diri kepada Allâh Ta’âlâ, mengharapkan keridhaan-Nya, menghayati makna yang terkandung di dalamnya. Allah Ta’âlâ berfirman:

وَإِذَا قُرِئَ الْقُرْآنُ فَاسْتَمِعُوا لَهُ وَأَنْصِتُوا لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ

Dan apabila dibacakan Al-Qur’ân, maka dengarkanlah baik-baik, dan perhatikanlah dengan tenang agar kamu mendapat rahmat.” (QS. Al-A’râf [7]: 204)

الَّذِينَ آمَنُوا وَتَطْمَئِنُّ قُلُوبُهُمْ بِذِكْرِ اللَّهِ ۗ أَلَا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ

“(Yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi tenteram dengan mengingat Allâh. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allâh hati menjadi tenteram.” (QS. Ar-Ra’du [13]: 28)

Al-Hafizh an-Nawawi berkata:

أول ذلك أنَّهُ يجب على القارئ الإخلاص كما قدمناه، ومراعاة الأدب مع القرآن، وينبغي أن يستحضر في ذهنه أنه يناجي الله عز وجل ويقرأ على حال من يرى الله تعالى

“Yang pertama dalam hal ini (adab membaca al-Qur’an), diwajibkan atas pembaca al-Qur’ân niat ikhlas sebagaimana yang telah saya kemukakan dan menjaga adab terhadap al-Qur’ân. Dan sudah semestinya ia menghadirkan hatinya karena ia sedang bermunajat kepada Allâh Ta’âlâ dan membaca al-Qur’ân seperti keadaan orang yang (seakan-akan) melihat Allâh Ta’âlâ (jika dia tidak, maka sesungguhnya Allâh melihatnya–pen.).”[2]

Dr. Sa’id bin ‘Ali Wahf al-Qahthani menganalogikan ruqyah ibarat sebuah peperangan. Orang yang berperang tidak akan mampu mengalahkan musuh kecuali terpenuhi dua syarat, yaitu; senjata yang benar-benar hebat dan ada orang yang mampu menggunakan senjata tersebut. Jika tidak ada yang mampu menggunakan senjata tersebut, tentu tidak akan berguna senjata itu meskipun banyak jumlahnya.

Dr. Sulaiman al-Asyqar menegaskan: “Peruqyah hendaknya kuat keimanannya kepada Allâh Ta’âlâ seraya bersandar kepada-Nya, serta yakin akan pengaruh zikir dan bacaan al-Qur’ân. Setiap kali keimanan dan ketakwaannya bertambah kuat, maka bertambah kuat pulalah pengaruhnya.”

Hal serupa dijelaskan oleh Dr. asy-Sayyid Abdul Hakim Abdullah dalam kitab I’jâz ath-Thibb an-Nabawiy.[3]

Optimalisasi pengobatan dengan ruqyah syar’iyyah dengan keyakinan yang kuat bahwa al-Qur’ân ialah penawar, rahmat dan petunjuk bagi orang-orang beriman. Melabuhkan pengharapan (raja’), tawakal dan menghadapkan diri (tawajjuh) hanya pada Allâh Ta’âlâ, menyampaikan do’a penuh ketulusan, bertaubat sungguh-sungguh. Semakin kuat, Insyâ Allâh ruqyah semakin kuat. Oleh karena itu jika ruqyah tak menghasilkan kesembuhan, berarti disebabkan oleh lemahnya pengaruh dari terapis, atau tidak adanya penerimaan yang tulus dari pasien yang diobati, atau ada penghalang yang kuat yang menyebabkan obat tersebut tidak manjur. Wallâhu a’lam bi al-shawâb.

Ketiga, Membaca do’a-do’a ruqyah dari al-Qur’an, asmâ’ Allah al-Husnâ, hadits-hadits Rasulullah –shallaLlâhu ‘alayhi wa sallam– atau do’a-do’a lainnya baik dengan bahasa arab atau selainnya yang dipahami maknanya dan tidak mengandung kesyirikan. Karena ruqyah tidak boleh dengan do’a, bacaan, media atau apapun yang mengandung syirik (baca: segala hal yang dilarang syari’at Islam). Rasûlullâh –shallaLlâhu ‘alayhi wa sallam– dalam sabdanya yang mulia menegaskan batasan ini berdasarkan hadîts dari ‘Auf bin Malik al-Asyja’i r.a..

كُنَّا نَرْقِي فِي الْجَاهِلِيَّةِ فَقُلْنَا يَا رَسُولَ اللهِ كَيْفَ تَرَى فِي ذَلِكَ فَقَالَ اعْرِضُوا عَلَيَّ رُقَاكُمْ لَا بَأْسَ بِالرُّقَى مَا لَمْ يَكُنْ فِيهِ شِرْكٌ

“Kami biasa meruqyah pada zaman jahiliyyah, maka kami bertanya,’Wahai Rasûlullâh, bagaimana menurut anda hal itu?’ Beliau –shallaLlâhu ‘alayhi wa sallam- bersabda: “Perdengarkan kepadaku ruqyah-ruqyah kalian. Tidak apa-apa meruqyah selama tidak mengandung kesyirikan.” (HR. Muslim)

Al-Hafizh Ibn Hajar al-‘Asqalani berkata dalam Fat-hul Bârî’: “Dalam hadîts terdapat kebolehan membaca ruqyah dengan ayat al-Qur’ân. Demikian juga boleh membaca ruqyah dengan zikir dan do’a yang diambil dari Rasûlullâh –shallaLlâhu ‘alayhi wa sallam-  atau yang bukan dari Rasûlullâh –shallaLlâhu ‘alayhi wa sallam-  tapi tak bertentangan dengan apa yang diajarkan Rasûlullâh –shallaLlâhu ‘alayhi wa sallam-.”

Al-Hafizh an-Nawawi dalam Syarh Shahîh Muslim menjelaskan ketika menggabungkan hadits-hadits yang mengandung larangan dan kebolehan ruqyah:

أن المنهى عنه هو الرقية بكلام الكفار، والرقى المجهولة والتى بغير العربية وما لا يعرف معناها، فهى مذمومة لاحتمال أن معناها كفر أو قريب منه أو مكروه ، وأما الرقى بآيات القرآن والأذكار المعروفة فلا نهى عنها بل هى سنة

“Sesungguhnya larangan terhadap ruqyah berlaku bagi ruqyah yang menggunakan perkataan kufur, dan ruqyah yang tak diketahui artinya misalnya menggunakan bahasa selain bahasa arab atau apapun yang tak diketahui artinya. Ruqyah jenis ini tercela karena kemungkinan mengandung kekufuran atau mendekati kekufuran atau mengandung sesuatu yang dibenci. Adapun ruqyah dengan ayat-ayat al-Qur’an, zikir-zikir yang baik maka tidak terlarang bahkan dihukumi sunnah.”[4]

Syaikh al-Islam mengatakan:

نهى علماء الاسلام  عن الرُّقي التي لا يُفقه معناها ؛ لأنها مَظنَّة الشرك ، وإنْ لَمْ يَعرف الرَّاقي أَنهَّا شرك

“Para ulama islam melarang ruqyah-ruqyah yang tidak dipahami maknanya; karena diduga kuat mengandung kesyirikan, meski si peruqyah tidak mengetahui bahwa ruqyah tersebut syirik.” [5]

Dalam kitab al-Fatâwâ al-Hadîtsiyyah (hlm. 88) dikatakan:

وممن صَرَّحَ بتحريم الرقيا بالإسم الأعجَمِيِّ الذي لا يُعْرَفُ معناهُ ابن الرشد المالكي والعز بن عبد السلام الشافعي وجماعة من أئمتنا وغيرِهِم

“Dan diantara ulama yang mengharamkan ruqyah dengan bahasa ‘ajam yang tak diketahui artinya adalah Imam Ibn Rusyd al-Malikiy, Imam ‘Izzuddin bin ‘Abdissalam al-Syafi’iy, satu golongan dari guru-guru kita dan para ulama lainnya.”[6]

Para ulama dalam kitab Fatâwâ’ al-Azhar mengatakan:

وكان العرب قبل الإسلام يعتقدون أنها مؤثرة بنفسها دون تدخل لقدرة أخرى غيرها ، واختيار- كلماتها مبنى على اعتقادات قد يرفضها الدين ، ولذلك كان موقف الإسلام منها هو تصحيح الخطأ فى الاعتقاد ، وتقرير أنه لا تأثير لها إلا بإرادة الله تعالى ، وكذلك رفض الكلمات التى تتنافى مع العقيدة الإسلامية الصحيحة . فإن كانت كلماتها مقبولة مع اعتقاد أن أثرها هو بإرادة الله سبحانه كان مسموحا بها ، مثلها مثل الدعاء أو الدواء ، وبهذا يمكن أن نفهم ما جاء من نصوص رافضة أو مجيزة لها.

“Dahulu orang-orang arab sebelum islam meyakini bahwa ruqyah berpengaruh dengan sendirinya, tanpa ada campur tangan kuasa pihak lainnya, disamping pemilihan kata-kata ruqyahnya yang didasari keyakinan-keyakinan yang dibatalkan islam. Oleh karena itu, andil islam terhadap ruqyah yakni dengan meluruskan kesalahan-kesalahan dalam akidah, dan menetapkan bahwa ruqyah tidak berpengaruh kecuali dengan kehendak kuasa Allah Ta’âlâ, disamping menolak kata-kata ruqyah yang menyalahi akidah islam yang benar. Sehingga kata-kata dalam ruqyah bisa diterima disamping keyakinan bahwa pengaruh ruqyah terwujud dengan kehendak kuasa Allah Ta’âlâ hukumnya diperbolehkan, seperti do’a atau obat. Oleh karena itu, kita bisa memahami hal-hal yang dijelaskan dalam nash-nash yang menolak atau memperbolehkan ruqyah.”

Praktik Ruqyah Mandiri

Pertama, Perhatikan adab-adab ruqyah syar’iyyah.

Kedua, Persiapkan kantung atau wadah untuk persiapan jika muntah, dan perhatikan tempat yang akan dipakai untuk terapi, jauhkan dan musnahkan hal-hal yang bisa mengundang murka Allah semisal jimat-jimat syirkiyyah.

إِنَّ الرُّقَى وَالتَّمَائِمَ وَالتَّوَلَةَ شِرْكٌ

“Sesungguhnya jampi-jampi, jimat-jimat, dan guna-guna adalah syirik.” (HR. Abû Dawud & Ibnu Majah)

Ketiga, Berwudhu dan melaksanakan shalat sunat (shalat sunat hajat atau shalat sunat wudhu):

أَنَّ النَّبِيَّ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ لِبِلَالٍ عِنْدَ صَلَاةِ الْفَجْرِ يَا بِلَالُ حَدِّثْنِي بِأَرْجَى عَمَلٍ عَمِلْتَهُ فِي الْإِسْلَامِ فَإِنِّي سَمِعْتُ دَفَّ نَعْلَيْكَ بَيْنَ يَدَيَّ فِي الْجَنَّةِ قَالَ مَا عَمِلْتُ عَمَلًا أَرْجَى عِنْدِي أَنِّي لَمْ أَتَطَهَّرْ طَهُورًا فِي سَاعَةِ لَيْلٍ أَوْ نَهَارٍ إِلَّا صَلَّيْتُ بِذَلِكَ الطُّهُورِ مَا كُتِبَ لِي أَنْ أُصَلِّيَ

“Bahwa Nabi –shallaLlâhu ‘alayhi wa sallam- berkata kepada Bilal r.a. ketika shalat Fajar (Shubuh): “Wahai Bilal, ceritakan kepadaku amal yang paling utama yang sudah kamu amalkan dalam Islam, sebab aku mendengar di hadapanku suara sandalmu dalam surga”. Bilal berkata; “Tidak ada amal yang utama yang aku sudah amalkan kecuali bahwa jika aku bersuci (berwudhu’) pada suatu kesempatan malam ataupun siang melainkan aku selalu shalat dengan wudhu’ tersebut disamping shalat wajib.” (HR. al-Bukhârî)

Ustadz Muhammad asy-Syafi’i menuturkan:

ويستحب أن يتوضأ المعالج قبل بدء العلاج

“Dan dianjurkan bagi seorang terapis untuk berwudhu sebelum mulai menerapi.”[7]

Keempat, Membaca bacaan ruqyah dengan tartil dan penuh penghayatan, terutama ketika membaca ayat-ayat suci al-Qur’an. Di antara bacaan ayat kursi (QS. Al-Baqarah [2]: 255) dan dua ayat setelahnya, berdasarkan hadits dari ‘Abdullah r.a.:

مَنْ قَرَأ عَشرَ آيات مِن سُورة البقرةِ في بَيت لم يَدْخُل ذلك البَيْتَ شَيْطَان تلك اللَيلةَ حتى يُصْبحَ أربَعَ آيات مِنْ أوَّلَها وآية الكُرسِي وآيتينِ بَعدَها وخوَاتِيمهَا

Barangsiapa yang membaca sepuluh ayat dari surat al-Baqarah dalam satu rumah, syaithân tidak akan masuk ke dalam rumah tersebut pada malam itu hingga datang waktu pagi, yaitu empat ayat pada awal surat ditambah ayat kursi dan dua ayat sesudahnya dilanjutkan dengan ayat di akhir surat.” (HR. Muslim & Ibn Hibban dalam Shahîh-nya)[8]

Kelima, Selama pembacaan ruqyah lakukan tiupan. Hal itu karena ruqyah adalah perlindungan dan hembusan nafas. Sebagaimana dijelaskan dalam sejumlah kamus arabiyyah di antaranya Imam Muhammad bin Ahmad al-Azhari yang mendefinisikan ruqyah:

رَقَى الرَّاقِيْ رُقْيَةً وَرَقْيًا إِذَا عَوَّذَ وَنَفَثَ

“Peruqyah melakukan ruqyah apabila ia membaca doa perlindungan dan meniup.”[9]

Imam Ibn al-Mandzur mengatakan:

قال ابن منظور: والرقية: العوذة، معروفة، والجمع رقى. وتقول: استرقيته فرقاني رقية، فهو راق … يقال: رقى الراقي رقية ورقيا إذا عوذ ونفث في عوذته

“Ruqyah: do’a perlindungan, jamaknya ruqâ. Kita katakan: Aku meminta ruqyahnya dan ia meruqyahku ia disebut râqi”…. dikatakan: peruqyah meruqyah dengan suatu jampi jika ia meminta perlindungan dan menghembuskan nafas dalam do’a perlindungannya.”[10]

Imam Ibn al-Atsir mengatakan:

النَّفْثُ شبيه بالنَّفخ وهو أقل من التَّفْل ، لأن التَّفْل لا يكون إلا ومعه شيءٌ من الرِّيِق

An-Nafatsu sama seperti an-nafakhu yakni lebih sedikit dari at-taflu, karena at-taflu tidak mengandung apapun kecuali air ludah.”[11]

Al-Hafizh an-Nawawi pun menjelaskan:

والظاهر أن المراد النفث، وهو نفخ لطيف لا ريق معه

“Dan zhahir hadits ini bahwa yang dimaksud an-nafatsu yakni hembusan nafas yang lembut tidak disertai air ludah.”[12]

Al-Hafizh Ibn Hajar al-‘Asqalani pun menuturkan dari Ibn Abi Hamzah:

محل التَّفْل في الرقية يكون بعد القراءة ؛ لتحصيل بركة القراءة في الجوارح التي يمر عليها الريق فتحصل البركة في الريق الذي يتفله

“Tempatnya at-taflu (yakni hembusan nafas yang mengandung sedikit ludah) dalam ruqyah setelah pembacaan; untuk menghasilkan keberkahan dari bacaan pada anggota badan yang dilalui oleh air ludah, maka dihasilkan lah keberkahan dari air ludah yang mengendap padanya.”[13]

Bacaan ruqyah tersebut ditiupkan pada kedua telapak tangan lalu diusapkan ke sekujur tubuh. Hal itu sebagaimana sunnah sebelum tidur khususnya dengan bacaan al-mu’awwidzât.

Pembacaan ruqyah, bisa didukung dengan pembacaan yang ditiupkan pula pada air yang dicampur garam berdasarkan hadits dari Ali bin Abi Thalib r.a.:

‎لَدَغَتِ‎ ‎النَّبِيَّ‎ -صلى الله عليه وسلم-‎عَقْرَبٌ‎ ‎وَهُوَ‎ ‎يُصَلِّيْ‎. ‎فَلَمَّا‎ ‎فَرِغَ‎ ‎قَالَ‎: ‎لَعَنَ‎ ‎اللهُ‎ ‎اْلعَقْرَبَ،‎ ‎لاَ‎ ‎تَدَعُ‎ ‎مُصَلِّياً‎ ‎وَلاَ‎ ‎غَيْرَهُ‎. ‎ثُمَّ‎ ‎دَعَا‎ ‎بِمَاءٍ‎ ‎وَمِلْحٍ،‎ ‎فَجَعَلَ‎ ‎يَمْسَحُ‎ ‎عَلَيْهَا،‎ ‎وَيَقْرَأُ‎: ‎قُلْ‎ ‎يَا‎ ‎أَيُّهاَ‎ ‎اْلكَافِرُوْنَ،‎ ‎وَقُلْ‎ ‎أَعُوْذُ‎ ‎بِرَبِّ‎ ‎الْفَلَقِ،‎ ‎وَقُلْ‎ ‎أَعُوْذُ‎ ‎بِرَبِّ‎ ‎النَّاسِ‎

“Ketika RasûlullâhshallaLlâhu ‘alayhi wa sallamsedang shalat, beliau digigit Kalajengking. Setelah beliau selesai shalat, beliau bersabda, ‘Semoga Allâh  melaknat Kalajengking yang tidak membiarkan orang yang sedang shalat atau yang lainnya.’ Lalu beliau mengambil satu wadah air dan garam. Kemudian beliau usap bagian anggota badan yang digigit Kalajengking, seraya membaca surat al-Kâfirûn, al-Falaq dan an-Nâs.” (HR. Ath-Thabrani no. 832)[14]

Lalu air tersebut boleh diminumkan, diusapkan dan dipercikkan pada anggota badan yang diruqyah atau dipakai untuk mandi. Dan bisa dipakai untuk dipercikkan pada sudut-sudut tempat untuk meruqyah tempat atau membasuh benda sihir sebelum dimusnahkan.

Download Bacaan-Bacaan Ruqyah Syar’iyyah: Do’a-Do’a Ruqyah Syar’iyyah

Keenam, Jika merasakan reaksi ganjil yang tiba-tiba pada tubuh (seperti panas di punggung, mual di perut, kedinginan), maka perkuat kualitas bacaan ruqyah, diulang-ulang, disertai do’a agar Allâh Ta’âlâ berkenan memberikan pertolongan-Nya. Diantaranya dengan meletakkan tangan kanan pada bagian tubuh yang sakit, lalu ucapkan:

بِسْمِ اللهِ، بِسْمِ اللهِ، بِسْمِ اللهِ

Lalu ucapkan do’a (7 kali):

أَعُوْذُ بِعِزَّةِ اللهِ وَقُدْرَتِهِ مِنْ شَرِّ مَا أَجِدُ وَأُحَاذِرُ

“Aku berlindung kepada kemuliaan Allâh dan kekuasaan-Nya dari keburukan apa-apa yang aku temukan dan apa-apa yang aku khawatirkan.” (HR. Muslim & at-Tirmidzi)[15]

Dan do’a dari hadits:

أعـوذُ بكلماتِ اللهِ التامّةِ , من كلِّ شيطانٍ وهـامّةِ , ومن كلِّ عينٍ لامّـة[16

Dan do’a dari hadits:

أسألُ اللهَ العَظِيمَ ربَّ العَرْشِ العَظيمِ أنْ يَشْفِيَنِيْ

 “Aku memohon kepada Allah Yang Maha Agung, Rabb ‘Arsy yang agung agar menyembuhkanku.”

Do’a ini diambil dari hadits dari Ibnu Abbas r.a., dari Nabi –shallaLlâhu ‘alayhi wa sallam– bersabda:

مَا مِنْ عَبْدٍ مُسْلِمٍ يَعُودُ مَرِيضًا لَمْ يَحْضُرْ أَجَلُهُ فَيَقُولُ سَبْعَ مَرَّاتٍ : أَسْأَلُ اللَّهَ الْعَظِيمَ، رَبَّ الْعَرْشِ الْعَظِيمِ أَنْ يَشْفِيَكَ ، إِلَّا عُوفِيَ

Tidaklah seorang hamba Allah yang muslim mendo’akan bagi orang yang sakit yang belum menemui kematiannya lalu ia mengatakan sebanyak tujuh kali: “Aku memohon kepada Allah Yang Maha Agung, Rabb ‘arsy yang agung agar Dia menyembuhkanmu” kecuali disembuhkan oleh Allah.(HR. at-Tirmidzi, Abu Dawud, an-Nasa’i, Ibnu Hibban dan al-Hakim)[17]

Dan jika hendak muntah maka muntahkan, karena dalam banyak pengalaman, muntah adalah media keluarnya penyakit dimana si sakit akan merasa lebih baik setelah muntah.

Ketujuh, Apabila rasa sakit telah sirna bi idznillâh, dianjurkan melakukan sujud syukur sebagai salah satu wujud syukur kepada Allâh atas pertolongan-Nya:

وَمَنْ شَكَرَ فَإِنَّمَا يَشْكُرُ لِنَفْسِهِ ۖ وَمَنْ كَفَرَ فَإِنَّ رَبِّي غَنِيٌّ كَرِيمٌ

 “Dan barangsiapa yang bersyukur maka sesungguhnya dia bersyukur untuk (kebaikan) dirinya sendiri dan barangsiapa yang ingkar, maka sesungguhnya Tuhanku Maha Kaya lagi Maha Mulia.” (QS. An-Naml [27]: 40)

Kedelapan, Istiqamah melakukan keta’atan, menjauhi kemaksiatan dan sebaiknya rutin melakukan ruqyah dzatiyyah sebagai tindakan preventif, bi idznillâh. Dan jauhi berbagai keharaman:

أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّ الله طَيِّبٌ لَا يَقْبَلُ إِلَّا طَيِّبًا وَإِنَّ الله أَمَرَ الْمُؤْمِنِينَ بِمَا أَمَرَ بِهِ الْمُرْسَلِينَ فَقَالَ { يَا أَيُّهَا الرُّسُلُ كُلُوا مِنْ الطَّيِّبَاتِ وَاعْمَلُوا صَالِحًا إِنِّي بِمَا تَعْمَلُونَ عَلِيمٌ } وَقَالَ { يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُلُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا رَزَقْنَاكُمْ } ثُمَّ ذَكَرَ الرَّجُلَ يُطِيلُ السَّفَرَ أَشْعَثَ أَغْبَرَ يَمُدُّ يَدَيْهِ إِلَى السَّمَاءِ يَا رَبِّ يَا رَبِّ وَمَطْعَمُهُ حَرَامٌ وَمَشْرَبُهُ حَرَامٌ وَمَلْبَسُهُ حَرَامٌ وَغُذِيَ بِالْحَرَامِ فَأَنَّى يُسْتَجَابُ لِذَلِكَ

Wahai sekalian manusia, sesungguhnya Allâh itu baik. Dia tidak akan menerima sesuatu melainkan yang baik pula. Dan sesungguhnya Allâh telah memerintahkan kepada orang-orang mukmin seperti yang diperintahkan-Nya kepada para Rasul. Firman-Nya: ‘Wahai para Rasul! Makanlah makanan yang baik-baik (halal) dan kerjakanlah amal shalih. Sesungguhnya Aku Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.’ Dan Allâh juga berfirman: ‘Wahai orang-orang yang beriman! Makanlah rezeki yang baik-baik yang Telah menceritakan kepada kami telah kami rezekikan kepadamu.'” Kemudian Nabi shallaLlâhu ‘alayhi wa sallam menceritakan tentang seorang laki-laki yang telah lama berjalan karena jauhnya jarak yang ditempuhnya. Sehingga rambutnya kusut, masai dan berdebu. Orang itu mengangkat tangannya ke langit seraya berdo’a: “Wahai Tuhanku, wahai Tuhanku.” Padahal, makanannya dari barang yang haram, minumannya dari yang haram, pakaiannya dari yang haram dan diberi makan dengan makanan yang haram, maka bagaimanakah Allâh akan memperkenankan do’anya?.” (HR. Muslim no. 1686)

Kesembilan, Jika diperlukan, maka bisa dibantu oleh orang yang shalih untuk meruqyahnya. Bagaimana tatacara meruqyahnya? Artikel-Artikel Ruqyah Syar’iyyah: Link Artikel dan Download

Daftar Pustaka

Al-Jazairi, Abdurrahman. 1424 H. Al-Fiqh ‘alâ al-Madzâhib al-‘Arba’ah. Cet. II. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah.

Ash-Shabuni, Prof. Dr. Ali. 1400 H. Rawâ’I’ al-Bayân: Tafsîr Âyât al-Ahkâm. Cet. III. Damaskus: Maktabah Al-Ghazali.

Ar-Rasythah, Atha bin Khalil. 1427 H. At-Taysîr fî Ushûl At-Tafsîr (Sûrah Al-Baqarah). Cet. II. Beirut: Dar al-Ummah.

Alu Sa’di, Abdurrahman bin Nashir. 1425 H. Mukhtashar fî Ushûl I’tiqâd Ahl as-Sunnah wa al-Jamâ’ah. Editor: Prof. Dr. Abdullah bin Muhammad ath-Thayyar. Dar al-Muta’allim.

Abdullah, Dr. As-Sayyid Abdul Hakim. 1418 H. I’jâz ath-Thibb an-Nabawiy.  Cet. I. Kairo: Dar al-Afaq al-Arabiyyah.

Mufradât fî Gharîb al-Qur’ân, Ar-Raghib al-Ashfahani.

Al-Maqdisi, Adh-Dhiyâ’. (Tanpa Tahun). Al-Ahâdîts al-Mukhtârah. Tahqiq: Abdul Mulk Dahisy. Arab Saudi.

Ath-Thabrani, Sulaiman bin Ahmad. (Tanpa Tahun). Al-Mu’jam ash-Shaghîr. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah.

Ath-Thabrani, Sulaiman bin Ahmad. (Tanpa Tahun). Al-Mu’jam al-Awsâth. Tahqiq: Thariq bin ‘AudhuLlah. Kairo: Dar al-Haramayn.

Al-Bayhaqi. (Tanpa Tahun). Syu’b al-Îmân. Tahqiq: Muhammad as-Sa’id Basuni. Cet. I. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah.

At-Tirmidzi, Muhammad bin Isa. (Tanpa Tahun). Jâmi’ at-Tirmidzi. Tahqiq: Ahmad Muhammad Syakir, dan lainnya. Beirut: Dâr Ihyâ’ at-Turâts al-‘Arabiy.

An-Naysaburi, Al-Hakim. (Tanpa Tahun). Al-Mustadrak ‘alâ ash-Shahîhayn. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah.

Al-‘Asqalani, Ibn Hajar. 1996. Ittihâf al-Mahrah. Tahqiq: Abdullah Murad ‘Ali. Cet. I. Madinah: Majma’ al-Mulk Fahd.

Ar-Râzi, Abu Abdullah Muhammad bin Umar bin al-Hasan. 1420 H. Mafâtîh al-Ghayb. Cet. III. Beirut: Dar Ihyâ’ at-Turâts al-‘Arabiy.

Qal’ah Ji, Prof. Dr. Muhammad Rawwas & Dr. Hamid Shadiq. 1988. Mu’jam Lughatil Fuqâhâ’. Cet. II. Beirut: Dar an-Nafa’is.

Wijaya, Irfan Ramdhan. 2011. Menyingkap Jin dan Dukun Hitam Putih Indonesia. Cet. I. Surabaya: Halim Jaya.

Dan lain-lain

Catatan Kaki:

[1] Mafâtîh al-Ghayb, Abu Abdullah Muhammad bin Umar ar-Râzi (w. 606 H).

[2] At-Tibyân fî Âdabi Hamalatil Qur’ân, Abu Zakariya bin Syarf an-Nawawi

[3] I’jâz ath-Thibb an-Nabawiy, Dr. as-Sayyid Abdul Hakim Abdullah, hlm. 128.

[4] Syarh Shahîh Muslim (14/196)

[5] Îdhah al-Dalâlah fî ‘Umûm al-Risâlah, al-Rasâil al-Munîriyyah (2/103).

[6]

[7] As-Sihr wa al-Jân Bayna al-Masîhiyyah wa al-Islam, hlm. 177.

[8] Lihat pula Ittihâf al-Mahrah karya al-Hafizh Ibn Hajar al-‘Asqalani (w. 852 H), hadits no. 12231:

من قرأ عشر آيات من سورة البقرة في ليلة لم يدخل ذلك البيت شيطان

[9] Tahdzîb al-Lughah (9/29).

[10] Lisân al-‘Arab (14/332)

[11] An-Nihâyatu fî Gharîb al-Hadîts (V/ 87).

[12] Shahîh Muslim Bi Syarh an-Nawawi, Al-Hafizh an-Nawawi.

[13] Fat-h al-Bâri (IV/ 456), Ibn Hajar al-‘Asqalaniy.

[14] Al-Mu’jam ash-Shaghîr, Sulaiman bin Ahmad ath-Thabrani (w. 360 H). Imam al-Haitsami menyatakan: ”Sanad hadîts ini hasan (baik)” (Majma’ azZawaid (5/ 111)). Lihat juga al-Mu’jam al-Awsath-nya Imam ath-Thabrani no. 6040. Hadits penggunaan air dan garam ini pun diketengahkan dalam kitab al-Ahâdîts al-Mukhtârah karya adh-Dhiyâ’ al-Maqdisiy (w. 643 H) hadits no. 673 dengan sanad hasan; Syu’b al-Îmân karya Imam al-Bayhaqi (w. 458 H) hadits no. 2356.

[15] Shahih Muslim, Kitab (السلام), Bab. (استحباب وضع يده على موضع الألم مع الدعاء), hadits no. 2202 tanpa kata (بعزة); Sunan At-Tirmidzi, Kitab (الطب عن رسول الله), Bab. (ما جاء في دواء ذات الجنب), hadits no. 2080 dengan tambahan (وسلطانه) dari Utsman bin Abu al-‘Ash.

[16] Shahîh al-Bukhârî, Kitab (أحاديث الأنبياء), Bab. (قوله تعالى (واتخذ الله إبراهيم خليلا)), hadits no. 3371 dari Ibnu Abbas r.a., lihat pula Tafsîr al-Qurthubi (IX/ 226)

[17] Jâmi’ at-Tirmîdzî, Muhammad bin Isa at-Tirmidzi (w. 256 H), hadits no. 2009. Abu Isa berkata: “Hadits ini hasan gharib, kami tidak mengetahuinya kecuali dari hadits al-Minhal bin Amru.” Namun penulis kitab Tuhfatul Ahwadzî Syarh at-Tirmîdzî (no. 1938) menuturkan:

قَوْلُهُ : ( هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ غَرِيبٌ ) وَأَخْرَجَهُ أَبُو دَاوُدَ وَالنَّسَائِيُّ وَابْنُ حِبَّانَ وَالْحَاكِمُ وَقَالَ صَحِيحٌ عَلَى شَرْطِ الشَّيْخَيْنِ

“Perkataannya (hadits ini hasan gharib) dan diriwayatkan pula oleh Abu Dawud, an-Nasa’i, Ibnu Hibban (dalam shahihnya-pen.) dan al-Hakim. Al-Hakim berkata: “Hadits ini shahih dengan syarat Syaykhayn (al-Bukhari dan Muslim)”.” (Lihat pula syarah at-Tirmidzi lainnya: ‘Awn al-Ma’bûd syarah hadits no. 2588).

Dalam al-Mustadrak ‘alâ Shahîhayn, Imam al-Hakim an-Naysaburi menuturkan: “Hadits ini shahih memenuhi syarat al-Bukhari namun beliau tidak mengeluarkannya.”

Tanya Jawab Seputar Ilmu Kekebalan & Terapi Pengobatannya yang Syar’i

Pertanyaan

Assalaamu’alaykum,wr,wb

Afwn tadz mau tanya, bagaimanakah metode untuk meruqyah seseorang yang pernah menuntut ilmu kebal? Dan orangnya pengen dikeluarin ilmu-ilmu tersebut dari badannya, dan susuk baja yang masih ada dalam tubuh beliau. Mhn penjelasannya tadz

Wandi Balaraja Banten

Jawaban

وعليكم السلام ورحمة الله وبركاته

الحمدلله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله وأصحابه أجمعين وبعد.

Pertama, Ilmu Kekebalan Termasuk Ilmu Sihir

Allah menciptakan tubuh manusia sesuai dengan kadarnya, di antaranya bisa terluka ketika terkena tusukan atau sayatan benda tajam, jika ada tusukan atau sayatan tapi tak terluka sedikitpun padahal ghalibnya terluka maka ini yang dinamakan khawâriq lil ‘âdah (kejadian luar biasa), dan di antaranya termasuk sihir. Lalu apakah ilmu kekebalan yang diklaim sebagian orang di negeri ini apakah bisa tergolong sihir? Bagaimana ciri-ciri kejadian luar biasa yang termasuk sihir?

Pertama, Kejadian luar biasa yang termasuk sihir ada pada orang kafir, munafik, fasik, ahli maksiat dibantu oleh syaithan-syaithan golongan jin. Dalam dialog antara Yunus bin Abdul A’la ash-Shadafi dan Imam asy-Syafi’i kita mengetahui pandangan asy-Syafi’i. Yunus bin Abdul A’la ash-Shadafi menuturkan:

قُلْتُ لِلشَّافِعِيِّ: إِنَّ صَاحِبَنَا اللَّيْثَ كَانَ يَقُولُ: إِذَا رَأَيْتُمُ الرَّجُلَ يَمْشِي عَلَى الْمَاءِ فَلَا تَعْتَبِرُوا بِهِ حَتَّى تَعْرِضُوا أَمْرَهُ عَلَى الْكِتَابِ وَالسُّنَّةِ؟ فَقَالَ الشَّافِعِيُّ: قَصَّرَ اللَّيْثُ رَحِمَهُ اللَّهُ، بَلْ إِذَا رَأَيْتُمُ الرَّجُلَ يَمْشِي عَلَى الْمَاءِ، وَيَطِيرُ فِي الْهَوَاءِ، فَلَا تَعْتَبِرُوا بِهِ حَتَّى تَعْرِضُوا أَمْرَهُ عَلَى الْكِتَابِ وَالسُّنَّةِ.

“Aku berkata kepada asy-Syafi’i: “Sesungguhnya sahabat kami, Imam al-Laits bertutur: “Jika kalian melihat seseorang berjalan di atas air, janganlah kalian tertarik (terpedaya-pen.) padanya hingga kalian mengembalikan perkara ini kepada al-Qur’an dan as-Sunnah.” Imam asy-Syafi’i menimpali: “Al-Laits –rahimahuLlâh- meringkasnya, tetapi yakni jika kalian melihat seseorang berjalan di atas air, dan terbang di udara janganlah kalian tertarik padanya hingga kalian mengembalikan perkara ini kepada al-Qur’an dan as-Sunnah.”[1]

Syaikh Abdullah bin Alwi bin Muhammad al-Haddad menjelaskan:

و كل من لم يبالغ في التمسك بالكتاب و السنة و لم يبذل و سعه فى متابعة الرسول وهو مع ذلك يدعى أن له مكانة من الله تعالى فلا تلتفت إليه ولا تعرج عليه وإن طار في الهواء ومشى على الماء وطويت له المسافات وخرقت له العادات فإن ذلك يقع كثيرا للشياطين والسحرة والكهان والعرافين والمنجمين وغيرهم من الضلال

“Barangsiapa tak bersungguh-sungguh berpegang dengan al-Qur’ân dan al-Sunnah, juga tak mengerahkan kemampuan untuk mengetahui jejak Rasul kemudian ia mengaku mempunyai derajat tinggi di hadapan Allâh, maka jangan sampai engkau berpaling kepadanya dan mengikutinya meskipun dia bisa terbang, berjalan di atas air, bisa meringkas jarak perjalanan atau mempunyai keanehan-keanehan lain. Karena peristiwa-peristiwa semacam ini bisa dilakukan syaithân-syaithân, para tukang sihir (dukun), para tukang ramal, orang-orang yang mengetahui keadaan samar (al-‘arrâfîn) dan para ahli perbintangan (al-Munajjimîn). Mereka semua ini termasuk orang-orang sesat.”[2]

Imam Abdurrahman al-Jazairi dalam kitab fikih 4 madzhabnya menuturkan:

وأما السحر الوارد في الحديث فإن المراد به الأقوال، والأفعال التي تنافي أصول الدين، وتتعارض مع الأخلاق الشرقية، ولهذا عرفه الفقهاء: بأنه كلام مؤلف يعظم به غير الله تعالى، وتنسب إليه مقادير الكائنات، ولا ريب في أنه بهذا المعنى كبيرة من أفظع الكبائر، بل قد يكون ردة ظاهرة، بصرف النظر عما يترتب عليه من الآثار. لأن الذي يعظم غير الله بما هو مختص بالله وحده كافر.

“Adapun sihir yang disebutkan dalam hadits yang dimaksudkan olehnya yakni berupa perkataan-perkataan dan perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengan pokok agama Islam, dan menyelisihi akhlak yang mulia, itulah yang didefinisikan oleh para ahli fikih: Bahwa ia adalah perkataan yang menghimpun pengagungan kepada selain Allah, dan menisbatkan kepada selain Allah kemampuan-kemampuan penciptaan, maka tak ada keraguan bahwa sihir dalam pengertian ini merupakan dosa besar termasuk seburuk-buruknya dosa besar, bahkan kemurtadan yang nyata, dengan memerhatikan pengaruh yang diakibatkannya. Karena orang yang mengagungkan selain Allah dalam hal-hal yang khusus bagi Allah itu sendiri adalah kafir.”[3]

As-Sayyid Abdurrahman Ba Alwi asy-Syafi’i dalam Bughyatul Mustarsyidîn menjelaskan:

السحر هو ما يحصُلُ بِتَعَلُّم و مباشرة سبب على يد فاسق أو كافر كالشعوذَة وهي خِفَّه اليد بالأعمال وحمل الحية ولَدغِها له واللعبُ بالنارِ من غير تأثيرٍ والطلاسم والتغْريمات المحرمة واستخدامِ الجان وغير ذلك، إذا عرفتَ ذلك علمتَ أن ما يتعاطاه الذين يضربون صدورَهم بدَبوس أو سكين أو يَطعَنون أعيُنَهم أو يحملون النار أو يأكلونها وينتَمون إلى سيدى أحمد الرفاعي أو سيدى أحمد بن علوان أو غيرهما من الأولياء إنهم إن كانوا مستقيمين على الشريعة قائمين بالاوامر تاركين للمناهِى عالمين بالفرض العين من العلم عاملين به لم يتعلموا السببَ المُحَصِّلَ لهذا العمل فهو من حيز الكرامة وإلا فهو من حيز السحر إذ الإجماعُ مُنْعَقِد أن الكرامة لاتظهر على يد فاسق وأنها لاتحصُلُ بتَعَلُّمِ أقوال واعمال وأن ما يظهر على يد الفاسق من الخوارق من السحر المحرم تعلّمُه وتعليمُه وفعلُه.

“Sihir ialah kejadian luar biasa yang dihasilkan dengan mempelajarinya dan melalui usaha-usaha yang dilakukan oleh orang kafir atau orang fasiq, seperti: sulap, membawa ular dan ular tersebut menggigit, bermain-main dengan api tanpa terpengaruh sama sekali (kebal), tulisan rajah-rajah Arab, mantra-mantra yang diharamkan, meminta bantuan jin dan lain sebagainya. Ketika engkau sudah mengetahui pengertian sihir seperti di atas, maka atraksi-atraksi yang dilakukan dengan menusuk badan memakai pisau, membawa api atau memakannya, yang mana ilmu kekebalan tersebut konon katanya berasal dari para wali seperti Sayyid Ahmad Rifa’i atau Ahmad Ibnu Alwan, untuk menghukuminya perlu dirinci, jika pelakunya disiplin syari’at serta ta’at menjalankan perintah-perintah Allâh dan menjauhi larangan-larangan-Nya dan mendapatkannya tidak melalui usaha-usaha atau belajar, maka kejadian tersebut jelas-jelas termasuk karâmah. Dan jika tidak memenuhi syarat-syarat di atas maka kejadian tersebut termasuk sihir yang diharamkan, karena menurut ijma’ ulama, karâmah tak mungkin timbul dari orang fasiq dan tak bisa diperoleh dengan cara belajar atau melalui usaha-usaha. Dan sesungguhnya kejadian luar biasa yang timbul dari orang fasiq termasuk sihir.”[4]

Dan sihir terjadi dengan bantuan syaithan-syaithan golongan jin, dalam kamus Lisân al-‘Arab Imam al-Laits berkata: “Sihir adalah suatu perbuatan yang dapat mendekatkan diri kepada syaithân dengan bantuannya.”

Imam Ibn Qayyim al-Jawziyyah pun mengemukakan:

والسِّحر هو مركَّب من تأثيرات الأرواح الخبيثة، وانفعال القُوَى الطبيعية عنها

“Sihir adalah gabungan dari berbagai pengaruh ruh-ruh jahat (baca: para syaithân), serta interaksi berbagai kekuatan alam dengannya.”[5]

Syaikh Prof. Dr. Muhammad Rawwas Qal’ah Ji:

الاستعانة بالشياطين على تحصيل ما لا يقدر عليه

“(Sihir) dengan meminta pertolongan syaithan-syaithan untuk meraih apa-apa yang tidak mampu dilakukannya (kejadian luar biasa).”[6]

Syaikh Wahid Abdussalam Bâli memperingatkan: “Bisa jadi seseorang itu bukan tukang sihir sama sekali dan dia pun tak berpegang pada syari’at, bahkan justru senang melakukan perbuatan dosa besar, meski demikian, pada dirinya tampak beberapa kejadian luar biasa dan tidak jarang hal itu terjadi pada ahli bid’ah atau orang yang suka menyembah kuburan. Maka mengenai hal tersebut, dapat dinyatakan bahwa hal itu merupakan bantuan syaithân sehingga jalan bid’ah yang ditempuhnya dibuat indah sedemikian rupa sehingga tampak indah bagi orang lain, lalu mereka mengikutinya dan meninggalkan sunnah. Hal seperti itu banyak terjadi dan sudah sangat populer, khususnya jika orang itu seorang pemimpin salah satu thariqat shufi yang diwarnai perbuatan bid’ah.”[7]

Kedua, Sihir bisa dipelajari dan diajarkan. Lain halnya dengan mukjizat dan karamah, sihir bisa diupayakan dengan ikhtiar manusia, bisa diajarkan (diwariskan) dan bisa dipelajari, dimana keduanya diisyaratkan Allah dalam QS. Al-Baqarah [2]: 102. Yakni pada kata (يُعَلِّمُونَ) dan kata (يَتَعَلَّمُونَ). Maka para ulama pun menjelaskan mengenai hukum mempelajari ilmu sihir berdasarkan firman Allah SWT:

وَاتَّبَعُوا مَا تَتْلُو الشَّيَاطِينُ عَلَىٰ مُلْكِ سُلَيْمَانَ ۖ وَمَا كَفَرَ سُلَيْمَانُ وَلَٰكِنَّ الشَّيَاطِينَ كَفَرُوا يُعَلِّمُونَ النَّاسَ السِّحْرَ وَمَا أُنْزِلَ عَلَى الْمَلَكَيْنِ بِبَابِلَ هَارُوتَ وَمَارُوتَ ۚ وَمَا يُعَلِّمَانِ مِنْ أَحَدٍ حَتَّىٰ يَقُولَا إِنَّمَا نَحْنُ فِتْنَةٌ فَلَا تَكْفُرْ ۖ فَيَتَعَلَّمُونَ مِنْهُمَا مَا يُفَرِّقُونَ بِهِ بَيْنَ الْمَرْءِ وَزَوْجِهِ ۚ وَمَا هُمْ بِضَارِّينَ بِهِ مِنْ أَحَدٍ إِلَّا بِإِذْنِ اللَّهِ ۚ وَيَتَعَلَّمُونَ مَا يَضُرُّهُمْ وَلَا يَنْفَعُهُمْ ۚ وَلَقَدْ عَلِمُوا لَمَنِ اشْتَرَاهُ مَا لَهُ فِي الْآخِرَةِ مِنْ خَلَاقٍ ۚ وَلَبِئْسَ مَا شَرَوْا بِهِ أَنْفُسَهُمْ ۚ لَوْ كَانُوا يَعْلَمُونَ

Dan mereka mengikuti apa yang dibaca oleh syaitan-syaitan pada masa kerajaan Sulaiman (dan mereka mengatakan bahwa Sulaiman itu mengerjakan sihir), padahal Sulaiman tidak kafir (tidak mengerjakan sihir), hanya syaitan-syaitan lah yang kafir (mengerjakan sihir). Mereka mengajarkan sihir kepada manusia dan apa yang diturunkan kepada dua orang malaikat di negeri Babil yaitu Harut dan Marut, sedang keduanya tidak mengajarkan (sesuatu) kepada seorangpun sebelum mengatakan: “Sesungguhnya kami hanya cobaan (bagimu), sebab itu janganlah kamu kafir”. Maka mereka mempelajari dari kedua malaikat itu apa yang dengan sihir itu, mereka dapat menceraikan antara seorang (suami) dengan isterinya. Dan mereka itu (ahli sihir) tidak memberi mudharat dengan sihirnya kepada seorangpun, kecuali dengan izin Allah. Dan mereka mempelajari sesuatu yang tidak memberi mudharat kepadanya dan tidak memberi manfaat. Demi, sesungguhnya mereka telah meyakini bahwa barangsiapa yang menukarnya (kitab Allah) dengan sihir itu, tiadalah baginya keuntungan di akhirat, dan amat jahatlah perbuatan mereka menjual dirinya dengan sihir, kalau mereka mengetahui.” (QS. Al-Baqarah [2]: 102)

Ketiga, Sihir bisa diupayakan dan dipertontonkan sekehendaknya. Di antaranya dengan sesaji, pembacaan mantra-mantra syirik, amalan bid’ah, keburukan, pembacaan ayat suci al-Qur’an yang diiringi dengan kemungkaran (misal: disyaratkan harus emosi, mantra syirik, -), di sisi lain bisa dipertontonkan sekehendaknya.

Imam al-Mazari berkata: “Perbedaan antara sihir, karâmah dan mukjizat adalah bahwa sihir berlangsung melalui proses beberapa bantuan sejumlah bacaan dan perbuatan (ritual khusus –pen.) sehingga terwujud apa yang menjadi keinginan tukang sihir. Sedangkan karâmah tidak membutuhkan hal tersebut, tetapi biasanya karâmah ini muncul berkat taufik dari Allâh. Adapun mukjizat, ia mengandung kelebihan atas karâmah, yaitu adanya tantangan terhadap musuh Allâh.”[8]

Al-Hafizh Imam Ibnu Hajar al-‘Asqalani berujar: “Imam al-Haramain menukil ijma’ yang menyatakan bahwa sihir itu tidak muncul kecuali dari orang fasik, sedangkan karâmah tidak akan muncul pada orang fasik.” Beliau merinci, “Perlu juga diperhatikan keadaan orang yang mengalami kejadian luar biasa seperti itu, jika dia berpegang teguh pada syari’at dan menjauhi dosa-dosa besar, maka berbagai kejadian luar biasa yang tampak pada dirinya merupakan karâmah, dan jika dia tidak berpegang teguh pada syari’at serta melakukan perbuatan dosa besar, maka hal tersebut merupakan sihir karena sihir muncul dari salah satu jenisnya, misalnya  memberi bantuan kepada syaithân.”[9]

Fatwa Imam Ibnu Hajar al-Haitsami: “Ditanyakan kepada beliau: “Apa yang dilakukan oleh kumpulan orang yang duduk melingkar di tepi-tepi jalan, dengan atraksi-atraksi aneh, seperti: memenggal kepala manusia kemudian dikembalikan seperti semula dan dipanggilnya potongan kepala tersebut sebelum dikembalikan pada keadaan semula, dan potongan kepala itu pun menyahutinya, debu di ubah wujudnya menjadi dirham dan berbagai atraksi lainnya yang sudah begitu populer di kalangan mereka, apakah semua ini termasuk sihir? Begitu juga mengenai hukum menulis mahabbah atau pelet dan juga hukum mengeluarkan jin (dengan ruqyah atau amalan batil)?” Beliau menjawab: bahwa mereka itu tergolong tukang sihir dan seandainya bukan tergolong tukang sihir, perbuatan seperti itu sudah barangtentu tidak boleh dilakukan. Dan siapapun tidak boleh menonton pertunjukkan semacam ini. Karena akan memberikan dorongan kepada mereka untuk terus menerus melakukan kemaksiatan dan perbuatan jahat yang sangat tercela. Mereka itu jelas-jelas membuat kerusakan dan kerusakan itu benar-benar kita rasakan. Oleh karena itu, wajib hukumnya bagi setiap orang yang mampu untuk mencegah perbuatan yang mereka lakukan. Dan juga melarang masyarakat untuk menontonnya.”[10]

Keempat, Sihir berbeda dengan mukjizat, karena sihir bisa dibatalkan dengan upaya manusia. Kisah yang membuktikan tentang ini banyak sekali. Ilmu-ilmu tipuan syaithân yang didemonstrasikan bisa dibatalkan bi idznillâh dengan isti’adzah, ruqyah syar’iyyah atau azan. Syaikh Abdurrahman bin Nashir Alu Sa’di (w. 1476 H) menjelaskan:

كمن يدعي النبوة أو السحرة والمشعوذون فإن لهم خوارق للعادة ولكن لا يمكن بأي حال أن تصل إلى خوارق الأنبياء، فإن خوارق السحرة والمشعوذين ومدعي النبوة مبناها على الفسق والكذب والظلم والشرك والكفر والفواحش ولذا كانت خوارقهم يمكن إبطالها ومعارضتها بخلاف ما اختص الله به الأنبياء فإن خوارقهم لا يمكن غيرهم أن يعارضها ولا يمكن إبطالها

“Seperti orang yang mengaku nubuwwah (Nabi-pen.), atau tukang sihir, sesungguhnya ada pada mereka berbagai kejadian luar biasa, akan tetapi tidak mungkin bagi mereka dalam kondisi apapun untuk sampai pada mukjizat para nabi, karena sesungguhnya kejadian luar biasa pada tukang sihir dan orang yang mengaku nabi tegak di atas asas kefasikan, kedustaan, kezhaliman, kesyirikan, kekufuran dan kekejian. Dan oleh karena itulah kejadian-kejadian luar biasa yang ada pada mereka bisa saja dibatalkan atau dipalingkan, berbeda dengan apa yang Allah khususkan kepada para nabi karena sesungguhnya kejadian luar biasa (mukjizat) mereka tidak mungkin bagi selain para nabi untuk menolaknya dan membatalkannya……”[11]

Kesimpulannya, ciri-ciri sihir:

  • Diraih dengan usaha-usaha ritual tertentu, misalnya dengan puasa-puasa bid’ah, atau satu paket ritual khusus yang mencampurkan antara amalan yang benar dan amalan yang batil,

  • Bisa dipelajari,

  • Bisa diprogramkan untuk didemonstrasikan dan bisa dibatalkan dengan asma’-asma’ Allâh.

  • Bisa ditransfer dan diwariskan. Karena yang sebenarnya ditransfer atau diwariskan adalah khadam syaithân golongan jin.

  • Dan termasuk ciri mendasar, istidrâj ini Allâh wujudkan terjadi pada orang kafir, orang munafik, ahli bid’ah, orang fasik, ahli maksiat, termasuk mereka yang mencampurkan perkara haq dan bâthil.

Apa yang masyhur di negeri ini dengan istilah “debus” itu jelas termasuk sihir yang banyak mempertontonkan kekebalan dari benda tajam, api dan yang semisalnya. Maka jelas bahwa ilmu kekebalan tersebut termasuk sihir, dan pelakunya berarti mempraktikkan ilmu sihir.

Kedua, Wajib Bertaubat dari Praktik Sihir

Pelaku ilmu kekebalan sebelum diterapi dengan ruqyah syar’iyyah wajib bertaubat dengan taubat yang sebenar-benarnya.

Karena ilmu kekebalan termasuk ilmu sihir, dan para ulama bersepakat atas keharaman mempraktikkan ilmu sihir, karena bahkan bisa menyebabkan kekufuran dan kemurtadan, hal itu terjadi jika si pelaku meyakini keyakinan syirik misalnya keyakinan bahwa jin yang berkuasa atas urusannya, dan atau melakukan perbuatan bersujud kepada makhluk-Nya, menghinakan ayat-ayat suci al-Qur’an dengan darah haid atau darah sembelihan (seperti fakta yang ada) dan lain sebagainya.

Jumhur ulama mengharamkan secara mutlak pembelajaran ilmu sihir meskipun tidak dipraktikkan. Artinya, lebih tercela lagi jika dipraktikkan. Dikatakan: “Mempelajari ilmu sihir haram tanpa ada perselisihan di kalangan para ulama, dan meyakini kehalalan sihir itu kufur.” [12] Allâh SWT berfirman:

إِنَّمَا نَحْنُ فِتْنَةٌ فَلَا تَكْفُرْ

“Sesungguhnya kami cobaan (bagimu), maka janganlah kamu kafir” (QS. Al-Baqarah [2]: 102)

Al-Hafizh Ibn Hajar al-‘Asqalani berkata: “Di dalam firman-Nya ini terdapat isyarat yang menunjukkan bahwa mempelajari sihir adalah kufur.”[13]

Syaikhul Ushul ‘Atha’ bin Khalil Abu ar-Rasythah ketika menafsirkan ayat ini berkata: “(Sihir) diajarkan oleh dua malaikat Harut dan Marut kepada manusia. Allah telah menurunkan keduanya di negeri Babil untuk mengajarkan kepada manusia ilmu sihir, akan tetapi (Allah melalui kedua malaikat ini) memperingatkan manusia untuk tidak mengamalkan ilmu sihir dan mengabarkan kepada mereka bahwa kedua malaikat ini (yang membawa ilmu sihir) merupakan ujian bagi manusia dan cobaan berat bagi mereka (“keduanya (Harut & Marut) tidak mengajarkan (ilmu sihir) kepada seorangpun sebelum mengatakan: ‘Sesungguhnya Kami hanya cobaan (bagimu), sebab itu janganlah kamu kafir’.”).”

Syaikh Atha’ bin Khalil pun menegaskan:

وتعليم السحر للناس هو ابتلاء لهم، فمن آمن بالسحر وعمل به فقد كفر، ومن لم يؤمن به ولم يعمل به فقد نجا : إِنَّمَا نَحْنُ فِتْنَةٌ فَلَا تَكْفُرْ

“Pengajaran ilmu sihir bagi manusia merupakan bencana bagi mereka, karena barangsiapa mengimani (pembenaran yang pasti-pen.) sihir dan mengamalkannya maka sungguh kufur dan barangsiapa yang tak mengimani sihir dan tak mengamalkannya maka selamat. (“Sesungguhnya Kami hanya cobaan (bagimu), sebab itu janganlah kamu kafir”).[14]

Prof. Dr. Muhammad Ali Ash-Shabuni mengatakan: “Mayoritas ulama mengharamkan mempelajari dan mengajarkan ilmu sihir, karena al-Qur’ân[15] menyebut ilmu ini untuk mencela dan menjelaskan bahwa sihir itu kufur. Lantas bagaimana mungkin bisa diperbolehkan?”[16]

Ali ash-Shabuni pun berhujjah bahwa Rasûlullâh –shallaLlâhu ‘alayhi wa sallam– menggolongkan perbuatan tersebut sebagai dosa besar yang membinasakan (al-kabâ’ir al-muhlikah).

اجْتَنِبُوُا السَّبْعَ الْمُوْبِقَاتِ, قُلْنَا: وَمَا هُنّ يَا رَسُوْلََ اللهِ؟ قَالَ: الشِّرْكُ بِاللهِ وَالسِّحْرُ وَقَتْلُ النَّفْسِ الَّتِيْ حَرَّمَ اللهُ إِلَّا بِالحْقِّ وَأَكْلَ الرِّبَا وَأَكْلَ مَالِ الْيَتِيْمِ وَالتَّوَلَّي يَوْمَ الزَّحْفِ وَقًَذْفُ الْمُحْصَنَاتِ الْمُؤْمِنَاتَ الْغَافِلَاتِ

“Jauhilah tujuh perkara yang membinasakan. Kami bertanya: “Apa itu wahai Rasûlullâh?” Beliau menjawab: “Menyekutukan Allâh, sihir, membunuh jiwa yang diharamkan Allâh kecuali dengan alasan yang benar, memakan riba, memakan harta anak yatim, berlari dari pertempuran, menuduh zina mukminah yang menjaga kehormatannya.” (HR. al-Bukhârî & Muslim)

Imam ar-Raghib al-Ashfahani menegaskan bahwa lafazh ijtanibû (jauhilah) maknanya lebih mendalam daripada kata utrukû (tinggalkanlah), ia menuturkan:

اجتنبوا الطاغوت:  عبارة عن تركهم إياه، (فاجتنبوه لعلكم تفلحون) ، وذلك أبلغ من قولهم: اتركوه

“(Jauhilah thaghut-thaghut) yakni ungkapan agar kalian wajib meninggalkannnya (jauhilah ia mudah-mudahan kalian menjadi golongan yang beruntung), hal itu karena lafazh ijtanib lebih mendalam daripada perkataan: utrukûhu (tinggalkanlah oleh kalian hal itu).”[17]

Dan Rasulullah –shallaLlâhu ’alayhi wa sallam– menggunakan lafazh ijtanib ketika memerintahkan kita menjauhi perbuatan dosa-dosa besar tersebut. Dan urutan tingkat dosanya yang kedua setelah menyekutukan Allah adalah perbuatan sihir, lalu bagaimana dengan sihir yang diupayaka dengan menggabungkan berbagai macam kemungkaran demi mencari keridhaan syaithan? Syirik memuja syaithan atau bersekutu dengannya, perzinaan, pembunuhan dan lain sebagainya.

Maka mereka yang mempelajari ilmu sihir kekebalan dan mempraktikkannya wajib bertaubat dengan taubat yang sebenar-benarnya.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا تُوبُوا إِلَى اللَّهِ تَوْبَةً نَصُوحًا

Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubatan nasuhâ (taubat yang semurni-murninya).” (QS. At-Tahrîm [66]: 8)

Ketiga, Memusnahkan Benda yang Menjadi Wasilah Sihir Kekebalan

Dalam sejumlah kasus temuan penulis, ada sihir kekebalan yang menggunakan wasilah berupa jimat-jimat syirkiyyah (misalnya mengandung mantra berdo’a kepada khadam (syaithan golongan jin)), maka hal yang harus disegerakan menyempurnakan taubat pelakunya adalah memusnahkan benda-benda syirik tersebut, misalnya jimat berupa wifiq atau rajah yang ditulis di atas kertas atau kain maka segera dibakar. Jika bendanya berupa keris maka bisa dibasuh dengan air garam yang dibacakan ruqyah, lalu dipatahkan; intinya benda-benda tersebut dimusnahkan, dihinakan dan tidak dibuang di tempat sembarangan (menjaga agar tidak diambil dan dimanfaatkan orang yang rusak akidahnya).

Memusnahkan benda sihir ini berdasarkan dalil hadits dari ‘Aisyah r.a., ia berkata:

مَكَثَ النَّبِيُّ -صلى الله عليه وسلم- كَذَا وَكَذَا يُخَيَّلُ إِلَيْهِ أَنَّهُ يَأْتِي أَهْلَهُ وَلَا يَأْتِي قَالَتْ عَائِشَةُ فَقَالَ لِي ذَاتَ يَوْمٍ يَا عَائِشَةُ إِنَّ اللهَ أَفْتَانِي فِي أَمْرٍ اسْتَفْتَيْتُهُ فِيهِ أَتَانِي رَجُلَانِ فَجَلَسَ أَحَدُهُمَا عِنْدَ رِجْلَيَّ وَالْآخَرُ عِنْدَ رَأْسِي فَقَالَ الَّذِي عِنْدَ رِجْلَيَّ لِلَّذِي عِنْدَ رَأْسِي مَا بَالُ الرَّجُلِ قَالَ مَطْبُوبٌ يَعْنِي مَسْحُورًا قَالَ وَمَنْ طَبَّهُ قَالَ لَبِيدُ بْنُ أَعْصَمَ قَالَ وَفِيمَ قَالَ فِي جُفِّ طَلْعَةٍ ذَكَرٍ فِي مُشْطٍ وَمُشَاقَةٍ تَحْتَ رَعُوفَةٍ فِي بِئْرِ ذَرْوَانَ فَجَاءَ النَّبِيُّ -صلى الله عليه وسلم-  فَقَالَ هَذِهِ الْبِئْرُ الَّتِي أُرِيتُهَا كَأَنَّ رُءُوسَ نَخْلِهَا رُءُوسُ الشَّيَاطِينِ وَكَأَنَّ مَاءَهَا نُقَاعَةُ الْحِنَّاءِ فَأَمَرَ بِهِ النَّبِيُّ -صلى الله عليه وسلم- فَأُخْرِجَ قَالَتْ عَائِشَةُ فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللهِ فَهَلَّا تَعْنِي تَنَشَّرْتَ فَقَالَ النَّبِيُّ -صلى الله عليه وسلم- أَمَّا اللهُ فَقَدْ شَفَانِي وَأَمَّا أَنَا فَأَكْرَهُ أَنْ أُثِيرَ عَلَى النَّاسِ شَرًّا قَالَتْ وَلَبِيدُ بْنُ أَعْصَمَ رَجُلٌ مِنْ بَنِي زُرَيْقٍ حَلِيفٌ لِيَهُودَ

“Nabi –shallaLlâhu ‘alayhi wa sallam- tetap termenung seperti ini dan ini, sehingga beliau dibuat seakan-akan telah melakukan sesuatu terhadap isterinya padahal beliau tidak melakukannya.” ‘Aisyah melanjutkan; “Sampai di suatu hari beliau bersabda: “Wahai ‘Aisyah, apakah kamu telah merasakan bahwa Allâh telah memberikan fatwa (menghukumi) dengan apa yang telah aku fatwakan (hukumi)? Dua orang laki-laki telah datang kepadaku, lalu salah seorang dari keduanya duduk di kakiku dan satunya lagi di atas kepalaku. Kemudian orang yang berada di kakiku berkata kepada orang yang berada di atas kepalaku; “Kenapakah laki-laki ini?” temannya menjawab; “Dia terkena sihir.’ Salah seorang darinya bertanya; “Siapakah yang menyihirnya?” temannya menjawab; “Labid bin Al A’sham.” Salah satunya bertanya; “Dengan benda apakah dia menyihir?” temannya menjawab; “Dengan seladang mayang kurma dan rambut yang terjatuh ketika disisir yang diletakkan di bawah batu dalam sumur Dzarwan.” Kemudian Nabi –shallaLlâhu ‘alayhi wa sallam- mendatanginya, lalu bersabda: “Inilah sumur yang diperlihatkan kepadaku, seakan-akan pohon kurmanya bagaikan kepala syetan dan seolah-olah airnya berubah bagaikan rendaman pohon inai.” Lalu Nabi –shallaLlâhu ‘alayhi wa sallam- memerintahkan untuk mengeluarkannya, kemudian barang tersebut pun dikeluarkan. Aisyah berkata; “aku bertanya; “Wahai Rasûlullâh, tidakkah anda menjampinya (meruqyahnya)?” maka Nabi –shallaLlâhu ‘alayhi wa sallam- menjawab: “Tidak, sesungguhnya Allâh telah menyembuhkanku dan aku hanya tidak suka memberikan kesan buruk kepada orang lain dari peristiwa itu.” Aisyah berkata; “Labid bin A’sham adalah seorang laki-laki dari Bani Zuraiq yang memiliki hubungan dengan orang-orang Yahudi.” (HR. al-Bukhârî & Muslim, dan lainnya)[18]

Dari hadits di atas, kita bisa mengambil pelajaran bahwa di antara upaya untuk memusnahkan sihir -termasuk sihir untuk kekebalan- adalah memusnahkan benda yang menjadi wasilah sihir tersebut. Dalam I’lâm al-Muwâqi’în (III/104), ditegaskan bahwa ketika Rasûlullâh –shallaLlâhu ‘alayhi wa sallam– mengeluarkan benda tersebut, hilanglah pengaruh sihir yang ada di dalam dirinya, sampai beliau merasa sehat kembali. Cara tersebut adalah pengobatan paling tepat yang dilakukan oleh orang yang terkena pengaruh sihir. Cara itu seperti menghilangkan sesuatu yang kotor dan membuangnya dari dalam tubuh dengan cara memuntahkannya.

Sebelum dibakar atau dihancurkan, benda wasilah sihir tersebut hendaknya dibacakan ruqyah syar’iyyah terlebih dahulu, dengan pembacaan seperti pembacaan ruqyah pada umumnya (termasuk ayat-ayat yang mengandung makna pembatal sihir), lalu ditiupkan pada bendanya sebelum dibakar atau dihancurkan. Jika bendanya berupa keris atau benda yang tidak mudah terbakar hendaknya dibasuh terlebih dahulu dengan air larutan garam yang sudah dibacakan ruqyah sebelum dimusnahkan.

Keempat, Lakukan Ruqyah Mandiri

Yang mesti dilakukan oleh mantan pelaku kekebalan:

  • Taubat dengan sebenar-benarnya,

  • Menegakkan amal kebaikan; misalnya mendawamkan shalat berjama’ah di masjid (bagi pria), menggiatkan diri menghadiri majelis-majelis ilmu, berjama’ah dalam jama’ah dakwah Islam dan berkawan dengan orang-orang shalih di lingkungan yang baik, dan lain sebagainya,

  • Melakukan ruqyah mandiri secara rutin. Praktik ruqyah mandiri bisa dipelajari di sini:

    Link: Terapi Ruqyah Mandiri & Terapi Ruqyah Dibantu Oleh Orang Lain

 Kajian Mengenai Perdukunan, Sihir, Alam Jin, Ruqyah Syar’iyyah & Solusi Ideologis-Sistemik: Link Artikel & Download

وصلى الله على سيدنا محمد وعلى آله وصحبه وسلم
والله أعلم بالصواب

Catatan Kaki:

[1] Syarh al-‘Aqîdah ath-Thahâwiyyah, Shadruddin Muhammad bin ‘Alauddin ad-Dimasyqi (w. 792 H).

[2] Risâlatul Mu’âwanah, hlm. 13, al-Hidayah.

[3] Al-Fiqh ‘alâ al-Madzâhib al-‘Arba’ah, Abdurrahman al-Jazairi, hlm. 403.

[4] Bughyatul Mustarsyidîn, hlm. 371.

[5] Lihat: Zâd al-Ma’âd (4/126).

[6] Mu’jam Lughatil Fuqâhâ’, Prof. Dr. Muhammad Rawwas Qal’ah Ji.

[7] Ash-Shârim al-Battâr fî al-Tashaddi li al-Saharat al-Asyrâr, Wahid bin Abdussalam Bâli.

[8] Fat-hul Bârî (X/223).

[9] Ibid.

[10] Dalam al-Fatâwâ al-Hadîtsiyyah, hlm. 78.

[11] Mukhtashar fî Ushûl I’tiqâd Ahl as-Sunnah wa al-Jamâ’ah, Abdurrahman bin Nashir Alu Sa’di, Editor: Prof. Dr. Abdullah bin Muhammad ath-Thayyar.

[12] Al-Fiqh ‘alâ al-Madzâhib al-Arba’ah Juz. IV, al-Syaikh ‘Abd al-Rahman al-Jazayri.

[13] Fat-h al-Bârî (X/225) buah tangan al-Hafizh Ibn Hajar al-‘Asqalaniy.

[14] Taysîr fî Ushûl al-Tafsîr, al-‘Alim al-Syaikh Atha’ ibn Khalil.

[15] QS. al-Baqarah [2]: 102.

[16] Rawâ-‘i al-Bayân, Juz. I, Hal. 83-84

[17] Mufradât fî Gharîb al-Qur’ân, Ar-Raghib al-Ashfahani.

[18] Lihat: al-Bukhari no. 3028, Muslim no. 4059, Ahmad no. 18467, al-Nasa’i no. 4012, Ibnu Majah no. 3535. Dan masih banyak lagi riwayat lain yang senada.

Motivasi Bagi Mereka Yang Futur & Pengingat Kepada Mereka Yang Gugur

Konvoi Pejuang Syari’ah Khilafah – DPD II HTI Cianjur

الحمدلله رب العالمين والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله وأصحابه أجمعين وبعد

PASAL I: Jama’ah Dakwah yang Mencintai Ilmu dan Amal Shalih.

Allah ‘Azza wa Jalla berfirman dalam QS. Âli Imrân ayat 104:

وَلْتَكُنْ مِنْكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ ۚ وَأُولَٰئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ

“Dan hendaklah ada di antara kamu jama’ah yang menyeru kepada al-khayr, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung.” (QS. Âli Imrân [3]: 104)

Frase (لتَكُنْ) yang diterjemahkan “haruslah ada” termasuk ke dalam shiyag al-amr (shighat bermakna perintah). Yakni kata lâm al-amr di depan kata kerja al-mudhâri’ (kata kerja yang sedang atau akan dilakukan) yakni lâm al-amr di depan kata yakûnu. (Balâghatul Qur’ân al-Karîm fî al-I’jâz: I’râban wa Tafsîran Bi I’jâz, Bahjat Abdul Wahid asy-Syaikhali, jilid II/ hlm. 139)

Para ulama ushul fikih, di antaranya Prof. Dr. ‘Iyadh bin Sami as-Salmi dan Syaikhul Ushul ‘Atha bin Khalil menjelaskan di antara bentuk perintah adalah:

الفعل المضارع المقترن بلام الأمر (ليفعل

“Kata kerja al-mudhaari’ yang disertai lâm al-amr (liyaf’al).” (Taysîr al-Wushûl ilâ al-Ushûl, ‘Atha bin Khalil Abu Ar-Rasythah, hlm. 182. Lihat pula penjelasan Prof. Dr. ‘Iyadh bin Sami al-Salmi dalam kitab Ushuul al-Fiqh Alladzî Lâ Yasa’u al-Faqîh Jahluhu, hlm. 220)

Imam Abu al-Qasim al-Husain bin Muhammad atau yang masyhur dikenal dengan nama ar-Raghib al-Ashfahani menuturkan:

وقوله: [ولتكن منكم أمة يدعون إلى الخير] أي: جماعة يتخيرون العلم والعمل الصالح يكونون أسوة لغيرهم

“Dan firman-Nya (Dan hendaklah ada di antara kalian ummat yang menyeru kepada al-khayr) -kata ummat dalam ayat ini- yakni sebuah jama’ah yang mencintai ilmu dan amal shalih dan mereka menjadi teladan bagi orang lainnya.” (Mufradât fî Gharîb al-Qur’ân, Imam Ar-Raghib al-Ashfahani, juz. I/ hlm. 28)

Al-Hafizh ath-Thabari menjelaskan: “(وَلْتَكُنْ مِنْكُمْ) Wahai orang-orang beriman (أُمَّةٌ) yakni sebuah jama’ah yang menyeru manusia (إِلَى الْخَيْرِ) yakni kepada al-Islam dan aturan-aturan syari’at yang telah disyari’atkan Allah pada hamba-hamba-Nya. (ويأمرون بالمعروف) memerintahkan manusia untuk mengikuti Muhammad SAW dan agamanya yang datang dari Allah. (وينهون عن المنكر) yakni melarang mereka mengkufuri Allah dan mendustakan Muhammad dan apa yang datang darinya (risalahnya) dari Allah..”

Dalam Tafsir al-Muyassar pun dijelaskan:

ولتكن منكم -أيها المؤمنون- جماعة تدعو إلى الخير وتأمر بالمعروف، وهو ما عُرف حسنه شرعًا وعقلاً، وتنهي عن المنكر، وهو ما عُرف قبحه شرعًا وعقلاً، وأولئك هم الفائزون بجنات النعيم.

“Dan hendaklah ada di antara kalian –wahai orang-orang beriman- sebuah jama’ah yang menyeru kepada al-khayr, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan ia adalah apa yang diketahui kebaikannya baik secara syar’i maupun akal (akal sehat), dan melarang dari yang mungkar, dan ia adalah apa yang diketahui keburukannya baik secara syar’i maupun akal.” (At-Tafsîr al-Muyassar. Hlm. 63.)

Syaikh Ahmad Mushthafa al-Maraghi menuturkan:

أي ولتكن منكم طائفة متميزة تقوم بالدعوة والأمر بالمعروف والنهي عن المنكر

“Yakni harus ada di antara kalian kelompok istimewa yang menegakkan dakwah, menyuruh kepada yang ma’ruf dan melarang dari yang mungkar.” (Tafsiir al-Maraaghii, Syaikh Ahmad Mushthafa al-Maraghi, juz. IV/ hlm. 22.)

Sudah sejauh mana kita terdorong untuk menuntut ilmu syar’i dan mengamalkannya? Memahamkan diri sendiri dan mengajarkannya serta mendakwahkannya kepada orang lainnya? Membina umat, memahamkannya terhadap berbagai kewajiban dan memperingatkan mereka dari berbagai kemungkaran.

PASAL II: Merekalah Orang-Orang yang Beruntung?

Tak ada keraguan bahwa dakwah merupakan jalan yang mulia, orang-orang yang istiqamah di jalannya adalah orang-orang terpilih yang akan meraih predikat agung (أُولَٰئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ) dalam QS. Ali Imraan 104, dimana Allah mensifati mereka yang berdakwah kepada al-khayr, menyuruh kepada yang ma’ruuf dan melarang dari yang mungkar dalam bentuk qashr shifah ‘alaa al-mawshuuf (قصر صفة على الموصوف) dengan kalimat (أُولَٰئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ), yakni mensifati mereka yang diseru dalam ayat ini dengan sifat yang ringkas, padat namun bermakna mendalam.

Allah ‘Azza wa Jalla berfirman dalam QS. Âli Imrân ayat 104:

وَلْتَكُنْ مِنْكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ ۚ وَأُولَٰئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ

Dalam kalimat (أُولَٰئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ), seakan dihilangkan sifat yang disebutkan sebelumnya setelah kata (أُولَٰئِكَ) yakni diringkas dalam kata (الْمُفْلِحُونَ). Lalu apa makna frase (وَأُولَٰئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ) dalam ayat ini?

Imam az-Zamakhsyari menjelaskan:

هم الأخصاء بالفلاح دون غيرهم

“Mereka adalah golongan yang dikhususkan menyandang predikat beruntung, tidak selainnya.” (Tafsîr al-Kasyf fî Haqâ’iq at-Tanzîl wa ‘Uyûn al-Aqâwîl fî Wujûh at-Ta’wîl. Imam az-Zamakhsyari. Hlm. 187)

Dr. Muhammad asy-Sya’rawi menjelaskan: “Bahwasanya kata (المفلحون) adalah sebuah kata yang mengandung petunjuk, dan kata al-muflih (kata tunggal dari al-muflihûn-pen.) yakni orang yang mengambil transaksi perniagaan yang menguntungkan (هو الذي أخذ الصفقة الرابحة). Karena kata ini diambil dari ungkapan (فلح الأرض) yakni seseorang telah menggarap tanahnya, maka orang yang menggarap tanahnya, menanaminya, kemudian memanennya akan meraih hasil yang datang pada akhir tiba masa panennya, dan sungguh telah datang kebenaran ini dengan permasalahan maknawi dari perkara yang terindera.” (Tafsîr asy-Sya’rawi. Dr. Muhammad Mutawalli asy-Sya’rawi. Jilid III/ Hlm. 1665)

Ketika menjelaskan kata (فلح), Imam ar-Raghib al-Ashfahani menjelaskan:

الفلاح: الظفر وإدراك بغية، وذلك ضربان: دنيوي وأخروي؛ فالدنيوي: الظفر بالسعادات التي تطيب بها حياة الدنيا، وهو البقاء والغنى والعز

“Al-Falaah: kemenangan dan meraih tujuan, hal itu dibagi menjadi dua sisi: duniawi dan ukhrawi; keberuntungan duniawi yakni kesuksesan meraih berbagai kebahagiaan yang menghiasi kehidupan dunia, panjangnya usia, kecukupan dan kemuliaan.” (Al-Mufradât fî Gharîb al-Qur’ân. Imam ar-Raghib al-Ashfahani. Kitâb al-Fâ’, Juz. II/ Hlm. 397)

Inilah yang dimaksudkan oleh syair berikut:

أَفْلِحْ بِمَا شِئْتَ فقد يُدْرَكُ بالضرُّ
ضَعْفٌ وقد يُخَدَعُ الأرِيبُ

 Adapun keberuntungan di akhirat:

وفلاح أخروي، وذلك أربعة أشياء: بقاء بلا فناء، وغنى بلا فقر، وعز بلا ذل، وعلم بلا جهل.

“Dan keberuntungan ukhrawi, mencakup empat hal: keabadian tanpa dibatasi kefanaan, kecukupan tanpa ada kefakiran, kemuliaan tanpa ada kehinaan, kecerdasan tanpa ada kejahilan.”

Oleh karena itulah dinyatakan:

لاَ عَيْشَ إِلاَّ عَيْش الآخِرَةِ

“Tiada kehidupan kecuali kehidupan akhirat.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)

Bukankah aktivitas dakwah ini memuliakan mereka yang mengembannya di dunia dan akhirat –in syaa Allah-? Dari kehidupan yang hina sebelumnnya lalu meraih kemuliaan hidup dengan berdakwah, menyampaikan hidayah kepada umat manusia. Apakah mungkin seorang mukmin tak tergiur dengan janji Allah yang agung ini??

Merekalah Orang-Orang yang Beruntung… Semoga kita termasuk di antaranya.

اللّهمّ آمين

PASAL III: Sebaik-Baiknya Perkataan

Perkataan yang Mengandung Dakwah Kepada Allah adalah Sebaik-Baiknya Perkataan Manusia & Bagaikan Sedekah

Allah ‘Azza wa Jalla berfirman:

وَمَنْ أَحْسَنُ قَوْلًا مِمَّنْ دَعَا إِلَى اللَّهِ وَعَمِلَ صَالِحًا وَقَالَ إِنَّنِي مِنَ الْمُسْلِمِينَ

“Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal salih dan berkata: “Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri?” (QS Fushshilat [41]: 33)

Syaikh Dr. Muhammad Mutawalli asy-Sya’rawi menjelaskan: “Allah SWT memuji kedudukan dakwah kepada Allah, dan menjadikannya sebaik-baik perkataan yang diucapkan oleh seorang manusia.” Asy-Sya’rawi pun menjelaskan bahwa Allah menjelaskan kepada kita kedudukan dakwah dan kedudukan da’i yang menyeru kepada Allah, namun ayat ini tidak datang dengan gaya pengungkapan khabariy tapi menggunakan gaya pengungkapan bernada pertanyaan yang maksudnya penafian (استفهام غرضه النفي), dengan frase (وَمَنْ أَحْسَنُ قَوْلاً); yakni:

لا أحدَ أحسنُ من هذا الذي يدعو إلى الله، ولا قولَ أحسن من قوله

“Tiada yang lebih baik daripada seseorang dan perkataannya yang menyeru kepada Allah.” (Dr. Muhammad Mutawalli asy-Sya’rawi. 1991. Tafsîr asy-Sya’rawi. Kairo: Akhbar al-Yawm)

Al-Hafizh al-Qurthubi menjelaskan bahwa ayat ini berlaku umum bagi setiap orang (muslim) yang berdakwah kepada Allah, ini adalah pendapat al-Hasan, Qays bin Abi Hazim.

Rasulullah –shallallaahu ‘alayhi wa sallam– bersabda:

الكَلِمَةُ الطَّيِّبَةُ صَدَقَةٌ

“Kata-kata yang baik itu sedekah.” (HR. Muttafaq ‘alayh)

Dr. Mahmud Isma’il Shini: “Allah akan mengganjar seorang muslim atas perbuatan atau perkataan baiknya meskipun keduanya adalah perbuatan yang seakan sepele, karena di antara perbuatan manusia yang akan diganjar atasnya adalah kata-kata yang baik yakni perkataan yang jika dituturkan oleh seorang beriman bagaikan sedekah.” (Dr. Mahmud Isma’il Shini, dkk. 1992. Mu’jam al-Amtsaal al-‘Arabiyyah. Cet. I. Beirut: Maktabah Lubnan.)

Faidah dari hadist ini yakni dorongan untuk berkata-kata yang baik. Dakwah, menyuruh kepada yang ma’ruf dan melarang dari yang mungkar jelas merupakan bagian dari perkataan yang baik, bahkan disifati sebagai sebaik-baiknya perkataan.

Allah al-Musta’aan, semoga kita istiqamah dalam kebenaran dan menyampaikan kebenaran…

اللّهمّ آمين