Menghadapi Tantangan Dakwah Kontemporer [Download Makalah]

0up13069549701

Mukadimah

 الحمدلله القائل:  كِتَابٌ أَنْزَلْنَاهُ إِلَيْكَ مُبَارَكٌ لِيَدَّبَّرُوا آيَاتِهِ وَلِيَتَذَكَّرَ أُولُو الْأَلْبَابِ

والصلاة والسلام على المبعوث رحمة للعالمين وعلى آله وأصحابه أجمعين ومن دعا إلى الله بدعوته ومن تمسك بسنته ومن تبعه بإحسان إلى يوم الدين

Dakwah merupakan poros hidup para Nabi dan Rasul, ia adalah jalan mulia yang memuliakan para pengembannya dan menghinakan para penentangnya, hal itu terukir dalam kisah agung perjalanan dakwah para utusan Allah –’alayhim as-salâm-. Prof. Dr. Ahmad Ahmad Ghulusy, Dekan Fakultas Dakwah Al-Asbaq, menuturkan[1]: “Sesungguhnya amal yang paling mulia dan paling luhur adalah dakwah kepada Allah, di dalamnya terkandung keagungan dari apa yang disampaikan, keagungan wasilah, kemuliaan amal perbuatan, dan keluhuran tujuan.” Allah ’Azza wa Jalla berfirman:

وَمَنْ أَحْسَنُ قَوْلًا مِمَّنْ دَعَا إِلَى اللَّهِ وَعَمِلَ صَالِحًا وَقَالَ إِنَّنِي مِنَ الْمُسْلِمِينَ

“Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal salih dan berkata, “Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri?” (QS Fushshilat [41]: 33)

Namun, dakwah tentu akan dihadapkan dengan beragam tantangan, dimana tantangan ini bisa menjadi batu ganjalan yang menghambat keberhasilan dakwah, maka memahaminya menjadi hal yang urgen, terutama bagi para da’i di zaman ini yang menghadapi beragam invasi pemikiran dan tsaqafah batil yang dihembuskan oleh kaum kuffar dan munafiqin yang menjadi perpanjangan lisan Iblis dan sekutunya dari golongan jin. Tipu daya mereka penting untuk dipahami sebagaimana dituturkan untaian sya’ir:

عرفت الشرّ لا للشرّ        لكن لتوقيّه

ومن لا يعرف الشرّ      من النّاس يقع فيه

“Aku mengetahui keburukan bukan untuk keburukan, melainkan memproteksi diri darinya”

“Dan barangsiapa tak mengetahui keburukan, maka ia akan terjerumus ke dalamnya”[2]

Dan dikatakan kepada Umar bin al-Khaththab -radhiyaLlaahu ‘anhu- bahwa seseorang tidak mengetahui sesuatu yang buruk, lalu Umar berkata:

أحذر أن يقع فيه

“Peringatkan ia atas ketergelinciran terhadapnya (agar tak terjerumus pada keburukan-pen.).” [3]

Tantangan itu sendiri dalam KBBI Online didefinisikan sebagai: hal atau objek yg perlu ditanggulangi. Yakni ditanggulangi agar ia tak menjadi hambatan yang menjegal keberhasilan dakwah. Banyak tantangan yang kita hadapi di jalan dakwah, namun di antara tantangan yang paling berbahaya adalah rendahnya tingkat pemahaman dan lemahnya konsistensi kaum muslimin terhadap Islam (internal). Di sisi lain, kita pun dihadapkan dengan tantangan eksternal dari kaum kuffâr dan munâfiqîn yang memusuhi Islam dan kaum muslimin dengan senjata invasi pemikiran maupun tsaqafah (ghazw al-fikr wa ats-tsaqâfiy). Benar apa yang disampaikan Syaikh Abu Sayf Khalil al-‘Abidi al-‘Iraqi: “Sungguh pada akhir abad ke-19, khususnya paska runtuhnya Daulah ’Utsmaniyyah, umat islam diserbu pemahaman-pemahaman sesat dan keyakinan-keyakinan batil yang menyusup ke dalam Din kita yang lurus, menyelisihi dan menyerang akidah islam dari segala arah dan sisi.” [4]

Bi FadhliLlaahi Ta’aalaa, Makalah Selesai di Susun:

Sukabumi, 24 Juni 2014
Maktab Kulliyyatusy-Syari’ah – Jami’atur-Raayah
Irfan Abu Naveed

Catatan Kaki

[1] Lihat: Prof. Dr. Ahmad Ahmad Ghulusy. Silsilatu Târîkh ad-Da’wah ilâ Allâh Ta’âlâ: Da’watur Rusuul ‘Alayhim as-Salâm. Hlm. 5.

[2] Lihat: Prof. Dr. Muhammad Ali ash-Shabuni. Rawâ’i al-Bayân (Tafsîr Âyât al-Ahkâm).  Juz. I, Hlm. 76.

[3] Ibid.

[4] Lihat: Abu Sayf Jalil ibn Ibrahim al-‘Abidiy al-‘Iraqi. Ad-Dîmuqrâthiyyah wa Akhawâtuhâ.

Laman Download Makalah [Klik Link]:

Cover

Pembahasan

Daftar Pustaka

Pengantar Memahami Balaghah & Makna Kata dalam QS. Âli Imrân [3]: 104

Mukadimah

A-Qur’an al-Karim merupakan kalam Ilahi yang mengandung samudera ilmu dan petunjuk. Setiap upaya keras untuk memahaminya dengan membacanya, mempelajarinya dan mentadaburinya merupakan bagian dari upaya meniti jalan petunjuk, bagaimana bisa diamalkan jika paham saja tidak? Karena petunjuk tersebut merupakan cahaya dalam kegelapan yang mesti disingkap dari segala tabir, sehingga cahayanya menerangi jalan kita dalam kegelapan, terlebih di zaman jahiliyyah saat ini ketika kejahilan merajalela. Allâh al-Musta’ân.

Salah satunya memahami firman Allah QS. Âli Imrân ayat 104. Allah SWT berfirman:

وَلْتَكُنْ مِنْكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ ۚ وَأُولَٰئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ

 “Dan haruslah ada di antara kamu jama’ah yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung.” (QS. Âli Imrân [3]: 104)

 

Pasal I

Kandungan Balaghah dalam Ayat Ini

Ada sebuah pernyataan menarik yang hingga saat ini terus memotivasi penyusun untuk mendalami al-Qur’an. Penyusun pernah berdialog dengan salah seorang Syaikh dari Mesir, beliau adalah dosen tafsir dan bahasa arab di tempat kami berkhidmat[1]. Dalam diskusi mengenai tafsir dan balaghah ayat-ayat al-Qur’an, ia mengungkapkan kalimat yang menjadi motivasi bagi penyusun untuk terus mengkaji dan mendalami samudera hikmah dalam ayat-ayat al-Qur’an, ia menuturkan:

لِكُلِّ حَرْفٍ مِنْ حُرُوْفِ القُرْآنِ فِيْهِ أَسْرَارٌ

“Setiap huruf dari huruf-huruf al-Qur’an mengandung berbagai rahasia (kandungan makna).”

Dan salah satu upaya memahami keagungan ayat al-Qur’an adalah dengan menyingkap kandungan balaghah dalam ayat-ayat al-Qur’an. Dalam QS. Âli Imrân [3]: 104, setidaknya bisa kita ulas sebagai berikut:

Pertama, thibâq as-salbi (طباق السلب)[2] dalam kalimat (وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ)[3], yakni terkumpulnya dua kata dan dua kalimat yang berkebalikan[4] (dalam satu ayat); antara menyuruh dan melarang, antara yang ma’ruf dan yang mungkar yakni menyuruh kepada yang ma’ruf dan melarang dari kemungkaran dalam satu ayat.[5]

Kedua, dzikr al-khâsh ba’da al-‘âm (ذكر الخاص بعد العام), yakni menyebutkan perbuatan menyuruh kepada yang ma’ruf dan melarang dari kemungkaran (وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ) setelah menyebutkan kata al-khayr (yakni al-Islam), dimana al-khayr ini umum dan menyuruh kepada yang ma’ruf    dan melarang dari kemungkaran adalah khusus bagian dari keumuman al-khayr dalam ayat tersebut. Dalam ilmu balaghah, ini menunjukkan keutamaan yang khusus (لإبراز أهميته)[6], penekanan atas pentingnya kedudukan perkara yang khusus tersebut (للتنبيه على فضل الخاص)[7] atau dengan kata lain ayat ini menunjukkan keutamaan menyuruh kepada yang ma’ruf dan melarang dari yang mungkar atas segala bentuk kebaikan (لإظهار فضلهما على سائر الخيرات)[8].[9]

Ketiga, qashr ash-shifati ‘alâ al-mawshûf (قصر الصفة على الموصوف)[10] dalam kalimat (أُولَٰئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ), yakni mensifati mereka yang diseru dalam ayat ini dengan sifat yang ringkas, padat namun bermakna mendalam yakni dengan predikat al-muflihûn. [11] Dalam kalimat ini, seakan dihilangkan sifat yang disebutkan sebelumnya setelah kata (أُولَٰئِكَ) yakni diringkas dalam kata (الْمُفْلِحُونَ).[12] Dan tentang ini akan penyusun jelaskan kemudian.

Pasal II

Penjelasan Sebagian Kata & Frase dalam Ayat

Pertama, Frase (لتَكُنْ) yang diterjemahkan “hendaklah ada” termasuk ke dalam shiyag al-amr (shighat bermakna perintah). Yakni kata lâm al-amr di depan kata kerja al-mudhâri’ (kata kerja yang sedang atau akan dilakukan) yakni lâm al-amr di depan kata yakûnu.[13]

Para ulama ushul fikih, di antaranya Prof. Dr. ‘Iyadh bin Sami as-Salmi dan Syaikhul Ushul ‘Atha bin Khalil menjelaskan di antara bentuk perintah adalah:

الفعل المضارع المقترن بلام الأمر (ليفعل

“Kata kerja al-mudhaari’ yang disertai lâm al-amr (liyaf’al).”[14]

Maka jelas bahwa ayat ini mengandung perintah dari Allah. Lalu apakah tuntutan melaksanakan perintah tersebut wajib atau sunnah, itu tergantung petunjuk-petunjuk (qarâ’in) yang menyertainya[15].

Perintah Allah dalam ayat yang agung ini mengandung indikasi wajib. Syaikhul Ushul ‘Atha bin Khalil ketika menjelaskan indikasi-indikasi yang menunjukkan tuntutan pasti (qarînah jâzimah) diantaranya:

ما كان فيها بيان لأمر حكمه الوجوب أو موضوعه فرض أو مدلوله حراسة للإسلام

“Jika didalamnya terkandung penjelasan atas suatu perintah bahwa hukumnya wajib, topiknya fardhu atau konteksnya menunjukkan penjagaan terhadap Islam.” (Taysîr al-Wushûl ilâ al-Ushûl, ‘Atha bin Khalil Abu Ar-Rasythah, hlm. 22)

Syaikhul Ushul ‘Atha bin Khalil menukil ayat ini sebagai salah satu contohnya. Al-‘Allamah Muhammad ath-Thahir bin ‘Asyur pun menjelaskan bahwa ia adalah shighat (perintah) wajib yang dita’kid (diperkuat) oleh banyak dalil-dalil al-Qur’an dan as-Sunnah lainnya atas kewajiban menyuruh kepada yang ma’ruf dan melarang dari yang mungkar (Tafsîr at-Tanwîr wa at-Tahrîr, juz. IV/ hlm. 37), misalnya QS. Âli Imrân [3]: 110, QS. Al-‘Ashr [103]: 3, dll., dan dalil-dalil as-sunnah. Al-Hafizh an-Nawawi pun menuliskan satu bab khusus (الأمر بالمعروف والنهي عن المنكر) dalam kitabnya, Riyaadh ash-Shaalihiin.

Kedua, Frase (أُمَّةٌ) dalam ayat ini mengandung konotasi yakni jama’ah. Kata ummah itu sendiri termasuk satu kata yang mengandung lebih dari satu makna (lafzh musytarak)[16] yakni berserikat di dalamnya lebih dari satu makna[17]. Lafazh musytarak, sebagaimana diungkapkan Prof. Dr. Muhammad Rawwas Qal’ah Ji yakni:

ما وضع لأكثر من معنى ولا يتعين المراد منه إلا بقرينه

“Lafazh yang mengandung lebih dari satu makna dan maksudnya tidak bisa ditentukan kecuali berdasarkan suatu petunjuk/ indikasi.”[18]

Lalu apa makna umat sebagai lafazh musytarak? Ketika menjelaskan kata ummah dalam QS. Âli Imrân [3]: 104 ini, Dr. Muhammad Mutawalli asy-Sya’rawi menuturkan:

كلمة (أمة): الجماعة/ الملة أو الدين/ الفترة الزمنية/ الرجل الجامع لصفات الخير

“Kata (ummah) bermakna jama’ah, millah atau din, jangka waktu tertentu, atau seseorang yang terkumpul padanya sifat-sifat kebaikan.”[19]

Imam Abu al-Qasim al-Husain bin Muhammad atau yang masyhur dikenal dengan nama ar-Raghib al-Ashfahani mendefinisikan kata ummah:

والأمة: كل جماعة يجمعهم أمر ما إما دين واحد، أو زمان واحد، أو مكان واحد

Ummah: setiap golongan yang disatukan oleh suatu hal apakah din yang satu, masa yang satu atau tempat yang satu.”[20]

Para ulama pun merinci makna kata ummah ini, di antaranya Imam Ibn Haim dalam kitab At-Tibyân fî Tafsîr Gharîb al-Qur’ân[21] dan Syaikhul Ushul al-‘Alim ‘Atha bin Khalil Abu ar-Rasythah dalam kitab tafsirnya. Syaikh ‘Atha bin Khalil ketika menafsirkan QS. Al-Baqarah [2]: 134 menuturkan bahwa kata (أمة) adalah lafazh musytarak dengan perincian pemisalan:

Pertama, bermakna seseorang jika ia menjadi teladan dalam kebaikan, memiliki kedudukan (تطلق على الواحد إذا كان يقتدي به في الخير وله شأن) atau terkumpul padanya sifat-sifat kebaikan[22], misalnya dalam QS. An-Nahl [16]: 120:

إِنَّ إِبْرَاهِيمَ كَانَ أُمَّةً قَانِتًا لِلَّهِ حَنِيفًا وَلَمْ يَكُ مِنَ الْمُشْرِكِينَ

Kedua, bermakna din dan millah (تطلق على الدين والملة), misalnya dalam QS. Az-Zukhruf [43]: 23:

إِنَّا وَجَدْنَا آبَاءَنَا عَلَىٰ أُمَّةٍ

Ketiga, bermakna tempo waktu (تطلق على المدة الزمنية), misalnya dalam QS. Yûsuf [12]: 45:

وَقَالَ الَّذِي نَجَا مِنْهُمَا وَادَّكَرَ بَعْدَ أُمَّةٍ أَنَا أُنَبِّئُكُمْ بِتَأْوِيلِهِ فَأَرْسِلُونِ

Keempat, bermakna jama’ah (تطلق على جماعة من الناس), misalnya dalam QS. Al-Baqarah [2]: 134,  QS. Âli Imrân [3]: 104, dan QS. Al-A’râf [7]: 159.

تِلْكَ أُمَّةٌ قَدْ خَلَتْ ۖ لَهَا مَا كَسَبَتْ وَلَكُمْ مَا كَسَبْتُمْ ۖ وَلَا تُسْأَلُونَ عَمَّا كَانُوا يَعْمَلُونَ

Ketika menjelaskan ayat ini, Syaikh ‘Atha bin Khalil mengungkapkan:

والقرينة هي التي تبين المعنى، وهي هنا بمعنى جماعة من الناس لأنها تتكلم عن إبراهيم وإسماعيل وإسحاق ويعقوب وبنيه وعمن آمنوا بهم واتبعوهم

“Dan keberadaan indikasi petunjuklah yang memperjelas maknanya[23], dan kata umat dalam ayat ini bermakna segolongan dari manusia, karena ayat ini berbicara mengenai Ibrahim, Isma’il, Ishaq, Ya’qub, kaumnya, dan siapa saja yang mengimani dan mengikuti mereka.”

Adapun kata umat dalam QS. Âli Imrân [3]: 104, Syaikhul Ushul ‘Atha bin Khalil menegaskan bahwa ia bermakna jama’ah,[24] pemaknaan ini sejalan dengan apa yang dijelaskan oleh al-Hafizh ath-Thabari, Imam Ibn Mundzir (w. 318 H)[25], Imam ar-Raghib al-Ashfahani dan al-‘Allamah Muhammad ath-Thahir bin ‘Asyur[26].

Imam ar-Raghib al-Ashfahani menjelaskan:

وقوله: }ولتكن منكم أمة يدعون إلى الخير{ أي: جماعة يتخيرون العلم والعمل الصالح يكونون أسوة لغيرهم

“Dan firman-Nya (Dan hendaklah ada di antara kalian ummat yang menyeru kepada al-khayr) -kata ummat dalam ayat ini- yakni sebuah jama’ah yang mencintai ilmu dan amal shalih dan mereka menjadi teladan bagi orang lainnya.”[27]

Salah satu murid Imam Sibawayh, Imam al-Akhfasy al-Awsath[28] (w. 210 H) menuturkan bahwa kata ummah dalam ayat ini lafazh tunggal yang maknanya jamak, oleh karena itu Allah berfirman (يدعون إلى الخير) “mereka yang menyeru kepada al-khayr”.[29]

Catatan Kaki

[1] Kulliyyatusy-Syarî’ah wad-Dirâsât al-Islâmiyyah STIBA Ar-Râyah Sukabumi, Jawa Barat.

[2] Prof. Dr. Wahbah Zuhayli menamakannya طباق مقابلة

[3] At-Tafsîr al-Munîr fî al-‘Aqîdah wa asy-Syarî’ah wa al-Manhaj, Prof. Dr. Wahbah az-Zuhayli, juz. IV/ hlm. 353.

[4] Dalam bahasan ilmu badî’, kitab al-Balâghah al-Wâdhihah, hlm. 281, Mushthafa Amin mendefinisikan ath-thibâq (الطباق):

الطباق: الجمع بين الشيء وضده في الكلام.

[5] Ibid. Lihat pula penjelasan dalam Al-Jadwal fî I’râb al-Qur’ân wa Sharfuhu wa Bayânuhu Ma’a Fawâ’id Nahwiyyah Hâmmah, Mahmud Shafi, juz. IV/ hlm. 267.

[6] Lihat penjelasan Syaikhul Ushul ‘Atha bin Khalil mengenai faidah dari dzikr al-khâsh ba’da al-‘âm dalam at-Taysîr fî Ushûl at-Tafsîr, hlm. 43.

[7] Al-Balâghah wa an-Naqd.

[8] Al-Jadwal fî I’râb al-Qur’ân wa Sharfuhu wa Bayânuhu Ma’a Fawâ’id Nahwiyyah Hâmmah, Mahmud Shafi, juz. IV/ hlm. 266-267.

[9] Lihat pula penjelasan dalam catatan kaki kitab Tafsîr al-Kasyf fî Haqâ’iq at-Tanzîl wa ‘Uyûn al-Aqâwîl fî Wujûh at-Ta’wîl karya Imam Abu al-Qasim Jarullah Mahmud bin Umar az-Zamakhsyari yang di-ta’liq oleh Khalil Ma’mun, hlm. 187.

[10] Ini termasuk bahasan ilmu ma’ani dalam ilmu balaghah, dalam kitab Bughiyyatul Îdhâh li Talkhîsh al-Miftâh fî ‘Ilm al-Balâghah, Abdul Muta’al ash-Shab’idi, juz. II/ hlm. 3:

قصر الصفة على الموصوف هو ما لا تتجاوز فيه الصفة موصوفها

[11] Ibid.

[12] Balâghatul Qur’ân al-Karîm fî al-I’jâz: I’râban wa Tafsîran Bi I’jâz, Bahjat Abdul Wahid asy-Syaikhali, jilid II/ hlm. 140.

[13] Balâghatul Qur’ân al-Karîm fî al-I’jâz: I’râban wa Tafsîran Bi I’jâz, Bahjat Abdul Wahid asy-Syaikhali, jilid II/ hlm. 139. I’rabnya:

اللام لام الأمر تكن: فعل مضارع ناقص مجزوم بلام الأمر وعلامة جزمه سكون آخره وحذفت واوه – أصله: تكون.

Lihat pula kitab Al-Jadwal fî I’râb al-Qur’ân wa Sharfuhu wa Bayânuhu Ma’a Fawâ’id Nahwiyyah Hâmmah, Mahmud Shafi, juz. IV/ hlm. 265, dengan I’rab:

الإعراب: (الواو) عاطفة -أو استئنافية- (اللام) لام الأمر (تكن) مضارع ناقص مجزوم -أو تام-

[14] Taysîr al-Wushûl ilâ al-Ushûl, ‘Atha bin Khalil Abu Ar-Rasythah, hlm. 182. Lihat pula penjelasan Prof. Dr. ‘Iyadh bin Sami al-Salmi dalam kitab Ushuul al-Fiqh Alladzî Lâ Yasa’u al-Faqîh Jahluhu, hlm. 220.

[15] Tentang ini bisa ditela’ah dari penjelasan para ulama ushul, salah satunya penjelasan Syaikh ‘Atha bin Khalil dalam kitab ushul fikihnya:  Taysîr al-Wushûl ilâ al-Ushûl.

[16] Mu’jam al-Alfâzh al-Musytarakah fî al-Lughah al-‘Arabiyyah,  Abdul Halim Muhammad Qunabis, hlm. 18.

[17] Dalam kitab Mu’jam Lughatil Fuqâhâ’ dijelaskan bahwa Al-Musytarak itu adalah isim maf’ul berasal dari kata isytaraka fil amr (berserikat dalam suatu hal): yakni menjadi bagian darinya.

[18] Mu’jam Lughatil Fuqâhâ’, Prof. Dr. Muhammad Rawwas Qal’ah Ji.

[19] Tafsîr asy-Sya’rawi, Dr. Muhammad Mutawalli asy-Sya’rawi, jilid III/ hlm. 1663. Beliau pun merinci lebih jauh makna-makna kata ummah.

[20] Mufradât fî Gharîb al-Qur’ân. Ar-Raghib al-Ashfahani. Juz. I/ Hlm.  28.

[21] Lihat pada halaman 93, 96 dan 188.

[22] Kalimat terakhir ini dijelaskan oleh Dr. Muhammad Mutawalli asy-Sya’rawi dalam kitab tafsirnya.

[23] Ini sejalan dengan penjelasan Prof. Dr. Muhammad Rawwas Qal’ah Ji ketika mendefinisikan kata lafzh musytarak.

[24] At-Taysîr fî Ushûl at-Tafsîr, Hlm. 157.

[25] Kitâb Tafsîr al-Qur’ân, Imam Ibn Mundzir, juz. I/ hlm. 324.

[26] Tafsîr at-Tanwîr wa at-Tahrîr, al-‘Allamah Muhammad ath-Thahir bin ‘Asyur, juz. IV/ hlm. 37.

[27] Mufradât fî Gharîb al-Qur’ân, Imam Ar-Raghib al-Ashfahani, juz. I/ hlm.  28.

[28] Yakni Abu al-Hasan Sa’id bin Mas’adah.

[29] Ma’ânii al-Qur’ân, Imam al-Akhfasy al-Awsath, juz. I/ hlm. 228,

Ringkasan Seputar Khilafah dalam Daurah HTI Cianjur

"Foto:

Di antara Poin yang Saya Jelaskan dalam Daurah Diraasah Syar’iyyah HTI Cianjur Mengenai Kewajiban Menegakkan al-Khilafah

1. Imamah yang dijelaskan oleh para ulama adalah al-Khilafah dan ia termasuk istilah yang mengandung konotasi syar’i, dan pelajaran yang bisa diambil.
2. Khilafah wajib syar’an atau ‘aqlan? Dan pelajaran yang bisa diambil.
3. Khilafah itu bahasan fiqhiyyah atau i’tiqaadiyyah? Dan pelajaran yang bisa diambil.
4. Satu Khalifah dan Satu Khilafah pada satu masa, dan pelajaran yang bisa diambil.

Penjelasan Ringkas Padat

Pertama, Para ulama -rahimahumullaah- ketika membahas mengenai imaamah mereka sedang berbicara mengenai khilafah, bukan sistem politik lainnya. Hal itu bisa dicek dalam banyak literatur mereka, dan cukup menunjukkan bahwa sistem Islam yang dijelaskan para ulama itu adalah al-Khilafah. Maka saya jelaskan bahwa jika ada yang menukil penjelasan para ulama mengenai imaamah untuk menjustifikasi sistem jahiliyyah (Demokrasi, monarki, dll) itu merupakan pengkhianatan terhadap amanah ilmiah dengan menukil tidak pada tempatnya, wal ‘iyaadzu billaah.

Kedua, Para ulama -rahimahumullaah- dalam banyak kutub ketika berbicara mengenai al-Khilafah, mereka merinci pembahasan ragam pendapat apakah ia diwajibkan syar’an atau ‘aqlan (dan yang tepat diadopsi oleh jumhur; khilafah wajib tegak syar’an yakni didasari oleh dalil-dalil syar’iyyah),

Ketiga, Para ulama -rahimahumullaah- dalam banyak kutub ketika berbicara mengenai al-Khilafah, mereka pun merinci ragam pendapat apakah ia termasuk pembahasan fiqhiyyah atau i’tiqaadhiyyah (dan yang tepat ia termasuk pembahasan fiqhiyyah; sebagai dijelaskan oleh para ulama dalam kutub mereka, dipertegas penjelasan Qadhi Taqiyuddin an-Nabhani dalam kitab ad-Dawlah al-Islaamiyyah dan penjelasan Syaikh al-Ushuul ‘Atha bin Khalil dalam tanya jawabnya tentang khilafah sebagai istilah fiqhiyyah). Dari penjelasan mereka pun, cukup jelas dan tegas menunjukkan penolakan Islam atas konsep sekularisme (pemisahan agama dengan pengaturan dunia) karena Khilafah ialah institusi yang menjaga agama, mendakwahkannya dan mengatur urusan dunia dengan agama (Islam).

Keempat, Penjelasan mereka pun mencakup wajibnya satu kepemimpinan universal di bawah satu Khalifah, satu Kekhilafahan pada satu masa, ini pun sudah cukup menunjukkan perbedaan politik Islam dengan politik sekular di zaman ini yang melegalkan berbilangnya penguasa (presiden, raja, perdana mentri) di negeri-negeri kaum muslimin di bawah naungan sistem-sistem jahiliyyah baik monarki konstitusional, republik, dll.

Di sisi lain perlu dipahami dengan benar:

Para ulama bukan berselisih mengenai apakah khilafah itu wajib hukumnya atau mubah semata, karena para ulama pun berijma’ atas kewajiban menegakkan al-Khilafah (berdasarkan ijma’ sahabat). Dan yang menyelisihi ijma’ yang mewajibkan ini dianggap sebagai pendapat syadz (ganjil, kontroversial, tidak diakui).

Bukan pula perkara yang sepele, karena baik ruang lingkup fiqh (syari’ah) maupun i’tiqaadiyyah (akidah) keduanya bagian dari ajaran Islam. Apakah shalat ketika ia masuk ke dalam bahasan fiqhiyyah lantas bisa dinilai tidak penting?? Wal ‘iyaadzu billah. Jelas, ia bagian dari ajaran Islam yang penting kedudukannya dan disifati sebagai tiangnya agama.

Lalu bagaimana dengan al-Khilafah? Ketika Islam berbicara mengenai akidah Islam, Islam pun berbicara mengenai sanksi bagi orang yang murtad, dimana kewenangannya ada di tangan penguasa (Khalifah dan yang mewakilinya). Ketika Islam berbicara mengenai rukun dan syarat-syarat sah shalat (dan lainnya berkaitan dengan hukum-hukum wadh’iy), Islam pun berbicara tentang sanksi bagi muslim yang meninggalkan shalat dimana Islam pun menentukan pihak yang berwenang menegakkannya (penguasa), dan beragam hal lainnya dari agama ini yang bisa tegak dengan tegaknya al-Khilaafah. Maka Khilafah sebagai metode syar’i menegakkan syari’at Islam kaaffah jelas wajib dan memiliki kedudukan yang amat penting.

Maka mereka yang menyelisihi pandangan wajibnya menegakkan al-Khilaafah dan membela sistem jahiliyyah sebenarnya tak memiliki dasar argumentasi kokoh dan ilmiah, dan bisa jadi disebabkan oleh dua hal; ketidaktahuan atau menutupi ilmu. Dan kita berlindung dari keduanya.

Wallaahu a’lam bish-shawaab

Download Slide Presentasi: Khilafah Menurut Kitab Kuning

Surat Terbuka Bagi Mereka yang Lupa…

1011440_1389440537978880_1123393068_n

الحمدلله رب العالمين والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله وأصحابه أجمعين وبعد

Saya menyayangkan mereka yang lebih mempercayai media-media fans dumay (dimana dumay bias untuk dijadikan sandaran utama) daripada kepada para ulama du’aat yang banyak menghabiskan waktunya untuk berdakwah di jalan Allah dan teruji pengorbanannya (hingga di antaranya pernah lama merasakan dinginnya penjara thaghut, dan di antaranya syaahid in syaa Allah di tangan para thaghut zhalim); dimana para du’aat ini pun berada di medan dakwah Irak dan Suriah dan bisa dipercaya memahami benar fakta (waaqi’) dan siyaasah syar’iyyah… 

Di sisi lain seakan menutup mata pada apa yang telah terjadi di Suriah dan seakan lupa bahwa siapa yang memahamkannya pada kewajiban menegakkan syari’ah kaaffah dalam naungan al-Khilaafah ketika dibina oleh para musyrif yang sabar… Dan mengajarkan mereka bagaimana metode Rasulullaah -shallallaahu ‘alayhi wa sallam- untuk menegakkan khilaafah ‘alaa minhaaj an-nubuwwah… Pantaskah ada celaan pada aktivitas dakwah ini dan para pengembannya dengan sebutan-sebutan jahiliyyah di antaranya menyematkan “para pendengki” kepada para pengemban dakwah yang tak sejalan dengannya?! Jangan jadikan prasangka dan kejahilan sebagai senjata “senjata makan tuan”…

Yaa ikhwah…

Saya kira kita semua sepakat… Khilafah yang tegak di atas manhaj kenabian tidak bisa ditegakkan dengan euphoria sesaat, semangat tanpa didasari pemahaman yang kuat, tanpa kesungguhan dan pengorbanan, tanpa kesabaran dan ketekunan… Allah al-Musta’aan…

Kecintaan dan kerinduan kita semua kepada penegakkan syari’at Islam kaaffah, tegaknya al-Khilaafah ‘alaa minhaaj an-nubuwwah menuntut kita mendudukkannya pada tempatnya, menjaganya dari segala stigmatisasi negatif, dari berbagai klaim yang tidak memenuhi tuntutan syari’at atasnya…

Yaa ikhwah…

Tak setiap penolakan bisa dianggap berasal dari kebencian, kedengkian, fanatisme buta golongan.

Coba bayangkan jika anda kehilangan seorang ibu dan anda tahu betul fakta dan karakteristik ibu meski sudah lama tak bertemu.. Ketika ada yang mengaku sebagai ibu anda, apakah anda akan langsung menerimanya begitu saja tanpa membandingkannya dengan karakteristik yang selama ini anda kenal? Itu karena anda cinta pada ibu anda sehingga anda akan berhati-hati atas pengakuan seseorang, dan terus mengupayakan mencari keberadaan sang ibu.

Jelas sekali bahwa dakwah merupakan jalan yang mulia, orang-orang yang istiqamah di jalannya adalah orang-orang terpilih yang akan meraih predikat agung (أُولَٰئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ) dalam QS. Ali Imraan 104, dimana Allah mensifati mereka yang berdakwah kepada al-khayr, menyuruh kepada yang ma’ruuf dan melarang dari yang mungkar dalam bentuk qashr shifah ‘alaa al-mawshuuf (قصر صفة على الموصوف) dengan kalimat (أُولَٰئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ), yakni mensifati mereka yang diseru dalam ayat ini dengan sifat yang ringkas, padat namun bermakna mendalam.

Dalam kalimat ini, seakan dihilangkan sifat yang disebutkan sebelumnya setelah kata (أُولَٰئِكَ) yakni diringkas dalam kata (الْمُفْلِحُونَ). Lalu apa makna frase (وَأُولَٰئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ) dalam ayat ini? Imam az-Zamakhsyari menjelaskan:

هم الأخصاء بالفلاح دون غيرهم

“Mereka adalah golongan yang dikhususkan menyandang predikat beruntung, tidak selainnya.”

Dr. Muhammad asy-Sya’rawi menjelaskan: “Bahwasanya kata (المفلحون) adalah sebuah kata yang mengandung petunjuk, dan kata al-muflih (kata tunggal dari al-muflihûn-pen.) yakni orang yang mengambil transaksi perniagaan yang menguntungkan (هو الذي أخذ الصفقة الرابحة). Karena kata ini diambil dari ungkapan (فلح الأرض) yakni seseorang telah menggarap tanahnya, maka orang yang menggarap tanahnya, menanaminya, kemudian memanennya akan meraih hasil yang datang pada akhir tiba masa panennya, dan sungguh telah datang kebenaran ini dengan permasalahan maknawi dari perkara yang terindera.”

Ketika menjelaskan kata (فلح), Imam ar-Raghib al-Ashfahani menjelaskan:

الفلاح: الظفر وإدراك بغية، وذلك ضربان: دنيوي وأخروي؛ فالدنيوي: الظفر بالسعادات التي تطيب بها حياة الدنيا، وهو البقاء والغنى والعز

“Al-Falaah: kemenangan dan meraih tujuan, hal itu dibagi menjadi dua sisi: duniawi dan ukhrawi; keberuntungan duniawi yakni kesuksesan meraih berbagai kebahagiaan yang menghiasi kehidupan dunia, panjangnya usia, kecukupan dan kemuliaan.”

Inilah yang dimaksudkan oleh syair berikut:

أَفْلِحْ بِمَا شِئْتَ فقد يُدْرَكُ بالضرُّ
ضَعْفٌ وقد يُخَدَعُ الأرِيبُ

Adapun keberuntungan di akhirat:

وفلاح أخروي، وذلك أربعة أشياء: بقاء بلا فناء، وغنى بلا فقر، وعز بلا ذل، وعلم بلا جهل.

“Dan keberuntungan ukhrawi, mencakup empat hal: keabadian tanpa dibatasi kefanaan, kecukupan tanpa ada kefakiran, kemuliaan tanpa ada kehinaan, kecerdasan tanpa ada kejahilan.”

Oleh karena itulah dinyatakan:

لاَ عَيْشَ إِلاَّ عَيْش الآخِرَةِ

“Tiada kehidupan kecuali kehidupan akhirat.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)

Bukankah aktivitas dakwah ini memuliakan mereka yang mengembannya di dunia dan akhirat –in syaa Allah-? Dari kehidupan yang hina sebelumnya lalu meraih kemuliaan hidup dengan berdakwah, menyampaikan hidayah kepada umat manusia. Apakah mungkin seorang mukmin tak tergiur dengan janji Allah yang agung ini??

Semoga Allah meneguhkan kedudukan mereka yang berdiri di atas jalan petunjuk, thariiqah dakwah Rasuulullaah -shallallaahu ‘alayhi wa sallam-… Dan senantiasa menunjuki mereka dan menjadikan kita termasuk di antara mereka yang tertunjuki dan istiqamah di atas kebenaran dan meluruskan mereka yang salah jalan… Semoga Allah membongkar makar kaum kafir dan munafikiin… Allah al-Musta’aan.. []

Admin web tsaqafah irfanabunaveed.com

Liputan Sebagian Foto Safari Dakwah Ramadhan 1435 H

Kajian UNPAD

Bedah Buku Jin & Dukun Hitam Putih Indonesia di Masjid al-Jihad UNPAD Dipatiukur – 19 Juli 2014 (Ramadhan 435 H)

10480140_10203460493027213_950460102074563460_n

Kajian

10450419_10203460493667229_2206592443833391908_n

Sebagian Peserta

Khilafah Menurut Kitab Kuning

Kajian Khilafah Menurut Kitab Kuning di Ma’had Sholeh Madani Cianjur – 20 Juli 2014 (Ramadhan 1435 H)

983717_326243577531410_6790371291920682495_n

Peserta Undangan (Ulama & Tokoh)

10489634_326243634198071_3353976052881108535_n

 

Safari Dakwah Kalimantan

Safari Dakwah Ramadhan 1435 H ke Kota Baru – Kalimantan Selatan (11 – 13 Juli 2014)

foto0355 foto0358 foto0371 foto0374 foto0379 foto0384 foto0400