Penyusun & Penerjemah: Irfan Abu Naveed
Penulis Buku & Kajian Tsaqafah Islamiyyah, Staff di Sebuah Pesantren-Kulliyyatusy-Syarii’ah
الحمدلله رب العالمين والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله وأصحابه أجمعين وبعد
Artikel ini merupakan sebagian dari kajian yang akan ana bukukan –bi fadhlillaahi ta’aalaa-, yang membahas beragam pendapat yang pernah ana temukan selama ini, qiila wa qiila dibantah oleh pernyataan para ulama dalam banyak referensi kutub, wawancara, testimoni dan tatap muka dalam diskusi langsung baik dengan masyaayikh dari Timur Tengah maupun Indonesia. Dalam penulisan part. I ini, sengaja tidak saya sertakan istidlaal para ulama tersebut dengan pertimbangan panjangnya pembahasan dan akan saya paparkan di buku saya dengan bahasan yang lebih detail, Allah al-Musta’aan:
SYUBHAT I: DEFINISI DEMOKRASI TAK BAKU
A: Demokrasi itukan hanya istilah yang penting esensinya… (qiila wa qiila)
B: Demokrasi itukan musyawarah… (qiila wa qiila)
C: Setiap orang bisa mendefinisikan Demokrasi, karena tidak ada definisi yang baku… (qiila wa qiila)
JAWABAN PAKAR & ULAMA: JELAS DEFINISINYA
A. Jawaban I: Apa Definisi Demokrasi Menurut Pengakuan Penganut Demokrasi Sendiri?
Secara bahasa, Demokrasi (democratie) berasal dari bahasa Yunani kuno yang dicetuskan di Yunani pada abad ke-5 SM. Istilah ini terdiri dari dua kata: Pertama, Demos (rakyat). Kedua, Cratos (kedaulatan, pemerintahan).
Sebagaimana dijelaskan dalam literatur: “The term originates from the Greek δημοκρατία (dēmokratía) “rule of the people”, which was coined from δῆμος (dêmos) “people” and κράτος (kratos) “power” or “rule” in the 5th century BCE to denote the political systems then existing in Greek city-states, notably Athens.” (www.wikipedia.org/democracy. Lihat: δημοκρατία in Henry George Liddell, Robert Scott, “A Greek-English Lexicon”, at Perseus)
Artinya: “Demokrasi merupakan istilah yang berasal dari Yunani “δημοκρατία (dēmokratía)” yang berarti pemerintahan rakyat, yang tersusun dari kata δῆμος (dêmos) “rakyat” dan κράτος (kratos) “kedaulatan” atau “pemerintahan” pada abad ke-5 SM (sebelum masehi) yang merupakan sistem politik di Negara Kota Yunani, khususnya di Athena”.
Dan secara terperinci dijelaskan: “Even though there is no universally accepted definition of ‘democracy‘ there are two principles that any definition of democracy includes. The first principle is that all members of the society (citizens) have equal access to power and the second that all members (citizens) enjoy universally recognized freedoms and liberties.”[3] Artinya: “Meskipun tidak ada definisi Demokrasi yang diterima secara universal, namun ada dua prinsip Demokrasi yang disepakati. Prinsip pertama bahwa semua anggota warga negara memiliki hak yang sama untuk meraih kekuasaan[4]. Prinsip kedua bahwa semua warga negara berhak menikmati kebebasan dan kemerdekaan.”
B. Jawaban II: Apa Definisi Demokrasi Menurut Penjelasan Para Ulama?
Syaikh Dr. ‘Abdurrazzaq ‘Ied menuturkan:
إن كلمة (الديمقراطية) هي من أكثر مفردات الفكر السياسي العالمي قدمًا بأصولها اليونانية
“Sesungguhnya kalimat Demokrasi merupakan salah satu dari banyak kosakata pemikiran politis dunia yang sudah ada dari dulu dengan asal-usulnya dari Yunani.”[5]
Syaikh Dr. Mahmud al-Khalidi menukil pernyataan Syaikh Muhammad Asad yang menjelaskan:
حق الشعب المطلق في أن يشرع لجميع الأمور العامة، بأغلبية أصوات نوابه، وعلى هذا فإن ((إرادة الشعب)) التي انبثقت عن النظام الديمقراطي، تعني -من والجهة النظرية على الأقل- أن هذه الإرادة ذات حرة لا تتقيد مطلقًا بقيود خارجية، فهي سيدة نفسها، ولا تسأل أمام سلطة غير سلطتها. من هذا الفهم لواقع الديمقراطية، يتضح أنها تقوم على أساس إن السيادة للأمة.
“(Kedaulatan) merupakan hak rakyat yang bersifat mutlak dalam merumuskan berbagai peraturan secara umum melalui suara mayoritas wakilnya (di parlemen). Oleh karena itu, maka sesungguhnya “kehendak rakyat” yang lahir dari sistem Demokratis yakni: –minimal dari sisi teori- bahwa kehendak rakyat bebas tidak terbatas, bersifat mutlak terbebas dari batasan-batasan di luar kehendaknya, maka ia menjadi tuan bagi dirinya sendiri, tidak ada kedaulatan lain selain kedaulatannya.[6] Berdasarkan pemahaman ini, Demokrasi menjelaskan bahwa ia tegak di atas asas kedaulatan di tangan rakyat.”[7]
Syaikh Muhammad Syakir al-Syarif & Syaikh Abu Sayf Jalil ibn Ibrahim al-‘Iraqi menyatakan:
فصارت الكلمة المركبة من هاتين الكلمتين تعني: حكم الشعب أو سلطة الشعب، وعلى ذلك: فـ “الديمقراطية” هي ذلك النظام من أنظمة الحكم الذي يكون الحكم فيه أو السلطة أو سلطة إصدار القوانين والتشريعات من حق الشعب أو الأمة أو جمهور الناس.
“Maka jadilah frase ini (Demokrasi) tersusun dari dua kalimat: pemerintahan rakyat atau kedaulatan rakyat, oleh karena itu: Demokrasi merupakan salah satu sistem dari berbagai sistem pemerintahan yang menjadikan kedaulatan atau kedaulatan konstitusional sebagai hak rakyat, umat atau suara mayoritas.”[8]
Syaikh Hafizh Shalih menegaskan:
أما المعنى الحقيقي الذي أطلقت عليه هذه الكلمت أي كلمة ديمقراطية -فهو حكم الشعب بالشعب وللشعب- حيث أنها كلمة يونانية الأصل -إغريقية- وهي مركبة من كلمتين هما “ديمو” و”كراتيك” وتعني أن السيادة للشعب، أي أن الشعب هو الذي يمارس إرادته، فهو الذي يضع قوانينه ونظم حياته، وهو الذي يختار حكامه، وهو الذي يلزم الحاكم بتنفيذ هذه النظم والقوانين.
“Adapun makna hakiki yang disebutkan kata ini yakni kata “Demokrasi” –adalah pemerintahan rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat- dimana ia adalah suatu kata yang berasal dari Yunani –Greek- tersusun dari dua kata: Demos dan Kratos yakni kedaulatan milik rakyat, bahwa rakyat yang menjalankan kehendaknya sendiri, menetapkan perundang-undangan dan mengatur hidupnya. Rakyat pula yang memilih para penguasanya yang diharuskan menerapkan peraturan dan perundang-undangannya.”[9]
Syaikh Prof. Dr. ‘Abdul Qadim Zallum menyatakan:
والديمقراطية لفظة غربية، واصطلاح غربي يطلق على “حكم الشعب للشعب بتشريع الشعب” فالشعب هو السيد المطلق، وهو صاحب السيادة، يملك زمام أمره، ويمارس إرادته، ويسيرها بنفسه. ولا يُسأل أمام سلطة غير سلطته، وهو الذي يُشرِّعُ الأنظمة والقوانين -باعتباره صاحب السيادة- بواسطة نوابه الذين يختارهم، وينفذ هذه الأنظمة والقوانين التي شرَّعها بواسطة الحكام والقضاة الذين يعيّنهم، والذين يستمدون منه سلطاتهم، باعتباره مصدر السلطات. ولكل فرد من أفراده من الحق ما للآخرين من إيجاد الدولة، ونصب الحكام، وتشريع الأنظمة والقوانين.
“Demokrasi merupakan lafazh asing (dari Barat) yang digunakan untuk menunjukkan pemerintahan dari, oleh, dan untuk rakyat. Rakyat adalah penguasa mutlak dan pemilik kedaulatan, yang berhak mengatur urusannya sendiri, serta melaksanakan dan menjalankan kehendaknya sendiri. Rakyat tidak bertanggung jawab kepada kekuasaan siapapun, selain kekuasaan rakyat. Rakyat berhak membuat peraturan dan undang-undang sendiri —karena mereka adalah pemilik kedaulatan— melalui para wakil rakyat yang mereka pilih. Rakyat berhak pula menerapkan peraturan dan undang-undang yang telah mereka buat, melalui para penguasa dan hakim yang mereka pilih dan keduanya mengambil alih kekuasaan dari rakyat, karena rakyat adalah sumber kekuasaan. Setiap individu rakyat —sebagaimana individu lainnya— berhak menyelenggarakan negara, mengangkat penguasa, serta membuat peraturan dan undang-undang.”
C. Jawaban III: Bagaimana Kaidah Islam dalam Mengadopsi & Menghukumi Definisi?
Istilah Demokrasi, dipahami berdasarkan definisi dari asal-usulnya (Yunani) maka definisi inilah yang dihukumi. Syaikh Muhammad Syakir al-Syarif dalam kitab Haqiiqatud Diimuqraathiyyah mengungkapkan:
قد تعودنا – وهذه عادة صحيحة ينبغي الحرص عليها – أن الكلمات ذات الأصل غير العربي، عندما نريد معرفة مدلولها، فإنه ينبغي أن نرجع في فهم معناها وإدراك حقيقة مدلولها إلى أصل الكلمة في المَوْطِن الذي خرجت منه؛ حتى لا يخدعنا المترجمون الذين لهم أهواء وشهوات وشبهات في تحريف معاني هذه المصطلحات الأجنبية، وتقديمها للناس في ثوب خادع يستخفّون به غير المتخصصين من الناس، وقليلي المعرفة؛ لترويج هذه المصطلحات ومدلولاتها في مجتمع المسلمين.
“Sungguh kita (dalam islam) sudah terbiasa – dan hal ini merupakan kebiasaan yang benar yang harus senantiasa diperhatikan – bahwa setiap kata yang bukan berasal dari bahasa arab, ketika kita ingin memahami pengertiannya, maka kita harus memahami makna dan mengetahui hakikat pengertiannya dengan mengembalikannya pada pemahaman asal kata tersebut di tempat kemunculannya. Sehingga kita tidak dikelabui para penerjemah yang terjangkit penyakit hawa nafsu, berbagai syahwat dan syubhat menyimpangkan makna dari istilah-istilah asing ini, dan digunakan kepada manusia dengan jubah tipudaya meremehkan orang-orang awam dan sedikit ilmunya, dengan maksud mempromosikan istilah-istilah dan pengertian kata ini di tengah-tengah kaum muslimin.”
Penjelasan serupa di atas, bisa kita temukan pula dalam disertasi Syaikh Dr. Muhammad Ahmad ‘Abdul Ghaniy yang menuturkan:
ويترتب على هذا الانتماء حظر أيّ تداخل بين الألفاظ ذات المصطلحات الإسْلاميَّة من جهة وكل المصطلحات غير الإسْلاميَّة من جهةٍ أخرى، ويترتب على هذه الاستقلالية للإسلام حظر استعمال كل مصطلح له انتماء إلى عقيدة غير الإسلام. بل المفترض أن يكون منع التداخل في المفاهيم والمصطلحات عاماً لكل مذهب أو عقيدة
“Dan menggagas penggabungan ini (baca: pengaburan istilah-istilah-pen.) berbahaya, yakni menyebabkan tumpang tindih antara lafazh-lafazh yang termasuk istilah islami di satu sisi dan istilah-istilah di luar islam di sisi yang lain. Dan berbahaya pula terhadap islam, gagasan atas kebebasan penggunaan istilah-istilah di luar akidah islam untuk diterapkan ke dalam istilah islam. Maka, wajib dicegah adanya tumpang tindih dalam pemahaman-pemahaman dan istilah-istilah ini secara umum bagi seluruh aliran atau keyakinan.”[10]
Tidak ada pengambilan pendapat (opini pribadi.pen.) dalam pengambilan definisi sebuah kata. Dalam hal ini, prinsip suara mayoritas pun tidak berlaku, tidak sah.[11]
Syaikh Muhammad Asad dalam kitab Minhaj Al-Islam fi Al-Hukm (hlm. 52) mengungkapkan:
إنه من باب التضليل المؤذي إلى أبعد الحدود، ان يحاول الناس تطبيق المصطلحات التي لا صلة لها بالإسلام على الأفكار والأنظمة الإسلامية
“Merupakan penyesatan yang sangat berbahaya dengan kesesatan sejauh-jauhnya, jika ada orang yang mencoba menerapkan istilah-istilah yang tidak ada hubungannya dengan Islam diterapkan pada pemikiran-pemikiran dan peraturan-peraturan Islam.”[12]
Sebagai contoh, al-‘Aliim al-Syaikh ‘Atha’ Ibn Khalil menjelaskan dalam kitab tafsirnya:
فمثلا لو سئلنا الحكم الشرعي في الاشتراكية، فلا نبحث معنى الاشتراكية اللغوي من اشترك أو شركاء أو شركة حسب معانيها اللغوية ونسلط الحكم عليها، بل نسلط الحكم الشرعي على المعنى الاصطلاحي لكلمة (اشتراكية) فنجد أن أهلها سموها ب هذا الاسم للدلالة على مبدأ معين ينكر أن هناك خالقا للمادة ويعتبرها أزلية ثم يطبق أحكاما منبثقة من عقيدته هذه، فيقول بتطور المادة و إلغاء الملكيات وأنواع المساواة المبنية في ذلك النظام، وبهذا المعنى نقول إن الاشتراكية نظام كفر للنصوص الواردة حول مدلولها الاصطلاحي.
“Maka sebagai contoh, apabila ditanyakan kepada kita: hukum syara’ atas sosialisme, maka kita tidak mengkaji makna sosialisme dari kata ‘sosialisasi’, ‘sekutu’ atau ‘persekutuan’ berdasarkan makna-maknanya secara bahasa dan kita menghukuminya. Akan tetapi, kita menyerahkan otoritas terhadap hukum syara’ (menghukuminya) berdasarkan makna istilah dari kata ‘sosialisme’, maka kita temukan bahwa para penganut sosialisme menamakannya dengan istilah tersebut untuk menunjukkan ideologi tertentu yang mengingkari keberadaan Sang Khalik, meyakini materi dan keabadiannya, kemudian menggali hukum tertentu berdasarkan dari akidahnya ini. Maka kita katakan bahwa evolusi materi, penghapusan kepemilikan dan semboyan-semboyan persamaan tertentu lahir dari sistem ini. Berdasarkan hal ini, kita katakan bahwa sosialisme merupakan sistem kufur berdasarkan nash-nash yang telah disebutkan tentang pengertian istilahiy.”
SYUBHAT II: DEMOKRASI SAMA DENGAN ILMU SAINS; FISIKA, MATEMATIKA, –[13]
A: Kalau antum mengharamkan Demokrasi, maka haramkan pula ilmu matematika, fisika, dll… (qiila wa qiila)
JAWABAN ULAMA:
Peradaban adalah sekumpulan pemahaman tentang kehidupan, mencakup kehidupan dunia dan keyakinan apa yang akan terjadi pada manusia setelah kematiannya. Maka, peradaban jelas bersifat khas sesuai dengan pandangan hidup tertentu
Al-‘Allaamah Qadhi Taqiyuddin al-Nabhani menjelaskan:
الحضارة هي مجموع المفاهيم عن الحياة.. وتكون الحضارة خاصة حسب وجهة النظر في الحياة.
“Peradaban adalah sekumpulan pemahaman tentang kehidupan… yang bersifat khas berdasarkan sudut pandang tertentu terhadap kehidupan.”[14]
Demokrasi sebagai sebuah paradigma politik, jelas memiliki prinsip dan asas tertentu yang bersifat khas, dimana prinsip dan asas tersebut bertentangan dengan prinsip-prinsip dan asas politik Islam (as-siyaasah asy-syar’iyyah)
SYUBHAT III: DEMOKRASI ADA KEBAIKANNYA
A: Demokrasi memang bukan dari Islam, tapi ada kebaikannya… (qiila wa qiila)
B: Demokrasi adalah jalan menuju perubahan… (qiila wa qiila)
C: Demokrasi yang telah dijalankan di Indonesia dinilai sudah baik, bahkan demokrasi yang diterapkan di Indonesia menjadi bahan rujukan untuk penerapan demokrasi di negara timur tengah… (qiila wa qiila)
JAWABAN ULAMA: JELAS BAHAYANYA, KEBOBROKANNYA, KESESATANNYA & PERTENTANGANNYA DENGAN AJARAN-AJARAN ISLAM
A. Jawaban I: Bahaya Prinsipil Ajaran Kedaulatan Rakyat dalam Demokrasi
Syaikh Hatim bin Hasan al-Dib ketika menjelaskan “min mabaadii’ al-diimuqraathiyyah” (diantara prinsip-prinsip demokrasi), ia menuturkan:
مبدأ سيادة الشعب: ومعناه أن الشعب هو مصدر السلطات، وعليه فما يراه الشعب حلالاً فهو حلال ولو كان حرامًا بالكتاب والسنة وإجماع الأمة مثل زواج الشواذ وشرب الخمر وبيعها، والتعامل بالربا.
“Prinsip kedaulatan rakyat: maknanya bahwa rakyat adalah sumber berbagai kedaulatan (otoritas), oleh karena itu apa-apa yang dipandang boleh oleh rakyat maka diperbolehkan (dilegalkan) meskipun sebenarnya diharamkan berdasarkan al-Qur’an dan al-Sunnah dan kesepakatan umat ini, misalnya legalisasi pernikahan sejenis, mengkonsumsi khamr dan memperjualbelikannya, serta transaksi riba.”[15]
Syaikh Dr. Mutawalli mengaitkan antara kedaulatan dengan otoritas tertinggi. Dan Syaikh Dr. Mutawalli pun mengadopsi pandangan bahwa kedaulatan adalah:
السلطة العليا التي لا نعرف فيما تنظم من علاقات سلطة عليا أخرى إلى جانبها
“Otoritas tertinggi yang tidak mengakui pengaturan otoritas lain selainnya.”[16]
Syaikh Dr. Mahmud al-Khalidi menuturkan:
فالديمقراطية آتية من جهة أن الإنسان هو الذي يضع نظامه، ولذلك كانت الأمة مصدر السلطات، فهي التي تضع الأنظمة، وهي التي تستأجر الحاكم ليحكمها، وتنزع هذا الحكم منه متى أرادت، وتضع له النظام الذي تريد، لأن الحكم عقد إجارة بين الشعب والحاكم، ليحكم بالنظام الذي يضعه له الشعب
“Maka Demokrasi lahir dari sisi pemahaman bahwa manusia yang berhak merumuskan peraturan, oleh karena itu umat menjadi sumber kedaulatan, maka umatlah yang merumuskan berbagai peraturan, umat pula yang mempekerjakan pemerintah untuknya, dan mencabut kekuasaan darinya jika umat menghendakinya, dan merumuskan peraturan yang diinginkan. Karena (dalam Demokrasi) kekuasaan adalah akad jasa antara rakyat dan penguasa, untuk memerintah dengan peraturan yang dirumuskan rakyat.”[17]
Syaikh Dr. Muhammad ‘Abdullah al-‘Arabi menjelaskan:
المثل الأعلى في الحكم الديمقراطي، هو أن يحكم الشعب نفسه بنفسه
“Slogan paling utama dalam Sistem Pemerintahan Demokratis bahwa rakyat memerintah dirinya oleh dirinya sendiri.”[18]
Syaikh Dr. Imam ‘Abdul Fattah menjelaskan:
فالكلمة العليا والمرجعية النهائية إنما هي للشعب ولا شيء يعلو فوقه، فهي “تعني أن يضع الشعب قوانينه بنفسه، وأن يحكم نفسه بنفسه، ولنفسه”
“Maka suara kebenaran tertinggi dan sumber keputusan merupakan milik rakyat, tidak ada sesuatu pun di atas kedudukannya, maka kedaulatan adalah hak rakyat untuk merumuskan perundang-undangan, dan bahwa rakyat yang memerintah dirinya oleh dirinya dan untuk dirinya sendiri.”[19]
Syaikh Dr. Mahmud al-Khalidi menukil pernyataan Syaikh Muhammad Asad yang menjelaskan:
حق الشعب المطلق في أن يشرع لجميع الأمور العامة، بأغلبية أصوات نوابه، وعلى هذا فإن ((إرادة الشعب)) التي انبثقت عن النظام الديمقراطي، تعني -من والجهة النظرية على الأقل- أن هذه الإرادة ذات حرة لا تتقيد مطلقًا بقيود خارجية، فهي سيدة نفسها، ولا تسأل أمام سلطة غير سلطتها.
“(Kedaulatan) merupakan hak rakyat yang bersifat mutlak dalam merumuskan berbagai peraturan secara umum melalui suara mayoritas wakilnya (di parlemen). Oleh karena itu, maka sesungguhnya “kehendak rakyat” yang lahir dari sistem Demokratis yakni: –minimal dari sisi teori- bahwa kehendak rakyat bebas tidak terbatas, bersifat mutlak terbebas dari batasan-batasan di luar kehendaknya, maka ia menjadi tuan bagi dirinya sendiri, tidak ada kedaulatan lain selain kedaulatannya.[20]
B. Jawaban II: Ajaran Demokrasi Jelas Berbahaya
KH. Muhammad Harun Ridhwan (mubaligh, tokoh ulama Cianjur) – Cianjur, 27/1/2013 ketika menjelaskan tafsir QS. al-An’aam [6]: 115-116, menuturkan (dengan bahasa Sunda dan diterjemahkan):
“Kata Rabb berkaitan dengan perbuatan-perbuatan Allah, berbeda dengan kata Ilaah yang berkaitan dengan pujian dan penyembahan. Kalimat “Dan jika kamu mengikuti sebagian besar manusia di muka bumi, mereka akan memalingkanmu dari Jalan Allah.” Maknanya adalah Demokrasi, saya pernah mendengar seorang mubaligh menyatakan bahwa Rasulullah itu Demokratis berdasarkan kisah Perang Khandaq. Padahal jika dikaji berdasarkan sejarah yang benar, Rasul SAW justru tidak Demokratis. Dalam Perang Khandaq Rasul SAW justru tidak mengambil pendapat mayoritas tapi pendapat Salman al-Farisi r.a. yang kisahnya terkenal. Kita menolak Demokrasi karena Demokrasi menyimpang dari ajaran Allah dan Rasul-Nya.”
Fadhilatusy-Syaikh ‘Abdurrahman bin Hammad al-‘Umar menuturkan:
ويكفي العاقل لكي يحكم على الديمقراطية والعلمانية ربيبتي الماسونية بالفساد الشامل والكفر البواح، وأنها دمار للدين والدنيا
“Dan cukup bagi orang yang berakal untuk menghukumi Demokrasi dan Sekularisme sebagai sekutu Freemason dalam kerusakan kompleks dan kekufuran yang nyata, dan sesungguhnya Demokrasi merupakan malapetaka bagi agama dan kehidupan dunia.”[21]
Asy-Syaikh ‘Abdurrahman bin Hammad al-‘Umar menuturkan:
أرى من الواجب عليَّ وعلى كل عالم وكاتب إسلامي يؤمن بما أوجب الله سبحانه عليه من الدعوة إليه سبحانه وتعالى والأمر بالمعروف والنهي عن المنكر والسعي لإنقاذ الإنسانية عامة والأمة الإسلامية خاصة من أسباب الهلاك والشقاء.. أرى من الواجب المحتم: أن نبين للناس جميعًا حكامًا ومحكومين خطرًا عظيمًا يتهددهم بهلاك عقدي وأخلاقي واجتماعي واقتصادي وصحي.. يتهددهم بشقاء محتوم لكل من وقع في شراكه وسار في ركاب الواقعين فيه.. هذا الخطر العظيم هو ما يسمى بـ: الديمقراطية
“Saya memandang di antara kewajiban bagiku, bagi seluruh orang berilmu dan jurnalis muslim yang beriman terhadap apa yang diwajibkan Allah SWT kepadanya yakni berdakwah menyeru kepada-Nya, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah kemungkaran, dan berupaya keras menyelamatkan umat manusia dan khususnya umat Islam dari berbagai hal yang membinasakan dan menimbulkan kesengsaraan.. Saya memandang diantara kewajiban yang tegas: wajib bagi kita menjelaskan kepada masyarakat, penguasa dan rakyatnya bahaya besar yang mengancam mereka dengan kehancuran akidah, akhlak, pergaulan sosial, perekonomian dan dunia kesehatan… serta mengancam mereka dengan kesengsaraan yang pasti bagi orang yang bersekutu di dalamnya dan berjalan di atas jalan kaum pragmatis.. Inilah bahaya besar yang dinamakan DEMOKRASI.”[22]
Sama halnya ketika terjalin dalam diskusi “أهمية مكانة السلطان في إزالة المنكرات” (pentingnya kedudukan penguasa dalam menghapuskan berbagai kemungkaran di tengah-tengah kaum muslimin). Dr. Shalih Musa menegaskan bahwa hal itu bisa terwujud dengan adanya al-Dawlah al-Islamiyyah. Sedangkan Syaikh Dr. Abu ‘Abdullah menjelaskan kepada penulis:
فالواجب على من يتولى أمور المسلمين أن يمنع ما يضر المسلمين في دينهم ودنياهم
“Maka wajib bagi siapa saja yang menguasai urusan kaum muslimin (penguasa) untuk mencegah hal-hal yang bisa membayakan agama dan dunia kaum muslimin.”
C. Jawaban III: Jelas Pertentangannya dengan Prinsip Kedaulatan dalam Islam & Allah Yang Berhak Membuat Hukum
Menafsirkan QS. Al-An’aam [6]: 57, dalam kitab tafsir Fath al-Qadhiir, Imam al-Syawkani menjelaskan:
{ إِنِ الحكم إِلاَّ الله } أي ما الحكم في كل شيء إلا لله سبحانه… والمراد : الحكم الفاصل بين الحق والباطل.
“[Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah] yakni tidak ada hukum dalam hal apapun kecuali hak Allah SWT…. dan maksudnya: Hukum yang memisahkan antara kebenaran dan kebatilan.”
Menafsirkan QS. Al-Nisaa’ [4]: 65, al-Hafizh al-Imam al-Thabari menafsirkan ayat ini:
“فلا” فليس الأمر كما يزعمون: أنهم يؤمنون بما أنزل إليك، وهم يتحاكمون إلى الطاغوت، ويصدّون عنك إذا دعوا إليك يا محمد = واستأنف القسم جل ذكره فقال:”وربك”، يا محمد =”لا يؤمنون”، أي: لا يصدقون بي وبك وبما أنزل إليك =”حتى يحكموك فيما شجر بينهم”، يقول: حتى يجعلوك حكمًا بينهم فيما اختلط بينهم من أمورهم
“Frase fa laa (dan tidaklah) artinya tidak seperti apa yang mereka klaim: bahwa mereka beriman terhadap apa yang diturunkan kepadamu (al-Qur’an) tapi berhukum kepada thaghut-thaghut, dan memalingkan diri darimu ketika mereka menyerumu wahai Muhammad; kemudian dipertegas sumpah dalam firman-Nya yang mulia: “Demi Rabb-mu” wahai Muhammad; “mereka tidak beriman” yakni tidak membenarkan-Ku, dirimu dan terhadap apa yang diwahyukan kepadamu; “hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan” , artinya: “hingga mereka menjadikanmu hakim dalam perselisihan di antara mereka dalam berbagai urusan.”[23]
“ثم لا يجدوا في أنفسهم حرجًا مما قضيت”، يقول: لا يجدوا في أنفسهم ضيقًا مما قضيت. وإنما معناه: ثم لا تحرَج أنفسهم مما قضيت = أي: لا تأثم بإنكارها ما قضيتَ، وشكّها في طاعتك، وأن الذي قضيت به بينهم حقٌّ لا يجوز لهم خلافه.
“Kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan”, yakni: tidak ada kesempitan dalam diri mereka terhadap keputusanmu. Dan maknanya: kemudian tidak ada keterpaksaan dalam diri mereka menerima apa yang engkau putuskan. Yakni tidak berbuat dosa dengan mengingkari apa yang engkau putuskan, dan keputusanmu benar sehingga tidak diperbolehkan bagi mereka menyelisihinya.”
“ويسلموا تسليما”، يقول: ويسلّموا لقضائك وحكمك، إذعانًا منهم بالطاعة، وإقرارًا لك بالنبوة تسليمًا.
“Dan mereka menerimanya dengan sepenuh hati ” artinya: dan mereka menerima keputusan dan hukum darimu (Muhammad), ketundukan mereka demi keta’atan, dan sebagai pengakuan terhadap dirimu yang mengemban nubuwwah dengan sepenuhnya.”
Syaikh Dr. ‘Abdul Hakim al-‘Iliy menegaskan bahwa kedaulatan milik Allah semata.[24]
Syaikh Dr. Shubhi ‘Abduh Sa’id menegaskan:
لا محل ولا مجال في ظل الإسلام ونظام الحكم فيه، أن تثار مسألة السيادة لمن تكون في المجتمع؛ لأن هذه السيادة تنعقد لله وحده ولا يجترئ إنسان أن ينازعه هذا الاختصاص.
“Tidak ada tempat dan kesempatan di bawah naungan Islam dan Sistem Pemerintahannya untuk menyuarakan konsep kedaulatan di tangan masyarakat (rakyat); karena kedaulatan ini milik Allah semata, dan manusia tidak boleh bersikap angkuh menyelisihi kekhususan hak Allah ini.”[25]
Syaikh ‘Abdullah Al-Kaylani menjelaskan:
المفهوم الإسلامي يخالف الديمقراطية في أساس وجودها، فالتشريع في الإسلام سابق على الأمة وعلى الدولة، وهو يحكمها بتشريعه الإلهي ولا تحكمه هي بتشريعها الوضعي.
“Pemahaman Islam bertentangan dengan Demokrasi dari asas yang mendasari eksistensinya. Karena legislasi hukum dalam Islam (kedudukannya) di atas kehendak rakyat dan negara, Islam menghukumi semua dengan syari’atnya yang bersifat ilahi, dan Islam tidak tunduk di bawah legislasi perundang-undangan positif.”[26]
Syaikh Abu Sayf Jalil ibn Ibrahim al-‘Iraqi menuturkan:
أن قولهم الحكم للشعب وأن الشعب هو مصدر التشريع هو بحد ذاته كفر بالله العظيم ، وإلا من منح الشعب هذه السلطة ، ومن الذي جعله مشرعاً يشرع لنفسه ما يشاء ، وأين ذهبت شريعة الله التي أقسم الله بذاته المقدسة أنه لا يؤمن من لم يتحاكم إليها عن رضى وتسليم قال تعالى: فلاَ وَرَبِّكَ لاَ يُؤْمِنُونَ حَتَّىَ يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لاَ يَجِدُواْ فِي أَنفُسِهِمْ حَرَجاً مِّمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُواْ تَسْلِيماً [النساء : 65].
“Pernyataan mereka (penganut demokrasi) bahwa pemerintahan rakyat dan bahwa rakyat adalah sumber hukum, pada asalnya sudah merupakan kekufuran kepada Allah Yang Maha Agung, jika tidak siapa yang memberikan rakyat kedaulatan ini, dan siapa yang menjadikannya pembuat hukum yang mengatur dirinya sendiri sesuai kehendaknya sendiri, lantas kemana syari’at Allah dimana Allah telah bersumpah dengan Dzat-Nya yang Maha Suci bahwa tidak beriman orang yang tidak mau berhukum dengan syari’at-Nya dengan keridhaan dan berserah diri. Allah SWT berfirman: “Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (QS. al-Nisaa’: 65).”
Syaikh Prof. Muhammad Asad menjelaskan:
أما الدولة الإسلامية ولو قامت كنتيجة لإرادة الشعب فظلت خاضعة لإشرافه؛ فإنما تستمد سيادتها من قبل الله، فإذا سادت وفق الشروط الشرعية فلها على رعايها حق الطاعة والولاء.
“Adapun al-Dawlah al-Islamiyyah jika tunduk pada kehendak rakyat maka akan tergantung pada arahannya; maka sesungguhnya kedaulatan dalam al-Dawlah al-Islamiyyah milik Allah semata, maka apabila al-Dawlah al-Islamiyyah memerintah dengan perintah yang sejalan dengan syarat-syarat yang syar’i, maka atas pengaturannya ini wajib dita’ati dan diberikan loyalitas.”[27]
Syaikh Dr. Shalah al-Shawiy menuturkan:
لمن الحكم اليوم؟ سؤال تتقرر في ضوء الإجابة عليه هوية البلاد والعباد. لقد أجاب عنه أهل الإيمان في كل زمان ومكان بقوله تعالى: إِنِ الْحُكْمُ إِلَّا لِلَّهِ أَمَرَ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ ﴿يوسف: ٤٠﴾ فكانوا بذلك عبادًا لله، واستحقوا أن يثبت لهم بذلك عقد الإسلام.
“Siapa yang berhak membuat hukum saat ini?” Pertanyaan berulang penduduk negeri-negeri dan para hamba dengan jawaban yang sebenarnya terang benderang. Ahlul Iman menjawab pertanyaan ini kapanpun dimanapun dengan firman Allah SWT: “Keputusan itu hanyalah kepunyaan Allah. Dia telah memerintahkan agar kamu tidak menyembah selain Dia.” Karena mereka adalah hamba di hadapan Allah, dan mereka sudah selayaknya menerima ketetapan islam tersebut.”[28]
Berbeda dengan orang beriman, para pengikut hawa nafsu menjawab sebagaimana dituturkan Syaikh Dr. Shalah al-Shawiy:
وأجاب عنه أهل الضلالة بإجابات شتى، تلتقي جميعًا حول تحكيم الهوى، والخصومة مع الوحي، وفصل الدولة عن الدين.
“Para pengikut hawa nafsu menjawab pertanyaan ini dengan jawaban beragam, namun mereka semua bersekutu pada poin berhukum dengan hawa nafsu, permusuhan terhadap wahyu, dan pemisahan negara dari agama.”
Syaikh Prof. Dr. Muhammad Amhazun menegaskan:
لقد نفي الله عز وجل الإيمان عن الذين لا يتحاكمون إلى شرعه، ولا يرضون بحكمه وقضائه
“Sungguh Allah SWT telah menafikan keimanan bagi orang-orang yang tidak mau berhukum kepada syari’at-Nya, tidak ridha’ terhadap hukum-Nya dan keputusan-Nya (ada penolakan dan pengingkaran-pen.).” [29]
Menukil QS. An-Nisaa [4]: 65. Asy-Syaikh Prof. Dr. Muhammad Amhazun menukil penjelasan Imam Abu Bakr al-Jashshash yang berkata:
في هذه الآية دلالة على أن من ردّ شيئًا من أوامر الله تعالى أو أوامر رسوله –صلى الله عليه وسلم- فهو خارج من الإسلام، سواء ردّه من جهة الشك فيه أو من جهة ترك القبول والانقياد والامتناع عن التسليم.. لأن الله تعالى حكم بأن من لم يسلّم للنبي –صلى الله عليه وسلم- قضاءه وحكمه ليس من أهل الإيمان.
“Dalam ayat ini terdapat petunjuk bahwa barangsiapa menolak sesuatu dari perintah Allah atau perintah Rasulullah SAW, maka ia keluar dari Islam, sama saja apakah menolak karena faktor keraguan terhadapnya atau karena tidak mau menerima, tidak mau tunduk dan berserah diri… Karena Allah SWT memvonis orang yang tidak mau menerima keputusan dan hukum dari Nabi SAW sebagai orang yang tidak beriman (menolak-pen.).”[30]
Menukil ayat di atas, Syaikh ‘Abdul Hamid al-Ju’bah menuturkan:
إن الإيمان يحتم علينا التسليم المطلق بكل ما حكم الله به ، فإيماننا بالله خالقاً للوجود لا ينفصل إطلاقاً عن إيماننا به مشرعاً ، لأن الفصل بين الأمرين ضلال والعياذ بالله
“Sesungguhnya keimanan menuntut kita untuk tunduk secara mutlak terhadap hukum Allah, dan keimanan kita kepada Allah sebagai Sang Pencipta segala hal yang ada tidak dapat dipisahkan dari keimanan kita bahwa Allah adalah Yang Maha Membuat Hukum, karena memisahkan kedua hal ini merupakan kesesatan, dan kita berlindung kepada Allah dari hal ini.”[31]
Kemudian Syaikh ‘Abdul Hamid menegaskan:
إن الحاكمية لا تكون إلا لله ، و هي من أولى خصائص الألوهية التي انفرد بها سبحانه و تعالى ، و ليس لأحد من البشر أن يدعيها ، فالمشرع هو الله و الملك هو الله و المُحرّم هو الله و هو وحده المستحق للعبادة.
“Sesungguhnya tidak ada kewenangan hukum kecuali milik Allah, dan ini termasuk kekhususan tauhid al-uluhiyyah yang khusus bagi Allah SWT, tidak ada seorang manusia pun yang boleh mengklaimnya, maka pembuat hukum adalah Allah, Maha Raja itu adalah Allah, yang mengharamkan pun adalah Allah semata dan Dialah Allah Dzat Yang Disembah.”
Menafsirkan QS. Al-Baqarah [2]: 208, Imam Fakhruddin al-Razi dalam tafsir-nya menjelaskan makna kalimat “udkhuluu fis-silmi kaaffah”:
أي في شرائع الإسلام كافة، ولا يتمسكوا بشيء من أحكام التوراة اعتقادا له وعملا به، لأنها صارت منسوخة
“Yakni masuklah ke dalam aturan-aturan syari’at Islam secara menyeluruh, dan jangan berpedoman terhadap sesuatu pun dari hukum-hukum taurat , baik dari sisi keyakinan maupun amal, karena syari’atnya sudah dihapus (diganti oleh syari’at Islam-pen.).”[32]
Imam al-Razi pun menegaskan:
ادخلوا في جميع شرائع الإسلام اعتقادا وعملا
“Masuklah kalian ke dalam seluruh aturan-aturan Islam (al-syarii’ah al-islaamiyyah) baik dari sisi keyakinan maupun amal.”
Al-Hafizh Ibn Katsir menyatakan dalam tafsirnya:
يقول تعالى آمرًا عباده المؤمنين به المصدّقين برسوله: أنْ يأخذوا بجميع عُرَى الإسلام وشرائعه، والعمل بجميع أوامره، وترك جميع زواجره ما استطاعوا من ذلك.
“Allâh SWT berfirman memerintahkan hamba-hamba-Nya yang beriman untuk membenarkan Rasul-Nya: mengambil seluruh ikatan dan syari’at Islam, mengamalkan seluruh perintah-Nya dan meninggalkan seluruh larangan-Nya sesuai kemampuan (dengan segenap kemampuan-pen.).”[33]
Al-‘Alim al-Syaikh ‘Atha’ bin Khalil menegaskan:
ثم بين الله سبحانه أنهم إنْ لم يدخلوا في الإسلام كله، وأبقوا على أي شيء من الشرائع السابقة لم يقره الإسلام، فإنهم يكونون بذلك قد أوقعوا أنفسهم في غضب الله وعقابه، وبخاصةٍ وقد بين لهم الحجج الظاهرة الدالة على أن الإسلام هو الحق، وأنّ الأديان السابقة قد حرفت وبدلت: (وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الْإِسْلَامِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ) فبعد الإسلام لا يقبل أي شرع غيره.
“Kemudian Allah SWT menjelaskan bahwa jika mereka tidak masuk ke dalam seluruh ajaran Islam, dan tetap berpegang teguh pada ajaran dari syari’at-syari’at sebelumnya yang tidak dibenarkan oleh Islam, maka sesungguhnya mereka menjadikan diri mereka dimurkai oleh Allah dan siksa-Nya, dan secara khusus Allah menjelaskan bagi mereka hujjah-hujjah yang jelas menunjukkan bahwa Islam adalah jalan kebenaran, dan agama-agama terdahulu telah menyimpang dan berubah: (“Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) darinya”)[34], maka setelah syari’at Islam diturunkan tidak diterima syari’at selainnya.”
Dan perintah dalam ayat ini pun merupakan kewajiban, karena ada indikasi yang menyertai tuntutan ini (qariinah): “dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan”. Sebagaimana diungkapkan Syaikh ‘Atha’ bin Khalil.
Syaikh Dr. Samih ‘Athif al-Zayn menuturkan:
فالإسلام القائم على التوحيد جعل مقياس الحكم على الناس، أفرادًا وجماعاتٍ، بمقدار ما هم عليه من تقوى، والتزام بالشريعة التي أرادها الله تعالى منهاجًا للبشرية، بعدها أزال عنهم خَبَثَ الجاهلية وظلامَ الشرك، وجَوْرَ العصبية، وحرَّم الاسترقاق وعالج الرق لقوله عز من قائل : إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ
“Dan Islam yang tegak di atas asas tauhid menjadi standar hukum bagi manusia, baik individu maupun masyarakat, dengan kewajiban takwa dan konsisten terhadap syari’ah yang dikehendaki Allah SWT sebagai manhaj hidup bagi manusia, setelah itu Allah pun memberantas keburukan jahiliyah dan gelapnya kesyirikan dari mereka (umat manusia) dan kesewenang-wenangan fanatisme, mengharamkan perbudakan dan menghapuskannya berdasarkan firman Allah: “Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa.”[35]
D. Jawaban IV: Jelas Kesesatan Asas Sekularisme Demokrasi
Syaikh Hasan al-Sayid menegaskan:
أن هذه الديمقراطية تسعى لحكم الدنيا بقوانين وضعية على خلاف شرع الله، بمعنى أنها تسعى لتعديل حكم الله، أما نظام الحكم في الدولة الإسلامية فيسعى لحفظ الدين ونشره وحمايته وحكم الدنيا به.
“Demokrasi ada untuk menghukumi kehidupan dunia dengan perundang-undangan positif (yang diberlakukan negara-pen.) yang menyelisihi syari’at Allah, artinya Demokrasi berusaha menandingi hukum Allah. Adapun Sistem Pemerintahan dalam Negara Islam tegak untuk menjaga eksistensi Din al-Islam, menyebarkannya dan melindunginya, serta menghukumi kehidupan dunia dengannya.”[36]
Syaikh Isma’il al-Khathib mengungkapkan:
تقوم الديمقراطية أساسًا على مبدأ فصل الدين عن المجتمع، وولادتها جاءت بعد مفارقة الدين.
“Demokrasi tegak di atas asas prinsip pemisahan agama dari masyarakat, dan kebangkitannya setelah terjadi perpecahan agama[37].”[38]
Lihat pula penegasan al-’Allamah Qadhi Taqiyuddin an-Nabhani dalam kitab Nizhaam al-Islaam.
Syaikh Dr. ‘Athiyyah ‘Adlan menegaskan:
إن الحق الذي لا مرية فيه أن الإسلام دين ودولة، وأن النبي -صلى الله عليه وسلم- أقام الدين الإسلامي وأقام كذلك الدولة الإسلامية، وأن الشريعة الإسلامية مشتملة على النظرية السياسية، وعلى نظام الحكم، وعلى القواعد التي يقيم عليها المسلمون دولتهم
“Sesungguhnya kebenaran yang tidak bisa dipungkiri adalah bahwa Islam merupakan agama dan negara, dan bahwa Nabi SAW disamping menegakkan Din Islam beliau pun menegakkan Negara Islam, dan bahwa Syari’at Islam mencakup pandangan tentang politik, sistem pemerintahan, serta asas-asas kaidah yang wajib ditegakkan kaum muslimin atas negaranya.”[39]
Syaikh Prof. Dr. Muhammad Ahmad Mufti menjelakan: “Adapun slogan pemisahan agama dari negara, sesungguhnya slogan ini hanya ‘sesuai’ untuk Dunia Barat yang merumuskan berbagai pandangan dan sistem peraturan yang menjadi tujuan mereka, yakni untuk menyelesaikan berbagai perbedaan pandangan antara pihak gereja dan penguasa, dan menghentikan perselisihan keduanya di tangan raja. Hal ini tidak pantas bagi kaum muslimin dengan alasan apapun, karena agama mereka adalah Islam dan negara mereka tidak boleh tegak kecuali di atas asas Islam, maka tidak boleh memisahkan antara Islam sebagai agama dan Negara Islam sebagai kekuasaan. Baik tegaknya pemerintahan di atas asas Islam maupun wajib adanya Negara Islamiyyah . Dan mustahil kaum muslimin bisa hidup seperti kaum muslimin tanpa negara yang dinaungi Islam, namun eksistensi dan keberadaan mereka hidup secara islami. Lantas, bagaimana kita bisa memisahkan antara agama Islam dan Negara Islamiyyah, padahal ada perintah-perintah Allah SWT kepada kaum muslimin yang mewajibkan atas mereka menegakkan pemerintahan yang sesuai dengan syari’at agama mereka? Bukankah al-Qur’an al-Karim adalah kitab suci yang diturunkan Rabb Semesta Alam dan Dia menjelaskan di dalamnya kaidah-kaidah pemerintahan dalam al-Dawlah al-Islaamiyyah?
Islam telah menggariskan paradigma politik yang agung yang berbeda dengan paradigma politik Demokrasi, dimana para ulama mendefinisikan as-siyaasah asy-syar’iyyah:
رعاية شؤون الأمة بالداخل والخارج وفق الشريعة الاسلامية
“Pemeliharaan terhadap urusan umat dalam dan luar negeri berdasarkan syari’at islam.” [40]
Syaikh Prof. Dr. Muhammad Ahmad Mufti menegaskan dalam subjudul Pentingnya Kedudukan Kekuasaan Politis dalam Islam (ضرورة السلطة السياسية في الإسلام):
يعارض الإسلام الفوضى السياسية ويطالب بقيام السلطة المنظمة حتى في ما يتعلق بتنظيم الشؤون الخاصة، وفي ذلك يقول الرسول -ص-: ((إذا خرج ثلاثة في سفر فليؤمروا أحدهم))[41]
“Islam menolak segala kekacaun politis dan menuntut kekuasaan yang teratur hingga pada pengaturan berbagai urusan khusus. Dalam hal ini Rasulullah SAW bersabda: “Jika tiga orang bepergian maka angkatlah salah satunya menjadi pemimpin.”[42]
Lalu, Syaikh Prof. Dr. Muhammad Ahmad Mufti pun menegaskan:
ومن هذا استنباط الفقهاء وجوب وجود القيادة السياسية والمجتمع السياسي المنظم، فقد أشار ابن تيمية إلى أنه إذا كان الرسول -ص- قد أوجبها في الاجتماع الأصغر فهذا دليل واضح على وجوبها في الاجتماع الأكبر وهو اجتماع الأمة
“Oleh karena itu, para ahli fikih menggali hukum tentang kewajiban adanya kepemimpinan politik dan masyarakat yang politis yang teratur. Syaikh Ibn Taymiyyah menjelaskan bahwa jika Rasulullah SAW telah mewajibkan adanya kepemimpinan ini terhadap lingkup kecil, maka hal ini menjadi dalil yang sangat jelas terhadap kewajiban adanya kepemimpinan politis bagi lingkup masyarakat yang lebih luas yakni umat ini.”
Syaikh Dr. Shalah Al-Shawi menegaskan kekhasan politik dalam Islam:
فإقامة الدين وسياسة الدنيا به هو الفارق الأساسي بين نظام الإمامة وغيره من النظم الوضعية المعاصرة التي فصلت بين الدين والدنيا، وساست حياتها بمعزل عن دينها، وحملت الكافة على مقتضى الهوى والشهوة.
“Maka menegakkan agama dan mengatur urusan dunia dengan Islam merupakan perbedaan yang paling pokok antara sistem Imamah (Khilafah) dengan sistem-sistem politik yang tegak di zaman ini yang memisahkan antara Din dan pengaturan dunia, dan mengurusi urusan dunia dengan memisahkannya dari agamanya, dan mengemban seluruh tuntutan hawa nafsu dan syahwat.”[43]
Syaikh Dr. Muhammad bin Hamid Muhammad Hawari menuturkan:
العقيدة الإسلامية هي أساس الدولة، بحيث لا يتأتى وجود شيء في كيانها أو جهازها أو محاسبتها، أو كل ما يتعلق بها، إلا بجعل العقيدة الإسلامية أساسًا له. وهي في نفس الوقت أساس الدستور والقوانين الشرعية بحيث لا يسمح بوجود شيء مما له علاقة بأي منهما إلا إذا كان منبثقًا عن العقيدة الإسلامية.
“Akidah Islamiyyah adalah asas Negara, sehingga tidak ada sesuatu apa pun (selain akidah Islam-pen.) dalam Institusi Perangkat Negara, Struktur dan aktivitas muhasabah atasnya atau apapun yang berkaitan dengannya kecuali menjadikan akidah islamiyyah sebagai asas dari hal-hal tersebut. Pada saat yang sama, akidah ini pula yang menjadi asas Undang-Undang Dasar dan perundang-undangan syar’iyyah ketika Islam tidak memberikan peluang kepada apapun yang berkaitan dengan keduanya kecuali harus tergali dari akidah islamiyyah.”[44]
Syaikh Dr. Muhammad bin Hamid Muhammad Hawari menjelaskan lebih rinci:
لما كانت الدولة التي تطبق هذا الدستور ليست أي دولة بل دولة محددة الهوية، وأنها إسلامية، فإنها لابد أن تقيمه على أساس من الإسلام في فكرته الأولى التي تنبثق عنها وتبنى عليها جميع أفكاره الأخرى الفرعية.
“Negara yang menerapkan Undang-Undang Dasar seperti ini bukan sembarang negara melainkan negara tertentu yang unik, yakni Negara Islamiyyah, karena negara wajib tegak di atas asas Islam dalam pemikiran paling dasarnya (akidah) yang tergali dan diadopsi seluruh pemikiran cabang berdasarkan asasnya.”
E. Jawaban V: Jelas Bahaya Paham Demokrasi yang Lahir dari Hawa Nafsu
Al-‘Alim al-Syaikh Prof. ‘Abd al-Qadim Zallum memperingatkan:
الديمقراطية التي سوَّقها الغرب الكافر إلى بلاد المسلمين هي نظام كفر، لا علاقة لها بالإسلام، لا من قريب ولا من بعيد. وهي تتناقض مع أحكام الإسلام تناقضا كليا في الكليات وفي الجزئيات، وفي المصدر الذي جاءت منه، والعقيدة التي انبثقت عنها، والأساس الذي قامت عليه، وفي الأفكار والأنظمة التي أتت بها. لذلك فإنه يحرم على المسلمين أخذها، أو تطبيقها، أو الدعوة لها تحريما جازما
“Demokrasi yang dijajakan kaum kafir Barat ke negeri-negeri Islam, sesungguhnya merupakan sistem kufur; tidak ada hubungannya dengan Islam sama sekali, baik secara langsung maupun tidak langsung. Demokrasi sangat bertentangan dengan hukum-hukum Islam, baik secara global (garis besar) maupun partikular (rinci). Kontradiksi Demokrasi dengan Islam, tampak dari sumber kemunculannya, asas yang mendasarinya, serta dalam berbagai ide dan aturan yang dihasilkannya. Oleh karena itu, umat Islam diharamkan secara mutlak untuk mengambil-apalagi menerapkan dan menyebarluaskan-Demokrasi.” (Lihat: Al-Dîmuqrâthiyyah Nizhâm Kufrin)
Syaikh ‘Abdul Hamid al-Ju’bah menuturkan:
ثم إن الله سبحانه و تعالى قد ذم الأخذ بالرأي و الهوى في الأحكام الشرعية
“Sesungguhnya Allah SWT telah mencela orang yang mengambil ra’yu (pendapat penafsiran pribadi) dan hawa nafsunya terhadap hukum-hukum syari’ah.”
Syaikh ‘Abdul Hamid al-Ju’bah menambahkan:
و جاء في السنة ذمّ من يقول في دين الله بالعقل و الهوى
“Dan dalil dari al-Sunnah yang mencela orang yang berpendapat tentang Din Allah dengan akal dan hawa nafsunya.”[45]
Alangkah cakapnya penjelasan Imam al-Mawardi tentang al-hawa’ dalam Aadab al-Dunyaa wa al-Diin:
وَأَمَّا الْهَوَى فَهُوَ عَنْ الْخَيْرِ صَادٌّ، وَلِلْعَقْلِ مُضَادٌّ؛ لِأَنَّهُ يُنْتِجُ مِنْ الاخْلاَقِ قَبَائِحَهَا، وَيُظْهِرُ مِنْ الافْعَالِ فَضَائِحَهَا، وَيَجْعَلُ سِتْرَ الْمُرُوءَةِ مَهْتُوكًا، وَمَدْخَلَ الشَّرِّ مَسْلُوكًا
“Adapun hawa nafsu, ia adalah penolak kebaikan, lawan dari al-‘aql (akal pikiran); karena hawa nafsu terlahir dari keburukan akhlak, tampak dalam perbuatan yang buruk, menyingkap kehormatan, dan pengantar keburukan yang dilakukan.”[46]
Sahabat Rasulullaah SAW sekaligus sepupunya, sayyidina ‘Ali r.a., menuturkan:
أخوف ما أخاف عليكم اتباع الهوى وطول الأمل. أما اتباع الهوى فيصد عن الحق
“Hal yang paling aku takutkan terjadi pada kalian adalah mengikuti hawa nafsu dan terbuai dalam panjang angan-angan. Adapun dengan mengikuti hawa nafsu, seseorang akan menolak kebenaran.”
Al-‘Allaamah al-Imam al-Syafi’i -rahimahullaah- bertutur:
ولم تدر حيث الخطا والصواب |
إذا حار أمرك فـي معنيين |
يـــقــــود الـــنـــفـــس إلـــى مـــا يـــعـــاب |
فخالف هواك فإن الهوى |
“Jika samar urusanmu pada dua maksud
Dan engkau tak mengetahui mana yang keliru dan yang benar diantaranya
Maka selisihilah hawa nafsumu, karena hawa nafsu
Mengarahkan jiwa pada apa-apa yang dicela (keburukannya)”[47]
Dalam sya’ir-sya’ir nasihat pun diungkapkan:
واحذرْ هواك تجدْ رضاه
فإنما أصل الضلالة كلها الأهواء
“Berhati-hatilah dari hawa nafsumu, maka engkau raih keridhaan-Nya”
“Karena sesungguhnya hawa nafsu itulah sumber seluruh kesesatan”[48]
SYUBHAT IV: NKRI HARGA MATI? MENGAKU MADZHAB SYAFI’I MENJUNJUNG TINGGI 4 PILAR KEBANGSAAN & ANTI KHILAAFAH ISLAAMIYYAH?
A: Kita muslim Indonesia menjunjung tinggi 4 pilar kebangsaan, NKRI harga mati! Tolak ide Khilafah!
JAWABAN ULAMA SYAFI’I:
A. Jawaban I: Wajib Menerapkan Hukum Syari’ah
Riba haram di Darul Islam, maka haram pula di Darul Kufr. Faktanya di NKRI di bawah naungan Demokrasi riba malah dihalalkan, dan banyak kemaksiatan lainnya yang merajalela. Hingga perzinaan pun dilokalisasi di negeri ini. NKRI harga mati atau mati harga??
Al-‘Allamah asy-Syafi’i menegaskan:
أن الحلال في دار الإسلام حلال في دار الكفر، والحرام في دار الإسلام حرام في دار الكفر
“Bahwa yang halal di dalam Dâr al-Islâm (Negara Islam), halal pula di dalam Dâr al-Kufr, bahwa yang haram di Dâr al-Islâm juga haram di Dâr al-Kufr.”[49]
B. Jawaban II: Pentingnya Siyaasah Syar’iyyah (Pernyataan yang Dinisbatkan Pada Asy-Syafi’i):
Dalam qawl yang dinisbatkan pada al-‘Allamah al-Imam asy-Syafi’i, diungkapkan pentingnya aspek syar’i dalam pengaturan kehidupan. Dinyatakan bahwa:
لا سياسة إلا ما وافق الشرع
“Tidak ada siyaasah (politik) kecuali apa yang sejalan dengan hukum syara’ (as-siyaasah asy-syar’iyyah).”[50]
Ini sekaligus menunjukkan penolakan asy-Syafi’i atas konsep sekularisme yang menafikan peranan agama dalam pengaturan urusan kehidupan. Maka jelas rancu jika ada yang mengaku penganut madzhab asy-Syafi’i namun mendukung konsep as-siyaasah duuna asy-syarii’ah (politik tanpa syari’ah islamiyyah (sekularisme)). Islam adalah diin yang mengatur segala aspek kehidupan manusia termasuk sistem kehidupan dalam konteks bernegara.
C. Jawaban III: Wajibnya Al-Imaamah Bi Ma’na Al-Khilaafah & Pentingnya Kedudukannya Di Tengah-Tengah Umat
Al-Hafizh al-Imam al-Nawawi menuturkan pentingnya kedudukan Imam yang menegakkan asy-Syarii’ah al-Islaamiyyah (Khalifah):
لا بد للأمة من إمام يقيم الدين وينصر السنة وينتصف للمظلومين ويستوفي الحقوق ويضعها مواضعها
“Adalah suatu keharusan bagi umat adanya imam yang menegakkan agama dan yang menolong sunnah serta yang memberikan hak bagi orang yang didzalimi serta menunaikan hak dan menempatkan hal tersebut pada tempatnya.”[51]
Dalam banyak kitab, para ulama mu’tabar banyak menggunakan istilah Al-Imaamah yang semakna dengan al-Khilafah. Apa maknanya? Al-Hafizh al-Imam Abu Zakariya bin Syarf al-Nawawi (Ulama Sunni) menjelaskan:
والإمامة والخلافة وإمارة المؤمنين مترادفة، والمراد بها الرياسة العامة في شؤون الدين والدنيا.
“Imamah, Khilafah, dan Imaratul Mukminin adalah sinonim. Yang dimaksud dengannya adalah kepemimpinan umum dalam urusan-urusan agama dan dunia.”[52]
Dengan kata lain, bisa kita pahami pula dari pernyataan al-Hafizh al-Nawawi bahwa negara sekular tidak termasuk dalam makna al-Imamah ini.
Imam Al-Mawardi mendefinisikan:
الإمامة لخلافة النبوة في حراسة الدين وسياسة الدنيا به
“Al-Imamah adalah pengganti kenabian dalam menjaga agama dan mengatur urusan dunia.”
Qâdhi Abû Ya’la al-Farrâ’ mengungkapkan: “Imam diwajibkan untuk mengurus urusan umat ini, yakni sepuluh urusan: Pertama, menjaga agama berkenaan dengan ushûl yang disepakati umat terdahulu. Jika orang yang bersekongkol mempunyai kesalahan terhadapnya, dia (imam) bertanggungjawab untuk menerangkan hujjah dan menyampaikan kebenaran terhadapnya. Dia juga yang bertanggungjawab untuk melaksanakan hak dan sanksi, agar agama ini tetap terjaga dan terpelihara dari kesalahan. Dan umat ini akan tetap terhindar dari ketergelinciran.”[53]
Ketika Imam Fakhruddin Al-Razi, menjelaskan firman-Nya pada Surah Al-Ma’idah ayat 38, beliau menegaskan, “… para Mutakallimin ber-hujjah dengan ayat ini bahwa wajib atas umat untuk mengangkat seorang imam yang spesifik untuk mereka. Dalilnya adalah bahwa Dia Ta’ala mewajibkan di dalam ayat ini untuk menegakkan had atas pencuri dan pelaku zina. Maka adalah merupakan keharusan adanya seseorang yang melaksanakan seruan tersebut. Sungguh umat telah sepakat bahwa tidak seorangpun dari rakyat yang boleh menegakkan had atas pelaku kriminal tersebut. Bahkan mereka telah sepakat bahwa tidak boleh (haram) menegakkan had atas orang yang merdeka pelaku kriminal kecuali oleh imam. Karena itu ketika taklif tersebut sifatnya pasti (jazm) dan tidak mungkin keluar dari ikatan taklif ini kecuali dengan adanya imam, dan ketika kewajiban itu tidak tertunaikan kecuali dengan sesuatu, dan itu masih dalam batas kemampuan mukallaf maka (adanya) imam adalah wajib. Maka adalah suatu yang pasti qath’inya atas wajibnya mengangkat imam, seketika itu pula… “[54]
Imam al-Hafidz Ibn Hazm al-Andalusi mendokumentasikan Ijmâ’ Ulama bahwa (keberadaan) Imamah itu fardhu[55]:
… واتفقوا أن الإمامة فرض وأنه لا بد من إمام
“ …Mereka (para ‘ulama’) sepakat bahwa imamah itu fardhu dan adanya Imam itu merupakan suatu keharusan…”
Imam Abul Qasim al-Naisaburi asy-Syafi’i berkata[56]:
… أجمعت الأمة على أن المخاطب بقوله { فاجلدوا } هو الإمام حتى احتجوا به على وجوب نصب الإمام فإن ما لا يتم الواجب إلا به فهو واجب.
“…Umat telah sepakat bahwa yang menjadi obyek seruan (“maka jilidlah”) adalah imam. Dengan demikian mereka berhujjah atas wajibnya mengangkat imam. Sebab, apabila suatu kewajiban itu tidak sempurna tanpa adanya sesuatu tersebut maka ada sesuatu tersebut menjadi wajib pula.”
Al-‘Allamah Muhammad Nawawi al-Jawi menjelaskan tentang berbagai kemaksiatan, diantaranya:
والحكم بغير حكم الله لقوله تعالى: وَأَنِ احْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللهُ. وقوله تعالى: فَاحْكُمْ بَيْنَهُمْ بِالْقِسْطِ.
“Berhukum dengan selain hukum Allah berdasarkan firman-Nya: “Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allâh” dan firman-Nya: “Dan hukumilah mereka dengan ‘adil.”[57]
Al-Imam al-Mawardi menuturkan:
فَأَمَّا إقَامَةُ إمَامَيْنِ أَوْ ثَلاَثَةٍ فِي عَصْرٍ وَاحِدٍ، وَبَلَدٍ وَاحِدٍ فَلاَ يَجُوزُ إجْمَاعًا
“Adapun mengangkat dua orang penguasa atau tiga orang (atau lebih) dalam satu masa dan satu negeri maka tidak diperbolehkan secara ijma’.”
فَأَمَّا فِي بُلْدَانَ شَتَّى وَأَمْصَارٍ مُتَبَاعِدَةٍ فَقَدْ ذَهَبَتْ طَائِفَةٌ شَاذَّةٌ إلَى جَوَازِ ذَلِكَ؛ لِأَنَّ الامَامَ مَنْدُوبٌ لِلْمَصَالِحِ. وَإِذَا كَانَ اثْنَيْنِ فِي بَلَدَيْنِ أَوْ نَاحِيَتَيْنِ كَانَ كُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا أَقْوَمَ بِمَا فِي يَدَيْهِ، وَأَضْبَطَ لِمَا يَلِيهِ. وَلِأَنَّهُ لَمَّا جَازَ بَعْثَةُ نَبِيَّيْنِ فِي عَصْرٍ وَاحِدٍ وَلَمْ يُؤَدِّ ذَلِكَ إلَى إبْطَالِ النُّبُوَّةِ، كَانَتْ الامَامَةُ أَوْلَى وَلاَ يُؤَدِّي ذَلِكَ إلَى إبْطَالِ الامَامَةِ.
“Adapun dalam konteks negeri yang beragam dan wilayah yang berjauhan, maka satu golongan yang syadz (tidak dikenal, kontroversial) memperbolehkannya, (dengan alasan) karena penguasa merupakan duta untuk mewujudkan berbagai kemaslahatan. Dan (diasumsikan) jika ada dua penguasa dalam dua negeri atau dua bagian dimana setiap pemimpin dari dua pihak ini bisa lebih kokoh dengan kekuasaan yang ada di tangannya, dan lebih terkontrol dengan apa yang ada di sisinya (daripada kekuasaan berada dalam satu orang pemimpin-pen.), dan dikarenakan bolehnya pengutusan dua orang Nabi dalam satu masa dan tidak berdampak pada batalnya kenabian, maka kepemimpinan lebih memerlukan hal itu dan tidak lantas merusak kepemimpinan tersebut.”
وَذَهَبَ الْجُمْهُورُ إلَى أَنَّ إقَامَةَ إمَامَيْنِ فِي عَصْرٍ وَاحِدٍ لاَ يَجُوزُ شَرْعًا لِمَا رُوِيَ عَنْ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم أَنَّهُ قَالَ: {إذَا بُويِعَ أَمِيرَانِ فَاقْتُلُوا أَحَدَهُمَا}. وَرُوِيَ عَنْ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم أَنَّهُ قَالَ: {إذَا وَلَّيْتُمْ أَبَا بَكْرٍ تَجِدُوهُ قَوِيًّا فِي دِينِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ ضَعِيفًا فِي بَدَنِهِ. وَإِذَا وَلَّيْتُمْ عُمَرَ تَجِدُوهُ قَوِيًّا فِي دِينِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ قَوِيًّا فِي بَدَنِهِ، وَإِنْ وَلَّيْتُمْ عَلِيًّا تَجِدُوهُ هَادِيًا مَهْدِيًّا}. فَبَيَّنَ بِظَاهِرِ هَذَا الْكَلاَمِ أَنَّ إقَامَةَ جَمِيعِهِمْ فِي عَصْرٍ وَاحِدٍ لاَ يَصِحُّ، وَلَوْ صَحَّ لاَشَارَ إلَيْهِ، وَلَنَبَّهَ عَلَيْهِ.
“Dan mayoritas ulama mengadopsi pendapat bahwa mengangkat dua orang penguasa dalam satu masa tidak diperbolehkan secara syar’i berdasarkan apa yang diriwayatkan dari Nabi SAW bahwa beliau bersabda: “Jika diangkat dua orang pemimpin maka bunuhlah salah satunya (yang terakhir dari keduanya-pen.).” Dan diriwayatkan dari Nabi SAW bahwa beliau bersabda: “Jika kalian mengangkat Abu Bakr menjadi pemimpin maka kalian temukan dirinya kuat dalam Din Allah dan lemah fisiknya, dan jika kalian mengangkat ‘Umar menjadi pemimpin maka kalian temukan dirinya kuat dalam Din Allah dan kuat fisiknya, dan jika kalian mengangkat ‘Ali sebagai pemimpin maka akan kalian temukan bahwa ia adalah orang yang menyampaikan petunjuk dan dianugerahi petunjuk.” Maka penjelasan dengan zhahir hadits ini bahwa mengangkat mereka semua sebagai pemimpin dalam satu masa tidak sah (secara syar’i), meskipun di sisi lain dibenarkan mengisyaratkan hadits ini dan memperhatikannya.”[58]
Informasi Tambahan dari Para Ulama Lainnya:
Imam ‘Alauddin al-Kasani al-Hanafi berkata[59]: “…dan karena sesungguhnya mengangkat imam yang agung itu adalah fardhu. (ini) tidak ada perbedaan pendapat diantara ahlul haq. Dan tidak diperhatikan -perbedaan dengan sebagian Qadariyyah- karena Ijmâ’ shahabat atas hal tersebut, serta urgensitas kebutuhan terhadap imam yang agung tersebut. Untuk keteritakan terhadap hukum. Untuk menyelamatkan orang yang didzalimi dari orang yang dzalim. Untuk memutuskan perselisihan yang merupakan obyek yang menimbulkan kerusakan, dan kemaslahatan-kemaslahatan yang lain yang memang tidak akan tegak kecuali dengan adanya imam… “
Syaikh Dr. Shalah al-Shawi menjelaskan:
والإمامة إذا أطلقت حملت على الإمامة العظمى، فلا يوصف بها حينئذ إلا الخليفة، أما إذا أريد التقييد، فلابد من الإضافة المبينة للمراد، كأن يقال: إمام المحدثين أو إمام الفقهاء، ونحوه.
“Jika disebutkan kata Al-Imâmah maka bermakna Al-Imâmah Al-‘Uzhmâ (Imamah yang agung), dan tidak disifati dengan kedudukan ini kecuali Al-Khalifah. Adapun jika yang dimaksud bersifat terbatas (selain Khalifah), maka harus disambungkan dengan kata penjelas sesuai dengan apa yang dimaksudkan, misalnya disebutkan: Imâm al-Muhadditsiin (imam para ahli hadits), Imâm al-Fuqahâ’ (imam para ahli fikih), dan yang semisalnya.”[60]
Syaikh Dr. Shalah al-Shawi menyatakan:
الإمامة عند أهل السنة واجب من أعظم واجبات الدين، وفريضة من أعظم و آكد فرائضه، بل لا قيام للدين إلا بها، لأن ما قصده الشارع فيما شرع من المعاملات والمناكحات والجهاد والحدود والمقاصّات وإظهار شرائع الشرع في الأعياد والجماعات، لا يتم إلا بإمام يكون من قبل الشارع يرجعون إليه فيما يعنّ لهم، فنصب الإمام إذن من أتم مصالح المسلمين وأعظم مقاصد الدين
“Imamah menurut Ahlussunnah adalah wajib diantara kewajiban agama terbesar, dan fardhu diantara kefardhuan agama terbesar dan terkuat, bahkan agama tidak bisa tegak tanpa imamah. Karena tujuan al-Syari’ (Allah Pemilik syariah / Nabi SAW pembawa syariah) terkait syariat muamalah, munakahah, jihad, hudud, qishas dan menampakkan syiar-syiar agama dalam hari-hari raya dan jama’ah-jama’ah, semuanya tidak bisa terlaksana dengan sempurna, kecuali dengan imam yang diangkat melalui perintah al-Syari’ dan yang menjadi rujukan kaum muslim terkait urusan mereka. Dengan demikian, mengangkat imam itu termasuk kepentingan kaum muslim yang paling sempurna dan tujuan agama yang terbesar.”[61]
SYUBHAT V: KERJA NYATA (DENGAN SISTEM DEMOKRASI)
A: Omdo! Yang penting kerja nyata! (qiila wa qiila)
JAWABAN ULAMA: DEMOKRASI JELAS KEDUSTAANNYA & UTOPIS:
Ya, nyata-nyata membahayakan, menimbulkan syubhat di tengah-tengah kaum muslimin, seakan-akan tidak ada jalan lain kecuali dengan masuk ke dalam kubangan Demokrasi untuk menegakkan ajaran Islam yang luhur nan agung. Rasulullaah –shallallaahu ‘alayhi wa sallam- adalah teladan kita.
Syaikh Prof. Dr. Ahmad Mufti menegaskan:
فالديمقراطية وإن كانت قد انطلقت من نقطة أن الحكم للشعب لكنها انتهت واقعا وفعلا لحكم الأقلية، الأقلية الغنية المثقفة المنظمة التي استطاعت أن تحول القضية لصالحها فيما يطلق عليه حكم النخبة “ففي الأنظمة الغربية لا يحكم الشعب كما تفترض النظرية، ولكن الذي يحكم هي تلك الأقلية التي تسمى النخبة
”Maka Demokrasi meskipun bertolak dari teori bahwa kedaulatan milik rakyat, namun hal tersebut tak pernah terwujud karena pada tataran fakta dan realitas kedaulatan ada di tangan golongan minoritas, yakni golongan kaum kapitalis intelektual terorganisir yang berwenang mengatur hukum sesuai kepentingannya atas nama pemerintahan parlementer (perwakilan). Maka dalam sistem peraturan Barat, bukan rakyat yang berdaulat sebagaimana yang diklaim teorinya, melainkan golongan minoritas yang dinamakan parlemen (perwakilan).”[62]
Syaikh Hafizh Shalih dalam kitab al-Diimuqraathiyyah wa al-Hurriyyah menuturkan:
وأما من حيث الأصل الذي جعلته – الديمقراطية – أساساً لها، وهو قولها حكم الشعب بالشعب فهذه كذبة كبرى تحكم هي على ذاتها بالكذب. فهذا قول بعيد عن الصحة تماماً، سواء من حيث الحاكم، أو من حيث قواعد الحكم ونظمه وقوانينه، فهذه أمور تتناقض مع الواقع وتخالفه تماماً حتى لو بنيت على الحل الوسط، أو النـزول على حكم الأكثرية.
“Adapun berdasarkan asal-usulnya yang menjadi asas –Demokrasi- adalah pernyataan mereka (penganut Demokrasi-pen.) bahwa ia merupakan pemerintahan rakyat oleh rakyat. Pernyataan ini merupakan kebohongan besar, Pemerintahan Demokratis sejatinya merupakan kedustaan. Pernyataan ini benar-benar jauh dari kebenaran, sama saja baik dari sisi penguasanya maupun perangkat-perangkat aturan hukum, sistem dan perundang-undangannya. Hal-hal tersebut benar-benar bertentangan dan tidak sesuai dengan realitas yang ada, hingga meskipun dibangun dari prinsip jalan tengah, atau keputusan suara terbanyak.”
Syaikh Hafizh Shalih menjelaskan lebih jauh:
أما من حيث حكم الشعب، فإن الشعب لا يحكم ، والذي يسن الدستور ويضع التشريعات والقوانين هم فئة قليلة لا تمثل إلا نسبة ضئيلة جداً من الناس، وأما من حيث الحاكم أي بالشعب، أي أن الشعب هو الذي يختار حكامه، فإن هذا القول مبني على مغالطة فظيعة. فالذي يحكم واحد أو هيئة تنفيذية لا تزيد في كل أحوالها عن مجموعة صغيرة تقوم بتنفيذ ما شرع لها من أحكام.
“Adapun dari sisi pemerintahan dari rakyat, sesungguhnya bukan rakyat yang membuat hukum. Pihak yang merumuskan Undang-Undang Dasar, membuat berbagai peraturan dan perundang-undangan sejatinya adalah segolongan kecil yang tidak mempresentasikan rakyat kecuali sangat sedikit saja. Adapun dari sisi penguasa dari rakyat bahwa rakyat yang memilih para penguasanya, sesungguhnya pernyataan ini dibangun dari pemikiran yang menyesatkan. Pihak yang berkuasa hanyalah satu pihak atau suatu Komite Pelaksanaan yang tidak lebih dari sekelompok kecil yang berwenang membuat hukum.”
Syaikh Hatim bin Hasan al-Dib dalam kitab Maadzaa Ta’rifu Haadzihi al-Mushthalahaat menjelaskan:
المُشَرِّعُون الحقيقيون في النظام الديمقراطي الحر هم أصحاب النفوذ ورؤوس الأموال، بحكم ما لهم من نفوذ واسع يمكنهم من دخول مجالس التشريع أو إيصال من يريدونه أن يصل، ومن ثم تأتي التشريعات والقوانين لصالحهم ولحماية مصالحهم من دون بقية فئات الشعب، وفي مقابلة أُجريت مع المحامي الأمريكي رمزي كلارك يقول: لا شك في أن المال يتكلم في المحاكم الأمريكية…
“Pembuat hukum yang hakiki dalam Sistem Pemerintahan Demokratis yang bebas adalah pemilik kekuatan dan pemilik modal (kapitalis), dengan kekuasaan di sisi mereka dengan otoritas yang besar memungkinkan mereka mengintervensi majelis-majelis yuridis (pembuatan hukum) atau menyampaikan keinginan mereka agar dipenuhi.”
Syaikh Muhammad bin Syakir al-Syarif menyatakan:
إن القول أن الشعب هو الذي يحكم في النظام الديمقراطي، يعد من الخدع الكبرى في تاريخ الأنظمة السياسية. هذا العيب الجوهري في الديمقراطية الذي يجعل السيادة للشعب-وهو الأمر الذي تشبثت به ولم تستطع تحقيقه في واقعها، وذلك لعدم واقعيته- هو نقطة الضعف القاتلة لها في شريعة الإسلام
“Sesungguhnya teori bahwa rakyat yang berkuasa dalam sistem Demokratis, termasuk kebohongan besar dalam sejarah perjalanan sistem-sistem politik. Kelemahan hakiki dari Demokrasi yang menjadikan kedaulatan untuk rakyat –dan hal ini merupakan prinsip sandaran Demokrasi yang tidak mampu direalisasikan dalam kenyataan, hal itu karena prinsip ini memang tidak ada realitasnya- merupakan slogan lemah (tak terbukti-pen.) yang mematikan bagi Demokrasi dalam pandangan syari’at Islam.”
Syaikh Muhammad bin Syakir al-Syarif pun menegaskan:
وإذا كان حكم الشعب للشعب هو أعظم خصيصة من خصائص الديمقراطية التي يلهج بذكرها الذاكرون الديمقراطيون، فإن التاريخ القديم والحديث يدلنا على أن هذه الخصيصة المذكورة لم تتحقق على مدار تاريخ الديمقراطية، وأن نظام الحكم الديمقراطي كان دوماً نظاماً طبقياً، حيث تفرض فيه طبقة من طبقات المجتمع إرادتها ومشيئتها على باقي طبقات المجتمع. ففي القديم –عند الإغريق- كانت الطبقة المكونة من الأمراء والنبلاء وأشراف القوم هي الطبقة الحاكمة المشرِّعة صاحبة الإرادة العليا، بينما كانت بقية المواطنين –وهم الأغلبية- لا تملك من الأمر شيئاً. وأما في العصر الحديث : فإن طبقة كبار الأغنياء أصحاب رؤوس الأموال “الرأسماليين” هي الطبقة الحاكمة المشرعة صاحبة الإرادة العليا، فهي التي تملك الأحزاب ووسائل الإعلام ذات الأثر الجلي في تشكيل الرأي العام وصناعته، بما يكفل في النهاية أن تكون إرادة “الرأسماليين” هي الإرادة العليا صاحبة التشريع. ومن هنا يتضح أن الديمقراطية كانت دوماً حكم الأقلية –فئة كانت أو طبقة – للأغلبية، وليس حكومة الشعب أو الأغلبية كما يدل عليه ظاهر تعريف الديمقراطية، أو كما يتوهم كثير من الناس بل أكثرهم.
“Jika prinsip kedaulatan rakyat sebagai karakter paling utama dalam Demokrasi yang dinyatakan para penganut Demokrasi. Maka sesungguhnya, dalam catatan sejarah masa lampau dan hingga saat ini menunjukkan bahwa prinsip ini tidak pernah teralisasi sepanjang sejarah Demokrasi, dan pernyataan bahwa sistem pemerintahan Demokratis konon pernah terealisasi, hal itu terjadi ketika satu golongan dari masyarakat, menjadikan kehendak dan keinginannya sesuai dengan kehendak golongan-golongan lainnya di masyarakat. Dahulu –pada masa Yunani- golongan yang terdiri dari para penguasa, orang-orang yang dimuliakan dan para bangsawan adalah golongan yang berwenang membuat hukum, pemilik kedaulatan tertinggi, di sisi lain golongan sisanya –mayoritas rakyat- tidak memiliki hak apapun. Adapun di zaman ini, golongan yang terdiri dari para konglomerat “kapitalis” lah yang menjadi pemutus hukum, pemilik kedaulatan tertinggi; golongan ini pula yang menguasai partai-partai, dan media massa yang berpengaruh dalam membentuk opini umum dan menciptakannya. Maka pada akhirnya, kedaulatan para kapitalis dijadikan kedaulatan tertinggi, pembuat hukum. Berdasarkan penjelasan ini, jelas bahwa Demokrasi selalu menjadikan kekuasaan segolongan kecil –satu kelompok atau golongan- atas mayoritas, maka faktanya bukan kedaulatan rakyat atau suara mayoritas seperti yang selalu dijelaskan definisi Demokrasi dan tidak pula seperti yang diduga banyak orang bahkan sebagian besar dari mereka.”[63]
Benarkah rakyat berdaulat? Atau hakikatnya rakyat diperalat ?
- Apakah rakyat berdaulat ketika aset publik milik rakyat di privatisasi oleh Pemerintah yang akhirnya dipakai Kapitalis untuk memeras rakyat?
- Apakah rakyat berdaulat ketika subsidi BBM dari Pemerintah dikurangi, BBM naik, rakyat menolak tapi BBM tetap dinaikkan?
- Apakah rakyat berdaulat ketika kaum muslimin dibunuhi atas nama dugaan terorisme oleh Densus 88?
- Apakah rakyat berdaulat ketika kemiskinan seakan hal yang wajar di Negeri yang kaya SDA ini?
- Apakah rakyat berdaulat ketika kejahatan, kriminalitas dan kemaksiatan merajalela?
- Apakah rakyat berdaulat ketika sekolah semakin komersil, dan biaya pendidikan mahal?
- Apakah rakyat berdaulat ketika biaya bahan-bahan pokok naik dan biaya kesehatan dan pendidikan melambung tinggi karena kapitalisasi dan komersialisasi?
- Apakah rakyat berdaulat ketika hukum di seluruh dunia faktanya disusun dan ditegakkan dengan standar ganda?
- Apakah rakyat berdaulat & pemerintahan itu Demokratis ketika ada sebagian penduduknya yang muslimah hendak memenuhi kewajibannya mengenakan jilbab, tapi dilarang?
- Sistem Demokrasi di negara mana yang memberikan kebebasan kepada umat Islam, melaksanakan Islam Kaaffah? Dan segudang pertanyaan lainnya.
Saksikanlah bahwa kami tak butuh Demokrasi dan ajaran sesat kedaulatannya yang menyesatkan dan utopis!
SYUBHAT VI: MENIKMATI DEMOKRASI YA JANGAN SERANG PAHAM DEMOKRASI
A: Menentang Demokrasi kok menikmati Demokrasi?! Membuat KTP, menikmati fasilitas jalan, dan lainnya (qiila wa qiila)
JAWABAN ULAMA:
A. Jawaban I: Semua Perkara Dihukumi dengan Hukum Syari’at:
Semua perkara dihukumi dengan syari’at Islam secara rinci:
Al-Imam asy-Syatibi menegaskan bahwa syari’at Islam berlaku umum bagi semua orang mukallaf[64] dalam setiap keadaan.[65]
Al-Imam asy-Syawkani berkata:
فإن أحكام الشرع لازمة للمسلمين في أي مكان وجدوا، ودار الحرب ليست بناسخة للأحكام الشرعية أو لبعضها
“Sungguh hukum-hukum syara’ itu mengikat bagi kaum Muslim di manapun dia berada dan Dâr al-Harbi[66] tidak bisa menghapuskan hukum-hukum syara’ secara keseluruhan atau sebagian.”[67]
Cukuplah Rasulullaah SAW sebagai teladan –tidak mengharamkan yang dihalalkan Allah, atau sebaliknya-:
من ملاحظة نشأة النبي صلى الله عليه وسلم نجدُ أن الله تعالى قد أعدّه لتَلِّقي رسالته ونزول وحيه إعدادًا خاصًا، فاشتغل برعي الغنم، وعَمِلَ بالتجارة، ولم يشترك كغيره من شباب قريش في لهو أو عبث، ولم يرتكب شيئًا من أعمال الجاهلية، فلم يسجد لصنم أو وثن، ولم يأكل مما ذُبح للأصنام، ولم يشرب خمرًا، ولم يُفْحِش في قول أو فعل، ولم يكذب ولم يخدَع أحدًا، وإنما كان مثالا للصدق والأمانة حتّى عُرف بين أهل مكةِ بالصادق الأمين
“Di antara catatan tentang proses kehidupan Nabi SAW kita temukan bahwa Allah SWT telah mempersiapkannya untuk menerima risalah dan wahyu-Nya secara khusus, maka beliau SAW pernah bekerja menggembala kambing, berdagang, dan tidak pernah berbuat seperti para pemuda Quraysi yang tenggelam dalam kelalaian dan kesia-siaan, dan tidak pernah melakukan perbuatan-perbuatan jahiliyyah, tidak pernah bersujud kepada patung atau berhala, tidak pernah memakan binatang sembelihan untuk patung, tidak pernah meminum khamr, tidak pernah berbuat keji baik dalam perkataan maupun perbuatan, tidak pernah berdusta, tidak pernah menipu seorang pun, dan justru beliau menjadi teladan dalam kejujuran dan amanah sehingga beliau dikenal sebagai orang yang jujur dan terpercaya di antara penduduk Makkah.”[68]
B. Menikmati Demokrasi? Apa Kata Umar al-Faruq dan Sufyan ats-Tsauri?
Menikmati Demokrasi? Berarti ridha’ terhadapnya? Sama artinya dengan menikmati sistem kufur. Tidak ada kesamaran bahwa hal itu merupakan kebatilan. Menukil salah satu bait sya’ir Imam Sufyan Tsauri -rahimahullaah- kiranya sudah cukup menggambarkan penolakan kita –kaum muslimin- terhadap tuduhan rendah ini, wal ‘iyaadzu billaah:
لا خير في لذّة من بعدها النّار
“Tiada kebaikan dalam kenikmatan yang kesudahannya adalah siksa neraka”[69]
Dalam sya’ir di atas, Imam Sufyan al-Tsauri mengungkapkan kata “ladzdzatun” (لذّة) dalam bentuk lafazh nakirah (umum) maknanya mubham (tidak spesifik), bertolak dari pemahaman ini kita mengerti bahwa maksud beliau adalah segala hal yang dinikmati manusia, kenikmatan seperti apa? Maksudnya kenikmatan dalam kemaksiatan, hal ini dipahami dari ungkapan “kesudahannya adalah siksa neraka” (من بعدها النّار).
Khalifah ‘Umar bin al-Khaththab r.a. berkata:
نَحْنُ قَوْمٌ أَعَزَّنَا اللهُ بِاْلإِسْلاَمِ ، وَمَتىَ ابْتَغَيْنَا اْلعِزَّ بِغَيْرِ دِيْنِ اللهِ أَذَلَّنَا اللهُ
“Kami adalah kaum yang telah dimuliakan oleh Allâh dengan Islam, sehingga kapan saja kami mencari kemuliaan dengan selain agama Allâh, maka Allâh menghinakan kami.” (HR. al-Thabari dalam tafsirnya 13/478)
SYUBHAT VII: DEMOKRASI ITU KHILAF ULAMA
A: Demokrasi itu khilaf ulama yang mesti dimaklumi (qiila wa qiila)
JAWABAN ULAMA:
Tidak setiap perdebatan atau perbedaan pendapat bisa dinilai sebagai perkara khilaaf yang mesti dimaklumi (ada batasan-batasan yang jelas), mesti dipahami pula apa itu inhiraaf (penyimpangan). Sudah semestinya dipahami; batasan-batasan tersebut dengan ilmu, memahami perbedaan tersebut apakah dalam perkara yang dalil-dalilnya zhanniyyah atau qath’iyyah? Menakar semua pendapat dan mengembalikannya kepada al-Qur’an dan as-Sunnah. Lantas, apakah prinsip kedaulatan rakyat Demokrasi dimana manusia diberikan hak untuk membuat hukum dan ajaran-ajaran kebebasan ala Demokrasi tidak bertentangan dengan ajaran-ajaran Islam??
Menjelaskan QS. An-Nisaa’ [4]: 59, Syaikh ‘Abdul Hamid al-Ju’bah menuturkan:
و قوله تعالى : “فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ” و غيرها من الآيات التي دلت بشكل قاطع على جعل الكتاب و السنة أصلاً و مرجعاً للأحكام الشرعية .
“Dan firman Allah SWT “jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allâh (Al-Qur’ân) dan Rasul (sunnahnya)” dan ayat-ayat al-Qur’an yang lainnya menunjukkan secara tegas (qath’iy) wajibnya menjadikan al-Qur’an dan al-Sunnah sebagai asas dan rujukan hukum-hukum Islam.”[70]
Syaikh Dr. Khalid al-‘Arusiy –Pembantu Rektor Fakultas Syari’ah Universitas Umm al-Quraa’- menjelaskan bahwa perbedaan pendapat itu harus dirinci, menukil pernyataan Imam al-Syafi’i ia berkata:
وهذا التفصيل ذكره الإمام الشافعي – رحمه الله – في (( رسالته )) حيث جعل لهذا الاختلاف المرحوم قسيماً آخر ، وهو : الاختلاف المحرَّم ، فلما سئل – رحمه الله – ما الاختلاف المحرّم ؟ قال: (( كل ما أقام الله به الحجة في كتابه ، أو على لسان نبيِّه منصوصاً بيّناً لم يحلَّ الاختلاف فيه لمن علمه))
“Perincian dalam masalah ini (perbedaan pendapat) dijelaskan Imam al-Syafi’i –rahimahullaah- dalam kitab Al-Risaalah, ketika ia menjelaskan pembagian lain di samping perbedaan yang dirahmati, yakni: perbedaan pendapat yang diharamkan. Dan ketika Imam al-Syafi’i ditanya, apa yang dimaksud dengan perbedaan yang diharamkan? Ia menjawab: “Setiap perkara yang hujjahnya sudah ditegaskan Allah dalam kitab suci-Nya atau melalui lisan Nabi-Nya dengan nash-nash petunjuk yang jelas, yang tidak memperbolehkan adanya perbedaan pendapat bagi orang-orang yang mengetahuinya”.[71]
Al-‘Allamah asy-Syafi’i berdalil dengan QS. Al-Bayyinah [98]: 4 dan QS. Ali Imraan [3]: 105.
KH. Drs. Hafizh ‘Abdurrahman, MA menuturkan: “Konsep Kebenaran Islam tak ditentukan oleh pendapat mayoritas orang, namun ditentukan oleh pandangan yang paling ashwab (benar). Meskipun hanya dikemukakan hanya oleh satu orang. Dalam masalah Hukum Syara’, pandangan yang paling benar ditentukan oleh kekuatan dalil, meskipun hanya dikemukakan oleh seorang ‘ulama. Karena itu untuk menentukan kebenaran pandangan (atas suatu perkara), tidak dikembalikan kepada mayoritas atau minoritas ‘ulama yang menyatakannya, melainkan dikembalikan kepada hujjah siapakah yang lebih kuat.”[72]
SYUBHAT VI: DEMOKRASI PAHAM MODERN NEGARA-NEGARA ’MAJU’
A: Demokrasi itu modern, semakin demokratisnya suatu negara merupakan tanda kemajuan. Sedangkan sistem al-Khilafah adalah kuno. (qiila wa qiila… sekularis)
JAWABAN ULAMA: DEMOKRASI JELAS KUNO WARISAN JAHILIYAH:
Al-’Alim asy-Syaikh Dr. Ja’far Syaikh Idris:
لم تجد الديمقراطية في تاريخها كله رواجاً مثلما وجدت في عصرنا هذا : لقد كان معظم المفكرين الغربيين منذ عهد اليونان كثيري النقد لها ، بل ورفضها
“Demokrasi tidak pernah meraih popularitas sepanjang sejarahnya, seperti apa yang kita temukan di zaman ini: Padahal sungguh, sebagian besar pemikir Barat sendiri semenjak masa Yunani, telah mengkritik Demokrasi bahkan menolaknya.”[73]
SYUBHAT VII: DEMOKRASI ITU JALAN MERAIH KEKUASAAN & ANTI DEMOKRASI, ANTI PEMILU DEMOKRASI = ANTEK ZIONIS
A: Anti Demokrasi, anti pemilu Demokrasi itu antek zionis! (qiila wa qiila)
B: Demokratisasi itu penting bagi kehidupan bangsa (qiila wa qiila)
C: Demokrasi itu hanyalah kendaraan, sebuah jalan untuk menegakkan al-Islam (qiila wa qiila)
JAWABAN:
A. Jawaban I: Ini Pengakuan Jujur Kaum Kuffar Sendiri:
Obama dalam pidato resminya menyatakan: “Saya akan melakukan apapun jika menyangkut keamanan Israel. Saya pikir ini hal yang fundamental. Saya kira ini menyangkut kepentingan AS karena hubungan kami yang istimewa, karena Israel tidak hanya telah membangun demokrasi di wilayah itu (Palestina) tapi juga merupakan sekutu terdekat dan loyal kepada kita.” (Barrack Obama, 2009).
Mantan Presiden AS, Georde W. Bush Junior pada tahun 2003 menyatakan: “Jika kita mau melindungi negara kita dalam jangka panjang, hal terbaik yang dilakukan adalah menyebarkan kebebasan dan demokrasi”.[74] George W. Bush pun dalam “The National Endowment for Democracy” (Kamis 6/11/2003) menyatakan: “Selama kebebasan (freedom) belum tumbuh di Timur Tengah, kawasan itu akan tetap menjadi wilayah stagnan (jumud), peng’ekskpor’ kekerasan, termasuk menjadi tempat penyebaran senjata yang membahayakan negara AS.”[75]
Presiden AS Barack Obama yang disambut gembira sebagai pemimpin berwajah baru yang membawa hope (harapan), ternyata tak lebih baik dari pendahulunya George W. Bush Junior, bahkan bisa dikatakan lebih berbahaya sebagai musuh berwajah ramah bagi Islam dan kaum muslimin, dalam kampanyenya ia mendeklarasikan akan menarik sebagian pasukan AS dari Irak, tapi mengirim tambahan pasukan tempur ke Afganistan. Maka kian nyata bahwa Politik Luar Negeri AS di bawah kepemimpinan Obama tetap imperialistic. Dalam sebuah acara yang disponsori Kedutaan Besar Israel di Washington untuk mengagungkan hari deklarasi Negara Israel yang ke-60. Obama menyatakan: “Saya berjanji kepada Anda bahwa saya akan melakukan apapun yang bisa saya lakukan dalam kapasitas apapun untuk tak hanya menjamin keamanan Israel tapi juga menjamin bahwa rakyat Israel bisa maju, makmur dan mewujudkan banyak mimpi yang dibuat 60 tahun lalu.”[76]
Obama dalam pidato resminya pun menyatakan: “Saya akan melakukan apapun jika menyangkut keamanan Israel. Saya pikir ini hal yang fundamental. Saya kira ini menyangkut kepentingan AS karena hubungan kami yang istimewa, karena Israel tidak hanya telah membangun demokrasi di wilayah itu (Palestina) tapi juga merupakan sekutu terdekat dan loyal kepada kita.” (Barrack Obama, 2009). Dan dalam pidatonya, Obama bersumpah untuk melindungi rakyat Amerika dengan tetap berpegang teguh pada nilai-nilai Amerika. Obama mengatakan senjata yang paling ampuh adalah sistem keyakinan Amerika seperti kebebasan, inilah akan membuat AS aman.
B. Jawaban II: Jangan Campuradukkan Antara Haq dan Bathil
Al-‘Alim al-Syaikh ‘Atha’ bin Khalil menjelaskan dalam tafsirnya atas QS. Al-Baqarah [2]: 42:
أي لا تخلطوا الحق بالباطل، فالباء للإلصاق وبذلك فالآية تنهى عن أمرين: خلط الحق بالباطل وكتمان الحق وهم يعلمون؛ فإن خلط الحق بالباطل تضليل، وكتمان الحق إخفاء له وتضييع له وكلاهما من الكبائر في دين الله
“Yakni janganlah kalian mencampurkan antara kebenaran dengan kebatilan, dan huruf ba’ (dalam ayat ini) untuk menunjukkan pencampuran. Maka ayat ini mengandung dua larangan: Pertama, mencampuradukkan kebenaran dengan kebatilan. Kedua, menyembunyikan kebenaran padahal mereka mengetahuinya; maka perbuatan mencampuradukkan kebenaran dan kebatilan merupakan penyesatan, dan menyembunyikan kebenaran yakni menyembunyikannya dan menghilangkannya, maka kedua perbuatan tersebut merupakan dosa besar dalam Din Allah.”[77]
C. Jawaban III: Pesan Ulama Hati-Hati dengan Perbuatan Menyerupai Orang Kafir
Al-Hafizh Ibn Katsir ketika menafsirkan QS. Al-Baqarah [2]: 104 menuturkan:
والغرض: أن الله تعالى نهى المؤمنين عن مشابهة الكافرين قولا وفعلا.
“Maksudnya: Allâh SWT melarang orang-orang beriman menyerupai orang-orang kafir dalam perkataan dan perbuatan mereka.”[78]
Al-Hafizh al-Imam Ibn Katsir pun menukil dalil hadits dari Imam Ahmad dan Imam Abu Dawud:
مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ
“Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk golongan kaum tersebut.” (HR. Ahmad & Abu Dawud, dishahihkan oleh Imam Ibn Hibban)[79]
Al-Hafizh Ibn Katsir pun menegaskan:
ففيه دلالة على النهي الشديد والتهديد والوعيد، على التشبه بالكفار في أقوالهم وأفعالهم، ولباسهم وأعيادهم، وعباداتهم وغير ذلك من أمورهم التي لم تشرع لنا ولا نُقَرر عليها.
“Di dalam hadits ini, terdapat larangan, ancaman dan peringatan keras terhadap sikap menyerupai orang-orang kafir dalam perkataan, perbuatan, pakaian (khas-pen.), ritual, ibadah mereka, dan perkara-perkara lainnya yang tidak disyari’atkan dan tak sejalan dengan kita.”
Syaikh Dr. Nashr bin Abdul Karim menjelaskan: “Al-Tasyabbuh secara bahasa diambil dari kata al-musyabahah yang berarti meniru atau mencontoh, menjalin atau mengaitkan diri, dan mengikuti. Al-Tasybih berarti peniruan. Dan mutasyabihah berarti mutamatsilat (serupa). Dikatakan artinya serupa dengannya, meiru dan mengikutinya.”[80]
Syaikh Dr. Shalih Fauzan ketika menjelaskan tentang gambaran loyalitas terhadap orang kafir, yang pertama:
التشبه بهم في الملبس والكلام وغيرهما، لأن التشبه بهم في الملبس والكلام وغيرهما يدل على محبة المتشبه للمتشبه به، ولهذا قال النبي -صلى الله عليه وسلم-: ((مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ)) فيحرم التشبه بالكفار فيما هو من خصائصهم ومن عاداتهم وعباداتهم وسمتهم وأخلاقهم.
“Menyerupai mereka (orang-orang kafir) baik dalam berpakaian maupun berbicara dan selainnya, karena menyerupai mereka dalam hal-hal tersebut menunjukkan kecintaan orang menyerupai kepada orang yang diserupai, Nabi SAW bersabda: “Barangsiapa menyerupai suatu kaum maka ia termasuk golongan kaum tersebut.” Maka diharamkan menyerupai orang-orang kafir dalam hal-hal yang khusus bagi mereka, adat istiadat dan tata cara ibadah mereka, jalan hidup dan akhlak mereka.”[81]
Syaikh Dr. ‘Abdurrahman al-Baghdadi menyatakan bahwa kata “tasyabbuh” (menyerupai) dalam hadits tersebut adalah bentuk seruan umum yang sama halnya dengan kata “suatu kaum”. Ini adalah larangan menyerupai bangsa manapun dengan apa saja secara mutlak, baik dalam urusan akidah, ibadah, nikah, adat kebiasaan, hidup bebas, dan lain sebagainya.[82]
Jawaban IV: Tiada Kemuliaan Kecuali dengan Islam (Tujuan & Cara Wajib Sesuai Metode Dakwah Rasulullah), Hati-Hati dengan Tipu Daya Langkah-Langkah Syaithan
Tiada kemuliaan kecuali dengan Islam. Hati-hati dengan langkah-langkah syaithan, niat mewarnai parlemen, yang ada partai-partai berlabelkan ’islami’ justru terwarnai. Para ulama ketika menafsirkan frase “khuthuwaat al-syaithaan” dijelaskan para ahli tafsir, di antaranya al-Hafizh al-Imam al-Qurthubi mengungkapkan:
(خطوات الشيطان) وقال مقاتل: استأذن عبدالله بن سلام وأصحابه بأن يقرؤوا التوراة في الصلاة، وأن يعملوا ببعض ما في التوراة، فنزلت. “ولا تتبعوا خطوات الشيطان” فإن اتباع السنة أولى بعد ما بعث محمد صلى الله عليه وسلم من خطوات الشيطان. وقيل: لا تسلكوا الطريق الذي يدعوكم إليه الشيطان. “إنه لكم عدو مبين” ظاهر العداوة
“(Langkah-langkah syaithan): Muqatil berkata: ‘Abdullah bin ‘Abdissalam dan sahabat-sahabatnya meminta izin (kepada Rasûlullâh –shallallaahu ‘alayhi wa sallam-) untuk membaca taurat dalam shalat dan mengamalkan sebagian isi taurat, maka turunlah ayat: “dan janganlah kalian mengikuti langkah-langkah syaithan”. Maka sesungguhnya mengikuti sunnah yang benar (wajib-pen.) diikuti setelah diutusnya Muhammad r daripada mengikuti langkah-langkah syaithan. Dan dikatakan: “Janganlah kalian menempuh jalan yang diserukan syaithan kepada kalian.” (Sesungguhnya ia musuh yang nyata bagimu) yakni makhluk yang menampakkan permusuhan.”[83]
Dalam banyak kitab tafsir, para ulama ahli tafsir menjelaskan bahwa al-Baqarah ayat 208 turun kepada segolongan ahli kitab (yahudi) yang masuk islam, namun mereka hendak mengagungkan sebagian syi’ar dan syari’at taurat. Maka turun ayat yang melarang mengikuti langkah-langkah syaithan dengan mengambil sebagian syari’at taurat yang sudah di nasakh (dihapus oleh syari’at islam). Di sisi lain taurat adalah kitab samawi yang Allah turunkan kepada Nabi Musa ‘alayhissalam yang wajib kita imani keberadaannya. Lantas bagaimana dengan ‘syari’at’ demokrasi yang jelas-jelas bersumber dari pemikiran kaum kuffar yang mengkufuri ayat-ayat Allah??!
NASKAH BUKU:
Atasan saya di kulliyyatusy-syarii’ah, salah seorang Syaikh Doktor dari Mesir, kembali bertanya kepada saya seputar penyelesaian penyusunan naskah buku yang saya susun untuk menyingkap syubhat-syubhat dalih-dalih pembenaran atas paham sesat Demokrasi -karena sebelumnya saya meminta bantuannya untuk penyelesaian naskah buku ini: Info Penting Buku
JAWABAN KAMI ATAS BERBAGAI DALIH PEMBENARAN ATAS DEMOKRASI:
Link (Inilah Jawaban-Jawaban Argumentatif Atas Dalih-Dalih Pembenaran Atas Demokrasi)
[2] Http://id.wikipedia.org/wiki/Demokrasi
[3] http://en.wikipedia.org/wiki/Democracy
[4] Prinsip ini memberikan peluang besar kepada orang-orang kafir untuk menjadi penguasa menguasai urusan kaum muslimin.
[5] Lihat: al-Diimuqraathiyyah Bayna al-‘Ilmaaniyyah wa al-Islaam, Syaikh Dr. ‘Abdurrazzaq ‘Ied & Syaikh Prof. Muhammad ‘Abdul Jabbar – Daar al-Fikr al-Mu’aashir – Damaskus: Suriah.
[6] Lihat: Syaikh Dr. Mahmud Khalidi menukil dari kitab Minhaaj Al-Hukm fii Al-Islaam karya Syaikh Muhammad Asad (hlm. 47-48).
[7] Lihat: Naqdh al-Nizhaam al-Diimuqraathiy, Syaikh Dr. Mahmud al-Khalidi.
[8] Lihat: Haqiiqatud Diimuqraathiyyah karya Syaikh Dr. Muhammad Syakir al-Syariif, al-Diimuqraathiyyah Tsamaraatun wa Akhawaatun karya Syaikh Abu Sayf Jalil bin Ibrahim al-‘Iraqiy.
[9] Lihat: Al-Diimuqraathiyyah wa Hukm Al-Islaam fiihaa, Syaikh Hafizh Shalih
[10] Lihat: al-‘Adalah al-Ijtimaa’iyyah: Fii Dhaw-i al-Fikr al-Islaamiy al-Mu’aashir, Dr. Muhammad ‘Abdul Ghaniy.
[11] Imam Taqiyuddiin al-Nabhani, Muqaddimah al-Dustuur, hlm. 116-117, thn. 1963.
[12] Dinukil dari kitab Naqdh Al-Nizhaam Al-Diimuqraathiy karya Syaikh Dr. Mahmud al-Khalidi
[13] Pernyataan nyeleneh seorang pembicara dalam sebuah forum diskusi sekitar tahun 2010.
[14] Lihat: Nizhaam Al-Islaam, Al-‘Allamah Qadhi Taqiyuddin al-Nabhani. Qadhi al-Nabhani telah menjelaskan tentang peradaban (hadharah) dengan penjelasan yang cukup mapan.
[15] Lihat: Maadzaa Ta’rifu ‘an Haadzihi al-Mushthalahaat karya Syaikh Hatim bin Hasan al-Dib.
[16] Lihat: Syaikh Dr. ‘Abdul Hamid Mutawalli, Al-Qaanuun Al-Dusturiy wa Al-Anzhimah Al-Siyaasiyyah, Hlm. 29, Juz. I. Daar al-Ma’aarif: Kairo, Cet. Thn. 1964. Dinukil dari kitab Arkaanun wa Dhamaanaat: Al-Hukm Al-Islaamiy karya Syaikh Prof. Dr. Muhammad Ahmad Mufti – Mu’assasah al-Riyaadh: Beirut – Lebanon.
[17] Lihat: Naqdh Al-Nizhâm Al-Diimuqrâthiy, Syaikh Dr. Mahmud al-Khalidi – Dar al-Jiil: Beirut – Cet. I: 1404 H/ 1984.
[18] Lihat: Diraasaat fii Al-Nuzhum Al-Dusturiyyah Al-Mu’aashirah, Dr. Muhammad ‘Abdullah al-‘Arabiy; dinukil dari: Naqdh Al-Nizhâm Al-Diimuqrâthiy, Syaikh Dr. Mahmud al-Khalidi – Dar al-Jiil: Beirut – Cet. I: 1404 H/ 1984.
[19] Lihat: Al-Diimuqraathiyyah wa Al-Wa’y Al-Siyaasiy (hlm. 15).
[20] Lihat: Syaikh Dr. Mahmud Khalidi dalam kitab Naqdh Al-Nizhâm Al-Diimuqrâthiy menukil pernyataan Syaikh Muhammad Asad dalam kitab Minhaaj Al-Hukm fii Al-Islaam (hlm. 47-48).
[21] Lihat: Haadzihi Hiya Al-Diimuqraathiyyah, Syaikh ‘Abdurrahman bin Hammaad al-‘Umar – Dar al-Hulayyah: Riyadh – Cet. I: 1424 H.
[22] Lihat: Haadzihi Hiya Al-Diimuqraathiyyah, Syaikh ‘Abdurrahman bin Hammaad al-‘Umar – Dar al-Hulayyah: Riyadh – Cet. I: 1424 H.
[23] Lihat: Jaami’ al-Bayaan fii Ta’wiil al-Qur’aan, al-Hafizh al-Imam Abu Ja’far al-Thabari (224-310 H)
[24] Lihat: Al-Hurriyyaat Al-‘Aamah (hlm. 215); dinukil dari Majalah Al-Bayaan.
[25] Lihat: Syar’iyyatus-Sulthah wa Al-Nizhaam fii Hukm Al-Islaam (hlm. 69); dinukil dari Majalah Al-Bayaan.
[26] Lihat: Al-Quyuud al-Waaridah ‘alaa Sulthatid-Dawlah fii al-Islaam: dinukil dari Majalah Al-Bayaan.
[27] Lihat: Nizhaam Al-Hukm fii Al-Islaam (hlm. 81), Syaikh Muhammad Asad: dinukil dari Majalah Al-Bayaan.
[28] Lihat: Nazhriyyatus-Siyaadah wa Atsaruhaa ‘alaa Syar’iyyatul Anzhimah al-Wadh’iyyah, Syaikh Dr. Shalah al-Shawiy.
[29] Lihat: Thaaghuut Al-‘Ashr, Syaikh Prof. Dr. Muhammad Amhazun dalam Majalah Al-Bayaan, No. 303.
[30] Lihat: Ahkaam Al-Qur’aan (hlm. 213-214), Imam Abu Bakr al-Jashshash.
[31] Lihat: Al-Ahzaab fii Al-Islaam, Syaikh ‘Abdul Hamid al-Ju’bah.
[32] Lihat: Mafâtiih Al-Ghayb, Imam Abu ‘Abdullah Muhammad bin ‘Umar bin al-Hasan bin al-Husayn al-Raazi (Fakhruddin al-Raazi)
[33] Lihat: Tafsîr al-Qur’ân al-Azhîm, Al-Hafizh Abul Fida’ Isma’il bin ‘Umar bin Katsir al-Dimasyqi (Imam Ibn Katsir (700-774 H)).
[34] QS. Ali ‘Imraan [3]: 85.
[35] Lihat: ‘Aalamiyyatul Islaam wa Maadiyyatul ‘Awlamah, Dr. Samih ‘Athif al-Zayn.
[36] Lihat: Al-Dawlah wa Nizhaam al-Hukm fii al-Islaam, Syaikh Hasan al-Sayid, dinukil dari tulisan Syaikh Fahd bin Shalih “Su’aal al-Siyaadah fii al-Fikr al-Islaami al-Mu’aashir” dalam Majalah Al-Bayaan, No. 303, Tahun ke-27, Bulan Dzul Qa’dah 1433 H/ September 2012.
[37] Yakni pertentangan antara kaum filsuf dan gerejawan yang bertindak sewenang-wenang atas nama agama.
[38] Lihat: Fiqh Al-Siyaasah, Syaikh Isma’il al-Khathib, dinukil dari tulisan Syaikh Fahd bin Shalih “Su’aal al-Siyaadah fii al-Fikr al-Islaami al-Mu’aashir” dalam Majalah Al-Bayaan, No. 303, Tahun ke-27, Bulan Dzul Qa’dah 1433 H/ September 2012.
[39] Lihat: Al-Ahkaam Al-Syar’iyyah Li Al-Nawaazil Al-Siyaasiyyah, Syaikh Dr. ‘Athiyyah ‘Adlan.
[40] Lihat: Mu’jamu Lughatil Fuqahâ’ (I/253) karya Syaikh Prof. Muhammad Rawwas Qal’ahji.
[41] أخرجه أبو داود، راجع: جامع الأصول من أحاديث الرسول، الجزء السادس، ص ١٣
[42] Lihat: Arkaanun wa Dhamaanaat: Al-Hukm Al-Islaamiy, Syaikh Prof. Dr. Muhammad Ahmad Mufti – Mu’assasah al-Riyaadh: Beirut – Lebanon.
[43] Lihat: Al-Wajiiz fii Fiqh Al-Khilaafah, Syaikh Dr. Shalah Al-Shawi – Dar al-I’lam al-Duwali.
[44] Lihat: ‘Isyruuna Nadwah fii Syarh wa Munaaqasyah Masyruu’i Tathbiiq Al-Islaam fii Al-Hayaah
[45] Lihat: Al-Ahzaab fii Al-Islaam, Syaikh ‘Abdul Hamid al-Ju’bah.
[46] Lihat: Aadab al-Dunyaa’ wad-Diin, Imam ‘Ali bin Muhammad bin Habib al-Mawaridi al-Syafi’iy (Imam al-Mawardi).
[47] Lihat: Diiwaan al-Imaam al-Syaafi’i, Qaafiyatul Hamzah, subjudul al-Hawaa’ wa al-‘Aql.
[48] Lihat: Dâ’ al-Nufûs wa Sumûm al-Qulûb: al-Ma’âshi, Syaikh Azhari Ahmad Mahmud – Daar Ibn Khuzaimah: Riyaadh (1420 H/ 2000 M)
[49] Lihat: al-Umm (IV/160) karya Imam al-Syafi’i.
[50] Lihat: Ahmad bin ‘Abdul Halim bin ‘Abdussalam bin Taymiyyah. As-Siyaasah Asy-Syar’iyyah fii Ishlaahi Ar-Raa’iy war-Ra’iyyah. Muhaqqiq: Ali bin Muhammad Al-Imran. Cet. I. Makkah: Dar ‘Alam al-Fawaa’id.
[51] Lihat: Rawdhatuth Thâlibîn wa Umdatul Muftin (II/433), Al-Hafidz Abu Zakaria Yahya bin Syaraf Al-Nawawi.
[52] Lihat: Al-Majmuu’ Syarh Al-Muhadzdzab, juz 19, hlm 191
[53] Lihat: Al-Ahkâm Al-Sulthâniyyah (hlm. 27), Imam al-Mawardi.
[54] Imam Fakhruddin al-Razi, Mafâtihul Ghayb fî al-Tafsîr, juz 6 hal. 57 dan 233
[55] Imam Al-Hafidz Abu Muhammad Ali bin Hazm Al-andalusi Adz-Dzahiri, Maratibul Ijma’ , juz 1 hal 124
[56] Imam Abul Qasim Al-hasan bin Muhammad bin Habib bin Ayyub al-Syafi’I al-Naisaburi, Tafsîr Al-Naisaburi, juz 5 hal 465.
[57] Lihat: Mirqaatu Shu’uud al-Tashdiiq fii Syarh Sullam al-Tawfiiq, Syaikh Muhammad Nawawi al-Jawi al-Syafi’iy – Dar al-Kutub al-Islamiyyah.
[58] Lihat: Aadab al-Dunyaa’ wa al-Diin, Imam ‘Ali bin Muhammad bin Habib al-Mawardi al-Syafi’i (Imam al-Mawardi)
[59] Imam ‘Alauddin Al-Kassani Al-Hanafi, Bada’iush Shanai’ fî Tartibis Syarai’, juz 14 hal. 406.
[60] Lihat: Al-Wajiiz fii Fiqh Al-Khilâfah, Syaikh Dr. Shalah Al-Shawi – Dar al-I’lam al-Duwali.
[61] Lihat: Syaikh Dr. Shalah al-Shawi dalam kitabnya, al-Wajiz fi Fiqh al-Imamah al-‘Uzhmaa, juz 1, hal. 10, Maktabah Syamilah
[62] Lihat: Naqdh Al-Judzuur Al-Fikriyyah (hlm. 36), Syaikh Dr. Muhammad Ahmad Mufti.
[63] Lihat: Haqiiqatud Diimuqraathiyyah.
[64] Orang yang sudah dikenai taklif atau beban kewajiban melaksanakan syari’at.
[65] Dalam kitab al-Muwafaqat, karya al-Imam al-Syathibi.
[66] Negara yang memerangi Islam.
[67] Lihat: al-Sail al-Jarâr (4/152).
[68] Lihat: Shuwarun Min Al-Taariikh Al-Islaamiy – Jaami’atul Imaam Muhammad bin Su’uud Al-Islaamiyyah – Cet. II: 1425 H/ 2004.
[69] Lihat: Dâ’ al-Nufûs wa Sumûm al-Qulûb: al-Ma’âshi, Syaikh Azhari Ahmad Mahmud – Daar Ibn Khuzaimah: Riyaadh – Cet. Tahun: 1420 H.
[70] Lihat: Al-Ahzaab fii Al-Islaam, Syaikh ‘Abdul Hamid al-Ju’bah – Risaalah Maajistiir
[71] Lihat: Al-Risaalah, Imam Muhammad bin Idris al-Syafi’i (hlm. 352), dinukil dari: Al-Tarakhkhush bi Masaa-il Al-Khilaaf: Dhawaabithuhu wa Aqwaal Al-‘Ulamaa fiihi, Syaikh Dr. Khalid al-‘Arusiy.
[72] Lihat: Diskursus Islam Politik Spiritual
[73] Lihat: Al-Diimuqraathiyyah Ismun Laa Haqiiqata Lahu, Syaikh Dr. Ja’far Syaikh Idris – Majalah Al-Bayaan, no. 196
[74] Lihat: Kompas edisi 6/11/2004
[75] http://www.globalsecurity.org
[76] Lihat: Menantang Amerika: Menyingkap Imperialisme Amerika di Bawah Obama, Farid Wajdi – Al-Azhar Press; Bogor. Cet. I: 2010.
[77] Lihat: Al-Taysîr fî Ushûl al-Tafsîr (Sûrah al-Baqarah), Syaikh ‘Atha’ bin Khalil Abu Rusythah – Dar al-Ummah: Beirut. Cet. II: 1427 H/ 2006.
[78] Lihat: Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, Imam Ibn Katsiir.
[79] Musnad Ahmad (2/92), Sunan Abi Dawud (no. 4031)
[80] Lihat: Man Tasyabbaha bi Qawmin fa Huwa min Hum, Syaikh Nashr bin Abdul Karim Al-‘Aql
[81] Lihat: Al-Irsyâd ilâ Shahiih al-I’tiqâd wa al-Radd ‘alâ Ahl al-Syirk wa al-Ilhâd (hlm. 292), Syaikh Dr. Shalih bin Fawzan bin ‘Abdullah al-Fawzan – Dar Ibn al-Jawzi: Arab Saudi. Cet. III: 1433 H
[82] Dalam buku Syaikh ‘Abdurrahman al-Baghdadi yang menjelaskan mengenai seni dalam pandangan Islam.