Menyingkap Syubhat Kebebasan Berpendapat dalam Demokrasi

Slide12

Diantara ajaran dan prinsip Demokrasi adalah menjunjungtinggi kebebasan, diantaranya kebebasan berpendapat. Dalam bentuk yang lebih khusus, kebebasan berpendapat diwujudkan dalam bentuk Kebebasan Pers. Karena demokratis tidaknya suatu Bangsa, bisa diukur dari kebebasan persnya. Ini menurut motto UNESCO yang merupakan bagian dari PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa) dalam memperingati Hari Kebebasan Pers Sedunia tiap 3 Mei dengan slogan “Press Freedom is Democracy”.

Ironisnya, ketika wartawan & pejabat Filiphina dengan bangga menyebut pers Filiphina sebagai the Freest (paling bebas di kawasan ini). Mereka pun mengakui bahwa pers Filiphina sebagai: “The Most Notorious” alias pers yang terkenal paling bermasalah.[1]

Sistem demokrasi dengan asas kebebasan ini memberikan peluang kepada musuh-musuh Allâh dan Rasul-Nya untuk menyesatkan kaum muslimin secara ‘legal’, mereka menguasai media cetak dan elektronik untuk mengendalikan dan menyesatkan opini di tengah-tengah umat. Namun, sayangnya tidak banyak kaum muslimin yang sudah menyadari betul hal ini dan berjuang di jalan yang benar untuk melawannya. Ironisnya sebagian kaum muslimin terjangkit virus demokrasi dengan asas kebebasannya.

Di sisi lain, Islam pun mengatur informasi dan media massa, menjaga agar sejalan dengan arahan Islam. Dalam buku Manifesto Hizbut Tahrir tertulis: “Informasi yang sehat merupakan perkara penting bagi Daulah Khilafah, yaitu untuk menyatukan negeri-negeri muslim dan mengemban dakwah Islam ke seluruh umat manusia. Media informasi diperlukan untuk menggambarkan Islam dengan benar dan membina kepribadian masyarakat sehingga terdorong untuk hidup dengan cara yang Islami dan menjadikan syariah Islam sebagai tolok ukur dalam segala kegiatan hidupnya. Media informasi juga berperan dalam mengungkap kesalahan pemikiran, paham, dan ideologi serta aturan-aturan sekular. Dengan cara itu, masyarakat menjadi paham tentang mana yang benar dan mana yang salah, serta terhindar dari pemikiran, pemahaman, dan gaya hidup yang tidak Islami. Bila umat memiliki pemahaman Islam yang tinggi, maka mudah bagi Daulah Khilafah untuk menyingkirkan nilai-nilai sekulerisme dan mengokohkan nilai-nilai Islam yang agung itu di tengah masyarakat.”[2]

Lantas, bagaimana dengan keberadaan media cetak dan informasi? Dalam buku Manifesto HT pun dijelaskan: “Setiap warga negara dalam Daulah Khilafah memiliki kesempatan untuk mendirikan perusahaan media, baik media cetak maupun media elektronik asal media itu dikelola dengan tidak melanggar ketentuan akidah dan syariah Islam. Tiap warga yang mendirikan perusahaan media hanya perlu memberitahukan kepada Departemen Informasi Daulah Khilafah mengenai perusahaan yang akan didirikannya itu. Dalam pelaksanannya, pemilik perusahaan media, sebagaimana warga negara lainnya, akan dimintai pertanggung-jawaban atas setiap pelanggaran syariah yang dilakukan oleh media itu.”

Demokrasi yang tegak dengan prinsip-prinsip kebebasannya, diantaranya kebebasan berbicara/ berpendapat bertentangan dengan syari’at Allah yang mewajibkan menjaga lisan dan berbuat sesuai dengan Islam.

Tak samar, diantara kewajiban yang disyari’atkan Allah adalah kewajiban untuk menjaga lisan, janganlah terpedaya dengan fitnah Demokrasi dengan prinsip kebebasannya yang batil. Ingat pesan yang mulia dari Rasulullaah SAW:

مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ

Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, maka berkatalah yang baik atau diam.” (HR. al-Bukhari no. 5559, 5560,  Muslim, Abu Dawud, al-Tirmidzi, Ahmad & Malik)

Hadits shahih yang mulia di atas telah meletakkan prinsip yang agung dalam berbicara. Tuntutan perintah dalam hadits ini hukumnya wajib, karena mengandung indikasi yang tegas “Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir” terhadap kata-kata perintah “maka berkatalah yang baik atau diam.

Kalimat “Dan barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir” merupakan indikasi yang menunjukkan hukum wajib. Al-Syaikh al-‘Aalim ‘Atha’ bin Khalil dalam kitab ushuul al-fiqh-nya menjelaskan:

إذا كان الطلب مقترنًا بالإيمان أو ما يقوم مقامه كأن يكون متبوعًا بـ (من كان يرجو الله واليوم الآخر) فإنها قرينة على الوجوب

“Jika adanya tuntutan tersebut disertai keterangan iman atau yang semakna dengannya. Misalnya kalimat (Barangsiapa yang mengharapkan rahmat Allah dan (tibanya) hari Akhir) maka sesungguhnya kalimat tersebut mengindikasikan hukum wajib.”[3]

Lafazh “qul” dan “liyashmut” pun termasuk bentuk mufrad yang memberikan arti perintah. Kata “liyashmut” misalnya merupakan kata kerja mudhaari’ (sekarang atau yang akan datang) yang disertai laam al-amr (laam perintah). al-‘Alim al-Syaikh ‘Atha’ bin Khalil ketika menjelaskan berbagai ungkapan yang bermakna perintah mengutarakan:

الفعل المضارع المقترن بلام الأمر (ليفعل)

“Kata kerja al-mudhaari’ yang disertai huruf laam perintah.”[4]

Sama halnya dengan penjelasan Syaikh al-‘Utsaimin ketika menjelaskan shiyaghul amri (lafazh-lafazh perintah), diantaranya:

المضارع المقرون بلام الأمر

“Kata kerja al-mudhaari’ yang disertai laam perintah.”[5]

Imam Al-Nawawi menjelaskan hadits di atas:

فمعناه أنه إذا أراد أن يتكلم فإن كان ما يتكلم به خيرا محققا يثاب عليه ، واجبا أو مندوبا فليتكلم . وإن لم يظهر له أنه خير يثاب عليه ، فليمسك عن الكلام سواء ظهر له أنه حرام أو مكروه أو مباح مستوي الطرفين . فعلى هذا يكون الكلام المباح مأمورا بتركه مندوبا إلى الإمساك عنه مخافة من انجراره إلى المحرم أو المكروه . وهذا يقع في العادة كثيرا أو غالبا

“Maknanya adalah jika seseorang ingin mengatakan sesuatu, jika perkataan tersebut merupakan perkataan yang baik dan mengandung ganjaran pahala, apakah hukum menyatakannya wajib atau sunnah maka sampaikanlah. Jika belum jelas kebaikan perkataan tersebut diganjar dengan pahala maka ia harus menahan diri dari mengungkapkannya sama saja apakah jelas hukumnya haram, makruh atau mubah. Dan dalam hal ini perkataan yang mubah dianjurkan untuk ditinggalkan, disunnahkan untuk menahan diri darinya, karena khawatir (kehati-hatian) perkataan ini berubah menjadi perkataan yang diharamkan atau dimakruhkan. Dan kasus kesalahan seperti ini banyak terjadi.”

Imam Ibn Daqiiq al-‘Ied (w. 702 H) menjelaskan hadits ini:

قوله: “من كان يؤمن بالله واليوم الآخر” يعني من كان يؤمن الإيمان الكامل المنجي من عذاب الله الموصل إلى رضوان الله “فليقل خيراً أو ليصمت” لأنّ من آمن بالله حق إيمانه خاف وعيده ورجا ثوابه واجتهد في فعل ما أمر به وترك ما نهي عنه وأهم ما عليه من ذلك: ضبط جوارحه التي هي رعاياه وهو مسئول عنها كما قال تعالى: {إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْؤُولاً}. وقال تعالى: {مَا يَلْفِظُ مِنْ قَوْلٍ إِلَّا لَدَيْهِ رَقِيبٌ عَتِيدٌ}.

“Sabda Rasulullah SAW: “Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir” yakni barangsiapa yang beriman dengan keimanan yang sempurna terlindung dari ‘adzab Allah dan menyampaikan kepada keridhaan-Nya “maka berkatalah yang baik atau diam” karena barangsiapa yang beriman kepada Allah, maka di antara tuntutan keimanannya adalah merasa takut terhadap peringatan-Nya, mengharapkan pahala dari-Nya, dan bersungguh-sungguh dalam melaksanakan segala hal yang diperintahkan Allah kepadanya dan meninggalkan segala hal yang dilarang-Nya, dan diantara hal yang paling penting: menjaga apa yang ada pada dirinya yang mesti dijaga (dari kemaksiatan-pen.) dan ia bertanggungjawab akan terhadap itu semua sebagaimana firman Allah SWT: Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya.[6] Dan firman Allah SWT: Tiada suatu ucapanpun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir[7].[8]

Imam Ibn Daqiiq al-‘Ied pun menegaskan:

وآفات اللسان كثيرة، ولذلك قال النبي صلى الله عليه وسلم: “هل يكب الناس في النار على مناخرهم إلا حصائد ألسنتهم”. وقال: “كل كلام ابن آدم عليه إلا ذكر الله تعالى وأمر بمعروف ونهي عن منكر”. فمن علم ذلك وآمن به حق إيمانه اتقى الله في لسانه فلا يتكلم إلا بخير أو يسكت.

“Dan bahaya lisan itu banyak sekali, oleh karena itu Rasulullah SAW bersabda: Tidaklah manusia dijatuhkan ke dalam neraka di atas hidung mereka melainkan karena akibat lisan-lisan mereka”[9] dan sabdanya: “Setiap perkataan anak cucu Adam itu membahayakannya (tidak berguna baginya) kecuali berdzikir kepada Allah dan perkataan yang memerintahkan kepada kebaikan dan melarang kemungkaran[10] Maka siapa saja yang mengetahui hal ini dan beriman terhadapnya maka sudah menjadi tuntutan keimanannya, yakni bertakwa kepada Allah dalam menjaga lisannya, dan tidaklah ia berkata-kata kecuali perkataan baik atau diam.”[11]

Lebih jelasnya, penulis nukil hadits-hadits yang diriwayatkan Imam al-Tirmidzi:

وَهَلْ يَكُبُّ النَّاسَ فِي النَّارِ عَلَى وُجُوهِهِمْ أَوْ عَلَى مَنَاخِرِهِمْ إِلَّا حَصَائِدُ أَلْسِنَتِهِمْ

“Tidaklah manusia itu dijatuhkan ke dalam neraka di atas muka atau hidung mereka melainkan akibat lisan-lisan mereka.” (HR. al-Tirmidzi, Ahmad & Ibn Majah. Ini lafazh al-Tirmidzi. Imam al-Tirmidzi menuturkan: “Hadits ini hasan shahih”)

كُلُّ كَلَامِ ابْنِ آدَمَ عَلَيْهِ لَا لَهُ إِلَّا أَمْرٌ بِمَعْرُوفٍ أَوْ نَهْيٌ عَنْ مُنْكَرٍ أَوْ ذِكْرُ اللَّهِ

“Setiap perkataan anak cucu Adam itu membahayakannya, tidak berguna baginya kecuali perkataan menyuruh kepada kebaikan dan melarang kemungkaran, atau berdzikir kepada Allah.” (HR. al-Tirmidzi & Ibn Majah. Imam al-Tirmidzi berkata: “Hadits ini hasan gharib, kami tidak mengetahuinya kecuali dari hadits Muhammad bin Yazid bin Khunais”)

Imam Ibn Daqiiq al-‘Ied lebih jauh lagi menjelaskan:

وقال بعضهم في معنى هذا الحديث: إذا أراد الإنسان أن يتكلم فإن كان ما يتكلم به خيراً محققاً يثاب عليه فليتكلم وإلا فليمسك عن الكلام سواء ظهر أنه حرام أو مكروه أو مباح، فعلى هذا يكون الكلام المباح مأموراً بتركه مندوباً إلى الإمساك عنه مخافة أن ينجر إلى المحرم أو المكروه

“Sebagian ulama berkata dalam menjelaskan hadits ini: “Jika manusia ingin mengatakan suatu perkataan yang mengandung kebaikan memperoleh pahala maka katakanlah, jika selainnya maka ia harus menahan diri dari perkataan sama saja apakah perkataan yang diharamkan, makruh atau mubah. Oleh karena itu, perkataan mubah diperintahkan untuk ditinggalkan, disukai agar menahan diri darinya, lebih ringan daripada peringatan untuk meninggalkan perkataan yang diharamkan atau dihukumi makruh.”

Allah SWT berfirman:

مَا يَلْفِظُ مِنْ قَوْلٍ إِلَّا لَدَيْهِ رَقِيبٌ عَتِيدٌ

“Tiada suatu ucapanpun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir.”  (QS. Qaaf [50]: 18)

 

واختلف العلماء في أنه هل يكتب على الإنسان جميع ما يلفظ به وإن كان مباحاً أو لا يُكتب عليه إلا ما فيه الجزاء من ثواب أو عقاب. وإلى القول الثاني ذهب ابن عباس وغيره، فعلى هذا تكون الآية الكريمة مخصوصة أي: {مَا يَلْفِظُ مِنْ قَوْلٍ} يترتب عليه جزاء.

“Dan para ulama berbeda pendapat, apakah dituliskan (dihisab-pen.) seluruh perkataan manusia termasuk perkataan-perkataan yang mubah atau tidak dituliskan perkataannya kecuali perkataan yang mengandung balasan kebaikan atau siksa? Ibn ‘Abbas dan selainnya mengambil pendapat yang kedua. Oleh karena itu, ayat al-Qur’an yang mulia ini bersifat khusus: Tiada suatu ucapanpun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir. [12]

Al-Hafizh al-Nawawi –rahimahullaah– bahkan menuliskan satu bab khusus tentang Hifzh al-Lisaan (menjaga lisan) dalam salah satu kitab buah tangannya –al-Adzkaar al-Nawawiyyah-, ia berkata:

اعلم أنه لكلّ مكلّف أن يحفظَ لسانَه عن جميع الكلام إلا كلاماً تظهرُ المصلحة فيه، ومتى استوى الكلامُ وتركُه في المصلحة، فالسنّة الإِمساك عنه، لأنه قد ينجرّ الكلام المباح إلى حرام أو مكروه، بل هذا كثير أو غالب في العادة

“Ketahuilah bahwa setiap mukallaf wajib menjaga lisannya dari setiap perkataan kecuali perkataan yang jelas mengandung kemaslahatan, dan ketika memutuskan untuk tidak berbicara meninggalkannya lebih bermaslahat, maka disunnahkan untuk menahan diri dari mengungkapkannya, karena terkadang ditemukan perkataan mubah mengantarkan kepada keharaman atau makruh, bahkan hal ini merupakan fenomena yang banyak terjadi dan menjadi tradisi.”

المُسْلِمُ مَنْ سَلِمَ المُسْلِمُوْنَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ

“Seorang muslim itu adalah ketika kaum muslimun selamat dari lisan dan tangannya.” (HR. Al-Bukhari & Abu Dawud)[13]

Dari Abu Hurairah radliallahu ‘anhu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

كُلُّ سُلَامَى عَلَيْهِ صَدَقَةٌ كُلَّ يَوْمٍ يُعِينُ الرَّجُلَ فِي دَابَّتِهِ يُحَامِلُهُ عَلَيْهَا أَوْ يَرْفَعُ عَلَيْهَا مَتَاعَهُ صَدَقَةٌ وَالْكَلِمَةُ الطَّيِّبَةُ وَكُلُّ خَطْوَةٍ يَمْشِيهَا إِلَى الصَّلَاةِ صَدَقَةٌ وَدَلُّ الطَّرِيقِ صَدَقَةٌ

 “Pada setiap ruas tulang ada kewajiban shadaqah. Setiap hari dimana seseorang terbantu dengan tunggangannya yang mengangkat atau mengangkut barang-barangnya di atasnya adalah shadaqah. Ucapan yang baik adalah shadaqah dan setiap langkah yang dilakukan seseorang menuju shalat adalah shadaqah dan orang yang menunjuki jalan adalah shadaqah.” (HR. Al-Bukhari)

اتَّقُوا النَّارَ وَلَوْ بِشِقِّ تَمْرَةٍ فَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَبِكَلِمَةٍ طَيِّبَةٍ

“Jagalah diri kalian dari neraka sekalipun hanya dengan sebiji kurma, kalaulah tidak bisa, lakukanlah dengan ucapan yang baik.” (HR. Al-Bukhari)

Lantas, layakkah prinsip agung ajaran Allah dan Rasul-Nya di atas ditukar dengan paham kebebasan berbicara dalam Demokrasi? Maka ingatlah peringatan keras dari Allah SWT:

وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الْإِسْلَامِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الْآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ

“Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi.” (QS. Ali ‘Imraan [3]: 85)

Di sisi lain, prinsip kebebasan tidak berbanding lurus dengan kemajuan. Kenyataannya, kegemilangan kaum muslimin yang terikat pada Islam menjalankan syari’at Islam, membuahkan kekayaan intelektual dalam berbagai disiplin ilmu. Hingga saat ini, kekayaan khazanah intelektual Islam dan ilmu pengetahuan yang dipelopori para ulama dan ilmuwan kaum muslimin tak tertandingi oleh karya intelektual kaum manapun manapun. []


[1] Lihat: Cap Jempol Darah Presiden – Mizan: Bandung, kumpulan Kolom Parni Hadi.

[2] Lihat: Manifesto Hizbut Tahrir, Bab. Media & Informasi (hlm. 42).

[3] Lihat: Taysiir al-Wushuul ilaa al-Ushuul, al-Syaikh ‘Atha’ bin Khalil.

[4] Lihat: Taysiir al-Wushuul ilaa al-Ushuul, al-Syaikh ‘Atha’ bin Khalil.

[5] Lihat: Ushuul al-Fiqh, al-Syaikh Muhammad Shalih al-‘Utsaimin.

[6] Lihat: QS. Al-Israa’ [17]: 36

[7] Lihat: QS. Qaaf [50]: 18

[8] Lihat: Syarh al-Arba’iin al-Nawawiyyah fii al-Ahaadiits al-Shahiihah al-Nawawiyyah, Imam Ibn Daqiiq al-‘Ied.

[9] HR. Imam Ahmad (5/236 dan 237) dan al-Tirmidzi dalam al-Iman (no. 2616); hadits ini merupakan hadits shahih yang panjang. Adapun Imam al-Tirmidzi memandang bahwa hadits ini hasan shahih.

[10] HR. al-Tirmidzi dalam Al-Zuhd (no. 2412) dari Ummu Habibah r.a.. Abu ‘Isa (Imam al-Tirmidzi) berkata: “Hadits ini hasan gharib, tidak diketahui kecuali dari riwayat Muhammad bin Yazid bin Khunays.”

[11] Ibid

[12] Lihat: Syarh al-Arba’iin al-Nawawiyyah fii al-Ahaadiits al-Shahiihah al-Nawawiyyah, Imam Ibn Daqiiq al-‘Ied.

[13] Hadits ini hadits mutawatir

4 comments on “Menyingkap Syubhat Kebebasan Berpendapat dalam Demokrasi

  1. […] Lihat: Menyingkap Syubhat Kebebasan Berbicara Ajaran Sesat Demokrasi […]

    Suka

  2. […] Link Artikel (Menyingkap Syubhat Kebebasan Berpendapat dalam Demokrasi) […]

    Suka

Tinggalkan komentar