Koalisi Pragmatis dalam Pandangan Islam

Koalisi-Imam2

Penulis: Irfan Abu Naveed

Staff Kulliyyatusy-Syarî’ah wad-Dirâsât al-Islâmiyyah Jâmi’atur-Râyah, Lajnah Tsaqafiyyah DPD II HTI Cianjur

Majalah Al-Wa’ie: Link Koalisi Pragmatis Haram

Pengertian dan Fakta Koalisi Saat Ini

Koalisi secara bahasa berasal dari serapan bahasa Inggris, coalition yang artinya penggabungan, penyatuan. Dalam KBBI Online pun disebutkan bahwa koalisi: kerja sama antara beberapa partai untuk memperoleh kelebihan suara di parlemen.[1] 

Koalisi menurut pengertian bahasa (etimologi) artinya adalah kerjasama antara beberapa partai. (W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, hlm. 514). Dalam bahasa Inggris, coalition diartikan sebagai pergabungan atau persatuan, sedang coalition party artinya adalah partai koalisi. (John M. Echols & Hassan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, hlm. 121). Menurut pengertian istilah (terminologi), koalisi memiliki banyak definisi. Menurut Ensiklopedi Populer Politik Pembangunan Pancasila Edisi IV (1988:50), koalisi berasal dari bahasa Latin co-alescare, artinya tumbuh menjadi alat penggabung. Maka koalisi dapat diartikan sebagai ikatan atau gabungan antara dua atau beberapa negara untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu. Atau dapat diartikan sebagai gabungan beberapa partai/fraksi dalam parlemen untuk mencapai mayoritas yang dapat mendukung pemerintah. (Murdiati, 1999).[2] 

Pengertian koalisi tersebut sepadan dengan istilah at-tahâluf as-siyâsiy yangsecara etimologi dari kata al-hilf:

الحِلْفُ العَهْد يكون بين القوم

Al-Hilf: perjanjian di antara kaum.” [3] 

Lebih rinci, Imam Ibn al-Atsir pun mendefinisikan al-hilf:

أصل الحِلْف: المُعاقَدةُ والمعاهدة على التَّعاضُد والتَّساعُد والاتّفاق

“Asal-usul kata al-hilf: saling mengikat dan mengadakan perjanjian dalam hal bekerja sama, tolong menolong dan kesepakatan.”[4] 

Adapun istilah at-tahâluf, Prof. Dr. Muhammad Rawwas Qal’ah Ji mendefinisikan:

التحالف : حلف كل واحد من الفريقين

At-Tahâluf: yakni kesepakatan satu sama lain di antara dua pihak (atau lebih).[5] 

Realitas koalisi dalam politik praktis saat ini, dilakukan oleh sejumlah parpol yang bersepakat dan bekerja sama membangun suatu pemerintahan. Koalisi yang ada adalah koalisi memilih Capres dan Cawapres beserta perangkatnya yang faktanya bertugas menegakkan sistem Demokrasi dan sistem hukum positif.

Koalisi Pragmatis dalam Pandangan Islam

Islam adalah agama yang mengatur segala aspek kehidupan manusia termasuk hukum berkoalisi yang realitasnya adalah bekerja sama mengangkat penguasa beserta perangkatnya yang menegakkan sistem kufur Demokrasi dan sistem hukum jahiliyah, maka hukumnya haram secara syar’i.

Sebagian perinciannya sebagai berikut:

Pertama, Larangan berhukum dengan selain hukum Islam (hukum jahiliyah) (lihat: QS. Al-Ahzâb [33]: 36, QS. al-Mâ’idah [5]: 44; 45; 47, -) dan kewajiban berhukum dengan hukum Islam (lihat: QS. an-Nisâ’ [4]: 65, QS. al-Mâ’idah [5]: 48, QS. Al-Baqarah [2]: 208, QS. An-Nûr [24]: 51, -) dan nash-nash lainnya disertai banyak sekali penjelasan para ulama mengenai ini.

Kedua, Keharaman tolong menolong dalam dosa dan pelanggaran, maka meskipun koalisi tersebut dibangun oleh partai-partai “berbasis massa islam”, jika berkoalisi (saling tolong menolong) mengangkat penguasa yang menegakkan Demokrasi, sistem hukum jahiliyah maka hukumnya tetap haram karena nyata bekerja sama dalam kemungkaran.

وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَىٰ ۖ وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ

“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah Amat berat siksa-Nya.” (QS. Al-Mâ’idah [5]: 2)

Ayat yang mulia ini jelas mengharamkan tolong menolong dalam dosa dan pelanggaran. Tuntutan dalam ayat ini pun tegas berdasarkan indikasi “sesungguhnya Allah Amat berat siksa-Nya.

Imam Ibnu Katsir menjelaskan ayat di atas: “Allah Swt. telah memerintahkan kepada para hamba-Nya yang beriman untuk tolong-menolong dalam mengerjakan perbuatan baik, yaitu kebajikan (al-birr), dan meninggalkan kemungkaran-kemungkaran, yaitu ketakwaan (at-taqwa). Allah Swt. juga melarang mereka untuk tolong-menolong dalam kebatilan (al-bâthil), dalam dosa (al-ma’âtsim) dan dalam hal-hal yang diharamkan (al-mahârim).”[6] 

Rasulullah –shallallaahu ’alayhi wa sallam– menegaskan:

لاَ حِلْفَ فِي الإِسْلام

Tidak boleh ada perjanjian (yang batil) dalam Islam.” (HR al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud dan Ahmad).[7] 

Al-Hafizh Nawawi memaknai hadis itu dengan menyatakan:

فَالْمُرَاد بِهِ حِلْف التَّوَارُث وَالْحِلْف عَلَى مَا مَنَعَ الشَّرْع مِنْهُ

“Yang dimaksud dengan hilf[un] yang dilarang dalam hadis di atas adalah perjanjian untuk saling mewarisi [yang ada pada masa awal hijrah bagi orang-orang yang saling dipersaudarakan oleh Rasulullah –shallallaahu ‘alayhi wa sallam-] dan perjanjian pada segala sesuatu yang dilarang oleh syariah.”[8] 

Imam Ibn al-Atsir ketika menjamak dua kelompok hadits mengenai hilf (yang seakan bertentangan) menuturkan:

يريد من المُعاقدة على الخير ونُصْرَة الحق، وبذلك يجتمع الحديثان، وهذا هو الحِلْف الذي يَقْتَضِيه الإسلام، والمَمْنُوع منه ما خالف حُكْم الإسلام

“(Islam) menghendaki (mewajibkan) akad saling mengikatkan diri adalah dalam kebaikan dan menolong kebenaran, dan itu (disimpulkan) dari dikumpulkannya dua kelompok hadits, dan inilah perjanjian (koalisi)yang dituntut oleh Islam, adapun perjanjian (koalisi) yang dilarang dalam Islam adalah yang menyelisihi hukum Islam.”[9] 

Ketiga, Setiap syarat dalam koalisi yang bertentangan dengan al-Qur’an dan as-Sunnah adalah akad batil yang dibatalkan oleh Islam. Rasulullah –shallallaahu ‘alayhi wa sallam- bersabda:

مَنْ اشْتَرَطَ شَرْطًا لَيْسَ فِي كِتَابِ اللهِ فَهُوَ بَاطِلٌ. وَإِنْ كَانَ مِائَة شَرْط كِتَاب [الله] أَحَق؛ وَشَرْط الله أَوْثَق

“Barangsiapa membuat persyaratan (perjanjian) yang tidak sesuai dengan kitab Allah, maka syarat tersebut batal walaupun mengajukan seratus persyaratan, karena syarat Allah lebih benar dan lebih kuat.” (HR. Bukhari & Muslim)

كُلُّ شَرْطٍ لَيْسَ فِي كِتَابِ اللَّهِ فَهُوَ بَاطِلٌ وَإِنْ كَانَ مِائَةَ شَرْطٍ

Setiap syarat yang tidak sesuai dengan Kitabullah, maka ia adalah batil, meskipun ada seratus syarat.”(HR Bukhari no 2375; Muslim no 2762; Ibnu Majah no 2512; Ahmad 24603; Ibnu Hibban no 4347).

Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-’Asqalani menjelaskan:

أَنَّ الشُّرُوط الْغَيْر الْمَشْرُوعَة بَاطِلَة وَلَوْ كَثُرَتْ

“Sesungguhnya syarat-syarat yang tidak sesuai syara’ adalah batil, meski banyak jumlahnya.” (Ibnu Hajar Al-’Asqalani, Fathul Bari, 8/34).

Keempat, Koalisi adalah sarana pemenuhan syarat bagi partai-partai untuk mengangkat Capres dan Cawapres dimana keduanya adalah hakim yang bertugas menegakkan sistem kufur Demokrasi dan sistem hukum jahiliyah. Maka jelas sarana ini hukumnya haram, sesuai kaidah syar’iyyah:

الوَسِيْلَةُ إِلَى الْحَرَامِ مُحَرَّمَةٌ

“Sarana yang menyampaikan kepada perkara haram maka diharamkan.”

Imam al-Jurjani, dipertegas Prof. Dr. Muhammad Rawwas Qal’ah Ji, mendefinisikan wasîlah yakni:

الوَسِيْلَةُ: هِيَ مَا يُتَقَرَّب بِهِ إِلى الغَيْرِ

Wasilah yakni dimana suatu hal dihantarkan olehnya kepada hal lainnya”.[10] 

Kaidah tersebut bisa diterapkan pada kasus ini karena: (1) Hukum yang menjadi tujuannya jelas haram dan keharamannya dinyatakan oleh nash; yakni keharaman menegakkan kemungkaran sistem kufur Demokrasi dan sistem hukum jahiliyah. (2) Sarana (koalisi) tersebut berdasarkan ghalabatu azh-zhann mengantarkan kepada perbuatan mengangkat presiden dan wakilnya yang bertugas menegakkan sistem kufur Demokrasi dan sistem hukum jahiliyah.

Bantahan Argumentatif atas Berbagai Dalih

Di antara syubhat yang menjustifikasi koalisi pragmatis adalah untuk menolak madharat dan mewujudkan kemaslahatan atau maslahat mursalah. Benarkah klaim tersebut? Ada yang menjustifikasi koalisi pragmatis dengan menukil pernyataan asy-Syafi’i yang menyatakan bahwa patokan boleh dan tidaknya tahâluf dengan non muslim adalah kemaslahatan umat [11]. Dan pernyataan Ibnu Taimiyah yang berkata bahwa pemberlakuan tahâluf tidak harus bertendensi kepada ideologi melainkan kepada maslahat umat agar tidak di luar koridor, maka ia memberikan batasan sepanjang tidak bertentangan dengan al-Qur’an dan Sunnah Nabi -shallallaahu ‘alayhi wa sallam-.[12] 

Padahal pernyataan Ibn Taimiyah di atas, jelas menjadikan al-Qur’an dan as-Sunnah sebagai patokan utama, sebagaimana dituturkan olehnya dalam kesempatan lain (24/280): “Bukan menjadi hak hamba untuk menepis setiap mudharat dengan apa saja yang disukai, dan tidak pula meraih setiap manfaat dengan apa saja yang disukai, melainkan ia tidak boleh meraih manfaat kecuali dengan apa yang mengandung taqwa pada Allâh, dan tidak pula menepis mudharat kecuali dengan sesuatu yang mengandung taqwa kepada Allâh.”[13] 

Begitu pula dengan Imam asy-Syafi’i yang mengkritik keras maslahat mursalah:  

مَنْ اِسْتَصْلَحَ فَقَدْ شَرَّعَ كَمَنْ اِسْتَحْسَنَ فَقَدْ شَرَّعَ

“Siapa saja yang menggunakan maslahat (sebagai hujah) maka ia benar-benar telah membuat syari’ah, sama halnya dengan orang yang menggunakan istihsan maka ia benar-benar telah membuat syari’ah.”[14] 

Imam Al-Amidi pun menegaskan:

وهو ما ظن أنه دليل وليس بدليل فكشرع من قبلنا ومذهب الصحابي والاستحسان والمصلحة المرسلة

“(Poin kedua) yakni apa-apa yang diduga dalil padahal ia bukanlah dalil seperti syar’u man qablanâ, madzhab sahabat, istihsan dan maslahat mursalah.”[15] 

Para ahli fikih dari berbagai madzhab pun tidak menjadikannya sebagai dalil, meski bisa disebut syubhah ad-dalîl, tentu keliru jika sesuatu yang diduga dalil lebih diutamakan daripada nash-nash al-Qur’an dan as-Sunnah. Alasan mewujudkan kemaslahatan dengan batasan yang tidak jelas dan dugaan semata tentu tidak bisa dijadikan dalil untuk menggugurkan apa yang sudah jelas keharamannya berdasarkan nash al-Qur’an dan as-Sunnah. Al-Amidi menuturkan:

وقد اتفق الفقهاء من الشافعية والحنفية وغيرهم على امتناع التمسك به وهو الحق إلا ما نقل عن مالك أنه يقول به مع إنكار أصحابه لذلك عنه

“Para ahli fikih dari syafi’iyyah, hanafiyyah dan lainnya melarang berpegang padanya (maslahah mursalah) dan itu adalah benar kecuali apa yang dinukil dari Imam Malik bahwa beliau berpendapat dengannya namun para sahabatnya mengingkari hal itu dari beliau.”

Di sisi lain, koalisi pragmatis hanya membuahkan madharat yang nyata dibalik perbuatan bekerja sama mengangkat Capres dan Cawapres serta perangkatnya yang bertugas menegakkan sistem kufur Demokrasi dan sistem hukum jahiliyah, apakah ia diasumsikan sebagai madharat yang sepele? Banyak petunjuk al-Qur’an dengan penunjukkan yang pasti mengecam perbuatan berpaling dari syari’at Allah dan hal itu jelas merupakan bahaya yang nyata dunia dan akhirat. Prof. Dr. Muhammad Ali Ash-Shabuni dalam ceramahnya [16] memperingatkan: “Pesanku ini ditujukan kepada seluruh dunia dan umat manusia seluruhnya. Kehidupan manusia saat ini, hidup dalam kehidupan yang benar-benar tiada kedamaian, tiada kelapangan, tiada kehormatan, tiada ketenangan dan tiada kejelasan, itu semua disebabkan berpalingnya manusia (menjauh) dari petunjuk Allah dan tidak adanya upaya berpegangteguh melaksanakan perintah-perintah-Nya. Padahal Allah telah memperingatkan kita dari hal itu dengan firman-Nya:

وَمَنْ أَعْرَضَ عَنْ ذِكْرِي فَإِنَّ لَهُ مَعِيشَةً ضَنْكًا وَنَحْشُرُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَعْمَىٰ

“Dan barangsiapa yang berpaling dari peringatan-Ku (Al-Qur’an) maka baginya penghidupan yang sempit dan akan Kami kumpulkan ia pada hari kiamat dalam keadaan buta” (QS. Thâhâ [20]: 124)

Prof. Dr. Muhammad Amahzun menuturkan:

ولا شك أن تنحية شرع الله وعدم التحاكم إليه في شؤون الحياة ، من أخطر وأبرز مظاهر الانحراف في مجتمعات المسلمين، وكانت عواقب الحكم بغير ما أنزل الله في بلادهم ما حل بهم من أنواع الفساد والشرور والبغي والظلم والذل ومحق البركة.

“Dan tidak ada keraguan bahwa berpaling dari syari’at Allah dan tidak berhukum dengannya dalam kehidupan, termasuk hal yang paling berbahaya dan paling jelas penyimpangannya bagi kaum muslimin, dan berhukum dengan selain hukum Allah di negeri-negeri kaum muslimin mengakibatkan berbagai kerusakan, keburukan, penindasan, kezhaliman, kehinaan dan menghilangkan keberkahan hidup.”[17] 

Kaidah ahwân asy-syarrayn, akhaffu al-mafsadatayn dan yang semisalnya pun tidak bisa digunakan dalam kasus koalisi pragmatis. Karena kita tidak dihadapkan pada kondisi darurat, apakah melakukan koalisi batil merupakan kondisi darurat yang mengancam nyawa dan tak bisa dihindari? Prof. Dr. Muhammad Rawwas Qal’ah Ji mendefinisikan dharurah:

الضرورة : الحاجة الشديدة والمشقة والشدة التي لا مدفع لها

“Darurat: kebutuhan yang teramat sangat, kesempitan dan kesulitan yang tidak bisa dihindari.”

Menurut Imam as-Suyuthi, Izzuddin bin Abdus Salam dan al-Qarafi, kaidah ini hanya diterapkan dalam kondisi darurat atau terpaksa. Sebab, kaidah ini merupakan cabang dari kaidah Adh-Dhararu Yuzâlu (Bahaya harus dihilangkan)”. Kita tidak bisa beralih ke hukum cabang (kaidah cabang) apabila hukum asal (kaidah asal) masih bisa diberlakukan. Hukum pokoknya adalah: segala kemadaratan, mafsadat dan keharaman harus dihilangkan; kecuali jika dua bahaya bertentangan dan tidak mungkin keduanya dihindari sekaligus maka bahaya yang lebih besar harus dihindari dengan terpaksa menempuh bahaya yang lebih kecil atau lebih ringan.

Dr. Mahmud Abdul Karim Hasan menyatakan bahwa para ulama yang mengadopsi kaidah tersebut telah merinci syarat-syarat dan konteks pengamalannya, dan tidak sah mengambil teks kaidah tersebut seakan-akan ia adalah syar’i secara mutlak atau mengadopsinya dengan menghilangkan syarat-syarat penerapannya kemudian mengeluarkan fatwa-fatwa berdasarkan kaidah tersebut menghalalkan perkara haram dan mengelabui manusia.

Intinya ia menjelaskan bahwa kaidah ini hanya diberlakukan pada kondisi-kondisi sebagaimana yang dijelaskan para ulama yang mengadopsi kaidah-kaidah tersebut:

Pertama, jika seseorang sudah sampai pada batas darurat  yang menimbulkan kekhawatiran akan hilangnya nyawa, dan pada saat itu ia hanya menemukan dua keharaman dan ia mesti memilih yang paling ringan keharamannya (tidak ada pilihan lain), namun jika ia menemukan perkara halal maka ia tidak berlaku.

Kedua, jika seseorang meninggalkan dua keharaman tersebut, namun jika begitu ia malah akan terjerumus pada keduanya atau pada keharaman lain yang lebih besar dari keduanya.[18] 

Dalam konteks ini Imam Izzuddin bin Abdis Salam berkata: “Ketika berkumpul beberapa bahaya, jika mungkin untuk meninggalkannya, maka kita harus meninggalkan semuanya. Jika tidak mungkin, kita harus meninggalkan yang paling besar bahayanya, kemudian yang di bawahnya dan seterusnya. Jika derajat bahayanya sama, harus ditangguhkan. Kadangkala di antara bahaya-bahaya itu ada yang bisa dipilih, ada yang diperselisihkan dalam kesamaan dan perbedaannya. Dalam bahaya ini tidak ada perbedaan antara yang diharamkan dengan yang dimakruhkan (artinya sama-sama harus ditinggalkan).”[19] 

Di sisi lain penentuan mana bahaya yang lebih besar dan yang lebih kecil tidak boleh diserahkan pada akal dan hawa nafsu, tetapi harus merujuk pada syari’ah. Karena syari’ah menjelaskan halal dan haram serta mana yang lebih ringan keharamannya, dan akal tak mampu menentukan mana yang terpuji dan tercela, mana yang diganjar pahala dan dibalas dengan siksa. Al-Qadhi Taqiyuddin an-Nabhani berkata:

أن الخير في نظر المسلم ما أرضى الله والشر هو ما أسخطه

“Bahwa predikat baik (al-khayr) dalam penilaian seorang muslim adalah sesuatu yang diridhai Allâh, sedangkan buruk (al-syarr) adalah sesuatu yang dimurkai-Nya.”

Al-Qadhi al-Baqilani berkata:

اَلْحَسَنُ مَا حَسَّنَهُ الشَّرْعُ وَالْقَبِيْحُ مَا قَبَّحَهُ الشَّرْعُ

“Yang terpuji adalah apa yang dipuji oleh syariah, sedangkan yang tercela adalah apa yang dicela oleh syariah.”[20] 

Kita tetap wajib terikat pada hukum syara’ meskipun di Dârul Kufur seperti saat ini. Allah SWT berfirman:

فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ

“Maka bertakwalah kepada Allah sesuai kesanggupanmu..” (QS. At-Thaghâbûn [64]: 16)

Imam asy-Syawkani berkata:

فإن أحكام الشرع لازمة للمسلمين في أي مكان وُجِدوا، ودار الحرب ليست بناسخة للأحكام الشرعية أو لبعضها

“Sungguh hukum-hukum syara’ itu mengikat kaum muslimin di manapun mereka berada dan Dâr al-Harbi tidak bisa menghapuskan hukum-hukum syara’ secara keseluruhan atau sebagian.”[21]

Identitas Partai Politik Islam

Partai politik wajib berasaskan akidah Islam, dan dari akidah inilah terpancar berbagai peraturan yang diadopsi oleh partai, dan ia wajib terikat padanya dalam hal apapun mencakup metode, pemikiran dan uslub yang digunakan. Aktivitasnya adalah menyerukan al-khayr yakni al-Islam, menyuruh kepada yang ma’ruf dan melarang dari kemungkaran.

وَلْتَكُنْ مِنْكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ ۚ وَأُولَٰئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ

“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada al-khayr (al-Islam), menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung.” (QS. Âli Imrân [3]: 104)

Parpol Islam, sudah semestinya menyerukan perubahan sistem berdasarkan metode perubahan yang dicontohkan Rasulullah –shallallaahu ‘alayhi wa sallam– sebaik-baiknya teladan.

لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا

“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan Dia banyak menyebut Allah.” (QS. Al-Ahzâb [33]: 21)

Yakni dengan membina umat ini menjadi da’i yang menyeru kepada al-Islam, menjadikan Islam sebagai solusi kehidupan, mengungkapkan keburukan sistem dan ideologi rusak produk hawa nafsu manusia (saat ini; demokrasi, sekularisme, kapitalisme, komunisme, -), mengadopsi permasalahan umat dan menjelaskan hukum syara’ atasnya, melakukan thalabun nushrah kepada para pemilik kekuatan riil agar berjuang bersama umat dan partai untuk menegakkan sistem Islam dan menjaganya, yakni al-Khilafah yang tegak di atas manhaj kenabian yang menjadi metode menerapkan dan mendakwahkan Islam ke seluruh penjuru alam, tidak mudah memang namun diam bukanlah jawaban. Allâh al-Musta’ân.

وَمَنْ يَتَهَيَّبُ صُعُوْدَ الجِبَالِ # يَعِشْ أَبَدَ الدَّهْرِ بَيْنَ الحُفَرِ

“Siapa yang takut naik gunung # Akan hidup di antara lubang selamanya.”[22] 

[]

 

Catatan Kaki:

[1] Lihat: http://kbbi.web.id/koalisi 

[2] Dinukil dari tulisan KH. Muhammad Shiddiq al-Jawi:

http://hizbut-tahrir.or.id/2009/04/30/koalisi-parpol-islam-dan-parpol-sekuler-dalam-pandangan-islam/ 

[3] Lihat: Ibn al-Manzhur dalam Lisân al-‘Arab; Imam Ar-Raghib al-Ashfahani. Al-Mufradât fî Gharîb al-Qur’ân. Maktabah Nazâr Mushthafa al-Bâz. Juz. I, Hlm. 170.

[4] Lihat: Imam Ibn Al-Atsir. An-Nihâyah fî Gharîb al-Hadîts wa al-Atsar. Juz. I, Hlm. 424. Al-Maktabah al-Islamiyyah.

[5] Lihat: Prof. Dr. Muhammad Rawwas Qal’ah Ji & Dr. Hamid Shadiq. 1988. Mu’jam Lughatil Fuqâhâ’. Cet. II. Beirut: Dar an-Nafa’is.

[6] Lihat: Al-Hafizh Ibn Katsir. Tafsîr Ibnu Katsîr. II/12-13.

[7] HR Bukhari no 2130; Muslim no 4593; Abu Dawud no 2536; Ahmad no 13475.

[8] Lihat: Al-Hafizh An-Nawawi. Syarh Muslim. III/302.

[9] Lihat: Ibn Al-Atsir. An-Nihâyah fî Gharîb al-Hadîts wa al-Atsar. Juz. I, Hlm. 425. Lihat pula penegasan Imam Ibn Manzhur dalam Lisân al-‘Arab.

[10] Lihat: Ali bin Muhammad as-Sayyid asy-Syarif al-Jurjani. Mu’jam at-Ta’rîfât. Muhaqqiq: Muhammad Shiddiq al-Minsyawi. Kairo: Dar al-Fadhilah; Prof. Dr. Muhammad Rawwas Qal’ah Ji & Dr. Hamid Shadiq. 1988. Mu’jam Lughatil Fuqâhâ’.

[11] Lihat: Mughnî al-Muhtâj; 4/221.

[12] Lihat: Majmû’ al-Fatâwâ 35/92-97; dinukil dalam Fatwa-Fatwa Dewan Syariah (Jakarta: ROBBANI PRESS, 2005), hlm 191-197.

[13] Dinukil dari; Irfan Abu Naveed. Menyingkap Jin dan Dukun Hitam Putih Indonesia. Halim Jaya: Surabaya.

[14] Lihat: Hujjat al-Islam al-Ghazali. Al-Musthasfa min ‘Ilm al-Ushûl. II/506.

[15] Lihat: Al-Amidi. Al-Ihkâm fî Ushûl Al-Ahkâm. Muhaqqiq: Al-‘Allamah Abdurrazzaq ‘Afifi.

[16] Dalam video yang diterjemahkan oleh penulis dan dipublish di: www.irfanabunaveed.com 

[17] Lihat: Prof. Dr. Muhammad Amhazun. Thâghût Al-‘Ashr. Majallatul Bayân. No. 303.

[18] Lihat: Dr. Mahmud Abdul Karim Hasan. Qâ’idatu Ahwan asy-Syarrayn. Majallatul Wa’ie. No. 224. Thn. Ke-20. Edisi Ramadhan 1426 H.

[19] Lihat: Imam ’Izzuddin bin ’Abdussalam. Qawâ’id Al-Ahkâm fî Mashâlih al-Anâm; dinukil dari Al-Wa’ie No. 224. Thn. Ke-20. Edisi Ramadhan 1426 H.

[20] Lihat: Al-Qadhi Abu Bakar al-Baqillani, Al-Anshâf fîmâ Yajibu I’tiqâduhu wa Lâ Yajuzu al-Jahlu bihi; Al-Qadhi Taqiyuddin an-Nabhani. Mafâhîm Hizb at-Tahrîr. Beirut: Dar al-Ummah.

[21] Lihat: Imam Muhammad bin Ali asy-Syawkani. 1425 H. As-Saylu al-Jarrâr al-Mutadaffiq ’alâ Hadâ’iq al-Azhâr. Cet. I. Beirut: Dar Ibn Hazm. Lihat pada halaman 963, Kitab As-Siyar.

[22] Lihat: Dr. Muhammad bin ‘Abdurrahman al-‘Arifi. Istamti’ bi Hayâtika: Funun al-Ta’ammil Ma’a an-Nâs fii Zhilli Shirâth Dzikrayyât Aktsar min ‘Isyriin Sanah.

Bahasan Thariqul Iman (Kitab HT) & Penjelasan Imam Ibnu Qudamah

Ibnu Qudamah

Membaca apa yang diungkapkan oleh Imam Ibn Qudamah al-Maqdisi, meneguhkan bahwa apa yang dijelaskan al-‘Allamah Taqiyuddin an-Nabhani -rahimahullaah- dalam kitab Nizhaam al-Islaam, Bab. Thariiq al-Iimaan khususnya, sudah dijelaskan oleh para pendahulunya, baik dari kalangan ulama salaf maupun khalaf.

Maka dari itu saya menyayangkan tuduhan sebuah buku yang dikarang oleh seseorang –ghafarallaahu lahu– yang memfitnah HT sebagai mu’tazilah judud (Neo Mu’tazilah), yang lebih mengherankan jika ada yang mengklaim bahwa itu hasil kajian atas kitab Nizhaam al-Islaam, yang ditulis oleh seorang ulama besar abad 19, al-‘Allamah Taqiyuddin an-Nabhani –rahimahullaah-, pemikir ulung, mutsaqafun, pendiri HT. Padahal pembahasan akal yang dijelaskan dalam kitab tersebut adalah pemahaman shahih yang sudah dijelaskan oleh para ulama salaf dan khalaf dan bertentangan dengan pemahaman Mu’tazilah, di sisi lain dalam kitab tersebut pada bab Qadha dan Qadar pun al-‘Allamah Taqiyuddin an-Nabhani mengoreksi pemahaman Mu’tazilah, lalu apa dasar dari tuduhan tersebut? Allaahummaghfirlanaa…

Ini salah satu buktinya: Pemuda Idealis VS Pemuda Pragmatis

Dan apa yang dijelaskan oleh salah seorang ulama besar, Imam Ibn Qudamah al-Maqdisi -rahimahullaah- menuturkan:

“Maka mentafakuri Dzat-Nya Yang Maha Suci tidak diperbolehkan, karena akal akan gagal mencapai hal tersebut, karena Dzat Allah lebih agung dari apa yang terbersit dalam akal manusia dengan memikirkan Dzat-Nya, atau akan mengakibatkan timbulnya kerancuan dalam qalbu dengan penggambaran Dzat-Nya padahal:

لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ ۖ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ

“Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha Mendengar dan Maha Melihat.” (QS. Asy-Syuuraa’ [42]: 11)

“Lain halnya dengan mentafakuri makhluk-makhluk Allah, al-Qur’an telah mendorong manusia untuk melakukannya, misalnya firman Allah:

إِنَّ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَاخْتِلَافِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ لَآيَاتٍ لِأُولِي الْأَلْبَابِ

“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal.” (QS. Aali Imraan [3]: 190)

قُلِ انْظُرُوا مَاذَا فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ

“Katakanlah: “Perhatikanlah apa yang ada di langit dan di bumi. tidaklah bermanfaat tanda kekuasaan Allah dan Rasul-rasul yang memberi peringatan bagi orang-orang yang tidak beriman.” (QS. Yuunus [10]: 101)

“Dan di antara ayat Allah adalah manusia yang merupakan makhluk dari nuthfah, maka manusia sudah semestinya mentafakuri dirinya, karena dalam penciptaannya terkandung keajaiban-keajaiban yang menunjukkan keagungan Allah SWT….”

Lihat: Imam Ahmad bin Muhammad bin ‘Abdurrahman bin Qudamah al-Maqdisi. 1418 H. Mukhtashar Minhaaj al-Qaashidiin. Cet. III. Beirut: Dar al-Khayr.

Lajnah Tsaqafiyyah DPD II HTI Cianjur.

Ikut-halaqoh-ikhwan

Tanya Jawab atas Ungkapan “Jihad Bukan Metode untuk Menegakkan al-Khilafah”

Jihad

Tanya Jawab Kepada Lone Traveller

Penerjemah: Irfan Abu Naveed (Lajnah Tsaqafiyyah DPD II HTI Cianjur)

Sumber Tanya Jawab (Like):

FP Al-’Alim Asy-Syaikh ‘Atha bin Khalil Abu ar-Rasytah –Hafizhahullaah

Situs Resmi-’Alim Asy-Syaikh ‘Atha bin Khalil Abu ar-Rasytah –Hafizhahullaah

بسم الله الرحمن الرحيم

Pertanyaan:

السلام عليكم ورحمة الله وبركاته

Wahai Syaikh kami Amir HT:

Kita berpandangan bahwa menegakkan Khilafah dan Jihad adalah dua kewajiban yang berbeda, membenarkan poin bahwa jihad tidak menjadi metode untuk menegakkan al-Khilafah. Dapatkah anda jelaskan perbedaan kewajiban tersebut? Semoga Allah menerima amal ibadah anda dan menganugerahi anda taufik untuk menjaga (pemikiran) umat ini dan:

(نحن نقول إن الجهاد فرض، والخلافة فرض، لكنَّ الجهاد ليس هو الطريقة لإقامة الخلافة… أرجو توضيح الأمر…)

“Kami katakan bahwa jihad hukumnya fardhu, dan Khilafah pun fardhu, akan tetapi jihad bukanlah metode untuk menegakkan al-Khilafah… Saya memohon penjelasan atas permasalahan ini…”

Jawaban:

وعليكم السلام ورحمة الله وبركاته

Terdapat hal-hal pokok yang wajib dipahami dengan baik karena hal itu akan memperjelas jawaban:

Pertama, sesungguhnya dalil-dalil yang dicari untuk menggali suatu hukum syara’ untuk suatu masalah adalah dalil-dalil yang memang untuk masalah tersebut bukan dalil-dalil dalam masalah lainnya (di luar konteks pembahasan-pen.):

  1. Misalnya jika saya ingin mengetahui bagaimana tatacara berwudhu, maka saya akan mencari dalil-dalil wudhu yang ada, sama saja apakah turun di Makkah atau Madinah, dan digali hukum syara’ darinya berdasarkan ilmu ushul yang diadopsi… Dan saya tidak akan mencari dalil-dalil shaum untuk diambil darinya hukum wudhu dan tatacaranya.

  2. Dan misalnya jika saya ingin mengetahui hukum-hukum haji, maka demikian pula saya akan mencari dalil-dalil haji yang ada, sama saja apakah turun di Makkah atau di Madinah dan digali darinya hukum syara’ berdasarkan ilmu ushul yang diadopsi, dan saya tidak akan mencari dalil-dalil shalat untuk diturunkan darinya hukum haji dan tatacaranya.

  3. Dan misalnya jika saya ingin mengetahui hukum-hukum jihad, baik yang sifatnya hukum bagi individu maupun kifaayah, baik jihad defensif atau jihad ofensif, apa-apa yang berkaitan dengan jihad dari hukum-hukum futuhat dan penyebaran Islam, sama saja apakah futuhat dengan cara paksaan atau dengan jalan damai… Maka saya akan mencari dalil-dalil jihad yang ada, sama saja apakah turun di Makkah atau di Madinah, dan digali darinya hukum syara’ berdasarkan ilmu ushul yang diadopsi, dan saya tidak akan mencari dalil-dalil zakat untuk diturunkan darinya hukum jihad dan perinciannya.

  4. Begitu pula dengan setiap permasalahan, ia mesti dicari dalil-dalil berdasarkan tempat diturunkannya di Makkah atau di Madinah, dan digali darinya hukum syara’ untuk suatu permasalahan dari dalil-dalil ini berdasarkan ilmu ushul yang diadopsi.

Kedua, dan sekarang saatnya kita meninjau permasalahan menegakkan Negara Islam, dan kita mencari dalil-dalilnya, sama saja apakah diturunkan di Makkah atau di Madinah, dan kita gali darinya hukum syara’ berdasarkan ilmu ushul yang diadopsi.

  1. Sesungguhnya kita tidak menemukan dalil-dalil apapun mengenai menegakkan Negara Islam kecuali dari apa yang dijelaskan Rasulullah –shallallaahu ’alayhi wa sallam– dalam Siirah-nya ketika di Makkah al-Mukarramah, dimana sungguh beliau telah menyeru kepada Islam secara sembunyi-sembunyi, hingga beliau membentuk kelompok orang-orang beriman yang sabar… Kemudian beliau bergerak secara terang-terangan di Makkah dan dalam beragam musim… Kemudian beliau meminta pertolongan kepada ahlul quwwah, dan Allah –Subhaanahu wa Ta’aalaa- memuliakannya dengan pertolongan kaum Anshar, maka beliau hijrah kepada tempat mereka dan menegakkan suatu negara.

  2. Rasulullah –shallallaahu ’alayhi wa sallam– tidak pernah memerangi penduduk Makkah untuk menegakkan suatu Negara Islam, tidak pula beliau memerangi suku manapun untuk menegakkan suatu Negara Islam, meski memang Rasulullah –shallallaahu ’alayhi wa sallam– dan para shabatnya –ridhwaanullaahi ‘alayhim- adalah para pahlawan dalam peperangan, kuat lagi bertakwa… Akan tetapi Rasulullah –shallallaahu ’alayhi wa sallam– tidak menggunakan jalan peperangan untuk menegakkan Negara Islam, akan tetapi terus konsisten berdakwah dan meminta pertolongan ahlul quwwah hingga akhirnya kaum Anshar menjawab seruan dakwahnya sehingga menegakkan Negara Islam.

  3. Kemudian diwajibkannya hukum jihad adalah untuk melakukan futuhat dan penyebaran Islam, melindungi Negara Islam, dan jihad tidak diwajibkan untuk menegakkan Negara Islam, dan setiap permasalahan ini sudah jelas dalam Siirah Rasulullah –shallallaahu ’alayhi wa sallam-.

  4. Dan begitu pula jika ingin mengetahui tatacara penegakkan Negara Islam, maka diadopsi dari perbuatan (sunnah) Rasulullah –shallallaahu ’alayhi wa sallam– berupa dakwah serta meminta pertolongan dan sambutan kaum Anshar (penolong dakwah-pen.) sehingga mampu menegakkan Negara Islam…

Dan jika saya ingin mengetahui hukum-hukum jihad, maka diambil dari dalil-dalil syar’iyyah yang berkaitan dengan jihad, maka setiap kewajiban diambil dalil-dalilnya dari dalil-dalil syar’iyyah yang berkaitan dengannya, maka kewajiban menegakkan Negara Islam diambil dari dalil-dalil penegakkan Negara Islam, dan jihad diambil dari dalil-dalil mengenai jihad, dan konsisten terhadapnya sesuai tujuannya dan Allah yang memberikan kepada kita taufik-Nya. []

Saudaramu ‘Atha bin Khalil Abu Ar-Rasytah

28 Rajab 1435 H/ 27 Mei 2014

Like FP al-‘Alim asy-Syaikh ‘Atha bin Khalil Abu Ar-Rasythah: Link FP

Tanya Jawab: Menyaksikan Film ‘Panas’ dan Tikaman (Fitnah) Atas Hizbut Tahrir

970257_166324286868990_814781847_n

Tanya Jawab Kepada Omar Daragmeh

Sumber Tanya Jawab:

FP Al-‘Alim Asy-Syaikh ‘Atha bin Khalil Abu ar-Rasytah –Hafizhahullaah

Penerjemah: Irfan Abu Naveed (Lajnah Tsaqafiyyah DPD II HTI Cianjur)

Pertanyaan

السلام عليكم ورحمة الله وبركاته

Wahai Syaikh kami, harapan (kami) engkau wahai Syaikh kami menjawab setiap tuduhan pada Hizbut Tahrir dalam banyak hal, dan di antara yang paling gencar adalah seputar menyaksikan film-film ‘panas’??

Jawaban

وعليكم السلام ورحمة الله وبركاته

Mengenai bahasan film-film ‘panas’.. sesungguhnya pandangan kami sudah jelas atasnya, dan sungguh telah diterbitkan soal jawab yang jelas, tidak mengandung kesamaran dalam permasalahan ini, dan penjelasan tersebut menggambarkan pandangan resmi kami dan ini poinnya:

Adapun menyaksikan film-film ‘panas’ maka hukumnya haram meskipun hanya berbentuk gambar dan bukan tubuh secara hakiki, hal ini didasarkan pada kaidah syar’iyyah dalam bab ini yakni:

اَلْوَسِيْلَةُ إِلَى اْلحَرَامِ حَرَامٌ

“Wasilah yang mengantarkan kepada yang haram hukumnya haram.”

Dan tidak disyaratkan di dalam kaidah ini bahwa wasilah tersebut harus mengantarkan kepada yang haram secara pasti (qath’iy), tapi cukup dengan dugaan kuat (ghalabatuzh-zhann). Dan film-film ini diduga kuat mengantarkan orang yang menyaksikannya kepada perkara haram, oleh karena itu kaidah ini bisa diterapkan pada kasus ini. Maka dari itu tidak boleh menghadirinya dan tidak boleh berdiam diri di dalamnya.

Mengenai tindakan apa yang perlu dilakukan syabab Hizbut Tahrir menghadapi umat Islam yang menghadiri pertunjukkan film tersebut, maka sesungguhnya sebagian besar orang yang menghadiri pertunjukkan film seperti itu adalah orang-orang yang jatuh dalam hura-hura dimana perintah dan larangan tidak lagi bermanfaat bagi mereka kecuali orang yang mendapat rahmat dari Rabnya. Maka dari itu, jika para syabab memiliki cara yang kuat, yang mampu menghalangi dan bijak, maka lakukanlah. Dan mungkin maksud si penanya ini ada sebagian dari kerabatnya yang membuatnya sedih karena ia melihatnya sedang terjerumus dalam perilaku yang sakit ini, maka ia harus menjauhkannya dari kebiasaannya itu. Jika masalahnya memang demikian, maka ia harus memerintah dan melarangnya, serta memilih cara-cara yang sesuai (tepat), semoga Allah membimbingnya. Dan iapun dengan tindakannya itu berhak mendapatkan pahala, insya Allah dengan izin-Nya.

Kaum muslimin pada hari ini dikepung oleh berbagai keburukan dari segala penjuru karena lenyapnya khilafah mereka. Maka selayaknya bagi umat Islam untuk tidak menyisihkan waktu luang lagi meski untuk sekedar melakukan hiburan yang bersifat mubah, lantas bagaimana jika dia menggunakannya untuk hiburan yang haram? Wal ‘iyaadzu billaah. Sesungguhnya wajib bagi kalian, ayyuhal ikhwah, untuk menghadapi umat Islam dengan sikap yang kuat, meski tetap dengan bijaksana, untuk menasehati mereka agar memenuhi waktu mereka dengan berbagai perbuatan baik, keuletan dan kesungguhan dalam beramal untuk mengembalikan khilafah, dan menyelamatkan umat dari keburukan-keburukan ini”.

Adapun mereka yang menikam (Hizbut Tahrir), maka mereka sebenarnya bukanlah para penuntut ilmu yang benar, karena jika tidak begitu maka sudah semestinya mereka mengkaji terlebih dahulu kitab-kitab kami, website-website resmi kami, karena dalam media-media tersebut mereka akan menemukan suatu kelembutan yang tidak mereka percayai, dan kemurnian yang tidak mereka temukan kecuali di sisi para kekasih Allah yang membentangkan pandangannya pada akhirat di atas dan di atas perhatian mereka pada dunia…

Sesungguhnya mereka yang menikam Hizbut Tahrir menyandarkan (tikamannya) pada kitab-kitab dari selain kami, seakan-akan mereka tidak mengetahui dosa besar yang berlipat-lipat atas perbuatan fitnah:

قُلْ إِنَّ الَّذِينَ يَفْتَرُونَ عَلَى اللَّهِ الْكَذِبَ لَا يُفْلِحُونَ

“ Sesungguhnya orang-orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah tidak beruntung.” (QS. Yuunus [10]: 69)

Saudaramu ‘Atha bin Khalil Abu ar-Rasytah

9 Rajab 1434 H/ 19 Mei 2014

Tanya Jawab Mengenai Anak Indigo, Memindahkan Penyakit ke Binatang & Perdukunan

Cover Buku-1

PERTANYAAN-PERTANYAAN

Pertanyaan I:

assalamu’alaykum.wr.wb.

kang damang? bagaimana dalam pandangan islam terkait dengan ORANG/ANAK INDIGO? kenapa seseorang dikatakan INDIGO (sebabnya)? 

IR dari Jakarta

Pertanyaan II:

assalaamu’alaikum wr wb..tadz ada titipan pertanyaan dari anak didik ana. belakangan ini kan muncul pro kontra pengobatan UGB sekalipun sebelumnya pasti banyak di negeri ini. lantas bagaimana hukumnya berobat ke orang tersebut (yang sudah di ketahui metode pengobatannya tidak syar’i) dengan terawangan, memindahkan penyakit ke hewan dsb. soalnya bapaknya  itu sudah coba berobat kemana mana blm sembuh. nah sama tetangganya di anjurkan berobat kepada orang dengan ciri2 yang saya sebutkan di atas. mohon penjelasannya. jazakallah khair

KB dari Bogor

JAWABAN IRFAN ABU NAVEED

وعليكم السلام ورحمة الله وبركاته

الحمدلله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله وأصحابه أجمعين وبعد

Di zaman ini tersebar syubhat antara praktik pengobatan yang sesuai syari’ah dan pengobatan yang menggunakan embel-embel islami namun dalam praktiknya mengandung syubhat. Dan muslim dituntut untuk jeli, menapaki ilmu sebelum beramal, mesti mencari tahu benar tidaknya pengobatan yang akan dituju sebelum dikunjungi.

Islam telah mengajarkan kita menjadikan hukum Allâh (syari’at Islam) sebagai standar perbuatan (miqyâs al-‘amal), dimana seorang muslim yang beriman wajib mengikatkan dirinya, konsisten pada akidah dan syari’at Islam. Para ulama pun merumuskan kaidah syar’iyyah (berdasarkan nash-nash al-Qur’an dan al-Sunnah):

اْلأَصْلُ فِي اْلأَفْعَالِ التَّقَيُّدُ بِحُكْمِ اللهِ

“Hukum asal perbuatan manusia adalah terikat dengan hukum Allâh.” [1]

Oleh karena itu, seorang muslim wajib mengetahui pandangan Islam atas suatu perbuatan sebelum ia melakukannya (al-‘ilm qabl al-‘amal), apakah wajib; sunnah; mubah; makruh atau haram dan berbuat sesuai dengan Islam dengan segenap kemampuan (hasb al-istithaa’ah).

فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ

“Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu.” (TQS. Al-Taghâbun [64]: 16)

Yakni bertakwa dengan segenap kemampuan. Allah ‘Azza wa Jalla pun berfirman:

وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۖ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ

“Apa yang diperintahkan Rasul kepadamu, maka laksanakanlah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat keras hukumannya.” (TQS. Al-Hasyr [59]: 7)

Al-‘Allamah al-Qadhi Taqiyuddin al-Nabhani –rahimahullaah– berkata: “Bagi seorang muslim yang telah beriman kepada Allâh SWT serta beriman bahwa Allâh telah mengutus Nabi Muhammad SAW dengan syari’at Islam yang menjelaskan perintah-perintah serta larangan Allâh dan mengatur hubungannya dengan Allâh atau dengan dirinya sendiri, ataupun dengan manusia yang lainnya; maka seorang muslim yang meyakini hal ini wajib menyesuaikan seluruh amal perbuatannya dengan perintah dan larangan Allâh SWT. Tujuan yang hendak diraih dari penyesuaian ini adalah meraih ridha Allâh SWT. Oleh karena itu, setiap perbuatan mungkin akan mendatangkan murka Allâh atau ridha-Nya. Apabila amal perbuatan tersebut mengundang murka Allâh, karena menyalahi perintah-perintah-Nya dan melanggar larangan-larangan-Nya, maka amal perbuatan tersebut dikategorikan buruk (syarr). Dan apabila amal perbuatan tersebut mendatangkan ridha Allâh melalui keta’atan terhadap perintah-perintah-Nya, serta menjauhi segala larangan-Nya, maka amal perbuatan itu dikategorikan baik (khayr).” Atas dasar itu, Imam Taqiyuddin al-Nabhani menegaskan:

أن الخير في نظر المسلم ما أرضى الله والشر هو ما أسخطه

“Bahwa predikat baik (al-khayr) dalam penilaian seorang muslim adalah sesuatu yang diridhai Allâh SWT, sedangkan buruk (al-syarr) adalah sesuatu yang dimurkai-Nya.”[2]

Tentu benar tidaknya suatu pengobatan mesti ditakar dengan timbangan syari’at Islam. Dan sudah semestinya seorang muslim meneliti berbagai hal yang bisa membahayakan bagi dunia dan akhirat kaum muslimin, sebagaimana dituturkan syair:

عرفت الشرّ لا للشرّ        لكن لتوقيّه

ومن لا يعرف الشرّ      من النّاس يقع فيه

“Aku mengetahui keburukan bukan tuk melakukan keburukan, melainkan memproteksi diri darinya”

“Dan barangsiapa tak mengetahui keburukan, maka ia akan terjerumus ke dalamnya”[3]

Fenomena mengerikan ini sama percis seperti apa yang diungkapkan oleh Syaikh Abu Sayf Jalil al-‘Abidiy al-‘Iraqiy:

لقد غزت الأمة الإسلامية في أواخر القرن التاسع عشر وخاصة بعد سقوط الدولة العثمانية بعض المفاهيم الخاطئة والمعتقدات الباطلة الدخيلة على ديننا الحنيف والتي تضاد وتصادم العقيدة الإسلامية من كل وجه وجانب.

“Sungguh pada akhir abad ke-19, khususnya paska runtuhnya al-Daulah al-‘Utsmaniyyah, umat islam diserbu pemahaman-pemahaman sesat dan keyakinan-keyakinan batil yang menyusup ke dalam Din kita yang lurus, menyelisihi dan menyerang akidah islam dari segala arah dan sisi.” [4]

Pasal I: Tidak Ada Klasifikasi Dukun Hitam & Dukun Putih dalam Islam

Di negeri ini, ada anekdot mengenai istilah dukun hitam dan dukun putih dengan klasifikasi ukuran fisik semata, dukun hitam adalah mereka yang menggunakan baju hitam, bau kemenyan, bergaya menyeramkan, sedangkan dukun putih menggunakan sorban, pakai peci, pakaian serba putih dan tak lupa parfum khas yang wangi nian. Padahal fisik bukanlah patokan utama untuk mengukur benar tidaknya kepribadian seseorang. Pola pikir dan pola kecendrungan jiwa seseorang lah yang dijadikan patokan, ini dijelaskan oleh al-’Allamah Taqiyuddin an-Nabhani –rahimahullaah-. Misalnya meski seseorang berpakaian serba putih bersih tampil islami tapi kalau amalannya bertentangan dengan syari’ah; menyembelih binatang untuk sesaji, bersekutu dengan syaithan, maka jelas yang bersangkutan memiliki kepribadian bermasalah ditinjau dari sudut pandang Islam.

Dan jika kita telusuri sebenarnya pengklasifikasian dukun hitam dan dukun putih ini tak dikenal dalam terminologi syari’ah. Karena nash-nash syari’ah hanya memperkenalkan istilah kaahin atau ’arraaf dalam bentuk umum, artinya siapapun ia jika melekat ciri-ciri dukun padanya maka ia adalah dukun yang dikecam oleh Islam. Saya tidak akan menghukumi orang per orang (karena ini membutuhkan pengkajian secara rinci orang per orang), maka saya jelaskan secara umum agar ikhwah fillaah sekalian yang bisa menilainya:

Mengenal Kaahin (Dukun)

Dalam Lisân al-‘Arab, kahin adalah orang yang memberi kabar kepada kita tentang hal-hal di sekitar kita yang berkaitan dengan masa depan, ia mengaku bahwa dirinya mengetahui rahasia-rahasia ghayb.[5]

Dalam kamus-kamus bahasa arab, akan kita temukan bahwa al-Kuhânah adalah bentuk mashdar dari kahana, seperti kata nashara dan mana’a. Sedangkan kâhin (dalam bentuk isim fa’il atau subjek) berarti orang yang berinteraksi dengan perdukunan. Bentuk jamaknya adalah kahânah atau kuhhân.[6]

Pengarang kitab Jâmi’ berkata: “Orang arab menamakan setiap orang yang memberitahukan sesuatu sebelum terjadi sebagai dukun (kâhin).

Dalam kitab Irsyâd al-‘Ibâd dijelaskan:

اَلْكَهَانَةُ هِيَ الإِخْبَارُ عن المَغِيْبَاتِ فِي مُسْتَقْبل الزمانِ وادّعاء الغَيبِ وَزَعَمَ أنّ الجنّ تُخْبِرُهُ بذٰلِكَ

“Kahânah, yaitu mengabarkan hal-hal yang gaib yang akan terjadi pada masa-masa mendatang, mengaku mengetahui ilmu gaib dan menganggap jin yang telah memberitahunya.”[7]

Al-Hafizh Imam Ibnu Hajar al-‘Asqalani menjelaskan bahwa kata kuhânah berarti orang yang mengklaim mampu mengetahui hal-hal gaib.

Imam Al-Khiththabi berpendapat bahwa kâhin ialah orang yang mengaku bisa mengetahui hal gaib dan memberitahukan berbagai hal kepada orang banyak.

Disebutkan dalam kitab Fat-hul Majid, kâhin ialah orang yang mendapat berita dari syaithân yang mencuri berita langit.

Penulis buku Tanabbu’ bil Ghayb menjelaskan: “Kata kuhânah secara umum berarti; orang yang mengaku bisa melihat makhluk halus; orang yang ahli tarq (membuat tulisan di tanah untuk menguak sesuatu yang tersembunyi) baik dengan tanah, biji-bijian, gandum, maupun bulir; ahli zajar (melepaskan burung dengan tujuan meminta petunjuk, jika terbang ke arah kanan maka optimis, jika terbang ke kiri maka pesimis); orang yang memberitakan hal-hal gaib dengan meminta petunjuk pada burung ataupun binatang buas; orang yang memiliki ritualitas khusus;.. penyihir;.. dan lain sebagainya.”

Dalam al-Qur’ân al-Karîm, kâhin disebutkan dalam ayat berikut:

فَذَكِّرْ فَمَا أَنْتَ بِنِعْمَتِ رَبِّكَ بِكَاهِنٍ وَلَا مَجْنُونٍ

Maka tetaplah memberi peringatan, dan kamu disebabkan nikmat Tuhanmu bukanlah seorang kâhin dan bukan pula seseorang yang gila.” (QS. ath-Thûr [52]: 29)

Ketika menafsirkan ayat ini, Imam al-Alusiy berkata:

هو الذي يخبر بالغيب بضرب من الظن، وخص الراغب الكاهن بمن يخبر بالأخبار الماضية الخفية كذلك، والعرّاف بمن يخبر بالأخبار المستقبلة كذلك، والمشهور في الكهانة الاستمداد من الجن في الإخبار عن الغيب

“(Dukun) adalah orang yang mengabarkan berita ghaib sejenis ramalan, dan secara khusus orang yang dimaksud kahin adalah orang yang mengabarkan hal-hal yang telah terjadi yang bersifat rahasia. “Adapun ‘arraf (peramal) adalah orang yang mengabarkan hal-hal yang akan terjadi. Dan sudah menjadi hal yang masyhur dalam dunia perdukunan, (kahin & ‘arraf) memperoleh berita-berita ghaib dari bangsa jin.”[8]

وَلَا بِقَوْلِ كَاهِنٍ ۚ قَلِيلًا مَا تَذَكَّرُونَ

 “Dan bukan pula perkataan kâhin. Sedikit sekali kamu mengambil pelajaran darinya.(QS. al-Hâqqah [69]: 42)

Al-Hafizh Ibnu Katsîr menafsirkan ‘kâhin’ adalah orang yang memiliki pandangan berdasarkan informasi dari jin yang mencuri berita langit.

Istilah ‘kâhin atau kuhhân’, dinyatakan dalam sejumlah hadîts diantaranya:

مَنْ أَتَى كَاهِنًا فَصَدَّقَهُ بِمَا يَقُولُ فَقَدْ كَفَرَ بِمَا أُنْزِلَ عَلَى مُحَمَّدٍ

“Barangsiapa mendatangi kâhin lalu membenarkan (meyakini) apa yang dikatakannya maka sungguh ia telah mengkufuri apa yang diturunkan kepada Muhammad.” (HR. Ahmad, al-Tirmidzi, Ibnu Majah, al-Darimi)

Mu’awiyah bin al-Hakam berkata: “Dulu kami biasa mendatangi dukun.” Nabi SAW bersabda:

فَلَا تَأْتُوا كَاهِنًا

“Jangan kalian mendatangi kâhin.” (HR. Ahmad & Muslim)

Mengenal ‘Arrâf (Paranormal)[9]

Imam Al-Baghawi menjelaskan bahwa al-‘arrâf (peramal) adalah orang yang mengaku dapat mengetahui hal gaib dengan terlebih dahulu mengetahui informasi tentang sesuatu yang dicuri atau hilang. Beliau pun berkata: “’Arrâf adalah orang yang mengaku tahu dengan menggunakan isyarat-isyarat untuk menunjukkan barang curian atau tempat barang hilang atau semacamnya.”[10]

Dalam kitab Irsyâd al-‘Ibâd didefinisikan:

العِرَافَةُ هي ادّعَاءُ معرفةِ السارق و مَكَانِ الضَالَّةِ

“‘Irâfah adalah mengaku bisa mengetahui pencuri atau tempat sesuatu yang hilang.” [11]

Imam Ahmad berkata: “Al-‘Arâfah adalah bagian dari sihir. Dalam hal ini, tukang sihir dianggap lebih tercela.”

Syaikhul Islam berkata: “’Arrâf ialah sebutan untuk tukang ramal, ahli nujum, peramal nasib dan yang semisalnya, yang mengaku tahu tentang perkara-perkara dengan cara-cara tertentu.”

Imam al-Khiththabi menjelaskan bahwa ‘arrâf adalah orang yang mengaku mengetahui barang yang dicuri, tempat orang hilang atau yang semisalnya. Yakni mengetahui secara gaib hal-hal yang sedang dan telah terjadi.

Istilah ‘arrâf bisa kita temukan dalam sejumlah hadîts, di antaranya:

مَنْ أَتَى عَرَّافًا فَسَأَلَهُ عَنْ شَيْءٍ لَمْ تُقْبَلْ لَهُ صَلَاةٌ أَرْبَعِينَ لَيْلَةً

“Barangsiapa mendatangi ‘arrâf lalu dia bertanya kepadanya tentang suatu hal, maka shalatnya tidak akan diterima selama empat puluh hari.” (HR. Muslim & Ahmad)

Pasal II: Menakar Kasus Indigo & Penerawangan

Berangkat dari definisi mengenai kaahin dan ’arraaf maka jika yang dimaksud anak ‘indigo’ adalah mereka yang bisa menerawang; seringkali melihat penampakan dan bisa meramal nasib, sudah semestinya yang bersangkutan mawas diri karena itu semua adalah tipu daya syaithan, karena karakteristik kaahin atau ’arraaf melekat padanya.

Tak sedikit di antara kaum muslimin yang keliru memandang ‘kemampuan’ penerawangan seseorang, sehingga ia dijadikan rujukan dalam mencari barang hilang atau bahkan hal-hal ghaib –seakan-akan ia memiliki kunci-kunci dunia ghaib- yang merupakan otoritas mutlak Allah. Ada sejumlah syubhat yang mesti dikritisi:

Pertama, ilmu terawang dianggap sebagai kelebihan positif bahkan tak jarang dianggap sebagai karamah bagi pemiliknya selama digunakan untuk membantu orang lain. Padahal terdapat perbedaan mendasar antara karamah dan sihir atau istidraaj. 

Syaikh ‘Abdullah bin Alwi bin Muhammad al-Haddad menjelaskan:

و كل من لم يبالغ فى التمسك بالكتاب و السنة و لم يبذل و سعه فى متابعة الرسول وهو مع ذلك يدعى ان له مكانة من الله تعالى فلا تلتفت اليه ولا تعرج عليه وان طار فى الهواء ومشى على الماء وطويت له المسافات وخرقت له العادات فان ذلك يقع كثيرا للشياطين والسحرة والكهان والعرافين والمنجمين وغيرهم من الضلال

“Barangsiapa tak bersungguh-sungguh berpegang dengan al-Qur’ân dan al-Sunnah, juga tak mengerahkan kemampuan untuk mengetahui jejak Rasul kemudian ia mengaku mempunyai derajat tinggi di hadapan Allâh, maka jangan sampai engkau berpaling kepadanya dan mengikutinya meskipun dia bisa terbang, berjalan di atas air, bisa meringkas jarak perjalanan atau mempunyai keanehan-keanehan lain. Karena peristiwa-peristiwa semacam ini bisa dilakukan syaithân-syaithân, para tukang sihir (dukun), para tukang ramal, orang-orang yang mengetahui keadaan samar (al-‘arrâfîn) dan para ahli perbintangan (al-Munajjimîn). Mereka semua ini termasuk orang-orang sesat.”

Dan dari penjelasan para ulama (saya nukil di buku Jin dan Dukun Hitam Putih Indonesia), ciri-ciri karamah sebagai berikut:

  • Allâh anugerahkan hanya pada orang-orang beriman yang berpegang teguh pada akidah dan syari’at-Nya, timbul dari ketaqwaan pada-Nya. Ini merupakan syarat mutlak yang pertama!
  • Seringkali hadir dalam kondisi benar-benar terdesak, tak ada yang bisa menolong kecuali keajaiban pertolongan dari Allâh,
  • Tidak diupayakan dengan usaha-usaha dan maksud tertentu, tidak bisa diprogram oleh manusia.
  • Tidak bisa dipelajari. Adakah ilmu khusus untuk memiliki karâmah? Tidak!
  • Tidak bisa ditransfer atau diwariskan. Karena ketakwaan pada Allah dari orang yang dianugerahi karâmah tak bisa diwariskan kepada orang lain, tak seperti layaknya mewariskan harta,
  • Tidak bisa diprogramkan untuk dipertontonkan atau didemonstrasikan sekehendak hati (kapan pun mau bisa).
  • Tidak bisa dibatalkan oleh makhluk. Dan kenyataannya, 100% yang bisa menerawang, seringkali melihat penampakan, bisa dibatalkan yakni disembuhkan dengan ruqyah syar’iyyah.

Kedua, ilmu terawang diperoleh dengan cara belajar; misalnya menimpa mereka yang menggeluti ilmu sihir atau ilmu silat yang mengandalkan bantuan jin dan terkadang tiba-tiba hadir (tipu daya syaithan) dengan diawali peristiwa aneh atau ganjil misalnya kehadiran sosok tertentu lewat mimpi.

Sebagai muhâsabah, penulis sampaikan peringatan Syaikh ‘Abd al-Wahhab asy-Sya’rani berikut ini:

و من كُشِف له عمّا يفعلَه الناسُ في قُعُورِ بيوتهِم فهو كَشْفٌ شيطانيٌ يَجِبُ عليه التوبةُ منه فَورا

“Barangsiapa terbuka mata hatinya, sehingga bisa melihat apa yang dikerjakan manusia di dalam rumah-rumah mereka, maka demikian ini termasuk terbukanya hati yang timbul dari syaithân. Yang wajib dilakukan adalah bertaubat seketika itu juga.”[12]

Dalam al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân karya al-Hafizh al-Qurthubi dinyatakan bahwa orang yang suka memprediksikan sesuatu, harus diberi peringatan. Karena mereka bisa merusak akidah orang-orang awam, dikhawatirkan mereka meninggalkan keyakinan mereka yang sesungguhnya.[13]

Ibnu Arabi berkata: “Apabila ada seorang dokter mengatakan bahwa jika puting susu sebelah kanan tersumbat, maka janin yang ada dalam rahim ibu tersebut adalah laki-laki. Bila yang tersumbat kiri, maka janinnya perempuan. Orang yang mengatakan hal ini, tidak dihukumi kafir atau fasik, dengan catatan ciri-ciri tersebut sesuai kebiasaan dan ia tidak memastikannya. Tapi siapapun yang memastikan akan mendapatkan pekerjaan di masa mendatang atau mengabarkan segala sesuatu yang belum terjadi, maka tidak diragukan lagi kekafiran orang tersebut. Adapun mengenai masa gerhana bulan dan matahari, bila ada seseorang yang memastikannya –menurut sebagian ulama- hukumnya hanya diberi peringatan dan tidak sampai dihukumi kafir. Karena hal tersebut bisa diketahui melalui ilmu hisab dan prakiraan rotasi. Sebagaimana yang dikabarkan Allâh, ‘Dan telah Kami tetapkan bagi bulan manzilah-manzilah (QS. Yâsîn [36]: 39).”

Maka penerawangan, yakni menerawang apa yang akan terjadi, atau menerawang mengetahui penyakit tanpa cara-cara yang rasional seperti yg ana temukan dari pengaduan orang2 yang ana ruqyah itu bagian dari al-‘iraafah, orangnya disebut ‘arraaf.

Pasal III: Hukum Memindahkan Penyakit Ke Binatang

Sebelum menjawab pertanyaan ini, timbul sejumlah pertanyaan:

Bagaimana sebenarnya fakta memindahkan penyakit ke binatang? Mengapa mesti ke binatang? Apa alasan ilmiah – medisnya? Kalau seandainya logis, mengapa tidak dipindahkan ke benda? Dan bagaimana caranya memindahkan penyakit ke binatang?

Pertama, kami tidak pernah menemukan dalil-dalil yang mendasari perbuatan ini, tidak baik dalam as-sunnah, atsar sahabat maupun contoh para ulama, tidak pula dalam ilmu medis modern. Dan baru kita temukan di zaman ini ketika menebarnya kebodohan terhadap agama dan tersebarnya kemaksiatan dan syubhat. Lantas bagaimana caranya? Jika menggunakan bantuan jin, maka hal itu sudah cukup dinilai sebagai kebatilan; yakni meminta bantuan jin (al-isti’aanah bil jin).

Kedua, jika faktanya memindahkan penyakit ke binatang hanya trik tipuan saja, yakni sebelumnya binatang (misalnya sapi) disuntik dengan cairan hitam pekat, sehingga ketika disembelih dan ditunjukkan organ tubuhnya berwarna hitam pekat seakan-akan penyakit benar-benar dipindahkan. Maka praktik yang diklaim pengobatan tersebut mengandung unsur penipuan, dan hukumnya jelas haram.

Ketiga, dan seandainya memindahkan penyakit ke binatang bisa dilakukan secara medis, logis dan tidak menggunakan bantuan jin. Maka perlu ditinjau ulang; jika hal itu malah menyakiti binatang dan membuatnya sakit di sisi lain bisa dipindahkan ke materi benda mati misalnya, namun dipindahkan ke binatang dengan motif materi (agar pasien yang tertipu mau membeli binatang yang dikorbankan dari terapis); maka perbuatan tersebut dilarang karena termasuk perbuatan zhalim pada mereka, dan motif materi tak bisa menghalalkan kezhaliman tersebut, padahal kita dituntut untuk berbuat baik (ihsaan) pada binatang, yakni memperlakukan binatang sesuai ketentuan syari’at. Bukankah memasukkan sesuatu yang buruk ke dalam tubuh binatang merupakan kezhaliman? Yakni menempatkan penyakit tidak pada tempatnya, apakah binatang Allah ciptakan untuk dijadikan sebagai tempat menyalurkan penyakit dari tubuh manusia? Karena kata zhalim dalam definisi yang diungkapkan al-’Alim asy-Syaikh ’Atha bin Khalil dalam kitab tafsirnya:

والظلم هو وضع الشيء في غير محله وبناء عليه نفهم معنى الآية (إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ)

“Dan kezhaliman adalah mendudukkan sesuatu tidak pada tempatnya dan kita memahaminya berdasarkan makna ayat: “Sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar.”[14] [15]

Lantas, apakah tidak dikatakan suatu kezhaliman jika penyakit malah dipindahkan ke dalam tubuh binatang semisal binatang ternak yang seringkali dijadikan ‘korban’ dan bukan peruntukannya?

Tentang berbuat ihsaan pada binatang yang juga merupakan makhluk ciptaan Allah. Berikut ini dalil-dalil umum tentang berbuat ihsan pada makhluk-Nya:

عَنْ شَدّادِ بْنِ أَوْسٍ قَالَ: ثِنْتَانِ حَفِظْتُهُمَا عَنْ رَسُوْلِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. قَالَ: “إنّ اللَّهَ كَتَبَ الإِحْسَانَ عَلَىَ كُلِّ شَيْءٍ. فَإذَا قَتَلْتُمْ فَأَحْسِنُوا الْقِتْلَةَ. وَإِذَا ذَبَحْتُمْ فَأَحْسِنُوا الذَّبْحَ. وَلْيُحِدّ أَحَدُكُمْ شَفْرَتَهُ. فَلْيُرِحْ ذَبِيحَتَهُ”. رواه مسلم

Dari Syaddâd bin Aws, dia berkata: “Dua hal yang telah aku ingat-ingat berasal dari Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi Wa Sallam, beliau bersabda, ‘Sesungguhnya Allah Ta’ala telah mewajibkan agar berbuat ihsan (baik) terhadap segala sesuatu. Bila kamu membunuh, maka bunuhlah secara baik dan bila kamu menyembelih, maka sembelihlah secara baik dan hendaklah salah seorang diantara kamu menajamkan mata pisaunya, lantas menenangkan binatang sembelihannya.” (HR.Muslim)

Apa makna al-ihsaan dalam hadits ini? Syaikh Dr. Muhammad Yusri menjelaskan:

الإحسان مصدر (أحسن) إذا أتى بالشيء حسنًا، والمراد تحسين الأعمال المشروعية بإيقاعها على الوجه المرضي على سنة صاحب الشريعة، وهذا يشمل الرفق والإنعام على الغير وعلى النفس.

Al-Ihsaan adalah mashdar dari kata kerja (ahsana) yakni jika seseorang datang kepada sesuatu secara baik-baik, dan maksudnya adalah membaguskan amalan-amalan yang disyari’atkan dengan meletakkannya sesuai peruntukannya berdasarkan tuntunan pemilik hukum syari’ah ini (tuntunan Allah dan Rasul-Nya-pen.), dan hal ini mencakup kebaikan dan kasih sayang kepada orang lain dan diri sendiri.”[16]

Hadits di atas mengandung banyak faidah dan memuat ajaran-ajaran Islam yang agung.

Syaikh Dr. Muhammad Yusri menuliskan dalam kitab syarah-nya atas al-Arba’iin an-Nawawiyyah: “Ini merupakan hadits tentang anjuran kebaikan dan kasih sayang, dan siapa saja yang mentadaburi makna al-ihsaan dalam hadits ini, ia akan menemukan pelajaran yang jelas dari berbagai pelajaran komperhensif agama ini atas berbagai urusan seorang muslim. Maka al-ihsaan merupakan ism jaami’ yang mencakup keseluruhan pintu-pintu kebaikan dan keutamaan, dan ia mutlak baik dalam bentuk perbuatan-perbuatan atau ucapan-ucapan, bahkan mencakup niat dan maksud.”[17]

Syaikh as-Sa’di menyatakan bahwa berbuat kebajikan (ihsan) itu ada dua macam[18]

  1. Berbuat baik dalam beribadah kepada Sang Pencipta, dengan menyembah Allah seolah-olah melihat-Nya. Jika pun tidak melihat-Nya, maka Allah melihatnya. Yakni bersungguh-sungguh dalam menunaikan hak-hak Allah secara ikhlas, dan menyempurnakannya. 
  2. Berbuat baik berkenaan dengan hak-hak makhluk. 

Dalam riwayat lainnya, al-Bukhari dan Muslim meriwayatkan hadits Rasulullah –shallallaahu ‘alaihi wasallam– yang memuji seseorang yang memberi minum seekor anjing yang sedang kehausan:

بَيْنَا رَجُلٌ يَمْشِي فَاشْتَدَّ عَلَيْهِ الْعَطَشُ فَنَزَلَ بِئْرًا فَشَرِبَ مِنْهَا ثُمَّ خَرَجَ فَإِذَا هُوَ بِكَلْبٍ يَلْهَثُ يَأْكُلُ الثَّرَى مِنْ الْعَطَشِ فَقَالَ لَقَدْ بَلَغَ هَذَا مِثْلُ الَّذِي بَلَغَ بِي فَمَلَأَ خُفَّهُ ثُمَّ أَمْسَكَهُ بِفِيهِ ثُمَّ رَقِيَ فَسَقَى الْكَلْبَ فَشَكَرَ اللَّهُ لَهُ فَغَفَرَ لَهُ

“Ada seorang laki-laki yang sedang berjalan lalu dia merasakan kehausan yang sangat sehingga dia turun ke suatu sumur lalu minum dari air sumur tersebut. Ketika dia keluar didapatkannya seekor anjing yang sedang menjulurkan lidahnya menjilat-jilat tanah karena kehausan. Orang itu berkata: “Anjing ini sedang kehausan seperti yang aku alami tadi”. Maka dia (turun kembali ke dalam sumur) dan diisinya sepatunya dengan air dan sambil menggigit sepatunya dengan mulutnya dia naik keatas lalu memberi anjing itu minum. Maka Allah membalas kebaikannya (diterima amalnya) dan Allah pun mengampuninya”.

Para sahabat bertanya:

يَا رَسُولَ اللَّهِ وَإِنَّ لَنَا فِي الْبَهَائِمِ أَجْرًا

“Wahai Rasulullah, apakah kita akan meraih pahala dengan berbuat baik kepada binatang?”

Beliau –shallallaahu ‘alaihi wasallam– menjawab:

فِي كُلِّ كَبِدٍ رَطْبَةٍ أَجْرٌ

“Terhadap setiap makhluk bernyawa diberi pahala.” (HR. Al-Bukhari & Muslim. Dan ini lafazh Al-Bukhari)

Maka dari itu, mengenai memindahkan penyakit ke binatang, meski tujuannya untuk mengobati manusia sesungguhnya tujuan yang baik tak serta merta bisa menghalalkan segala cara, di sisi lain masih banyak cara pengobatan lainnya yang jelas-jelas rasional, dan diperbolehkan oleh syari’ah.

Penulis tegaskan, dalam kaidah syar’iyyah dikatakan,

الغاية لا تبرر الوسيلة

 “Tujuan tidak bisa menghalalkan segala cara”[19]

Pasal IV: Ciri-Ciri Dukun & Kecaman Islam Atasnya

Bagaimana caranya bisa memindahkan suatu materi berupa penyakit kepada materi lainnya berupa binatang atau telur? Tidak kita temukan alasan logis, maka jelas hal itu irrasional. Kemungkinan terbesar bahwa penyakit tersebut dipindahkan dengan tipu muslihat (trik-trik tipuan belaka) atau menggunakan bantuan jin, dan kedua perkara ini sudah jelas kemungkarannya.

Ini di antara ciri dukun dan bantahan Islam atasnya:

Pertama, Meruqyah tapi menggunakan lafazh-lafazh syirik, batil atau campur aduk antara ayat-ayat al-Qur’an dan mantra-mantra syirkiyah misalnya permohonan kepada jin (syaithan).

Contoh Kasus: lafazh jangjawokan atau mantra kunjali asih untuk pelet, keduanya menggunakan kata-kata yang tak diketahui artinya, dan bisa dipastikan mengandung kemungkaran. Atau ada juga yang berbahasa arab yang bisa kita pahami maknanya namun jelas batil karena meminta bantuan jin, misalnya:

أجيبوا يا خدام هذه الأسماء : (……. (الأرقام العربية))

Artinya: “Kabulkanlah wahai jin pelayan nama-nama ini: ……… (angka-angka arab)”

Atau

جلبوا يا خدام هذه الأسماء : (……. (الأرقام العربية))

Artinya: “Wujudkanlah wahai jin pelayan nama-nama ini: ……… (angka-angka arab)”

Islam telah melarang umatnya mempraktikkan ruqyah yang samar, tak diketahui maknanya karena mengandung dugaan adanya kebatilan, terlebih ruqyah yang jelas-jelas mengandung kesyirikan.

Ruqyah jenis ini merupakan ruqyah yang terlarang, termasuk ke dalam larangan dalam hadits dari ‘Auf bin Malik al-Asyja’i –radhiyallaahu ’anhu– yang berkata:

كُنَّا نَرْقِي فِي الْجَاهِلِيَّةِ فَقُلْنَا يَا رَسُولَ اللهِ كَيْفَ تَرَى فِي ذَلِكَ فَقَالَ اعْرِضُوا عَلَيَّ رُقَاكُمْ لَا بَأْسَ بِالرُّقَى مَا لَمْ يَكُنْ فِيهِ شِرْكٌ

“Kami biasa meruqyah pada zaman jahiliyyah, maka kami bertanya,’Wahai Rasûlullâh, bagaimana menurut anda hal itu?’ Beliau r bersabda: ‘Perdengarkan kepadaku ruqyah-ruqyah kalian. Tidak apa-apa meruqyah selama tidak mengandung syirik’.” (HR. Muslim no. 4079)

‘Auf bin Malik al-Asyja’i pun mengaku pernah melakukan ruqyah pada zaman jahiliyyah, dan Rasulullah SAW memperbolehkan ruqyah yang tidak mengandung kesyirikan, ini salah satu dasar yang membedakan antara ruqyah syar’iyyah dan ruqyah syirkiyyah. Keduanya memiliki perbedaan yang amat mendasar, takkan pernah bisa disandingkan apalagi diserupakan.

Dalam hadits lainnya, Rasulullah saw bersabda:

إِنَّ الرُّقَى وَالتَّمَائِمَ وَالتِّوَلَةَ شِرْكٌ

“Sesungguhnya ruqyah-ruqyah, jimat-jimat dan guna-guna itu syirik.” (HR. Muslim no. 4079)

Al-Hafizh al-Nawawi dalam Syarh Shahiih Muslim menjelaskan ketika menggabungkan hadits-hadits yang mengandung larangan dan kebolehan ruqyah:

أن المنهى عنه هو الرقية بكلام الكفار، والرقى المجهولة والتى بغير العربية وما لا يعرف معناها، فهى مذمومة لاحتمال أن معناها كفر أو قريب منه أو مكروه ، وأما الرقى بآيات القرآن والأذكار المعروفة فلا نهى عنها بل هى سنة

“Sesungguhnya larangan terhadap ruqyah berlaku bagi ruqyah yang menggunakan perkataan kufur, dan ruqyah yang tak diketahui artinya misalnya menggunakan bahasa selain bahasa arab atau apapun yang tak diketahui artinya. Ruqyah jenis ini tercela karena kemungkinan mengandung kekufuran atau mendekati kekufuran atau mengandung sesuatu yang dibenci. Adapun ruqyah dengan ayat-ayat al-Qur’an, zikir-zikir yang baik maka tidak terlarang bahkan dihukumi sunnah.”[20]

Syaikh al-Islam mengatakan:

نهى علماء الاسلام  عن الرُّقي التي لا يُفقه معناها ؛ لأنها مَظنَّة الشرك ، وإنْ لَمْ يَعرف الرَّاقي أَنهَّا شرك

“Para ulama islam melarang ruqyah-ruqyah yang tidak dipahami maknanya; karena diduga kuat mengandung kesyirikan, meski si peruqyah tidak mengetahui bahwa ruqyah tersebut syirik.”[21]

Dalam kitab al-Fataawaa al-Hadiitsiyyah (hlm. 88) dikatakan:

وممن صَرَّحَ بتحريم الرقيا بالإسم الأعجَمِيِّ الذي لا يُعْرَفُ معناهُ ابن الرشد المالكي والعز بن عبد السلام الشافعي وجماعة من أئمتنا وغيرِهِم

“Dan diantara ulama yang mengharamkan ruqyah dengan bahasa ‘ajam yang tak diketahui artinya adalah Imam Ibn Rusyd al-Malikiy, Imam ‘Izzuddin bin ‘Abdissalam al-Syafi’iy, satu golongan dari guru-guru kita dan para ulama lainnya.”

Kedua, Bergantung pada bantuan jin-jin yang dijadikan khadam disamping keyakinan bahwa jin-jin ini yang berkuasa atas urusannya.

Contoh Kasus: banyak dukun atau yang semisalnya mengatakan bahwa si jin atau ilmu sihir yang menyerang pasiennya kuat, sehingga ia kewalahan dan menyerah. Menurut kesaksian orang-orang yang datang kepada penulis untuk diruqyah, di antara dukun ini ada yang kabur dari rumah ‘klien’, ada juga yang terang-terangan mengaku tak mampu dan angkat tangan, ada juga yang diserang balik hingga muntah darah. Tapi ketika penulis ruqyah, tak terjadi apa yang dialami dukun alhamdulillaah wa bi idznillaah. Kenapa itu semua terjadi? Bukankah logis saja jika para dukun mengandalkan bantuan jin, dan jin yang ia jadikan khadam tak lebih ‘kuat’ dari jin yang mengganggu, ibarat bodyguard yang dikalahkan preman pengganggu. Namun, para syaithan ini bisa saja bekerja sama untuk tidak mengganggu si sakit beberapa lama untuk meyakinkannya pada pengobatan si dukun dan menyiarkannya pada orang lain sehingga si dukun ini kian terkenal. Sehingga tercapailah tujuan batil para dukun dan syaithan; dukun meraih nilai materi dan syaithan berhasil menyesatkan bani Adam.

Keharaman meminta bantuan jin, sudah penulis jelaskan pada modul tentang alam jin. Pada kasus seperti ini, perhatikan pula hal-hal berikut:

Pertama, keyakinan bahwa makhluk yang berkuasa memberikan manfaat dan madharat sudah dibantah ayat-ayat al-Qur’ân al-Karîm.

وَاتَّخَذُوا مِنْ دُونِهِ آلِهَةً لَا يَخْلُقُونَ شَيْئًا وَهُمْ يُخْلَقُونَ وَلَا يَمْلِكُونَ لِأَنْفُسِهِمْ ضَرًّا وَلَا نَفْعًا وَلَا يَمْلِكُونَ مَوْتًا وَلَا حَيَاةً وَلَا نُشُورًا

“Kemudian mereka mengambil tuhan-tuhan selain-Nya (untuk disembah), yang tuhan-tuhan itu tidak menciptakan apapun, bahkan mereka sendiri diciptakan dan tidak kuasa untuk (menolak) sesuatu kemudharatan dari dirinya dan tidak (pula untuk mengambil) suatu kemanfaatan pun dan (juga) tidak kuasa mematikan, menghidupkan dan tidak (pula) membangkitkan.” (QS. al-Furqân [25]: 3)

Dan keyakinan tersebut merupakan bagian dari tipu daya syaithan. Seorang muslim meyakini bahwa tipu daya syaithân terlaknat dinyatakan Allâh adalah “lemah.”

إِنَّ كَيْدَ الشَّيْطَانِ كَانَ ضَعِيفًا

“.. sesungguhnya tipu daya syaithân itu lemah.” (QS. al-Nisâ’ [4]: 76)

Kedua, bertawakal dan bergantung kepada jin, bukan kepada Allah SWT suatu kebatilan dalam islam! Tawakkal merupakan buah keimanan; suatu keyakinan qalbu bahwa Allâh satu-satunya Zat Yang Maha Kuasa atas segala-galanya. Dan Islam menuntut tawakal seorang hamba, hanya wajib ditujukan kepada Allâh dengan perintah yang mutlak, tanpa syarat dan tanpa kecuali. Hal itu dinyatakan secara tegas oleh dalil-dalil yang qath’iy.

فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ ۚ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِينَ

“Apabila kamu mempunyai ‘azzam, bertawakkallah kepada Allâh. Sesungguhnya Allâh mencintai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.” (QS. Âli ‘Imrân [3]: 159)

اللَّهُ لَا إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ ۚ وَعَلَى اللَّهِ فَلْيَتَوَكَّلِ الْمُؤْمِنُونَ

(Dia-lah) Allâh tidak ada Tuhan selain Dia. Dan hendaklah orang-orang mukmin Bertawakal kepada Allâh saja.” (QS. at-Taghâbun [64]: 13)

Imam al-Alusi mendefinisikan tawakkal sebagai sikap menampakkan kelemahan dan ketergantungan pada yang lain, serta merasa cukup hanya kepadanya dalam melakukan aktivitas yang diperlukannya.[22]

Ketawakalan pada Allâh disamping keta’atan pada-Nya merupakan senjata ampuh mengalahkan syaithân:

إِنَّ عِبَادِي لَيْسَ لَكَ عَلَيْهِمْ سُلْطَانٌ إِلَّا مَنِ اتَّبَعَكَ مِنَ الْغَاوِينَ

“Sesungguhnya hamba-hamba-Ku tidak ada kekuasaan bagimu terhadap mereka, kecuali orang-orang yang mengikut kamu, yaitu orang-orang yang sesat.” (QS. al-Hijr [15]: 42)

Tidak dipungkiri bahwa kesalehan seseorang memiliki pengaruh dan manfaat tersendiri dalam praktik ruqyah. Allâh berfirman:

قَالَ إِنَّمَا يَتَقَبَّلُ اللَّهُ مِنَ الْمُتَّقِينَ

“Allâh hanya menerima dari orang-orang yang bertaqwa” (QS. al-Mâ’idah [5]: 27)

Ketiga, Menggunakan sarana-sarana yang aneh dan tidak ilmiah misalnya air namun disyaratkan dengan syarat-syarat tertentu yang ganjil.

Contoh Kasus: Ada seorang dukun di sukabumi yang menjampi air, dan mensyaratkan tidak boleh diminum melebihi batas tertentu, jika melanggar pantangan ini akan menimbulkan efek panas pada orang yang meminumnya. Di sisi lain, air itu hanya air kemasan biasa yang dibeli di warung, dan jika diminum tidak menimbulkan efek panas.

            Pertanyaan balik dan peringatan untuk dukun seperti ini:

  1. Mengapa air tersebut mesti dibatasi dan bisa menimbulkan efek panas pada tubuh padahal hanya air biasa? Adakah alasan ilmiah yang mendasarinya? Jika tak ada alasan ilmiah, apakah lebih pantas dinyatakan sebagai pantrangan mistis belaka? Dalam banyak kasus, syaithan banyak melarang apa yang diperbolehkan islam atau melanggar perintah dan larangan Allah dan Rasul-Nya, sehingga adanya pengorbanan dari si pemuja syaithan demi mengharapkan keridhaan makhluk terlaknat ini
  2. Bukankah air yang dibacakan ruqyah syar’iyyah bagus untuk kesehatan tubuh? Apakah karena engkau membacakan padanya bacaan ruqyah syirikiyyah demi mengemis bantuan kepada syaithan sehingga dibatasi dengan batasan tak ilmiah dan cenderung mistis? Na’uudzubillaahi min dzaalik!

Para pelaku ini sudah semestinya ingat, bahwa Allah SWT tak lantas membiarkan mereka tanpa adanya penghisaban!

وَمَنْ يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ شَرًّا يَرَهُ

“Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan sebesar dzarrah pun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya pula.” (QS. al-Zalzalah [99]: 8)

Keempat, Dilakukan dengan praktik yang mengandung kemaksiatan, kemungkaran.

Contoh Kasus: dukun pria dan ‘klien’ perempuannya berdua-duaan (khalwat), dan melarang mahram atau suaminya untuk masuk ruangan khusus praktiknya, kasus dukun cabul misalnya. Atau disamping ruqyahnya yang batil, si dukun pun meminta berbagai persyaratan ritual atau sesaji berupa binatang sembelihan yang disembelih untuk selain-Nya atau meminta pasien wanita memperlihatkan auratnya tanpa ada kebutuhan darurat atasnya. Keharaman perkara-perkara ini sudah jelas!

Kemaksiatan itu sendiri termasuk syarat dari syaithan golongan jin yang dimintai bantuan. Mengapa? Karena syaithân tak sudi menjadi pembantu manusia hingga manusia melakukan kekufuran pada Allâh. Manusia menggunakan jampi-jampi yang mereka ucapkan dan jimat-jimat yang mereka tuliskan yang mengandung kesyirikan dan kekafiran yang sangat jelas. Terkadang mereka melantunkan beberapa ayat al-Qur’ân sebagai tipuan, sehingga orang-orang yang tidak tahu akan menganggap benar apa yang dilakukan para dukun.

هَلْ أُنَبِّئُكُمْ عَلَىٰ مَنْ تَنَزَّلُ الشَّيَاطِينُ (٢٢١) تَنَزَّلُ عَلَىٰ كُلِّ أَفَّاكٍ أَثِيمٍ (٢٢٢) يُلْقُونَ السَّمْعَ وَأَكْثَرُهُمْ كَاذِبُونَ (٢٢٣)

“Apakah akan Aku beritakan kepadamu, kepada siapa syaithân- syaithân itu turun? Mereka turun kepada tiap-tiap pendusta lagi yang banyak dosa, mereka menghadapkan pendengaran (kepada syaithân) itu, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang pendusta.” (QS. Asy-Syu’arâ [26]: 221-223)

Syaikh Dr. Umar Sulaiman al-Asyqar menegaskan bahwa tukang sihir (termasuk dukun) tak dapat mengembangkan sihirnya apabila tak mengabdikan diri kepada syaithân. Oleh karena itu, tukang sihir mengotori dirinya dengan perbuatan keji dan rusak serta merasa nyaman dalam melakukan keburukan.[23]

Pasal IV: Hukum Berkonsultasi atau Berobat Ke Dukun & Paranormal            

Setelah kita menemukan bahwa pengobatan tersebut merupakan pengobatan dukun atau paranormal berdasarkan penjelasan-penjelasan rinci di atas, maka wajib dipahami bahwa syari’at Islam melarang keras kaum muslimin berkonsultasi atau meminta pengobatan kepada para dukun dan paranormal, berdasarkan dalil-dalil as-sunnah ash-shahiihah yang mengandung larangan tegas, di antaranya:

مَنْ أَتَى عَرَّافًا فَسَأَلَهُ عَنْ شَيْءٍ لَمْ تُقْبَلْ لَهُ صَلَاةٌ أَرْبَعِينَ لَيْلَةً

“Barangsiapa mendatangi ‘arrâf lalu dia bertanya kepadanya tentang suatu hal, maka shalatnya tidak akan diterima selama empat puluh malam.” (HR. Muslim no. 4137 & Ahmad no. 22138)

مَنْ أَتَى كَاهِنًا فَصَدَّقَهُ بِمَا يَقُولُ فَقَدْ كَفَرَ بِمَا أُنْزِلَ عَلَى مُحَمَّدٍ

“Barangsiapa mendatangi kâhin lalu membenarkan (meyakini) apa yang dikatakannya maka sungguh ia telah kufur terhadap apa yang diturunkan kepada Muhammad.” (HR. Ahmad, al-Tirmidzi, Ibnu Majah, al-Darimi)

Hadits dari Mu’awiyah bin Hakam al-Sulami, ia berkata:

يَا رَسُولَ اللهِ إِنِّي حَدِيثُ عَهْدٍ بِجَاهِلِيَّةٍ وَقَدْ جَاءَ اللهُ بِالْإِسْلَامِ وَإِنَّ مِنَّا رِجَالًا يَأْتُونَ الْكُهَّانَ قَالَ فَلَا تَأْتِهِمْ قَالَ وَمِنَّا رِجَالٌ يَتَطَيَّرُونَ قَالَ ذَاكَ شَيْءٌ يَجِدُونَهُ فِي صُدُورِهِمْ فَلَا يَصُدَّنَّهُمْ

“Wahai Rasûlullâh, sesungguhnya aku dekat dengan masa jahiliyyah. Dan sungguh Allâh telah mendatangkan agama Islam, sedangkan di antara kita ada beberapa laki-laki yang mendatangi dukun.” Beliau bersabda, “Janganlah kamu mendatangi mereka.” Dia berkata, ”Dan di antara kita ada beberapa laki-laki yang bertathayyur (berfirasat sial).” Beliau bersabda, “Itu adalah rasa was-was yang mereka dapatkan dalam dada mereka yang seringkali menghalangi mereka (untuk melakukan sesuatu), maka janganlah menghalang-halangi mereka.[24] (HR. Muslim no. 836)

Hadits dari Mu’awiyah bin al-Hakam –radhiyallaahu ‘anhu-:

قَالُوا وَمِنَّا رِجَالٌ يَأْتُونَ الْكُهَّانَ قَالَ فَلَا تَأْتُوا كَاهِنًا

“Aku berkata: Dulu kami biasa mendatangi dukun. Nabi SAW bersabda: “Janganlah kalian mendatangi dukun.” (HR. Ahmad & Muslim. Lafal Ahmad)

Rasûlullâh SAW pun menyebut pengobatan dukun sebagai amalan syaithân. Dari Jabir bin ‘Abdillah berkata, Nabi SAW ditanya tentang pengobatan dukun (mantra ala dukun) maka beliau bersabda:

مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ

“Itu adalah perbuatan syaithân.” (HR. Ahmad no. 13621)

Dalil-dalil di atas secara tegas mengandung larangan tegas disertai banyak petunjuk (qaraa’in) yang menunjukkan bahwa tuntutan untuk meninggalkan perbuatan tersebut adalah tuntutan tegas (thalabut-tarki jaaziman); maka jelas Islam melarang umatnya datang berobat atau berkonsultasi kepada dukun atau paranormal (’arraaf).

Di sisi lain, berlaku pula dalil kewajiban mengikuti perintah Rasulullaah SAW. Dari Abu Hurairah r.a. ia berkata: “Saya mendengar Rasulullah SAW bersabda:

مانهيتكم عنه فاجتنبوه وما أمرتكم به فأتوا منه ما استطعتم فإنما أهلك الذين من قبلكم كثرة مسائلهم واختلافهم على أنبيائهم

“Dan apa-apa yang aku larang pada kalian maka jauhilah dan apa-apa yang aku perintahkan maka laksanakanlah sesuai dengan kemampuan kalian. Karena sesungguhnya yang menyebabkan kebinasaan orang-orang sebelum kalian adalah banyak membuat masalah dan menyelisihi para nabi yang diutus pada mereka.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Kaitannya dengan perintah Rasulullah “ijtanibuu”, penulis nukil pernyataan Imam ar-Raghib al-Ashfahani ketika menjelaskan lafazh (جنب) menuturkan:

}اجتنبوا الطاغوت{ عبارة عن تركهم إياه، }فاجتنبوه لعلكم تفلحون{ وذلك أبلغ من قولهم: اتركوه.

“Jauhilah oleh kalian thaghut-thagut itu”[25] makna kandungannya yakni tinggalkan lah oleh kalian hal itu, dalam ayat lain “Maka jauhilah perbuatan itu agar kalian menjadi orang-orang yang memperoleh keberuntungan”[26], dan lafazh perintah ini (“ijtanibuu”) maknanya lebih kuat daripada kata perintah “utrukuu”.[27]

Yakni memiliki makna yang hampir sama “jauhilah” dan “tinggalkanlah” namun dalam tinjauan bahasa arab, kata “ijtanib” lebih mendalam dan kuat maknanya daripada kata “utruk”. Dan Rasulullah SAW memilih kata “ijtanib” ketika memerintahkan kita untuk menjauhi larangannya.

Syaikh Ahmad Ramadhan: “Kami peringatkan kepada saudara-saudara yang menjadi pasien dan juga keluarganya, jangan pernah berobat kepada tukang ramal atau dukun atau pergi ke gereja-gereja, lalu duduk di hadapan para rahib dan pendeta, karena hal itu merupakan perbuatan dosa besar yang justru akan memperparah penyakit dan memudahkan syaithân lebih sering merasuki tubuhnya. Kami memohon kesehatan kepada Allâh bagi diri kami, juga anda semuanya”.[28]

Syaikh ‘Abd al-’Azhim dalam salah satu kitabnya memaparkan: “Demikian juga, orang yang sakit dilarang pergi ke dukun untuk menanyakan penyakitnya…. Ini karena benarnya tujuan tidak dapat membenarkan cara yang ditempuh.”

Penulis tegaskan, dalam kaidah syar’iyyah dikatakan,

الغاية لا تبرر الوسيلة

 “Tujuan tidak bisa menghalalkan segala cara”[29]

Syaikh ‘Abdul ‘Azhim pun menegaskan: “Sebagian orang menganggap bahwa perbuatan ini termasuk bentuk penyembuhan dengan sesuatu yang haram. (Anggapan) ini salah besar. Yang benar adalah bahwasanya Allâh tidak menjadikan kesembuhan di dalam sesuatu yang diharamkan. Pendapat diperbolehkannya berobat dengan menggunakan sesuatu yang haram itu seperti bangkai dan khamr, dalil ini tidak bisa dipakai sebagai dasar (diperbolehkannya) sembelihan untuk jin. Masalahnya, mengenai pengobatan dengan menggunakan sesuatu yang haram, terdapat perbedaan pendapat di antara ulama. Adapun mengenai pengobatan dengan menggunakan kejelekan dan kekufuran, tidak ada perbedaan lagi dalam masalah keharamannya. Semuanya (para ulama) sepakat bahwa hal itu tidak boleh.”

Ironisnya, kemungkaran yang dikatakan Allâh kezhaliman terbesar seperti di atas, bukan hal yang baru dalam kancah perpolitikan Indonesia. Menurut paranormal Permadi, kekuatan supranatural (baca: perdukunan) sudah jadi langganan lurah hingga kepala negara.

Al-Hafizh al-Qurthubi berkata: “Pada masa jahiliyyah, mereka mendatangi tukang ramal untuk meramal tentang kejadian dan hukum tertentu, dan memakai pendapat tukang ramal itu. Ramalan terputus dengan diutusnya Rasûlullâh, namun masih ada yang menyerupai mereka dan terdapat larangan mendatangi mereka. Karenanya, tak boleh mendatangi dan membenarkan mereka.”[30]

Penulis tegaskan, minimal ada 3 kerugian berobat ke dukun (kâhin) atau paranormal (‘arrâf);

Pertama, dosa bertambah [31]. Padahal kesehatan termasuk rizki dari Allâh, dan Rasûlullâh SAW diriwayatkan bersabda,

إِنَّ الرَّجُلَ لَيُحْرَمُ الرِّزْقَ بِالذَّنْبِ يُصِيبُهُ

“Sesungguhnya seseorang akan ditahan rizkinya karena dosa yang dia lakukan.”

(HR. Ahmad, Tirmidzi dan Ibn Majah)[32]

Kedua, penyakit potensial kian parah. Apabila dosa bertambah, maka potensial memperlebar pintu gangguan syaithân, artinya penyakit bisa kian parah. Atau bisa jadi awalnya hanya jin A kiriman dukun A yang mengganggu, bertambah gangguan dari jin B khadam dukun B yang lebih kuat dari jin A.

Atau bisa jadi sembuh tapi kesembuhan yang semu, sementara. Karena bukan hal yang mustahil, itu semua permainan para  jin, kompromi di antara mereka untuk menaikkan pamor dukun sang ‘rasul’ syaithân di mata pasiennya, sehingga memandang hebat si dukun dan mensyi’arkan pada orang lain. Ini adalah bencana! Namun, satu hal yang pasti, berobat ke dukun merupakan ikhtiar yang dimurkai Allâh! Mana yang Anda pilih? Jalan Islam, ikhtiar yang diridhai Allâh semisal ruqyah syar’iyyah? Atau jalan syaithân, ikhtiar yang dimurkai Allâh? Ingat bahwa kita wajib meyakini kesembuhan itu dari Allâh!

Ketiga, diperas dukun. Sejumlah kasus temuan penulis, banyak pasien ruqyah yang sebelumnya berobat ke dukun, malah diperas ratusan ribu, hingga puluhan juta rupiah oleh dukun. Misalnya ada seorang perempuan muda paramedis di Tangerang yang divonis dukun sakit jantung dililit kain kafan, mesti diobati dengan mahar terapi pertama [33] seharga Rp. 10 juta. Atau kasus keluarga yang dituntut dukun mesti membeli apel jin plus terapi mengusir jin dari rumah menguras 10 juta rupiah, dan lain sebagainya.

Syaikh ‘Abd al-’Azhim mengatakan: “Atas dasar itu, merebaknya ‘orang pintar’ takkan dapat mengurangi gangguan syaithân tersebut. Gangguan itu justru bertambah banyak manakala si ‘orang pintar’ masih mengharap manfaat dari jin dan memiliki rasa ketergantungan pada jin lebih besar daripada ketergantungannya pada Allâh… Bahkan bila orang yang mengalami gangguan pada akidahnya (misalnya akidah dukun dan paranormal yang dikotori syirik) malah (berusaha) menyembuhkan orang yang terkena gangguan pada badannya, maka kian merebaklah gangguan-gangguan.”

Dan sungguh! Terbukti sistem Demokrasi-Kapitalisme yang diterapkan saat ini, kian menyuburkan perdukunan! Maka sudah semestinya kaum muslimin mencampakkan sistem tersebut dan bersegera memperjuangkan tegaknya al-Khilaafah al-Islaamiyyah yang akan menegakkan hukum syari’ah kaaffah.

 Wallaahu a’lam bish-shawaab

Akhuukum Fillaah

Irfan Abu Naveed

Selesai bi fadhlillaahi ta’aalaa di Maktab Kulliyyatusy-Syarii’ah

23:55 WIB

 

 


[1] Dr. Mahmud al-Khalidi menyandarkan kaidah tersebut kepada ulama madzhab Hanafi, Ibn Najim. Di sisi lain, Ibn Najim mengutip pandangan penulis kitab al-Mukhtâr bahwa tidak ada hukum sebelum turunnya syari’at. Imam al-Suyuthi pun memiliki pandangan serupa, bahkan beliau memaparkan argumentasi pengambilan kaidah hukum asal perbuatan ini secara lebih jelas. Lihat buku Islam Politik Spiritual, hlm. 68 pada bagian catatan kakinya hlm. 287. Adapun Imam Taqiyuddin al-Nabhani menjelaskan dalam kitab al-Syakhshiyyah al-Islâmiyyah, juz. III, hlm. 19 bahwa hukum asal perbuatan (mukallaf) adalah terikat dengan hukum syara’.

[2] Lihat: Mafâhîm Hizb al-Tahrîr, Imam Taqiyuddin al-Nabhani.

[3] Lihat: Rawâ’i al-Bayân (Tafsîr Aayât al-Ahkâm), Syaikh Prof. ‘Ali ‘Ashabuniy (Juz. I).

[4] Lihat: al-Dîmuqrâthiyyah wa Akhawâtuhâ, Abu Sayf Jalil ibn Ibrahim al-‘Abidiy al-‘Iraqiy.

[5] Lihat: Kamus Lisân al- Arab: 309-310.

[6] Ibid. Lihat pula: Mu’jam Lughatil Fuqahâ’.

[7] Lihat: Irsyâd al-‘Ibâd, hlm. 109.

[8] Lihat: Ruuh al-Ma’aaniy fii Tafsiir al-Qur’aan al-‘Azhiim wa al-Sab’u al-Matsaaniy, Imam Syihabuddin Mahmud ibn ‘Abdillaah al-Husayniy al-Alusiy.

[9] Imam al-Khiththabi berkata: “Tukang ramal adalah kaum yang memiliki indera tajam, jiwa yang bengis dan perangai yang kejam. Syaithan merayu mereka karena sesuai dengan mereka. Ia membantu mereka.”

[10] Lihat: Kitâb al-Tawhîd.

[11] Lihat: Irsyâd al-‘Ibâd, hlm. 109.

[12] Lihat: al-Minah al-Saniyah, Hlm. 18.

[13] Lihat: al-Jâmi’ li Ahkâmil Qurân, Dar Al-Kitab Al-‘Arabi (7/2).

[14] Lihat: QS. Luqman [31]: 13

[15] Lihat: At-Taysiir fii Ushuul at-Tafsiir.

[16] Lihat: Dr. Muhammad Yusri. 1430 H. Al-Jaami’ fii Syarh al-Arba’iin an-Nawawiyyah (I/638). Cet. III. Kairo: Dar al-Yusr.

[17] Lihat: Dr. Muhammad Yusri. 1430 H. Al-Jaami’ fii Syarh al-Arba’iin an-Nawawiyyah (I/639). Cet. III. Kairo: Dar al-Yusr.

[19] Lihat: al-Da’wah ilaa al-Islaam, hlm. 288, karya Ahmad al-Mahmud.

[20] Lihat: Syarh Shahiih Muslim (14/196)

[21] Lihat: Iidhah al-Dalaalah fii ‘Umuum al-Risaalah, al-Rasaail al-Muniiriyyah (2/103).

[22] Lihat: Rûh al-Ma’âni, juz. IV, hlm. 107.

[23] Lihat: Âlam al-Sihri wa al-Sya’wadzah.

[24] Ibnu Shabbah berkata dengan redaksi, “Maka jangan menghalangi kalian”. (HR. Muslim)

[25] QS. Al-Zumar [39]: 17

[26] QS. Al-Maa’idah [5]: 90.

[27] Lihat: Mufradât Alfâzh al-Qur’ân al-Karîm, Imam al-Raghib al-Ashfahani

[28] Dalam ‘Amaliyyah Ikhraj al-Jinni wa Ibthâl al-Sihr.

[29] Lihat: al-Da’wah ilaa al-Islaam, hlm. 288, karya Ahmad al-Mahmud.

[30] Lihat: Kitab Fath al-Bârî, juz. 10, hlm. 219

[31] Berdasarkan dalil-dalil syara’ yang mengharamkan berobat ke dukun.

[32] Lihat: Sunan Ibnu Majah, Musnad Ahmad, Sunan al-Tirmidzi atau kitab Mu’jam al-Mufahras li Alfâzh al-Hadîts.

[33]  Ada 9 terapi, dengan mahar yang berbeda tiap terapi. Si dukun memvonis korbannya ini akan mati 9 bulan kemudian apabila tak diobati. Ini adalah tipuan keji!

Jawaban yang Membungkam Stigma Negatif Atas Perjuangan Menegakkan Al-Khilafah Al-Islaamiyyah

1014420_718029651555080_920594220_n

الحمدلله والصلاة والسلام على رسول الله وبعد

Irfan Abu Naveed

Staff di sebuah Pesantren-Kulliyyatusy-Syarii’ah

Berangkat dari keprihatinan atas sebuah pemberitaan yang menstigma negatif perjuangan menegakkan al-Khilaafah al-Islaamiyyah, saya susun ini sebagai bantahan atas pernyataan yang dinisbatkan kepada MMD: (Link Berita)

Lihat pula:

Tanggapan Ust. H M Ismail Yusanto

Fokus Benarkah Khilafah Ancaman Bagi Bangsa Indonesia:

Ini Tanggapan Saya Sebagai Seorang Muslim yang Mencintai Ilmu dan Para Ulama:

Pertama, Qawl al-‘Allamah Thahir bin Asyur:

Selengkapnya: Hanya Orang Aneh yang Tidak Mewajibkan al-Khilafah

Al-’Allamah asy-Syaikh Thahir bin Asyur mengatakan dalam Ushûl an-Nidzâm al-Ijtimâ’iy fi al-Islâm: “Menegakkan pemerintahan yang sifatnya umum dan khusus bagi kaum Muslim merupakan perkara pokok (ushul) di antara pokok-pokok syariah Islam. Dan hal itu ditetapkan melalui banyak dalil baik dari al-Qur’an maupun as-Sunnah hingga mencapai katagori mutawatir maknawi. Sehingga inilah yang mendorong para sahabat setelah wafatnya Nabi Saw segera mengadakan pertemuan dan perundingan untuk mengangkat pengganti Rasulullah SAW dalam mengurusi urusan umat Islam. Di mana kaum Muhajirin dan Anshar telah berijma’ saat di Syaqifah untuk mengangkat Abu Bakar ash-Shiddiq menggantikan Rasulullah SAW untuk memimpin kaum Muslim. Dan setelah itu, kaum Muslim tidak ada perbedaan pendapat tentang wajibnya mengangkat khalifah, kecuali orang-orang aneh dan nyeleneh yang tidak perlu dihiraukan dari beberapa orang Khawarij dan Mu’tazilah yang menolak adanya ijma’, mengingat mereka itu buta dan tuli.”

Ia pun menuturkan: “Kedudukan Khilafah dalam pokok-pokok syariah oleh ulama ushuluddin  dimasukkan dalam masalah pokok-pokok agama, seperti bab imamah. Imam al-Haramain (Abu Ma’ali al-Juwaini) berkata dalam al-Irsyâd: “Pembicaraan tentang imamah tidak termasuk pokok-pokok akidah (keyakinan), namun bahayanya bagi orang yang tergelincir di dalamnya melebihi bahayanya bagi orang yang tidak mengerti pokok-pokok agama.”

Kedua, Qawl Syaikh Hasan al-Banna (Ini Bantahan Atas Oknum Akun yang Mengesankan Diri Simpatisan IM Namun Menukil Pemberitaan di Atas):

Link: (Artikel Lengkap Arab & Terjemah Pernyataan Hasan al-Banna)

Apa kata Syaikh Hasan al-Banna sendiri? Ia menuturkan: “Dan barangkali di antara kesempurnaan pembahasan ini; yakni memerhatikan posisi IM terhadap al-Khilafah dan apa yang menyampaikan kepada tegaknya al-Khilafah, dan penjelasan tentang ini sesungguhnya IM meyakini bahwa al-Khilafah adalah simbol kesatuan umat, dan gambaran atas keterikatan di antara umat islam. Dan al-Khilafah adalah syi’ar Islam dimana kaum muslimin wajib memerhatikan urusan ini dan memusatkan perhatian untuk menegakkannya, dan al-Khalifah adalah tempat (tegaknya) banyak hal dari hukum-hukum dalam Din Allah. Oleh karena itu, para sahabat –radhiyallaahu ‘anhum- mendahulukan perhatian atasnya daripada mengurusi pemakaman jenazah Rasulullah SAW dan memakamkannya hingga mereka menyelesaikan kepentingan tersebut (pengangkatan Khalifah) dan tentram dengan hasilnya.”

“Dan hadits-hadits yang menyebutkan kewajiban mengangkat al-Imam (Khalifah), dan penjelasan atas hukum-hukum al-Imaamah (kepemimpinan) dan perincian yang berkaitan dengannya, tidak meninggalkan celah keraguan terhadap kewajiban kaum muslimin untuk memusatkan perhatiannya dalam urusan penegakkan Kekhilafahan mereka semenjak diubah manhajnya kemudian dihancurkan keberadaannya hingga sekarang (oleh musuh-musuh Allah dan Rasul-Nya-pen.).”

Ketiga, Aqwaal Para Ulama Syafi’iyyah & Lainnya:

Artikel lengkap BAHAYA DEMOKRASI SISTEM KUFUR: Penjelasan Para Ulama Atas Kesesatan dan Bahaya Demokrasi

A.       Wajib Menerapkan Hukum Syari’ah

Riba haram di Darul Islam, maka haram pula di Darul Kufr. Faktanya di NKRI di bawah naungan Demokrasi riba malah dihalalkan, dan banyak kemaksiatan lainnya yang merajalela, lantas sebenarnya yang berbahaya DEMOKRASI sistem kufur atau AL-KHILAAFAH warisan Rasulullaah -shallallaahu ‘alayhi wa sallam-?? Hingga perzinaan pun dilokalisasi di negeri ini. NKRI harga mati atau mati harga??

Al-‘Allamah asy-Syafi’i menegaskan:

أن الحلال في دار الإسلام حلال في دار الكفر، والحرام في دار الإسلام حرام في دار الكفر

“Bahwa yang halal di dalam Dâr al-Islâm (Negara Islam), halal pula di dalam Dâr al-Kufr, bahwa yang haram di Dâr al-Islâm juga haram di Dâr al-Kufr.” (Lihat: al-Umm (IV/160) karya Imam asy-Syafi’i)

B.            Jawaban II: Pentingnya Siyaasah Syar’iyyah (Pernyataan yang Dinisbatkan Pada Asy-Syafi’i):

Dalam qawl yang dinisbatkan pada al-‘Allamah al-Imam asy-Syafi’i, diungkapkan pentingnya aspek syar’i dalam pengaturan kehidupan. Dinyatakan bahwa:

لا سياسة إلا ما وافق الشرع

“Tidak ada siyaasah (politik) kecuali apa yang sejalan dengan hukum syara’ (as-siyaasah asy-syar’iyyah).” (Lihat: Ahmad bin ‘Abdul Halim bin ‘Abdussalam bin Taymiyyah. As-Siyaasah Asy-Syar’iyyah fii Ishlaahi Ar-Raa’iy war-Ra’iyyah. Muhaqqiq: Ali bin Muhammad Al-Imran. Cet. I. Makkah: Dar ‘Alam al-Fawaa’id.)

Ini sekaligus menunjukkan penolakan asy-Syafi’i atas konsep sekularisme yang menafikan peranan agama dalam pengaturan urusan kehidupan. Maka jelas rancu jika ada yang mengaku penganut madzhab asy-Syafi’i namun mendukung konsep as-siyaasah duuna asy-syarii’ah (politik tanpa syari’ah islamiyyah (sekularisme)). Islam adalah diin yang mengatur segala aspek kehidupan manusia termasuk sistem kehidupan dalam konteks bernegara.

C.           Jawaban III: Wajibnya Al-Imaamah Bi Ma’na Al-Khilaafah & Pentingnya Kedudukannya Di Tengah-Tengah Umat

Al-Hafizh al-Imam al-Nawawi menuturkan pentingnya kedudukan Imam yang menegakkan asy-Syarii’ah al-Islaamiyyah (Khalifah):

لا بد للأمة من إمام يقيم الدين وينصر السنة وينتصف للمظلومين ويستوفي الحقوق ويضعها مواضعها

“Adalah suatu keharusan bagi umat adanya imam yang menegakkan agama dan yang menolong sunnah serta yang memberikan hak bagi orang yang didzalimi serta menunaikan hak dan menempatkan hal tersebut pada tempatnya.” (Lihat: Rawdhatuth Thâlibîn wa Umdatul Muftin (II/433), Al-Hafidz Abu Zakaria Yahya bin Syaraf Al-Nawawi.)

Dalam banyak kitab, para ulama mu’tabar banyak menggunakan istilah Al-Imaamah yang semakna dengan al-Khilafah. Apa maknanya? Al-Hafizh al-Imam Abu Zakariya bin Syarf al-Nawawi (Ulama Sunni) menjelaskan:

والإمامة والخلافة وإمارة المؤمنين مترادفة، والمراد بها الرياسة العامة في شؤون الدين والدنيا

“Imamah, Khilafah, dan Imaratul Mukminin adalah sinonim. Yang dimaksud dengannya adalah kepemimpinan umum dalam urusan-urusan agama dan dunia.” (Lihat: Al-Majmuu’ Syarh Al-Muhadzdzab, juz 19, hlm 191)

Dengan kata lain, bisa kita pahami pula dari pernyataan al-Hafizh al-Nawawi bahwa negara sekular tidak termasuk dalam makna al-Imamah ini.

Imam Al-Mawardi mendefinisikan:

الإمامة لخلافة النبوة في حراسة الدين وسياسة الدنيا به

“Al-Imamah adalah pengganti kenabian dalam menjaga agama dan mengatur urusan dunia.”

Qâdhi Abû Ya’la al-Farrâ’ mengungkapkan: “Imam diwajibkan untuk mengurus urusan umat ini, yakni sepuluh urusan: Pertama, menjaga agama berkenaan dengan ushûl yang disepakati umat terdahulu. Jika orang yang bersekongkol mempunyai kesalahan terhadapnya, dia (imam) bertanggungjawab untuk menerangkan hujjah dan menyampaikan kebenaran terhadapnya. Dia juga yang bertanggungjawab untuk melaksanakan hak dan sanksi, agar agama ini tetap terjaga dan terpelihara dari kesalahan. Dan umat ini akan tetap terhindar dari ketergelinciran.” ( Lihat: Al-Ahkâm Al-Sulthâniyyah (hlm. 27)Imam al-Mawardi)

Ketika Imam Fakhruddin Al-Razi, menjelaskan firman-Nya pada Surah Al-Ma’idah ayat 38, beliau menegaskan, “… para Mutakallimin ber-hujjah dengan ayat ini bahwa wajib atas umat untuk mengangkat seorang imam yang spesifik untuk mereka. Dalilnya adalah bahwa Dia Ta’ala mewajibkan di dalam ayat ini untuk menegakkan had atas pencuri dan pelaku zina. Maka adalah merupakan keharusan adanya seseorang yang melaksanakan seruan tersebut. Sungguh umat telah sepakat bahwa tidak seorangpun dari rakyat yang boleh menegakkan had atas pelaku kriminal tersebut. Bahkan mereka telah sepakat bahwa tidak boleh (haram) menegakkan had atas orang yang merdeka pelaku kriminal kecuali oleh imam. Karena itu ketika taklif tersebut sifatnya pasti (jazm) dan tidak mungkin keluar dari ikatan taklif ini kecuali dengan adanya imam, dan ketika kewajiban itu tidak tertunaikan kecuali dengan sesuatu, dan itu masih dalam batas kemampuan mukallaf maka (adanya) imam adalah wajib. Maka adalah suatu yang pasti qath’inya atas wajibnya mengangkat imam, seketika itu pula… “ (Imam Fakhruddin al-Razi, Mafâtihul Ghayb fî al-Tafsîr, juz 6 hal. 57 dan 233)

Imam al-Hafidz Ibn Hazm al-Andalusi mendokumentasikan Ijmâ’ Ulama bahwa (keberadaan) Imamah itu fardhu:

… واتفقوا أن الإمامة  فرض وأنه لا بد من إمام

“ …Mereka (para ‘ulama’) sepakat bahwa imamah itu fardhu dan adanya Imam itu merupakan  suatu keharusan…” (Imam Al-Hafidz Abu Muhammad Ali bin Hazm Al-andalusi Adz-Dzahiri, Maratibul Ijma’ , juz 1 hal 124)

Imam Abul Qasim al-Naisaburi asy-Syafi’i berkata:

… أجمعت الأمة على أن المخاطب بقوله { فاجلدوا } هو الإمام حتى احتجوا به على وجوب نصب الإمام فإن ما لا يتم الواجب إلا به فهو واجب.

“…Umat telah sepakat bahwa yang menjadi obyek seruan (“maka jilidlah”) adalah imam. Dengan demikian mereka berhujjah atas wajibnya mengangkat imam. Sebab, apabila suatu kewajiban itu tidak sempurna tanpa adanya sesuatu tersebut maka ada sesuatu tersebut menjadi wajib pula.” (Imam Abul Qasim Al-Hasan bin Muhammad bin Habib bin Ayyub asy-Syafi’i an-Naisaburi, Tafsîr Al-Naisaburi, juz 5 hal 465)

Al-‘Allamah Muhammad Nawawi al-Jawi menjelaskan tentang berbagai kemaksiatan, diantaranya:

والحكم بغير حكم الله لقوله تعالى: وَأَنِ احْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللهُ. وقوله تعالى: فَاحْكُمْ بَيْنَهُمْ بِالْقِسْطِ.

“Berhukum dengan selain hukum Allah berdasarkan firman-Nya: “Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allâh” dan firman-Nya: “Dan hukumilah mereka dengan ‘adil.” (Lihat: Mirqaatu Shu’uud al-Tashdiiq fii Syarh Sullam al-Tawfiiq, Syaikh Muhammad Nawawi al-Jawi al-Syafi’iy – Dar al-Kutub al-Islamiyyah.)

Al-Imam al-Mawardi menuturkan:

فَأَمَّا إقَامَةُ إمَامَيْنِ أَوْ ثَلاَثَةٍ فِي عَصْرٍ وَاحِدٍ، وَبَلَدٍ وَاحِدٍ فَلاَ يَجُوزُ إجْمَاعًا

“Adapun mengangkat dua orang penguasa atau tiga orang (atau lebih) dalam satu masa dan satu negeri maka tidak diperbolehkan secara ijma’.”

فَأَمَّا فِي بُلْدَانَ شَتَّى وَأَمْصَارٍ مُتَبَاعِدَةٍ فَقَدْ ذَهَبَتْ طَائِفَةٌ شَاذَّةٌ إلَى جَوَازِ ذَلِكَ؛ لِأَنَّ الامَامَ مَنْدُوبٌ لِلْمَصَالِحِ. وَإِذَا كَانَ اثْنَيْنِ فِي بَلَدَيْنِ أَوْ نَاحِيَتَيْنِ كَانَ كُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا أَقْوَمَ بِمَا فِي يَدَيْهِ، وَأَضْبَطَ لِمَا يَلِيهِ. وَلِأَنَّهُ لَمَّا جَازَ بَعْثَةُ نَبِيَّيْنِ فِي عَصْرٍ وَاحِدٍ وَلَمْ يُؤَدِّ ذَلِكَ إلَى إبْطَالِ النُّبُوَّةِ، كَانَتْ الامَامَةُ أَوْلَى وَلاَ يُؤَدِّي ذَلِكَ إلَى إبْطَالِ الامَامَةِ.

“Adapun dalam konteks negeri yang beragam dan wilayah yang berjauhan, maka satu golongan yang syadz (tidak dikenal, kontroversial) memperbolehkannya, (dengan alasan) karena penguasa merupakan duta untuk mewujudkan berbagai kemaslahatan. Dan (diasumsikan) jika ada dua penguasa dalam dua negeri atau dua bagian dimana setiap pemimpin dari dua pihak ini bisa lebih kokoh dengan kekuasaan yang ada di tangannya, dan lebih terkontrol dengan apa yang ada di sisinya (daripada kekuasaan berada dalam satu orang pemimpin-pen.), dan dikarenakan bolehnya pengutusan dua orang Nabi dalam satu masa dan tidak berdampak pada batalnya kenabian, maka kepemimpinan lebih memerlukan hal itu dan tidak lantas merusak kepemimpinan tersebut.”

وَذَهَبَ الْجُمْهُورُ إلَى أَنَّ إقَامَةَ إمَامَيْنِ فِي عَصْرٍ وَاحِدٍ لاَ يَجُوزُ شَرْعًا لِمَا رُوِيَ عَنْ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم أَنَّهُ قَالَ: {إذَا بُويِعَ أَمِيرَانِ فَاقْتُلُوا أَحَدَهُمَا}. وَرُوِيَ عَنْ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم أَنَّهُ قَالَ: {إذَا وَلَّيْتُمْ أَبَا بَكْرٍ تَجِدُوهُ قَوِيًّا فِي دِينِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ ضَعِيفًا فِي بَدَنِهِ. وَإِذَا وَلَّيْتُمْ عُمَرَ تَجِدُوهُ قَوِيًّا فِي دِينِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ قَوِيًّا فِي بَدَنِهِ، وَإِنْ وَلَّيْتُمْ عَلِيًّا تَجِدُوهُ هَادِيًا مَهْدِيًّا}. فَبَيَّنَ بِظَاهِرِ هَذَا الْكَلاَمِ أَنَّ إقَامَةَ جَمِيعِهِمْ فِي عَصْرٍ وَاحِدٍ لاَ يَصِحُّ، وَلَوْ صَحَّ لاَشَارَ إلَيْهِ، وَلَنَبَّهَ عَلَيْهِ.

“Dan mayoritas ulama mengadopsi pendapat bahwa mengangkat dua orang penguasa dalam satu masa tidak diperbolehkan secara syar’i berdasarkan apa yang diriwayatkan dari Nabi SAW bahwa beliau bersabda: “Jika diangkat dua orang pemimpin maka bunuhlah salah satunya (yang terakhir dari keduanya-pen.).” Dan diriwayatkan dari Nabi SAW bahwa beliau bersabda: “Jika kalian mengangkat Abu Bakr menjadi pemimpin maka kalian temukan dirinya kuat dalam Din Allah dan lemah fisiknya, dan jika kalian mengangkat ‘Umar menjadi pemimpin maka kalian temukan dirinya kuat dalam Din Allah dan kuat fisiknya, dan jika kalian mengangkat ‘Ali sebagai pemimpin maka akan kalian temukan bahwa ia adalah orang yang menyampaikan petunjuk dan dianugerahi petunjuk.”  Maka penjelasan dengan zhahir hadits ini bahwa mengangkat mereka semua sebagai pemimpin dalam satu masa tidak sah (secara syar’i), meskipun di sisi lain dibenarkan mengisyaratkan hadits ini dan memperhatikannya.” (Lihat: Aadab al-Dunyaa’ wa al-Diin, Imam ‘Ali bin Muhammad bin Habib al-Mawardi al-Syafi’i (Imam al-Mawardi))

JELAS sekali bahwa yang berbahaya adalah sistem kufur Demokrasi dan paham sesat Nasionalisme yang memecah belah persatuan kaum muslimin, bukan al-Khilaafah ‘alaa minhaaj an-nubuwwah yang justru menyatukan kaum muslimin di bawah naungan panji warisan Rasulullaah –shallallaahu ‘alayhi wa sallam-

Informasi Tambahan dari Para Ulama Lainnya:

Imam ‘Alauddin al-Kasani al-Hanafi berkata: “…dan karena sesungguhnya mengangkat imam yang agung itu adalah fardhu. (ini) tidak ada perbedaan pendapat diantara ahlul haq. Dan tidak diperhatikan -perbedaan dengan sebagian Qadariyyah- karena Ijmâ’ shahabat atas hal tersebut, serta urgensitas kebutuhan terhadap imam yang agung tersebut. Untuk keteritakan terhadap hukum. Untuk menyelamatkan orang yang didzalimi dari orang yang dzalim. Untuk memutuskan perselisihan yang merupakan obyek yang menimbulkan kerusakan, dan kemaslahatan-kemaslahatan yang lain yang memang tidak akan tegak kecuali dengan adanya imam… “ (Imam ‘Alauddin Al-Kassani Al-Hanafi, Bada’iush Shanai’ fî Tartibis Syarai’, juz 14 hal. 406)

Syaikh Dr. Shalah al-Shawi menjelaskan:

والإمامة إذا أطلقت حملت على الإمامة العظمى، فلا يوصف بها حينئذ إلا الخليفة، أما إذا أريد التقييد، فلابد من الإضافة المبينة للمراد، كأن يقال: إمام المحدثين أو إمام الفقهاء، ونحوه.

“Jika disebutkan kata Al-Imâmah maka bermakna Al-Imâmah Al-‘Uzhmâ (Imamah yang agung), dan tidak disifati dengan kedudukan ini kecuali Al-Khalifah. Adapun jika yang dimaksud bersifat terbatas (selain Khalifah), maka harus disambungkan dengan kata penjelas sesuai dengan apa yang dimaksudkan, misalnya disebutkan: Imâm al-Muhadditsiin (imam para ahli hadits), Imâm al-Fuqahâ’ (imam para ahli fikih), dan yang semisalnya.” (Lihat: Al-Wajiiz fii Fiqh Al-Khilâfah, Syaikh Dr. Shalah Al-Shawi – Dar al-I’lam al-Duwali)

Syaikh Dr. Shalah al-Shawi menyatakan:

الإمامة عند أهل السنة واجب من أعظم واجبات الدين، وفريضة من أعظم و آكد فرائضه، بل لا قيام للدين إلا بها، لأن ما قصده الشارع فيما شرع من المعاملات والمناكحات والجهاد والحدود والمقاصّات وإظهار شرائع الشرع في الأعياد والجماعات، لا يتم إلا بإمام يكون من قبل الشارع يرجعون إليه فيما يعنّ لهم، فنصب الإمام إذن من أتم مصالح المسلمين وأعظم مقاصد الدين

“Imamah menurut Ahlussunnah adalah wajib diantara kewajiban agama terbesar, dan fardhu diantara kefardhuan agama terbesar dan terkuat, bahkan agama tidak bisa tegak tanpa imamah. Karena tujuan al-Syari’ (Allah Pemilik syariah / Nabi SAW pembawa syariah) terkait syariat muamalah, munakahah, jihad, hudud, qishas dan menampakkan syiar-syiar agama dalam hari-hari raya dan jama’ah-jama’ah, semuanya tidak bisa terlaksana dengan sempurna, kecuali dengan imam yang diangkat melalui perintah al-Syari’ dan yang menjadi rujukan kaum muslim terkait urusan mereka. Dengan demikian, mengangkat imam itu termasuk kepentingan kaum muslim yang paling sempurna dan tujuan agama yang terbesar.” (Lihat: Syaikh Dr. Shalah al-Shawi dalam kitabnya, al-Wajiz fi Fiqh al-Imamah al-‘Uzhmaa, juz 1, hal. 10, Maktabah Syamilah)

Kesimpulan

Al-Khilaafah al-Islaamiyyah merupakan bagian dari ajaran Islam dan sistem pemerintahan yang dicontohkan Rasulullaah –shallallaahu ‘alayhi wa sallam-, bukan Demokrasi sistem kufur warisan jahiliyyah Yunani dan paham sesat Nasionalisme yang justru memecah belah kaum muslimin. Lantas apa yang berbahaya sebenarnya??

Lihat pula:

Petunjuk Al-Qur’an: Tiada Kemuliaan Kecuali dengan Al-Islam

Kewajiban Menegakkan Al-Khilaafah Al-Islaamiyyah (Part. I)

Sekilas Tentang Khilafah Penjaga Akidah Umat

Penegakkan Hukum dalam Khilafah Islam: Tegas & Berfungsi Sebagai Penebus Dosa & Pencegah Kemaksiatan

Murtadnya Muslim dalam Sistem Demokrasi VS Sistem Islam (Al-Khilaafah)

Politik Islam Berbeda dengan Demokrasi (Part. I)

11 Tanya Jawab Seputar Ulama & Aktivitas Politik (KH. Mushthafa Ali Murtadha’)

 

[]

Koreksi Atas Media yang Mengghibah ‘Aib Individu Muslim (Part. II)

Akhlak

Ketahuilah yaa ikhwah, mengghibah, membicarakan ‘aib individu muslim yang pada asalnya tersembunyi antara dua pihak misalnya dan tidak lantas membahayakan masyarakat secara umum/ secara luas, sehingga tidak ada alasan syar’i untuk mengghibah-nya di tengah-tengah masyarakat (tidak ada kemaslahatan apapun), terlebih mengghibah-nya dengan status di jejaring sosial FACEBOOK ATAU posting di SITUS. BUKAN HANYA “STATUS POSTINGAN TAK BERMUTU (jika tak mau dikatakan “VIRUS” MENYEBARKAN KEMAKSIATAN LISAN), BAHKAN LEBIH BURUK DARI ITU DALAM PANDANGAN ISLAM, dan bertambah keburukannya jika ada yang menggiring kekhilafan individual ini untuk memfitnah suatu gerakan dakwah dan aktivisnya secara umumWal ‘iyaadzu billaah.

Status/ posting berita seperti ini, kontra produktif bahkan destruktif terhadap perjuangan itu sendiri, apa yang dihasilkan selain dosa mengghibah dan “investasi” dosa dari orang-orang yang terlibat menyebarkan dan menstigmatisasi negatif gerakan dakwah Islam dengan hal seperti itu?

Allaahummaghfirlanaa

Allah ‘Azza wa Jalla berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ ۖ وَلَا تَجَسَّسُوا وَلَا يَغْتَبْ بَعْضُكُمْ بَعْضًا ۚ أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَنْ يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۚ إِنَّ اللَّهَ تَوَّابٌ رَحِيمٌ

QS. Al-Hujuraat [49]: 12

Mengghibah sesama muslim -tanpa ada alasan syar’i- dicela dengan celaan yang buruk oleh Allah ‘Azza wa Jalla yakni (أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَنْ يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ) yang diserupakan dengan memakan daging bangkai saudaranya“, wal ‘iyaadzu billaah.

Dalam hadits shahih:

أَتَدْرُونَ مَا الْغِيبَةُ قَالُوا اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ قَالَ ذِكْرُكَ أَخَاكَ بِمَا يَكْرَهُ قِيلَ أَفَرَأَيْتَ إِنْ كَانَ فِي أَخِي مَا أَقُولُ قَالَ إِنْ كَانَ فِيهِ مَا تَقُولُ فَقَدْ اغْتَبْتَهُ وَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِيهِ فَقَدْ بَهَتَّهُ

“Tahukah kalian apa itu ghibah?” Mereka menjawab: “Allah dan Rasul-Nya yang lebih tahu.” Beliau –shallallahu ‘alaihi wa ‘ala aalihi wa sallam– bersabda: “Yaitu engkau menceritakan tentang saudaramu yang membuatnya tidak suka.” Lalu ditanyakan kepada beliau: “Lalu bagaimana jika kenyataan yang ada pada diri saudara saya itu sebagaimana yang saya ungkapkan?” Maka beliau bersabda: “Jika apa yang engkau katakan itu sesuai dengan kenyataannya maka engkau telah mengghibahnya. Dan jika ternyata tidak sesuai dengan kenyataan dirinya maka engkau telah berdusta atas namanya (buhtan/ fitnah).” (HR. Muslim).

Apa yang tidak disukainya berupa keburukan, ‘aib atau kekhilafannya. Al-Hafizh an-Nawawi mendefinisikan ghiibah:

الغيبة: فهي ذكرُك الإِنسانَ بما فيه مما يكره، سواء كان في بدنه أو دينه أو دنياه، أو نفسه أو خَلقه أو خُلقه، أو ماله أو ولده أو والده، أو زوجه أو خادمه أو مملوكه، أو عمامته أو ثوبه، أو مشيته وحركته وبشاشته، وخلاعته وعبوسه وطلاقته، أو غير ذلك مما يتعلق به، سواء ذكرته بلفظك أو كتابك، أو رمزتَ أو أشرتَ إليه بعينك أو يدك أو رأسك أو نحو ذلك

“Adapun ghiibah adalah ungkapan dirimu tentang orang lain pada hal yang dibencinya, sama saja apakah berkaitan dengan fisiknya, agamanya, kehidupan dunianya, dirinya, penciptaannya, akhlaknya, hartanya, anaknya, orangtuanya, istrinya, pembantunya, harta benda miliknya, penutup kepalanya, pakaiannya, caranya berjalan, gerak tubuhnya, rona wajah kebahagiaannya, sikapnya yang berlebihan, rona wajah cemberutnya, dan kecendrungannya, atau pada perkara-perkara lainnya yang berkaitan dengannya, sama saja engkau menyebutkannya dengan lisan, tulisan, simbol, atau isyarat dengan mata, tangan, kepala atau dengan cara lainnya.” (Al-Adzkaar An-Nawawiyyah,Kairo: Dar al-Hadits. Hlm. 315)

Koreksi Argumentatif I Atas Suara News: (Link)

Kajian Islam tentang Ghiibah: (Link Download File)

Kita tidak membenarkan perbuatan khilaf melanggar janji bertemu jika itu memang itu kenyataannya, wajib meminta maaf, namun adakah alasan syar’i menyebarkan ‘aib individu muslim pada kasus ghibahnya Suara News & informan-nya “Ian as-Suti” di jejaring sosial dan website-nya? Jika kita bandingkan dengan ilmu yang dijelaskan para ulama, diantaranya ulama ahli hadits dan faqih madzhab syafi’i yakni al-Hafizh an-Nawawi, ghibah tersebut JELAS termasuk ghiibah muharramah dan tidak termasuk pengecualian ghibah sebagaimana yang dijelaskan para ulama:

Perincian Al-Hafizh an-Nawawi tentang Ghiibah: (Link)

 Allaahummaghfirlanaa

Menjustifikasi Demokrasi dengan Dalih Menikmatinya? (Jawaban Argumentatif)

431614_363611627056358_1926515089_n

Oleh: Al-Faqiir Ilallaah Irfan Ramdhan W, S.Pd.I (Abu Naveed)

Mari Berpikir dan Berargumentasi Cerdas Yaa Ikhwatii Fillaah

Jika seandainya demokrasi dijustifikasi dengan dalih bahwa kita hidup dalam naungan demokrasi; makan, minum, bekerja menggunakan jalan, serta fasilitas kesehatan yang diklaim sebagai produk demokrasi, sehingga dikatakan bahwa kita pasti menikmati demokrasi sistem kufur, dan mengkritik mereka yang anti demokrasi dengan ungkapan “inkonsistensi”. Bagaimana kita menjawab logika batil ini?

JAWABAN:

Pertama, jika logika salah ini dipakai, niscaya orang-orang sekularis, munafik akan menjadikan dalih serupa untuk menjustifikasi KOMUNISME, KAPITALISME, SEKULARISME, bagi mereka yang hidup di negeri komunis misalnya, dan ini jelas penyimpangannya.. laa yahtaaju ilaa syarhin katsiirin.

Kedua, selama ini oknum yang menuduh ‘menikmati demokrasi’ tidak pernah menjelaskan batasan yang jelas dan tegas dari tuduhan ‘menikmati demokrasi’. Jika tidak dibatasi, maka istilah ini menjadi istilah absurd dan menggelinding bagaikan bola panas yang bisa dialamatkan pada setiap orang secara ‘liar’, bagaimana tidak? Karena hidup di negeri yang dinaungi sistem demokrasi kini memang realitas, dan bermu’amalah di dalamnya pun sesuatu yang tidak bisa dihindari untuk mempertahankan hidup (dengan segenap daya upaya berpegangteguh pada syari’at Islam). Namun sudah barangtentu kehidupan di bawah naungan demokrasi merupakan realitas yang fasad, rusak dan batil yang wajib diubah dengan kehidupan Islam (QS. al-Ra’d: 11).

Apakah ketika Rasulullah SAW hidup di bawah naungan sistem jahiliyyah, bermu’amalah makan dan minum di dalamnya, berdakwah dan meraih pengikut. Apakah dikatakan menikmati sistem jahiliyyah? Wal ‘iyaadzu billaah, Rasulullah SAW dan para sahabat mulia dan bersih dari hal itu semua.

Semua perkara wajib dikaji berdasarkan sudut pandang Islam; membuat KTP, surat-surat administratif, aktivitas dakwah, hukum bermu’amalah secara rinci dan lain sebagainya dengan sudut pandang Islam, dan itu semua tak menjadi dalih atas Demokrasi.

Ingat yaa ikhwatii fillaah.. Dakwah adalah kewajiban dari Allah, dan keberhasilannya pun berkat pertolongan Allah ‘Azza wa Jalla bukan prinsip sesat kebebasan ala Demokrasi, lantas bagaimana mungkin kami ‘bersyukur’ pada Demokrasi dan paham sesat kebebasannya?? Padahal Demokrasi mengajarkan manusia takabbur kepada Allah -Dzat Yang Berhak Membuat Hukum- sehingga RIBA dan lokalisasi perzinaan yang termasuk dosa besar pengundang murka Allah LEGAL di negeri ini, kita temukan para penggiat perzinaan pendukung gang Dolly dan acara maksiat Miss World pun bebas berdalih akibat kebebasan sesat ajaran Demokrasi.

Maka jelas, Dialah Allah yang menolong dakwah ini…. Cukuplah kami bersyukur pada Allah. Sesungguhnya seorang mukmin da’i yang berjuang menegakkan syari’at Allah tidak akan pernah terhina dengan celaan orang yang mencela.

Ketiga, bagaimana mungkin kita menikmati demokrasi? Padahal kata menikmati identik dengan ridha’ dan puas. Jika kita merujuk pada KBBI Online (http://kbbi.web.id/), maka kita dapati makna kata “nikmat”, “menikmati” sebagai berikut:

nikmat /nik·mat/ 1 a enak; lezat: masakannya memang –; 2 a merasa puas; senang: — rasanya tidur di kamar sebagus ini; 3 npemberian atau karunia (dr Allah): Allah telah memberi — kpd manusia;

menikmati /me·nik·mati /v 1 merasai (sesuatu yg nikmat atau lezat): kami ~ makan minum; 2 mengecap; mengalami (sesuatu yg menyenangkan atau memuaskan): ~ hasil kemerdekaan;

penikmat /pe·nik·mat/ n orang yg menikmati (merasai, merasakan, mengecap, mengalami): mereka ~ puisi; ia memang seorang ~ hidup;

penikmatan /pe·nik·mat·an/ n proses, cara, perbuatan menikmati; pengecapan;

kenikmatan /ke·nik·mat·an/ n keadaan yg nikmat; keenakan; kesedapan; kesenangan: mengecap ~ peradaban modern

Lantas, bagaimana mungkin kita ridha’ menikmati sistem kufur Demokrasi yaa ikhwah fillaah?? Padahal Demokrasi sesat adalah sistem yang jelas-jelas mengajari manusia takabur membuat hukum mengambil hak Allah??

إِنِ الْحُكْمُ إِلَّا لِلَّهِ ۖ يَقُصُّ الْحَقَّ ۖ وَهُوَ خَيْرُ الْفَاصِلِينَ

“…Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah. Dia menerangkan yang sebenarnya dan Dia pemberi keputusan yang paling baik.” (TQS. Al-An’aam [6]: 57)

Asy-Syaikh ‘Abdurrahman bin Hammad al-‘Umar menuturkan:

أرى من الواجب عليَّ وعلى كل عالم وكاتب إسلامي يؤمن بما أوجب الله سبحانه عليه من الدعوة إليه سبحانه وتعالى والأمر بالمعروف والنهي عن المنكر والسعي لإنقاذ الإنسانية عامة والأمة الإسلامية خاصة من أسباب الهلاك والشقاء.. أرى من الواجب المحتم: أن نبين للناس جميعًا حكامًا ومحكومين خطرًا عظيمًا يتهددهم بهلاك عقدي وأخلاقي واجتماعي واقتصادي وصحي.. يتهددهم بشقاء محتوم لكل من وقع في شراكه وسار في ركاب الواقعين فيه.. هذا الخطر العظيم هو ما يسمى بـ: الديمقراطية

“Saya memandang di antara kewajiban bagiku, bagi seluruh orang berilmu dan jurnalis muslim yang beriman terhadap apa yang diwajibkan Allah SWT kepadanya yakni berdakwah menyeru kepada-Nya, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah kemungkaran, dan berupaya keras menyelamatkan umat manusia dan khususnya umat Islam dari berbagai hal yang membinasakan dan menimbulkan kesengsaraan.. Saya memandang diantara kewajiban yang tegas: wajib bagi kita menjelaskan kepada masyarakat, penguasa dan rakyatnya bahaya besar yang mengancam mereka dengan kehancuran akidah, akhlak, pergaulan sosial, perekonomian dan dunia kesehatan… serta mengancam mereka dengan kesengsaraan yang pasti bagi orang yang bersekutu di dalamnya dan berjalan di atas jalan kaum pragmatis.. Inilah bahaya besar yang dinamakan DEMOKRASI.” (Lihat: Haadzihi Hiya Al-Diimuqraathiyyah, Syaikh ‘Abdurrahman bin Hammaad al-‘Umar – Dar al-Hulayyah: Riyadh – Cet. I: 1424 H)

KESIMPULAN

Maka jawaban saya dan mereka yang sadar -meminjam salah satu bait sya’ir Imam Sufyan Tsauri -rahimahullaah- kiranya sudah cukup menggambarkan penolakan kami -kaum muslimin- terhadap tuduhan rendah ini… wal ‘iyaadzu billaah:

لا خير في لذّة من بعدها النّار

“Tiada kebaikan dalam kenikmatan yang akhirnya adalah neraka” (Lihat: Dâ’ al-Nufûs wa Sumûm al-Qulûb: al-Ma’âshi, Syaikh Azhari Ahmad Mahmud – Daar Ibn Khuzaimah: Riyaadh – Cet. Tahun: 1420 H/ 2000)

NASIHAT

Sebelum berbicara, alangkah baiknya jika ia memahami terlebih dahulu apa yang menjadi produk materi yang lahir dari akidah/ peradaban tertentu (madaniyyah khaashshah yang lahir dari hadharah) dan produk materi atau sains yang sifatnya umum tak terkait akidah, hadharah tertentu. Demokrasi harus dipahami dengan mentahqiiq faktanya benar-benar, lalu menghukuminya dengan pandangan Islam (dalil-dalil al-Qur’an dan as-Sunnah); karenanya ilmu amatlah penting.

Ucapan akan dipertanggungjawabkan kelak di hadapan Allah ‘Azza wa Jalla, jika tidak memahami apa yang dibicarakan sebaiknya diam, jika tidak itu akan menjadi bomerang di hari penghisaban. Alangkah baiknya mengingat pesan yang mulia dari Rasulullaah SAW:

مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ

“Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, maka berkatalah yang baik atau diam.” (HR. al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud, al-Tirmidzi, Ahmad & Malik)

Al-Hafizh al-Nawawi menjelaskan hadits di atas:

فمعناه أنه إذا أراد أن يتكلم فإن كان ما يتكلم به خيرا محققا يثاب عليه، واجبا أو مندوبا فليتكلم . وإن لم يظهر له أنه خير يثاب عليه، فليمسك عن الكلام سواء ظهر له أنه حرام أو مكروه أو مباح مستوي الطرفين . فعلى هذا يكون الكلام المباح مأمورا بتركه مندوبا إلى الإمساك عنه مخافة من انجراره إلى المحرم أو المكروه . وهذا يقع في العادة كثيرا أو غالبا

“Maknanya adalah jika seseorang ingin mengatakan sesuatu, jika didalamnya mengandung kebaikan dan ganjaran pahala, sama saja apakah wajib atau sunnah untuk diungkapkan maka ungkapkanlah. Jika belum jelas kebaikan perkataan tersebut diganjar dengan pahala maka ia harus menahan diri darinya, sama saja apakah jelas hukumnya haram, makruh atau mubah. Dan dalam hal ini perkataan yang mubah dianjurkan untuk ditinggalkan, disunnahkan untuk menahan diri darinya, karena khawatir perkataan ini berubah menjadi perkataan yang diharamkan atau dimakruhkan. Dan kasus kesalahan seperti ini banyak terjadi.”

الله المستعان

Lihat Lengkapnya:

Syabab HT Menikmati Demokrasi?

Inilah Jawaban-Jawaban Kami atas Berbagai Dalih Pembenaran Atas Demokrasi (Kumpulan Makalah Ilmiyyah)

Menikmati Demokrasi? Apa Kata Imam Sufyan al-Tsauri? 

Berterima Kasih Pada Demokrasi?

KH Shiddiq al-Jawi: Islam Menolak Demokrasi

Kerusakan Negeri Oleh Demokrasi

Siapa Diskriminatif?

Dalam Demokrasi, Siapapun Cenderung Jadi Buruk

Dampak Buruk Sistem Demokrasi

Wajah Buruk Demokrasi

Hakikat Buruk Demokrasi

Dengan Demokrasi, Orang Jadi Munafik

Hati-Hati dengan Penyesatan Istilah Batil “Selamat Natal”

Kholid

Hati-hati yaa ikhwatii fillaah

Saya membaca komentar yang jelas ganjil dan jelas kesalahannya dengan membedakan ucapan “selamat natal” dan ucapan “selamat merayakan natal”

Oknum akun ini menuliskan:

——————————————————-

“mengucapkan selamat natal dgn mengucapkan selamat merayakan natal bagi yg yg merayakan sama??? cek pelajaran bhs Indonesianya..pasti jebokkkk..”

“mengucapkan selamat natal dgn mengucapkan selamat merayakan natal bagi yg meramaikan sama??? ….(-sensor olok-olokan-).. belajar bhs indonesia dulu sana!!!

——————————————————-

Saya tak ragu untuk mengatakan bahwa ini adalah pernyataan aneh dan ganjil yang bisa timbul dari dua kemungkinan: – Ketidakpahaman terhadap bahasa indonesia,- ‘Ashabiyyah hizbiyyah (fanatisme buta golongan) membela tokoh golongannya -yg disebutkan tidak representatif atas institusinya-.

Padahal kata selamat itu sendiri dalam KBBI Online membantah pernyataannya, dan sudah menjadi pemahaman umum bahwa kata selamat natal dan selamat merayakan natal memiliki persamaan makna, sama seperti ungkapan selamat idul fithri dan selamat merayakan idul fithri -orang sudah jelas memahaminya sama-. Perbedaannya hanya pada PENGHEMATAN KATA (ini ilmu bahasa indonesia), BUKAN PERBEDAAN MAKNA:

Kata “Selamat” dalam kamus KBBI Online (http://kbbi.web.id/):

selamat /se·la·mat / 1 a terbebas dr bahaya, malapetaka, bencana; terhindar dr bahaya, malapetaka; bencana; tidak kurang suatu apa; tidak mendapat gangguan; kerusakan, dsb: ia — dr pembunuhan; 2 a sehat; 3 a tercapai maksud; tidak gagal; 4 n doa (ucapan, pernyataan, dsb) yg mengandung harapan supaya sejahtera (beruntung, tidak kurang suatu apa, dsb): ketika ia kawin, banyak handai tolannya yg memberi ucapan — kepadanya; 5 n pemberian salam mudah-mudahan dl keadaan baik (sejahtera, sehat dan afiat, dsb): — datang; — jalan; — malam (pagi, siang); — tahun baru; — tinggal;– berbahagia semoga mendapat kebahagiaan; — berjumpa mudah-mudahan selamat atas perjumpaan (ini); — berpisah mudah-mudahan selamat atas (selama) perpisahan; — datang mudah-mudahan selamat atas kedatangan (seseorang, tamu, dsb); — jalan mudah-mudahan selamat dl perjalanan; — malam mudah-mudahan selamat pd malam hari (ini); — menempuh hidup baru mudah-mudahan berbahagia dl pernikahan yg dilangsungkan; — pagi mudah-mudahan selamat pd pagi hari (ini); — sejahtera mudah-mudahan selamat tidak kurang suatu apa; — siang mudah-mudahan selamat pd siang hari (ini); — sore mudah-mudahan selamat pd sore hari (ini); — tinggal mudah-mudahan selamat bagi yg tinggal; — ulang tahun mudah-mudahan selamat dl memperingati hari lahir;

Maka makna selamat natal bermakna do’a keselamatan baginya -padahal mereka yang kafir jelas qath’iy akan diadzab Allah ‘Azza wa Jalla-.

SIKAP KITA

Islam mengajari kita prinsip dalam mengadopsi suatu ungkapan dan melarangnya jika ungkapan tersebut mengandung makna batil semisal ucapan “selamat natal”.

Allah ‘Azza wa Jalla berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَقُولُوا رَاعِنَا وَقُولُوا انْظُرْنَا وَاسْمَعُوا ۗ وَلِلْكَافِرِينَ عَذَابٌ أَلِيمٌ

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu katakan (kepada Muhammad): “Raa’inaa”, tetapi Katakanlah: “Unzhurnaa”, dan “dengarlah”. dan bagi orang-orang yang kafir siksaan yang pedih.” (TQS. al-Baqarah [2]: 104)[14]

Dalam banyak kutub tafsir, ayat ini menjelaskan dengan sangat gamblang, bahwa Allah melarang orang-orang beriman menggunakan istilah raa’inaa dan mewajibkan mereka menggunakan istilah lain, yakni unzhurnaa. Secara bahasa, raa’inaa dan unzhurnaa bermakna sama: “Perhatikan urusan kami yaa Rasulullah.” Ketika para sahabat mengungkapkan kata raa’inaa kepada Rasulullah saw, orang Yahudi pun memakai kata ini dengan digumam seakan-akan menyebut raa’inaa. Padahal yang mereka katakan ialah ru’uunah yang berarti kebodohan yang sangat, bebal dalam kejahilan sebagai ejekan kepada Rasulullah saw. Selanjutnya Allah melarang penggunaan kata raa’inaa. Sehingga, sejak itu para sahabat tidak lagi menggunakan istilah itu di hadapan Rasulullah saw, dan memakai istilah lain yang bebas dari penyimpangan.

Para ulama menjadikan ayat ini sebagai dalil keharaman menggunakan istilah-istilah atau ungkapan yang bertentangan dengan Islam, dan larangan menyerupai orang kafir semisal penjelasan Al-Hafizh ibn Katsir dalam tafsirnya.

Ketika menafsirkan ayat ini, al-Hafizh al-Imam Ibn Katsiir berkata dalam kitab tafsirnya:

والغرض: أن الله تعالى نهى المؤمنين عن مشابهة الكافرين قولا وفعلا

“Maksudnya: Allah SWT melarang orang-orang beriman menyerupai orang-orang kafir dalam perkataan dan perbuatan mereka.”

Ibn Katsir pun menukil dalil hadits dari Imam Ahmad dan Imam Abu Dawud:

من تشبه بقوم فهو منهم

“Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk golongan kaum tersebut.”[18]

Al-Hafizh Ibn Katsir pun menegaskan:

ففيه دلالة على النهي الشديد والتهديد والوعيد، على التشبه بالكفار في أقوالهم وأفعالهم، ولباسهم وأعيادهم، وعباداتهم وغير ذلك من أمورهم التي لم تشرع لنا ولا نُقَرر عليها

“Di dalam hadits ini, terdapat larangan, ancaman dan peringatan keras terhadap sikap menyerupai orang-orang kafir dalam perkataan, perbuatan, pakaian (khas-pen.), ritual, ibadah mereka, dan perkara-perkara lainnya yang tidak disyari’atkan dan tak sejalan dengan kita.”

Dan faktanya kita temukan bahwa para orang-orang nasrani terbiasa mengucapkan ungkapan ini sebagai do’a di antara mereka, sama seperti kaum muslimin yang saling mengucapkan selamat pada hari raya ‘Idul Fithri. Maka, jelas ucapan selamat natal adalah ucapan khas orang-orang Nasrani dan do’a di antara mereka di samping ungkapan yang mengandung kebatilan dalam pandangan Islam.

Di sisi lain:

– Islam mengajari kita prinsip AL-WALAA’ WAL BARAA”

– Islam pun melarang kita menjawab salam kaum kafir

– Islam pun melarang kita mencampuradukkan antara yang haq dan bathil

– Islam pun mengajari kita menjaga lisan- Islam pun melarang kita menyerupai orang-orang kafir yang saling mengucapkan selamat natal -ini termasuk kekhususan mereka-

– Islam pun mengajari kita menghormati perbedaan pendapat khilaafiyyah pada permasalahan yang dalil-dalilnya zhanniyyah, namun perbedaan pendapat dalam perkara qath’iyyah semisal akidah dan furuu’iyyah yang dalilnya dalil-dalil qath’iyyah adalah inhiraaf (penyimpangan) yang wajib ditolak!

– Ilmu memang penting

– Jauhi ‘ashabiyyah hizbiyyah (fanatisme golongan) yaa ikhwatii fillaah…

Lihat: Menyingkap Syubhat Kebebasan Berbicara Ajaran Sesat Demokrasi

Tanggapan Argumentatif Atas Pemberitaan Suara News tentang ‘Aib Individu Muslim

SN

الحمدلله رب العالمين والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله وأصحابه أجمعين، وبعد

Saya tidak ingin menanggapi situs ini sebenarnya -karena beberapa kali menerbitkan pemberitaan bermasalah-. Namun kali ini perlu saya sampaikan sejumlah catatan penting atas pemberitaannya tentang ‘aib individu yang disebutkan sebagai syabab HTI. Dan ini sebagai nasihat dan koreksi atas sesama kaum muslimin.

Saya tegaskan bahwa pemberitaannya bermasalah dari sudut pandang Islam –bi fadhlillaahi ta’aalaa saya berpengalaman sebagai redaktur pelaksana sebuah majalah Islam di Tangerang-. Ada sejumlah catatan kritis:

1- Ini informasi dan judge sepihak pada syabab HT, tidak ada klarifikasi dari pihak tertuduh, kita belum mengetahui duduk permasalahan sebenarnya, benarkah syabab HT tersebut sengaja ingkar janji? Atau lupa? Atau memang tidak ada janji? Atau adakah udzur syar’i lainnya sehingga ia tak menetapi janjinya? Tabayyun jelas perlu dilakukan:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا أَنْ تُصِيبُوا قَوْمًا بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلَىٰ مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِينَ

(QS. Al-Hujuraat [49]: 6)

Karena para syabab HT pun dibina untuk menepati janji. Apakah karena kebencian sehingga orang-orang yang terlibat dalam publikasi berita ini tak bisa berbuat adil dalam pemberitaan?

Dan saya sayangkan, biasanya akan kita temukan pemberitaan seperti ini menjadi senjata bagi sebagian oknum yang tidak senang pada pihak lainnya untuk menstigma negatif pihak tersebut tanpa melihat benar tidaknya konten beritanya (dan ini memang terbukti dengan adanya olok-olokan sebagian oknum), maka jadilah mereka semua bersekutu dalam kemaksiatan menyebarkan pemberitaan yang bermasalah ini dari sudut pandang Islam.

2- Jika berita ini tidak benar, maka mengandung fitnah. Namun jika berita ini benar maka jelas mengandung ghibah, menggunjing kesalahan individual orang lain yang tidak menepati janji. Adakah alasan syar’i untuk memberitakan ‘aib ini jika memang benar seperti itu? Padahal ‘aib tersebut pada asalnya tersembunyi (bukan dari berita publik melainkan di antara empat mata), terlebih dipajang pula foto yang spesifik menunjukkan jati diri fulan ybs. (ditambahi dengan kritikan pada hal lainnya) sehingga orang lain bisa mengetahui ‘aib ybs. Tunjukkan pada saya alasan syar’i dari pemberitaan ghibah ini jika memang ada?? Apakah ini bagian dari akhlak muslim yaa ikhwatii fillaah? Allaahummaghfirlanaa.

Pertanggungjawaban di hadapan Allah ‘Azza wa Jalla kelak. Berdasarkan ilmu, saya tidak melihat alasan syar’i untuk memberitakannya, coba bandingkan dengan penjelasan para ulama berikut ini:

Penjelasan Al-Hafizh An-Nawawi tentang Perincian Ghibah

Padahal situs ini mengklaim di akun fb-nya:

____________________________

“Situs Web Berita Islami

Aktual, Ramah, Beragam dan Berbeda. Suaranews.com

Silahkan Berkomentar asal beradab, sopan, bukan menfitnah. Kebijakan kami akan menghapus komentar yang tidak sesuai.”

____________________________

Semoga saja situs ini memperbaiki konten-konten beritanya sehingga menggambarkan apa yang menjadi visi misinya di atas. Namun, perlu saya sampaikan peringatan agung firman Allah ‘Azza wa Jalla ini:

كَبُرَ مَقْتًا عِنْدَ اللَّهِ أَنْ تَقُولُوا مَا لَا تَفْعَلُونَ

(QS. Ash-Shaff [61]: 3)

3- Apa yang mesti dilakukan ketika menemukan kesalahan individual seperti kasus ini?

Kita sepakat bahwa mengingkari janji tanpa ada udzur syar’i dan tanpa memberikan informasi pembatalan janji secara baik-baik adalah perbuatan yang tidak bisa dibenarkan. Apa yang mesti dilakukan untuk mengoreksinya? Dengan menyebarkan ‘aibnya? Menstigma negatif jama’ah dakwahnya??

Agama adalah nasihat, dan jika ada saudara sesama muslim melakukan kesalahan, siapapun ia, aktivis dakwah dari harakah islamiyyah manapun diantaranya syabab Hizbut Tahrir maka perhatikan bahwa Rasulullah  –shallallaahu ‘alayhi wa sallam-  bersabda:

الدِّيْنُ النَّصِيْحَةُ

 “Agama itu adalah nasihat”

Para sahabat bertanya: “Untuk siapa?” Rasulullah  –shallallaahu ‘alayhi wa sallam-  bersabda:

لِلّهِ، وَلِكِتَابِهِ، وَلِرَسُوْلِهِ، وَلِأَئِمَّةِ المُسْلِمِيْنَ، وَعَامَتِهِمْ

“Untuk Allah, kitab suci-Nya, Rasul-Nya, pemimpin kaum muslimin dan kaum muslimin pada umumnya.” (HR. Muslim)

Adapun penafsiran terdahap lafazh “an-nashiihah” dan jenis-jenisnya dalam hadits ini, dijelaskan Imam Ibn Daqiq al-‘Ied yang menukil pernyataan Imam al-Khithabi dan para ulama lainnya, diantaranya bentuk nasihat untuk kaum muslimin:

وأما نصيحة عامة المسلمين، وهم من عدا ولاة الأمر، فإرشادهم لمصالحهم في آخرتهم ودنياهم، وإعانتهم عليها، وستر عوراتهم وسد خلاتهم، ودفع المضار عنهم وجلب المنافع لهم، وأمرهم بالمعروف ونهيهم عن المنكر برفق وإخلاص، والشفقة عليهم وتوقير كبيرهم ورحمة صغيرهم، وتخولهم بالموعظة الحسنة وترك غشهم وحسدهم، وأن يحب لهم ما يحب لنفسه من الخير ويكره لهم ما يكره لنفسه من المكروه، والذب عن أموالهم وأعراضهم وغير ذلك من أحوالهم بالقول والفعل، وحثهم على التخلق بجميع ما ذكرناه من أنواع النصيحة. والله أعلم

“Adapun nasihat untuk kaum muslimin pada umumnya –selain para penguasa-, yakni dengan menunjuki mereka kepada kemaslahatan diri di akhirat dan di dunia, menolong mereka untuk mewujudkannya, menasihati agar mereka menutupi ‘auratnya, menutupi ‘aib mereka, menyingkirkan bahaya dari mereka dan mewujudkan kemaslahatan-kemaslahatan bagi mereka, memerintahkan kepada kebaikan dan mencegah mereka dari kemungkaran dengan cara yang lembut dan niat ikhlas, mengasihi mereka, menghormati orang tua dan mengasihi yang kecil di antara mereka, memikat hati mereka dengan nasihat yang baik serta menjauhi sifat culas dan dengki, mencintai kebaikan bagi mereka sebagaimana ia mencintai untuk dirinya sendiri, dan membenci keburukan terjadi pada mereka sebagaimana ia benci jika hal itu terjadi padanya, membela harta, kehormatan dan lain sebagainya yang menjadi hak mereka dengan perkataan dan perbuatan dan  mendorong mereka untuk bertingkahlaku sebagaimana yang telah kami sebutkan dari beragam nasihat ini. Wallaahu A’lam.”

4- Judul berita ini provokatif, dan mengandung permasalahan

Saya memerhatikan biasanya judul berita yang provokatif (misalnya mengandung fitnah atau berlebihan) dibuat oleh oknum situs pragmatis sekular yang level situsnya masih di bawah standar. Ini merupakan fitnah ajaran kebebasan berpendapat  demokrasi sistem kufur. Benar apa yang disampaikan asy-Syaikh ‘Abdurrahman bin Hammad al-‘Umar menuturkan:

أرى من الواجب عليَّ وعلى كل عالم وكاتب إسلامي يؤمن بما أوجب الله سبحانه عليه من الدعوة إليه سبحانه وتعالى والأمر بالمعروف والنهي عن المنكر والسعي لإنقاذ الإنسانية عامة والأمة الإسلامية خاصة من أسباب الهلاك والشقاء.. أرى من الواجب المحتم: أن نبين للناس جميعًا حكامًا ومحكومين خطرًا عظيمًا يتهددهم بهلاك عقدي وأخلاقي واجتماعي واقتصادي وصحي.. يتهددهم بشقاء محتوم لكل من وقع في شراكه وسار في ركاب الواقعين فيه.. هذا الخطر العظيم هو ما يسمى بـ: الديمقراطية

“Saya memandang di antara kewajiban bagiku, bagi seluruh orang berilmu dan jurnalis muslim yang beriman terhadap apa yang diwajibkan Allah SWT kepadanya yakni berdakwah menyeru kepada-Nya, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah kemungkaran, dan berupaya keras menyelamatkan umat manusia dan khususnya umat Islam dari berbagai hal yang membinasakan dan menimbulkan kesengsaraan.. Saya memandang diantara kewajiban yang tegas: wajib bagi kita menjelaskan kepada masyarakat, penguasa dan rakyatnya bahaya besar yang mengancam mereka dengan kehancuran akidah, akhlak, pergaulan sosial, perekonomian dan dunia kesehatan… serta mengancam mereka dengan kesengsaraan yang pasti bagi orang yang bersekutu di dalamnya dan berjalan di atas jalan kaum pragmatis.. Inilah bahaya besar yang dinamakan DEMOKRASI.” (Lihat: Haadzihi Hiya Al-Diimuqraathiyyah, Syaikh ‘Abdurrahman bin Hammaad al-‘Umar – Dar al-Hulayyah: Riyadh – Cet. I: 1424 H)

Judul seperti itu dibuat untuk mendongkrak rank situsnya, sehingga menarik perhatian pembaca dumay, menarik iklan dari konsumen.

Motif situs sekular seperti ini jelas rendah, maka mengherankan jika cara ini dicontoh pula oleh situs yang menyebut dirinya sebagai situs “berita islami aktual, ramah” terlepas apa motifnya sebenarnya, karena kebencian kah? Motif materi kah? Semoga saja Allah memberikan petunjuk-Nya dan mengampuni segala kekhilafan. Allaahummaghfirlanaa. Semoga Allah mengampuni kesalahan kita semua.

Namun sayangnya mereka perlu memahami, bahwa pembaca yang cerdas terlebih muslim yang paham agama justru akan membenci pemberitaan seperti ini yang sebenarnya tidak berbobot, tidak memenuhi standar pemberitaan ilmiyah, terlebih jika mengandung ghibah muharramah atau fitnah yang merupakan dosa besar. Pemberitaan seperti ini akan berbalik menjadi senjata mematikan bagi situs yang bersangkutan.

Ini nasihat dan koreksi saya. Semoga Allah mengampuni kesalahan kita semua, dan membimbing kita senantiasa di jalan-Nya yang lurus.

Rasulullah –shallallaahu ‘alayhi wa sallam- bersabda:

 مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ

Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, maka berkatalah yang baik atau diam.” (HR. al-Bukhari,  Muslim, Abu Dawud, al-Tirmidzi, Ahmad & Malik)

Akhuukum fillaah

Irfan Abu Naveed