Tanya Jawab Mengenai Anak Indigo, Memindahkan Penyakit ke Binatang & Perdukunan

Cover Buku-1

PERTANYAAN-PERTANYAAN

Pertanyaan I:

assalamu’alaykum.wr.wb.

kang damang? bagaimana dalam pandangan islam terkait dengan ORANG/ANAK INDIGO? kenapa seseorang dikatakan INDIGO (sebabnya)? 

IR dari Jakarta

Pertanyaan II:

assalaamu’alaikum wr wb..tadz ada titipan pertanyaan dari anak didik ana. belakangan ini kan muncul pro kontra pengobatan UGB sekalipun sebelumnya pasti banyak di negeri ini. lantas bagaimana hukumnya berobat ke orang tersebut (yang sudah di ketahui metode pengobatannya tidak syar’i) dengan terawangan, memindahkan penyakit ke hewan dsb. soalnya bapaknya  itu sudah coba berobat kemana mana blm sembuh. nah sama tetangganya di anjurkan berobat kepada orang dengan ciri2 yang saya sebutkan di atas. mohon penjelasannya. jazakallah khair

KB dari Bogor

JAWABAN IRFAN ABU NAVEED

وعليكم السلام ورحمة الله وبركاته

الحمدلله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله وأصحابه أجمعين وبعد

Di zaman ini tersebar syubhat antara praktik pengobatan yang sesuai syari’ah dan pengobatan yang menggunakan embel-embel islami namun dalam praktiknya mengandung syubhat. Dan muslim dituntut untuk jeli, menapaki ilmu sebelum beramal, mesti mencari tahu benar tidaknya pengobatan yang akan dituju sebelum dikunjungi.

Islam telah mengajarkan kita menjadikan hukum Allâh (syari’at Islam) sebagai standar perbuatan (miqyâs al-‘amal), dimana seorang muslim yang beriman wajib mengikatkan dirinya, konsisten pada akidah dan syari’at Islam. Para ulama pun merumuskan kaidah syar’iyyah (berdasarkan nash-nash al-Qur’an dan al-Sunnah):

اْلأَصْلُ فِي اْلأَفْعَالِ التَّقَيُّدُ بِحُكْمِ اللهِ

“Hukum asal perbuatan manusia adalah terikat dengan hukum Allâh.” [1]

Oleh karena itu, seorang muslim wajib mengetahui pandangan Islam atas suatu perbuatan sebelum ia melakukannya (al-‘ilm qabl al-‘amal), apakah wajib; sunnah; mubah; makruh atau haram dan berbuat sesuai dengan Islam dengan segenap kemampuan (hasb al-istithaa’ah).

فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ

“Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu.” (TQS. Al-Taghâbun [64]: 16)

Yakni bertakwa dengan segenap kemampuan. Allah ‘Azza wa Jalla pun berfirman:

وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۖ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ

“Apa yang diperintahkan Rasul kepadamu, maka laksanakanlah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat keras hukumannya.” (TQS. Al-Hasyr [59]: 7)

Al-‘Allamah al-Qadhi Taqiyuddin al-Nabhani –rahimahullaah– berkata: “Bagi seorang muslim yang telah beriman kepada Allâh SWT serta beriman bahwa Allâh telah mengutus Nabi Muhammad SAW dengan syari’at Islam yang menjelaskan perintah-perintah serta larangan Allâh dan mengatur hubungannya dengan Allâh atau dengan dirinya sendiri, ataupun dengan manusia yang lainnya; maka seorang muslim yang meyakini hal ini wajib menyesuaikan seluruh amal perbuatannya dengan perintah dan larangan Allâh SWT. Tujuan yang hendak diraih dari penyesuaian ini adalah meraih ridha Allâh SWT. Oleh karena itu, setiap perbuatan mungkin akan mendatangkan murka Allâh atau ridha-Nya. Apabila amal perbuatan tersebut mengundang murka Allâh, karena menyalahi perintah-perintah-Nya dan melanggar larangan-larangan-Nya, maka amal perbuatan tersebut dikategorikan buruk (syarr). Dan apabila amal perbuatan tersebut mendatangkan ridha Allâh melalui keta’atan terhadap perintah-perintah-Nya, serta menjauhi segala larangan-Nya, maka amal perbuatan itu dikategorikan baik (khayr).” Atas dasar itu, Imam Taqiyuddin al-Nabhani menegaskan:

أن الخير في نظر المسلم ما أرضى الله والشر هو ما أسخطه

“Bahwa predikat baik (al-khayr) dalam penilaian seorang muslim adalah sesuatu yang diridhai Allâh SWT, sedangkan buruk (al-syarr) adalah sesuatu yang dimurkai-Nya.”[2]

Tentu benar tidaknya suatu pengobatan mesti ditakar dengan timbangan syari’at Islam. Dan sudah semestinya seorang muslim meneliti berbagai hal yang bisa membahayakan bagi dunia dan akhirat kaum muslimin, sebagaimana dituturkan syair:

عرفت الشرّ لا للشرّ        لكن لتوقيّه

ومن لا يعرف الشرّ      من النّاس يقع فيه

“Aku mengetahui keburukan bukan tuk melakukan keburukan, melainkan memproteksi diri darinya”

“Dan barangsiapa tak mengetahui keburukan, maka ia akan terjerumus ke dalamnya”[3]

Fenomena mengerikan ini sama percis seperti apa yang diungkapkan oleh Syaikh Abu Sayf Jalil al-‘Abidiy al-‘Iraqiy:

لقد غزت الأمة الإسلامية في أواخر القرن التاسع عشر وخاصة بعد سقوط الدولة العثمانية بعض المفاهيم الخاطئة والمعتقدات الباطلة الدخيلة على ديننا الحنيف والتي تضاد وتصادم العقيدة الإسلامية من كل وجه وجانب.

“Sungguh pada akhir abad ke-19, khususnya paska runtuhnya al-Daulah al-‘Utsmaniyyah, umat islam diserbu pemahaman-pemahaman sesat dan keyakinan-keyakinan batil yang menyusup ke dalam Din kita yang lurus, menyelisihi dan menyerang akidah islam dari segala arah dan sisi.” [4]

Pasal I: Tidak Ada Klasifikasi Dukun Hitam & Dukun Putih dalam Islam

Di negeri ini, ada anekdot mengenai istilah dukun hitam dan dukun putih dengan klasifikasi ukuran fisik semata, dukun hitam adalah mereka yang menggunakan baju hitam, bau kemenyan, bergaya menyeramkan, sedangkan dukun putih menggunakan sorban, pakai peci, pakaian serba putih dan tak lupa parfum khas yang wangi nian. Padahal fisik bukanlah patokan utama untuk mengukur benar tidaknya kepribadian seseorang. Pola pikir dan pola kecendrungan jiwa seseorang lah yang dijadikan patokan, ini dijelaskan oleh al-’Allamah Taqiyuddin an-Nabhani –rahimahullaah-. Misalnya meski seseorang berpakaian serba putih bersih tampil islami tapi kalau amalannya bertentangan dengan syari’ah; menyembelih binatang untuk sesaji, bersekutu dengan syaithan, maka jelas yang bersangkutan memiliki kepribadian bermasalah ditinjau dari sudut pandang Islam.

Dan jika kita telusuri sebenarnya pengklasifikasian dukun hitam dan dukun putih ini tak dikenal dalam terminologi syari’ah. Karena nash-nash syari’ah hanya memperkenalkan istilah kaahin atau ’arraaf dalam bentuk umum, artinya siapapun ia jika melekat ciri-ciri dukun padanya maka ia adalah dukun yang dikecam oleh Islam. Saya tidak akan menghukumi orang per orang (karena ini membutuhkan pengkajian secara rinci orang per orang), maka saya jelaskan secara umum agar ikhwah fillaah sekalian yang bisa menilainya:

Mengenal Kaahin (Dukun)

Dalam Lisân al-‘Arab, kahin adalah orang yang memberi kabar kepada kita tentang hal-hal di sekitar kita yang berkaitan dengan masa depan, ia mengaku bahwa dirinya mengetahui rahasia-rahasia ghayb.[5]

Dalam kamus-kamus bahasa arab, akan kita temukan bahwa al-Kuhânah adalah bentuk mashdar dari kahana, seperti kata nashara dan mana’a. Sedangkan kâhin (dalam bentuk isim fa’il atau subjek) berarti orang yang berinteraksi dengan perdukunan. Bentuk jamaknya adalah kahânah atau kuhhân.[6]

Pengarang kitab Jâmi’ berkata: “Orang arab menamakan setiap orang yang memberitahukan sesuatu sebelum terjadi sebagai dukun (kâhin).

Dalam kitab Irsyâd al-‘Ibâd dijelaskan:

اَلْكَهَانَةُ هِيَ الإِخْبَارُ عن المَغِيْبَاتِ فِي مُسْتَقْبل الزمانِ وادّعاء الغَيبِ وَزَعَمَ أنّ الجنّ تُخْبِرُهُ بذٰلِكَ

“Kahânah, yaitu mengabarkan hal-hal yang gaib yang akan terjadi pada masa-masa mendatang, mengaku mengetahui ilmu gaib dan menganggap jin yang telah memberitahunya.”[7]

Al-Hafizh Imam Ibnu Hajar al-‘Asqalani menjelaskan bahwa kata kuhânah berarti orang yang mengklaim mampu mengetahui hal-hal gaib.

Imam Al-Khiththabi berpendapat bahwa kâhin ialah orang yang mengaku bisa mengetahui hal gaib dan memberitahukan berbagai hal kepada orang banyak.

Disebutkan dalam kitab Fat-hul Majid, kâhin ialah orang yang mendapat berita dari syaithân yang mencuri berita langit.

Penulis buku Tanabbu’ bil Ghayb menjelaskan: “Kata kuhânah secara umum berarti; orang yang mengaku bisa melihat makhluk halus; orang yang ahli tarq (membuat tulisan di tanah untuk menguak sesuatu yang tersembunyi) baik dengan tanah, biji-bijian, gandum, maupun bulir; ahli zajar (melepaskan burung dengan tujuan meminta petunjuk, jika terbang ke arah kanan maka optimis, jika terbang ke kiri maka pesimis); orang yang memberitakan hal-hal gaib dengan meminta petunjuk pada burung ataupun binatang buas; orang yang memiliki ritualitas khusus;.. penyihir;.. dan lain sebagainya.”

Dalam al-Qur’ân al-Karîm, kâhin disebutkan dalam ayat berikut:

فَذَكِّرْ فَمَا أَنْتَ بِنِعْمَتِ رَبِّكَ بِكَاهِنٍ وَلَا مَجْنُونٍ

Maka tetaplah memberi peringatan, dan kamu disebabkan nikmat Tuhanmu bukanlah seorang kâhin dan bukan pula seseorang yang gila.” (QS. ath-Thûr [52]: 29)

Ketika menafsirkan ayat ini, Imam al-Alusiy berkata:

هو الذي يخبر بالغيب بضرب من الظن، وخص الراغب الكاهن بمن يخبر بالأخبار الماضية الخفية كذلك، والعرّاف بمن يخبر بالأخبار المستقبلة كذلك، والمشهور في الكهانة الاستمداد من الجن في الإخبار عن الغيب

“(Dukun) adalah orang yang mengabarkan berita ghaib sejenis ramalan, dan secara khusus orang yang dimaksud kahin adalah orang yang mengabarkan hal-hal yang telah terjadi yang bersifat rahasia. “Adapun ‘arraf (peramal) adalah orang yang mengabarkan hal-hal yang akan terjadi. Dan sudah menjadi hal yang masyhur dalam dunia perdukunan, (kahin & ‘arraf) memperoleh berita-berita ghaib dari bangsa jin.”[8]

وَلَا بِقَوْلِ كَاهِنٍ ۚ قَلِيلًا مَا تَذَكَّرُونَ

 “Dan bukan pula perkataan kâhin. Sedikit sekali kamu mengambil pelajaran darinya.(QS. al-Hâqqah [69]: 42)

Al-Hafizh Ibnu Katsîr menafsirkan ‘kâhin’ adalah orang yang memiliki pandangan berdasarkan informasi dari jin yang mencuri berita langit.

Istilah ‘kâhin atau kuhhân’, dinyatakan dalam sejumlah hadîts diantaranya:

مَنْ أَتَى كَاهِنًا فَصَدَّقَهُ بِمَا يَقُولُ فَقَدْ كَفَرَ بِمَا أُنْزِلَ عَلَى مُحَمَّدٍ

“Barangsiapa mendatangi kâhin lalu membenarkan (meyakini) apa yang dikatakannya maka sungguh ia telah mengkufuri apa yang diturunkan kepada Muhammad.” (HR. Ahmad, al-Tirmidzi, Ibnu Majah, al-Darimi)

Mu’awiyah bin al-Hakam berkata: “Dulu kami biasa mendatangi dukun.” Nabi SAW bersabda:

فَلَا تَأْتُوا كَاهِنًا

“Jangan kalian mendatangi kâhin.” (HR. Ahmad & Muslim)

Mengenal ‘Arrâf (Paranormal)[9]

Imam Al-Baghawi menjelaskan bahwa al-‘arrâf (peramal) adalah orang yang mengaku dapat mengetahui hal gaib dengan terlebih dahulu mengetahui informasi tentang sesuatu yang dicuri atau hilang. Beliau pun berkata: “’Arrâf adalah orang yang mengaku tahu dengan menggunakan isyarat-isyarat untuk menunjukkan barang curian atau tempat barang hilang atau semacamnya.”[10]

Dalam kitab Irsyâd al-‘Ibâd didefinisikan:

العِرَافَةُ هي ادّعَاءُ معرفةِ السارق و مَكَانِ الضَالَّةِ

“‘Irâfah adalah mengaku bisa mengetahui pencuri atau tempat sesuatu yang hilang.” [11]

Imam Ahmad berkata: “Al-‘Arâfah adalah bagian dari sihir. Dalam hal ini, tukang sihir dianggap lebih tercela.”

Syaikhul Islam berkata: “’Arrâf ialah sebutan untuk tukang ramal, ahli nujum, peramal nasib dan yang semisalnya, yang mengaku tahu tentang perkara-perkara dengan cara-cara tertentu.”

Imam al-Khiththabi menjelaskan bahwa ‘arrâf adalah orang yang mengaku mengetahui barang yang dicuri, tempat orang hilang atau yang semisalnya. Yakni mengetahui secara gaib hal-hal yang sedang dan telah terjadi.

Istilah ‘arrâf bisa kita temukan dalam sejumlah hadîts, di antaranya:

مَنْ أَتَى عَرَّافًا فَسَأَلَهُ عَنْ شَيْءٍ لَمْ تُقْبَلْ لَهُ صَلَاةٌ أَرْبَعِينَ لَيْلَةً

“Barangsiapa mendatangi ‘arrâf lalu dia bertanya kepadanya tentang suatu hal, maka shalatnya tidak akan diterima selama empat puluh hari.” (HR. Muslim & Ahmad)

Pasal II: Menakar Kasus Indigo & Penerawangan

Berangkat dari definisi mengenai kaahin dan ’arraaf maka jika yang dimaksud anak ‘indigo’ adalah mereka yang bisa menerawang; seringkali melihat penampakan dan bisa meramal nasib, sudah semestinya yang bersangkutan mawas diri karena itu semua adalah tipu daya syaithan, karena karakteristik kaahin atau ’arraaf melekat padanya.

Tak sedikit di antara kaum muslimin yang keliru memandang ‘kemampuan’ penerawangan seseorang, sehingga ia dijadikan rujukan dalam mencari barang hilang atau bahkan hal-hal ghaib –seakan-akan ia memiliki kunci-kunci dunia ghaib- yang merupakan otoritas mutlak Allah. Ada sejumlah syubhat yang mesti dikritisi:

Pertama, ilmu terawang dianggap sebagai kelebihan positif bahkan tak jarang dianggap sebagai karamah bagi pemiliknya selama digunakan untuk membantu orang lain. Padahal terdapat perbedaan mendasar antara karamah dan sihir atau istidraaj. 

Syaikh ‘Abdullah bin Alwi bin Muhammad al-Haddad menjelaskan:

و كل من لم يبالغ فى التمسك بالكتاب و السنة و لم يبذل و سعه فى متابعة الرسول وهو مع ذلك يدعى ان له مكانة من الله تعالى فلا تلتفت اليه ولا تعرج عليه وان طار فى الهواء ومشى على الماء وطويت له المسافات وخرقت له العادات فان ذلك يقع كثيرا للشياطين والسحرة والكهان والعرافين والمنجمين وغيرهم من الضلال

“Barangsiapa tak bersungguh-sungguh berpegang dengan al-Qur’ân dan al-Sunnah, juga tak mengerahkan kemampuan untuk mengetahui jejak Rasul kemudian ia mengaku mempunyai derajat tinggi di hadapan Allâh, maka jangan sampai engkau berpaling kepadanya dan mengikutinya meskipun dia bisa terbang, berjalan di atas air, bisa meringkas jarak perjalanan atau mempunyai keanehan-keanehan lain. Karena peristiwa-peristiwa semacam ini bisa dilakukan syaithân-syaithân, para tukang sihir (dukun), para tukang ramal, orang-orang yang mengetahui keadaan samar (al-‘arrâfîn) dan para ahli perbintangan (al-Munajjimîn). Mereka semua ini termasuk orang-orang sesat.”

Dan dari penjelasan para ulama (saya nukil di buku Jin dan Dukun Hitam Putih Indonesia), ciri-ciri karamah sebagai berikut:

  • Allâh anugerahkan hanya pada orang-orang beriman yang berpegang teguh pada akidah dan syari’at-Nya, timbul dari ketaqwaan pada-Nya. Ini merupakan syarat mutlak yang pertama!
  • Seringkali hadir dalam kondisi benar-benar terdesak, tak ada yang bisa menolong kecuali keajaiban pertolongan dari Allâh,
  • Tidak diupayakan dengan usaha-usaha dan maksud tertentu, tidak bisa diprogram oleh manusia.
  • Tidak bisa dipelajari. Adakah ilmu khusus untuk memiliki karâmah? Tidak!
  • Tidak bisa ditransfer atau diwariskan. Karena ketakwaan pada Allah dari orang yang dianugerahi karâmah tak bisa diwariskan kepada orang lain, tak seperti layaknya mewariskan harta,
  • Tidak bisa diprogramkan untuk dipertontonkan atau didemonstrasikan sekehendak hati (kapan pun mau bisa).
  • Tidak bisa dibatalkan oleh makhluk. Dan kenyataannya, 100% yang bisa menerawang, seringkali melihat penampakan, bisa dibatalkan yakni disembuhkan dengan ruqyah syar’iyyah.

Kedua, ilmu terawang diperoleh dengan cara belajar; misalnya menimpa mereka yang menggeluti ilmu sihir atau ilmu silat yang mengandalkan bantuan jin dan terkadang tiba-tiba hadir (tipu daya syaithan) dengan diawali peristiwa aneh atau ganjil misalnya kehadiran sosok tertentu lewat mimpi.

Sebagai muhâsabah, penulis sampaikan peringatan Syaikh ‘Abd al-Wahhab asy-Sya’rani berikut ini:

و من كُشِف له عمّا يفعلَه الناسُ في قُعُورِ بيوتهِم فهو كَشْفٌ شيطانيٌ يَجِبُ عليه التوبةُ منه فَورا

“Barangsiapa terbuka mata hatinya, sehingga bisa melihat apa yang dikerjakan manusia di dalam rumah-rumah mereka, maka demikian ini termasuk terbukanya hati yang timbul dari syaithân. Yang wajib dilakukan adalah bertaubat seketika itu juga.”[12]

Dalam al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân karya al-Hafizh al-Qurthubi dinyatakan bahwa orang yang suka memprediksikan sesuatu, harus diberi peringatan. Karena mereka bisa merusak akidah orang-orang awam, dikhawatirkan mereka meninggalkan keyakinan mereka yang sesungguhnya.[13]

Ibnu Arabi berkata: “Apabila ada seorang dokter mengatakan bahwa jika puting susu sebelah kanan tersumbat, maka janin yang ada dalam rahim ibu tersebut adalah laki-laki. Bila yang tersumbat kiri, maka janinnya perempuan. Orang yang mengatakan hal ini, tidak dihukumi kafir atau fasik, dengan catatan ciri-ciri tersebut sesuai kebiasaan dan ia tidak memastikannya. Tapi siapapun yang memastikan akan mendapatkan pekerjaan di masa mendatang atau mengabarkan segala sesuatu yang belum terjadi, maka tidak diragukan lagi kekafiran orang tersebut. Adapun mengenai masa gerhana bulan dan matahari, bila ada seseorang yang memastikannya –menurut sebagian ulama- hukumnya hanya diberi peringatan dan tidak sampai dihukumi kafir. Karena hal tersebut bisa diketahui melalui ilmu hisab dan prakiraan rotasi. Sebagaimana yang dikabarkan Allâh, ‘Dan telah Kami tetapkan bagi bulan manzilah-manzilah (QS. Yâsîn [36]: 39).”

Maka penerawangan, yakni menerawang apa yang akan terjadi, atau menerawang mengetahui penyakit tanpa cara-cara yang rasional seperti yg ana temukan dari pengaduan orang2 yang ana ruqyah itu bagian dari al-‘iraafah, orangnya disebut ‘arraaf.

Pasal III: Hukum Memindahkan Penyakit Ke Binatang

Sebelum menjawab pertanyaan ini, timbul sejumlah pertanyaan:

Bagaimana sebenarnya fakta memindahkan penyakit ke binatang? Mengapa mesti ke binatang? Apa alasan ilmiah – medisnya? Kalau seandainya logis, mengapa tidak dipindahkan ke benda? Dan bagaimana caranya memindahkan penyakit ke binatang?

Pertama, kami tidak pernah menemukan dalil-dalil yang mendasari perbuatan ini, tidak baik dalam as-sunnah, atsar sahabat maupun contoh para ulama, tidak pula dalam ilmu medis modern. Dan baru kita temukan di zaman ini ketika menebarnya kebodohan terhadap agama dan tersebarnya kemaksiatan dan syubhat. Lantas bagaimana caranya? Jika menggunakan bantuan jin, maka hal itu sudah cukup dinilai sebagai kebatilan; yakni meminta bantuan jin (al-isti’aanah bil jin).

Kedua, jika faktanya memindahkan penyakit ke binatang hanya trik tipuan saja, yakni sebelumnya binatang (misalnya sapi) disuntik dengan cairan hitam pekat, sehingga ketika disembelih dan ditunjukkan organ tubuhnya berwarna hitam pekat seakan-akan penyakit benar-benar dipindahkan. Maka praktik yang diklaim pengobatan tersebut mengandung unsur penipuan, dan hukumnya jelas haram.

Ketiga, dan seandainya memindahkan penyakit ke binatang bisa dilakukan secara medis, logis dan tidak menggunakan bantuan jin. Maka perlu ditinjau ulang; jika hal itu malah menyakiti binatang dan membuatnya sakit di sisi lain bisa dipindahkan ke materi benda mati misalnya, namun dipindahkan ke binatang dengan motif materi (agar pasien yang tertipu mau membeli binatang yang dikorbankan dari terapis); maka perbuatan tersebut dilarang karena termasuk perbuatan zhalim pada mereka, dan motif materi tak bisa menghalalkan kezhaliman tersebut, padahal kita dituntut untuk berbuat baik (ihsaan) pada binatang, yakni memperlakukan binatang sesuai ketentuan syari’at. Bukankah memasukkan sesuatu yang buruk ke dalam tubuh binatang merupakan kezhaliman? Yakni menempatkan penyakit tidak pada tempatnya, apakah binatang Allah ciptakan untuk dijadikan sebagai tempat menyalurkan penyakit dari tubuh manusia? Karena kata zhalim dalam definisi yang diungkapkan al-’Alim asy-Syaikh ’Atha bin Khalil dalam kitab tafsirnya:

والظلم هو وضع الشيء في غير محله وبناء عليه نفهم معنى الآية (إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ)

“Dan kezhaliman adalah mendudukkan sesuatu tidak pada tempatnya dan kita memahaminya berdasarkan makna ayat: “Sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar.”[14] [15]

Lantas, apakah tidak dikatakan suatu kezhaliman jika penyakit malah dipindahkan ke dalam tubuh binatang semisal binatang ternak yang seringkali dijadikan ‘korban’ dan bukan peruntukannya?

Tentang berbuat ihsaan pada binatang yang juga merupakan makhluk ciptaan Allah. Berikut ini dalil-dalil umum tentang berbuat ihsan pada makhluk-Nya:

عَنْ شَدّادِ بْنِ أَوْسٍ قَالَ: ثِنْتَانِ حَفِظْتُهُمَا عَنْ رَسُوْلِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. قَالَ: “إنّ اللَّهَ كَتَبَ الإِحْسَانَ عَلَىَ كُلِّ شَيْءٍ. فَإذَا قَتَلْتُمْ فَأَحْسِنُوا الْقِتْلَةَ. وَإِذَا ذَبَحْتُمْ فَأَحْسِنُوا الذَّبْحَ. وَلْيُحِدّ أَحَدُكُمْ شَفْرَتَهُ. فَلْيُرِحْ ذَبِيحَتَهُ”. رواه مسلم

Dari Syaddâd bin Aws, dia berkata: “Dua hal yang telah aku ingat-ingat berasal dari Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi Wa Sallam, beliau bersabda, ‘Sesungguhnya Allah Ta’ala telah mewajibkan agar berbuat ihsan (baik) terhadap segala sesuatu. Bila kamu membunuh, maka bunuhlah secara baik dan bila kamu menyembelih, maka sembelihlah secara baik dan hendaklah salah seorang diantara kamu menajamkan mata pisaunya, lantas menenangkan binatang sembelihannya.” (HR.Muslim)

Apa makna al-ihsaan dalam hadits ini? Syaikh Dr. Muhammad Yusri menjelaskan:

الإحسان مصدر (أحسن) إذا أتى بالشيء حسنًا، والمراد تحسين الأعمال المشروعية بإيقاعها على الوجه المرضي على سنة صاحب الشريعة، وهذا يشمل الرفق والإنعام على الغير وعلى النفس.

Al-Ihsaan adalah mashdar dari kata kerja (ahsana) yakni jika seseorang datang kepada sesuatu secara baik-baik, dan maksudnya adalah membaguskan amalan-amalan yang disyari’atkan dengan meletakkannya sesuai peruntukannya berdasarkan tuntunan pemilik hukum syari’ah ini (tuntunan Allah dan Rasul-Nya-pen.), dan hal ini mencakup kebaikan dan kasih sayang kepada orang lain dan diri sendiri.”[16]

Hadits di atas mengandung banyak faidah dan memuat ajaran-ajaran Islam yang agung.

Syaikh Dr. Muhammad Yusri menuliskan dalam kitab syarah-nya atas al-Arba’iin an-Nawawiyyah: “Ini merupakan hadits tentang anjuran kebaikan dan kasih sayang, dan siapa saja yang mentadaburi makna al-ihsaan dalam hadits ini, ia akan menemukan pelajaran yang jelas dari berbagai pelajaran komperhensif agama ini atas berbagai urusan seorang muslim. Maka al-ihsaan merupakan ism jaami’ yang mencakup keseluruhan pintu-pintu kebaikan dan keutamaan, dan ia mutlak baik dalam bentuk perbuatan-perbuatan atau ucapan-ucapan, bahkan mencakup niat dan maksud.”[17]

Syaikh as-Sa’di menyatakan bahwa berbuat kebajikan (ihsan) itu ada dua macam[18]

  1. Berbuat baik dalam beribadah kepada Sang Pencipta, dengan menyembah Allah seolah-olah melihat-Nya. Jika pun tidak melihat-Nya, maka Allah melihatnya. Yakni bersungguh-sungguh dalam menunaikan hak-hak Allah secara ikhlas, dan menyempurnakannya. 
  2. Berbuat baik berkenaan dengan hak-hak makhluk. 

Dalam riwayat lainnya, al-Bukhari dan Muslim meriwayatkan hadits Rasulullah –shallallaahu ‘alaihi wasallam– yang memuji seseorang yang memberi minum seekor anjing yang sedang kehausan:

بَيْنَا رَجُلٌ يَمْشِي فَاشْتَدَّ عَلَيْهِ الْعَطَشُ فَنَزَلَ بِئْرًا فَشَرِبَ مِنْهَا ثُمَّ خَرَجَ فَإِذَا هُوَ بِكَلْبٍ يَلْهَثُ يَأْكُلُ الثَّرَى مِنْ الْعَطَشِ فَقَالَ لَقَدْ بَلَغَ هَذَا مِثْلُ الَّذِي بَلَغَ بِي فَمَلَأَ خُفَّهُ ثُمَّ أَمْسَكَهُ بِفِيهِ ثُمَّ رَقِيَ فَسَقَى الْكَلْبَ فَشَكَرَ اللَّهُ لَهُ فَغَفَرَ لَهُ

“Ada seorang laki-laki yang sedang berjalan lalu dia merasakan kehausan yang sangat sehingga dia turun ke suatu sumur lalu minum dari air sumur tersebut. Ketika dia keluar didapatkannya seekor anjing yang sedang menjulurkan lidahnya menjilat-jilat tanah karena kehausan. Orang itu berkata: “Anjing ini sedang kehausan seperti yang aku alami tadi”. Maka dia (turun kembali ke dalam sumur) dan diisinya sepatunya dengan air dan sambil menggigit sepatunya dengan mulutnya dia naik keatas lalu memberi anjing itu minum. Maka Allah membalas kebaikannya (diterima amalnya) dan Allah pun mengampuninya”.

Para sahabat bertanya:

يَا رَسُولَ اللَّهِ وَإِنَّ لَنَا فِي الْبَهَائِمِ أَجْرًا

“Wahai Rasulullah, apakah kita akan meraih pahala dengan berbuat baik kepada binatang?”

Beliau –shallallaahu ‘alaihi wasallam– menjawab:

فِي كُلِّ كَبِدٍ رَطْبَةٍ أَجْرٌ

“Terhadap setiap makhluk bernyawa diberi pahala.” (HR. Al-Bukhari & Muslim. Dan ini lafazh Al-Bukhari)

Maka dari itu, mengenai memindahkan penyakit ke binatang, meski tujuannya untuk mengobati manusia sesungguhnya tujuan yang baik tak serta merta bisa menghalalkan segala cara, di sisi lain masih banyak cara pengobatan lainnya yang jelas-jelas rasional, dan diperbolehkan oleh syari’ah.

Penulis tegaskan, dalam kaidah syar’iyyah dikatakan,

الغاية لا تبرر الوسيلة

 “Tujuan tidak bisa menghalalkan segala cara”[19]

Pasal IV: Ciri-Ciri Dukun & Kecaman Islam Atasnya

Bagaimana caranya bisa memindahkan suatu materi berupa penyakit kepada materi lainnya berupa binatang atau telur? Tidak kita temukan alasan logis, maka jelas hal itu irrasional. Kemungkinan terbesar bahwa penyakit tersebut dipindahkan dengan tipu muslihat (trik-trik tipuan belaka) atau menggunakan bantuan jin, dan kedua perkara ini sudah jelas kemungkarannya.

Ini di antara ciri dukun dan bantahan Islam atasnya:

Pertama, Meruqyah tapi menggunakan lafazh-lafazh syirik, batil atau campur aduk antara ayat-ayat al-Qur’an dan mantra-mantra syirkiyah misalnya permohonan kepada jin (syaithan).

Contoh Kasus: lafazh jangjawokan atau mantra kunjali asih untuk pelet, keduanya menggunakan kata-kata yang tak diketahui artinya, dan bisa dipastikan mengandung kemungkaran. Atau ada juga yang berbahasa arab yang bisa kita pahami maknanya namun jelas batil karena meminta bantuan jin, misalnya:

أجيبوا يا خدام هذه الأسماء : (……. (الأرقام العربية))

Artinya: “Kabulkanlah wahai jin pelayan nama-nama ini: ……… (angka-angka arab)”

Atau

جلبوا يا خدام هذه الأسماء : (……. (الأرقام العربية))

Artinya: “Wujudkanlah wahai jin pelayan nama-nama ini: ……… (angka-angka arab)”

Islam telah melarang umatnya mempraktikkan ruqyah yang samar, tak diketahui maknanya karena mengandung dugaan adanya kebatilan, terlebih ruqyah yang jelas-jelas mengandung kesyirikan.

Ruqyah jenis ini merupakan ruqyah yang terlarang, termasuk ke dalam larangan dalam hadits dari ‘Auf bin Malik al-Asyja’i –radhiyallaahu ’anhu– yang berkata:

كُنَّا نَرْقِي فِي الْجَاهِلِيَّةِ فَقُلْنَا يَا رَسُولَ اللهِ كَيْفَ تَرَى فِي ذَلِكَ فَقَالَ اعْرِضُوا عَلَيَّ رُقَاكُمْ لَا بَأْسَ بِالرُّقَى مَا لَمْ يَكُنْ فِيهِ شِرْكٌ

“Kami biasa meruqyah pada zaman jahiliyyah, maka kami bertanya,’Wahai Rasûlullâh, bagaimana menurut anda hal itu?’ Beliau r bersabda: ‘Perdengarkan kepadaku ruqyah-ruqyah kalian. Tidak apa-apa meruqyah selama tidak mengandung syirik’.” (HR. Muslim no. 4079)

‘Auf bin Malik al-Asyja’i pun mengaku pernah melakukan ruqyah pada zaman jahiliyyah, dan Rasulullah SAW memperbolehkan ruqyah yang tidak mengandung kesyirikan, ini salah satu dasar yang membedakan antara ruqyah syar’iyyah dan ruqyah syirkiyyah. Keduanya memiliki perbedaan yang amat mendasar, takkan pernah bisa disandingkan apalagi diserupakan.

Dalam hadits lainnya, Rasulullah saw bersabda:

إِنَّ الرُّقَى وَالتَّمَائِمَ وَالتِّوَلَةَ شِرْكٌ

“Sesungguhnya ruqyah-ruqyah, jimat-jimat dan guna-guna itu syirik.” (HR. Muslim no. 4079)

Al-Hafizh al-Nawawi dalam Syarh Shahiih Muslim menjelaskan ketika menggabungkan hadits-hadits yang mengandung larangan dan kebolehan ruqyah:

أن المنهى عنه هو الرقية بكلام الكفار، والرقى المجهولة والتى بغير العربية وما لا يعرف معناها، فهى مذمومة لاحتمال أن معناها كفر أو قريب منه أو مكروه ، وأما الرقى بآيات القرآن والأذكار المعروفة فلا نهى عنها بل هى سنة

“Sesungguhnya larangan terhadap ruqyah berlaku bagi ruqyah yang menggunakan perkataan kufur, dan ruqyah yang tak diketahui artinya misalnya menggunakan bahasa selain bahasa arab atau apapun yang tak diketahui artinya. Ruqyah jenis ini tercela karena kemungkinan mengandung kekufuran atau mendekati kekufuran atau mengandung sesuatu yang dibenci. Adapun ruqyah dengan ayat-ayat al-Qur’an, zikir-zikir yang baik maka tidak terlarang bahkan dihukumi sunnah.”[20]

Syaikh al-Islam mengatakan:

نهى علماء الاسلام  عن الرُّقي التي لا يُفقه معناها ؛ لأنها مَظنَّة الشرك ، وإنْ لَمْ يَعرف الرَّاقي أَنهَّا شرك

“Para ulama islam melarang ruqyah-ruqyah yang tidak dipahami maknanya; karena diduga kuat mengandung kesyirikan, meski si peruqyah tidak mengetahui bahwa ruqyah tersebut syirik.”[21]

Dalam kitab al-Fataawaa al-Hadiitsiyyah (hlm. 88) dikatakan:

وممن صَرَّحَ بتحريم الرقيا بالإسم الأعجَمِيِّ الذي لا يُعْرَفُ معناهُ ابن الرشد المالكي والعز بن عبد السلام الشافعي وجماعة من أئمتنا وغيرِهِم

“Dan diantara ulama yang mengharamkan ruqyah dengan bahasa ‘ajam yang tak diketahui artinya adalah Imam Ibn Rusyd al-Malikiy, Imam ‘Izzuddin bin ‘Abdissalam al-Syafi’iy, satu golongan dari guru-guru kita dan para ulama lainnya.”

Kedua, Bergantung pada bantuan jin-jin yang dijadikan khadam disamping keyakinan bahwa jin-jin ini yang berkuasa atas urusannya.

Contoh Kasus: banyak dukun atau yang semisalnya mengatakan bahwa si jin atau ilmu sihir yang menyerang pasiennya kuat, sehingga ia kewalahan dan menyerah. Menurut kesaksian orang-orang yang datang kepada penulis untuk diruqyah, di antara dukun ini ada yang kabur dari rumah ‘klien’, ada juga yang terang-terangan mengaku tak mampu dan angkat tangan, ada juga yang diserang balik hingga muntah darah. Tapi ketika penulis ruqyah, tak terjadi apa yang dialami dukun alhamdulillaah wa bi idznillaah. Kenapa itu semua terjadi? Bukankah logis saja jika para dukun mengandalkan bantuan jin, dan jin yang ia jadikan khadam tak lebih ‘kuat’ dari jin yang mengganggu, ibarat bodyguard yang dikalahkan preman pengganggu. Namun, para syaithan ini bisa saja bekerja sama untuk tidak mengganggu si sakit beberapa lama untuk meyakinkannya pada pengobatan si dukun dan menyiarkannya pada orang lain sehingga si dukun ini kian terkenal. Sehingga tercapailah tujuan batil para dukun dan syaithan; dukun meraih nilai materi dan syaithan berhasil menyesatkan bani Adam.

Keharaman meminta bantuan jin, sudah penulis jelaskan pada modul tentang alam jin. Pada kasus seperti ini, perhatikan pula hal-hal berikut:

Pertama, keyakinan bahwa makhluk yang berkuasa memberikan manfaat dan madharat sudah dibantah ayat-ayat al-Qur’ân al-Karîm.

وَاتَّخَذُوا مِنْ دُونِهِ آلِهَةً لَا يَخْلُقُونَ شَيْئًا وَهُمْ يُخْلَقُونَ وَلَا يَمْلِكُونَ لِأَنْفُسِهِمْ ضَرًّا وَلَا نَفْعًا وَلَا يَمْلِكُونَ مَوْتًا وَلَا حَيَاةً وَلَا نُشُورًا

“Kemudian mereka mengambil tuhan-tuhan selain-Nya (untuk disembah), yang tuhan-tuhan itu tidak menciptakan apapun, bahkan mereka sendiri diciptakan dan tidak kuasa untuk (menolak) sesuatu kemudharatan dari dirinya dan tidak (pula untuk mengambil) suatu kemanfaatan pun dan (juga) tidak kuasa mematikan, menghidupkan dan tidak (pula) membangkitkan.” (QS. al-Furqân [25]: 3)

Dan keyakinan tersebut merupakan bagian dari tipu daya syaithan. Seorang muslim meyakini bahwa tipu daya syaithân terlaknat dinyatakan Allâh adalah “lemah.”

إِنَّ كَيْدَ الشَّيْطَانِ كَانَ ضَعِيفًا

“.. sesungguhnya tipu daya syaithân itu lemah.” (QS. al-Nisâ’ [4]: 76)

Kedua, bertawakal dan bergantung kepada jin, bukan kepada Allah SWT suatu kebatilan dalam islam! Tawakkal merupakan buah keimanan; suatu keyakinan qalbu bahwa Allâh satu-satunya Zat Yang Maha Kuasa atas segala-galanya. Dan Islam menuntut tawakal seorang hamba, hanya wajib ditujukan kepada Allâh dengan perintah yang mutlak, tanpa syarat dan tanpa kecuali. Hal itu dinyatakan secara tegas oleh dalil-dalil yang qath’iy.

فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ ۚ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِينَ

“Apabila kamu mempunyai ‘azzam, bertawakkallah kepada Allâh. Sesungguhnya Allâh mencintai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.” (QS. Âli ‘Imrân [3]: 159)

اللَّهُ لَا إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ ۚ وَعَلَى اللَّهِ فَلْيَتَوَكَّلِ الْمُؤْمِنُونَ

(Dia-lah) Allâh tidak ada Tuhan selain Dia. Dan hendaklah orang-orang mukmin Bertawakal kepada Allâh saja.” (QS. at-Taghâbun [64]: 13)

Imam al-Alusi mendefinisikan tawakkal sebagai sikap menampakkan kelemahan dan ketergantungan pada yang lain, serta merasa cukup hanya kepadanya dalam melakukan aktivitas yang diperlukannya.[22]

Ketawakalan pada Allâh disamping keta’atan pada-Nya merupakan senjata ampuh mengalahkan syaithân:

إِنَّ عِبَادِي لَيْسَ لَكَ عَلَيْهِمْ سُلْطَانٌ إِلَّا مَنِ اتَّبَعَكَ مِنَ الْغَاوِينَ

“Sesungguhnya hamba-hamba-Ku tidak ada kekuasaan bagimu terhadap mereka, kecuali orang-orang yang mengikut kamu, yaitu orang-orang yang sesat.” (QS. al-Hijr [15]: 42)

Tidak dipungkiri bahwa kesalehan seseorang memiliki pengaruh dan manfaat tersendiri dalam praktik ruqyah. Allâh berfirman:

قَالَ إِنَّمَا يَتَقَبَّلُ اللَّهُ مِنَ الْمُتَّقِينَ

“Allâh hanya menerima dari orang-orang yang bertaqwa” (QS. al-Mâ’idah [5]: 27)

Ketiga, Menggunakan sarana-sarana yang aneh dan tidak ilmiah misalnya air namun disyaratkan dengan syarat-syarat tertentu yang ganjil.

Contoh Kasus: Ada seorang dukun di sukabumi yang menjampi air, dan mensyaratkan tidak boleh diminum melebihi batas tertentu, jika melanggar pantangan ini akan menimbulkan efek panas pada orang yang meminumnya. Di sisi lain, air itu hanya air kemasan biasa yang dibeli di warung, dan jika diminum tidak menimbulkan efek panas.

            Pertanyaan balik dan peringatan untuk dukun seperti ini:

  1. Mengapa air tersebut mesti dibatasi dan bisa menimbulkan efek panas pada tubuh padahal hanya air biasa? Adakah alasan ilmiah yang mendasarinya? Jika tak ada alasan ilmiah, apakah lebih pantas dinyatakan sebagai pantrangan mistis belaka? Dalam banyak kasus, syaithan banyak melarang apa yang diperbolehkan islam atau melanggar perintah dan larangan Allah dan Rasul-Nya, sehingga adanya pengorbanan dari si pemuja syaithan demi mengharapkan keridhaan makhluk terlaknat ini
  2. Bukankah air yang dibacakan ruqyah syar’iyyah bagus untuk kesehatan tubuh? Apakah karena engkau membacakan padanya bacaan ruqyah syirikiyyah demi mengemis bantuan kepada syaithan sehingga dibatasi dengan batasan tak ilmiah dan cenderung mistis? Na’uudzubillaahi min dzaalik!

Para pelaku ini sudah semestinya ingat, bahwa Allah SWT tak lantas membiarkan mereka tanpa adanya penghisaban!

وَمَنْ يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ شَرًّا يَرَهُ

“Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan sebesar dzarrah pun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya pula.” (QS. al-Zalzalah [99]: 8)

Keempat, Dilakukan dengan praktik yang mengandung kemaksiatan, kemungkaran.

Contoh Kasus: dukun pria dan ‘klien’ perempuannya berdua-duaan (khalwat), dan melarang mahram atau suaminya untuk masuk ruangan khusus praktiknya, kasus dukun cabul misalnya. Atau disamping ruqyahnya yang batil, si dukun pun meminta berbagai persyaratan ritual atau sesaji berupa binatang sembelihan yang disembelih untuk selain-Nya atau meminta pasien wanita memperlihatkan auratnya tanpa ada kebutuhan darurat atasnya. Keharaman perkara-perkara ini sudah jelas!

Kemaksiatan itu sendiri termasuk syarat dari syaithan golongan jin yang dimintai bantuan. Mengapa? Karena syaithân tak sudi menjadi pembantu manusia hingga manusia melakukan kekufuran pada Allâh. Manusia menggunakan jampi-jampi yang mereka ucapkan dan jimat-jimat yang mereka tuliskan yang mengandung kesyirikan dan kekafiran yang sangat jelas. Terkadang mereka melantunkan beberapa ayat al-Qur’ân sebagai tipuan, sehingga orang-orang yang tidak tahu akan menganggap benar apa yang dilakukan para dukun.

هَلْ أُنَبِّئُكُمْ عَلَىٰ مَنْ تَنَزَّلُ الشَّيَاطِينُ (٢٢١) تَنَزَّلُ عَلَىٰ كُلِّ أَفَّاكٍ أَثِيمٍ (٢٢٢) يُلْقُونَ السَّمْعَ وَأَكْثَرُهُمْ كَاذِبُونَ (٢٢٣)

“Apakah akan Aku beritakan kepadamu, kepada siapa syaithân- syaithân itu turun? Mereka turun kepada tiap-tiap pendusta lagi yang banyak dosa, mereka menghadapkan pendengaran (kepada syaithân) itu, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang pendusta.” (QS. Asy-Syu’arâ [26]: 221-223)

Syaikh Dr. Umar Sulaiman al-Asyqar menegaskan bahwa tukang sihir (termasuk dukun) tak dapat mengembangkan sihirnya apabila tak mengabdikan diri kepada syaithân. Oleh karena itu, tukang sihir mengotori dirinya dengan perbuatan keji dan rusak serta merasa nyaman dalam melakukan keburukan.[23]

Pasal IV: Hukum Berkonsultasi atau Berobat Ke Dukun & Paranormal            

Setelah kita menemukan bahwa pengobatan tersebut merupakan pengobatan dukun atau paranormal berdasarkan penjelasan-penjelasan rinci di atas, maka wajib dipahami bahwa syari’at Islam melarang keras kaum muslimin berkonsultasi atau meminta pengobatan kepada para dukun dan paranormal, berdasarkan dalil-dalil as-sunnah ash-shahiihah yang mengandung larangan tegas, di antaranya:

مَنْ أَتَى عَرَّافًا فَسَأَلَهُ عَنْ شَيْءٍ لَمْ تُقْبَلْ لَهُ صَلَاةٌ أَرْبَعِينَ لَيْلَةً

“Barangsiapa mendatangi ‘arrâf lalu dia bertanya kepadanya tentang suatu hal, maka shalatnya tidak akan diterima selama empat puluh malam.” (HR. Muslim no. 4137 & Ahmad no. 22138)

مَنْ أَتَى كَاهِنًا فَصَدَّقَهُ بِمَا يَقُولُ فَقَدْ كَفَرَ بِمَا أُنْزِلَ عَلَى مُحَمَّدٍ

“Barangsiapa mendatangi kâhin lalu membenarkan (meyakini) apa yang dikatakannya maka sungguh ia telah kufur terhadap apa yang diturunkan kepada Muhammad.” (HR. Ahmad, al-Tirmidzi, Ibnu Majah, al-Darimi)

Hadits dari Mu’awiyah bin Hakam al-Sulami, ia berkata:

يَا رَسُولَ اللهِ إِنِّي حَدِيثُ عَهْدٍ بِجَاهِلِيَّةٍ وَقَدْ جَاءَ اللهُ بِالْإِسْلَامِ وَإِنَّ مِنَّا رِجَالًا يَأْتُونَ الْكُهَّانَ قَالَ فَلَا تَأْتِهِمْ قَالَ وَمِنَّا رِجَالٌ يَتَطَيَّرُونَ قَالَ ذَاكَ شَيْءٌ يَجِدُونَهُ فِي صُدُورِهِمْ فَلَا يَصُدَّنَّهُمْ

“Wahai Rasûlullâh, sesungguhnya aku dekat dengan masa jahiliyyah. Dan sungguh Allâh telah mendatangkan agama Islam, sedangkan di antara kita ada beberapa laki-laki yang mendatangi dukun.” Beliau bersabda, “Janganlah kamu mendatangi mereka.” Dia berkata, ”Dan di antara kita ada beberapa laki-laki yang bertathayyur (berfirasat sial).” Beliau bersabda, “Itu adalah rasa was-was yang mereka dapatkan dalam dada mereka yang seringkali menghalangi mereka (untuk melakukan sesuatu), maka janganlah menghalang-halangi mereka.[24] (HR. Muslim no. 836)

Hadits dari Mu’awiyah bin al-Hakam –radhiyallaahu ‘anhu-:

قَالُوا وَمِنَّا رِجَالٌ يَأْتُونَ الْكُهَّانَ قَالَ فَلَا تَأْتُوا كَاهِنًا

“Aku berkata: Dulu kami biasa mendatangi dukun. Nabi SAW bersabda: “Janganlah kalian mendatangi dukun.” (HR. Ahmad & Muslim. Lafal Ahmad)

Rasûlullâh SAW pun menyebut pengobatan dukun sebagai amalan syaithân. Dari Jabir bin ‘Abdillah berkata, Nabi SAW ditanya tentang pengobatan dukun (mantra ala dukun) maka beliau bersabda:

مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ

“Itu adalah perbuatan syaithân.” (HR. Ahmad no. 13621)

Dalil-dalil di atas secara tegas mengandung larangan tegas disertai banyak petunjuk (qaraa’in) yang menunjukkan bahwa tuntutan untuk meninggalkan perbuatan tersebut adalah tuntutan tegas (thalabut-tarki jaaziman); maka jelas Islam melarang umatnya datang berobat atau berkonsultasi kepada dukun atau paranormal (’arraaf).

Di sisi lain, berlaku pula dalil kewajiban mengikuti perintah Rasulullaah SAW. Dari Abu Hurairah r.a. ia berkata: “Saya mendengar Rasulullah SAW bersabda:

مانهيتكم عنه فاجتنبوه وما أمرتكم به فأتوا منه ما استطعتم فإنما أهلك الذين من قبلكم كثرة مسائلهم واختلافهم على أنبيائهم

“Dan apa-apa yang aku larang pada kalian maka jauhilah dan apa-apa yang aku perintahkan maka laksanakanlah sesuai dengan kemampuan kalian. Karena sesungguhnya yang menyebabkan kebinasaan orang-orang sebelum kalian adalah banyak membuat masalah dan menyelisihi para nabi yang diutus pada mereka.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Kaitannya dengan perintah Rasulullah “ijtanibuu”, penulis nukil pernyataan Imam ar-Raghib al-Ashfahani ketika menjelaskan lafazh (جنب) menuturkan:

}اجتنبوا الطاغوت{ عبارة عن تركهم إياه، }فاجتنبوه لعلكم تفلحون{ وذلك أبلغ من قولهم: اتركوه.

“Jauhilah oleh kalian thaghut-thagut itu”[25] makna kandungannya yakni tinggalkan lah oleh kalian hal itu, dalam ayat lain “Maka jauhilah perbuatan itu agar kalian menjadi orang-orang yang memperoleh keberuntungan”[26], dan lafazh perintah ini (“ijtanibuu”) maknanya lebih kuat daripada kata perintah “utrukuu”.[27]

Yakni memiliki makna yang hampir sama “jauhilah” dan “tinggalkanlah” namun dalam tinjauan bahasa arab, kata “ijtanib” lebih mendalam dan kuat maknanya daripada kata “utruk”. Dan Rasulullah SAW memilih kata “ijtanib” ketika memerintahkan kita untuk menjauhi larangannya.

Syaikh Ahmad Ramadhan: “Kami peringatkan kepada saudara-saudara yang menjadi pasien dan juga keluarganya, jangan pernah berobat kepada tukang ramal atau dukun atau pergi ke gereja-gereja, lalu duduk di hadapan para rahib dan pendeta, karena hal itu merupakan perbuatan dosa besar yang justru akan memperparah penyakit dan memudahkan syaithân lebih sering merasuki tubuhnya. Kami memohon kesehatan kepada Allâh bagi diri kami, juga anda semuanya”.[28]

Syaikh ‘Abd al-’Azhim dalam salah satu kitabnya memaparkan: “Demikian juga, orang yang sakit dilarang pergi ke dukun untuk menanyakan penyakitnya…. Ini karena benarnya tujuan tidak dapat membenarkan cara yang ditempuh.”

Penulis tegaskan, dalam kaidah syar’iyyah dikatakan,

الغاية لا تبرر الوسيلة

 “Tujuan tidak bisa menghalalkan segala cara”[29]

Syaikh ‘Abdul ‘Azhim pun menegaskan: “Sebagian orang menganggap bahwa perbuatan ini termasuk bentuk penyembuhan dengan sesuatu yang haram. (Anggapan) ini salah besar. Yang benar adalah bahwasanya Allâh tidak menjadikan kesembuhan di dalam sesuatu yang diharamkan. Pendapat diperbolehkannya berobat dengan menggunakan sesuatu yang haram itu seperti bangkai dan khamr, dalil ini tidak bisa dipakai sebagai dasar (diperbolehkannya) sembelihan untuk jin. Masalahnya, mengenai pengobatan dengan menggunakan sesuatu yang haram, terdapat perbedaan pendapat di antara ulama. Adapun mengenai pengobatan dengan menggunakan kejelekan dan kekufuran, tidak ada perbedaan lagi dalam masalah keharamannya. Semuanya (para ulama) sepakat bahwa hal itu tidak boleh.”

Ironisnya, kemungkaran yang dikatakan Allâh kezhaliman terbesar seperti di atas, bukan hal yang baru dalam kancah perpolitikan Indonesia. Menurut paranormal Permadi, kekuatan supranatural (baca: perdukunan) sudah jadi langganan lurah hingga kepala negara.

Al-Hafizh al-Qurthubi berkata: “Pada masa jahiliyyah, mereka mendatangi tukang ramal untuk meramal tentang kejadian dan hukum tertentu, dan memakai pendapat tukang ramal itu. Ramalan terputus dengan diutusnya Rasûlullâh, namun masih ada yang menyerupai mereka dan terdapat larangan mendatangi mereka. Karenanya, tak boleh mendatangi dan membenarkan mereka.”[30]

Penulis tegaskan, minimal ada 3 kerugian berobat ke dukun (kâhin) atau paranormal (‘arrâf);

Pertama, dosa bertambah [31]. Padahal kesehatan termasuk rizki dari Allâh, dan Rasûlullâh SAW diriwayatkan bersabda,

إِنَّ الرَّجُلَ لَيُحْرَمُ الرِّزْقَ بِالذَّنْبِ يُصِيبُهُ

“Sesungguhnya seseorang akan ditahan rizkinya karena dosa yang dia lakukan.”

(HR. Ahmad, Tirmidzi dan Ibn Majah)[32]

Kedua, penyakit potensial kian parah. Apabila dosa bertambah, maka potensial memperlebar pintu gangguan syaithân, artinya penyakit bisa kian parah. Atau bisa jadi awalnya hanya jin A kiriman dukun A yang mengganggu, bertambah gangguan dari jin B khadam dukun B yang lebih kuat dari jin A.

Atau bisa jadi sembuh tapi kesembuhan yang semu, sementara. Karena bukan hal yang mustahil, itu semua permainan para  jin, kompromi di antara mereka untuk menaikkan pamor dukun sang ‘rasul’ syaithân di mata pasiennya, sehingga memandang hebat si dukun dan mensyi’arkan pada orang lain. Ini adalah bencana! Namun, satu hal yang pasti, berobat ke dukun merupakan ikhtiar yang dimurkai Allâh! Mana yang Anda pilih? Jalan Islam, ikhtiar yang diridhai Allâh semisal ruqyah syar’iyyah? Atau jalan syaithân, ikhtiar yang dimurkai Allâh? Ingat bahwa kita wajib meyakini kesembuhan itu dari Allâh!

Ketiga, diperas dukun. Sejumlah kasus temuan penulis, banyak pasien ruqyah yang sebelumnya berobat ke dukun, malah diperas ratusan ribu, hingga puluhan juta rupiah oleh dukun. Misalnya ada seorang perempuan muda paramedis di Tangerang yang divonis dukun sakit jantung dililit kain kafan, mesti diobati dengan mahar terapi pertama [33] seharga Rp. 10 juta. Atau kasus keluarga yang dituntut dukun mesti membeli apel jin plus terapi mengusir jin dari rumah menguras 10 juta rupiah, dan lain sebagainya.

Syaikh ‘Abd al-’Azhim mengatakan: “Atas dasar itu, merebaknya ‘orang pintar’ takkan dapat mengurangi gangguan syaithân tersebut. Gangguan itu justru bertambah banyak manakala si ‘orang pintar’ masih mengharap manfaat dari jin dan memiliki rasa ketergantungan pada jin lebih besar daripada ketergantungannya pada Allâh… Bahkan bila orang yang mengalami gangguan pada akidahnya (misalnya akidah dukun dan paranormal yang dikotori syirik) malah (berusaha) menyembuhkan orang yang terkena gangguan pada badannya, maka kian merebaklah gangguan-gangguan.”

Dan sungguh! Terbukti sistem Demokrasi-Kapitalisme yang diterapkan saat ini, kian menyuburkan perdukunan! Maka sudah semestinya kaum muslimin mencampakkan sistem tersebut dan bersegera memperjuangkan tegaknya al-Khilaafah al-Islaamiyyah yang akan menegakkan hukum syari’ah kaaffah.

 Wallaahu a’lam bish-shawaab

Akhuukum Fillaah

Irfan Abu Naveed

Selesai bi fadhlillaahi ta’aalaa di Maktab Kulliyyatusy-Syarii’ah

23:55 WIB

 

 


[1] Dr. Mahmud al-Khalidi menyandarkan kaidah tersebut kepada ulama madzhab Hanafi, Ibn Najim. Di sisi lain, Ibn Najim mengutip pandangan penulis kitab al-Mukhtâr bahwa tidak ada hukum sebelum turunnya syari’at. Imam al-Suyuthi pun memiliki pandangan serupa, bahkan beliau memaparkan argumentasi pengambilan kaidah hukum asal perbuatan ini secara lebih jelas. Lihat buku Islam Politik Spiritual, hlm. 68 pada bagian catatan kakinya hlm. 287. Adapun Imam Taqiyuddin al-Nabhani menjelaskan dalam kitab al-Syakhshiyyah al-Islâmiyyah, juz. III, hlm. 19 bahwa hukum asal perbuatan (mukallaf) adalah terikat dengan hukum syara’.

[2] Lihat: Mafâhîm Hizb al-Tahrîr, Imam Taqiyuddin al-Nabhani.

[3] Lihat: Rawâ’i al-Bayân (Tafsîr Aayât al-Ahkâm), Syaikh Prof. ‘Ali ‘Ashabuniy (Juz. I).

[4] Lihat: al-Dîmuqrâthiyyah wa Akhawâtuhâ, Abu Sayf Jalil ibn Ibrahim al-‘Abidiy al-‘Iraqiy.

[5] Lihat: Kamus Lisân al- Arab: 309-310.

[6] Ibid. Lihat pula: Mu’jam Lughatil Fuqahâ’.

[7] Lihat: Irsyâd al-‘Ibâd, hlm. 109.

[8] Lihat: Ruuh al-Ma’aaniy fii Tafsiir al-Qur’aan al-‘Azhiim wa al-Sab’u al-Matsaaniy, Imam Syihabuddin Mahmud ibn ‘Abdillaah al-Husayniy al-Alusiy.

[9] Imam al-Khiththabi berkata: “Tukang ramal adalah kaum yang memiliki indera tajam, jiwa yang bengis dan perangai yang kejam. Syaithan merayu mereka karena sesuai dengan mereka. Ia membantu mereka.”

[10] Lihat: Kitâb al-Tawhîd.

[11] Lihat: Irsyâd al-‘Ibâd, hlm. 109.

[12] Lihat: al-Minah al-Saniyah, Hlm. 18.

[13] Lihat: al-Jâmi’ li Ahkâmil Qurân, Dar Al-Kitab Al-‘Arabi (7/2).

[14] Lihat: QS. Luqman [31]: 13

[15] Lihat: At-Taysiir fii Ushuul at-Tafsiir.

[16] Lihat: Dr. Muhammad Yusri. 1430 H. Al-Jaami’ fii Syarh al-Arba’iin an-Nawawiyyah (I/638). Cet. III. Kairo: Dar al-Yusr.

[17] Lihat: Dr. Muhammad Yusri. 1430 H. Al-Jaami’ fii Syarh al-Arba’iin an-Nawawiyyah (I/639). Cet. III. Kairo: Dar al-Yusr.

[19] Lihat: al-Da’wah ilaa al-Islaam, hlm. 288, karya Ahmad al-Mahmud.

[20] Lihat: Syarh Shahiih Muslim (14/196)

[21] Lihat: Iidhah al-Dalaalah fii ‘Umuum al-Risaalah, al-Rasaail al-Muniiriyyah (2/103).

[22] Lihat: Rûh al-Ma’âni, juz. IV, hlm. 107.

[23] Lihat: Âlam al-Sihri wa al-Sya’wadzah.

[24] Ibnu Shabbah berkata dengan redaksi, “Maka jangan menghalangi kalian”. (HR. Muslim)

[25] QS. Al-Zumar [39]: 17

[26] QS. Al-Maa’idah [5]: 90.

[27] Lihat: Mufradât Alfâzh al-Qur’ân al-Karîm, Imam al-Raghib al-Ashfahani

[28] Dalam ‘Amaliyyah Ikhraj al-Jinni wa Ibthâl al-Sihr.

[29] Lihat: al-Da’wah ilaa al-Islaam, hlm. 288, karya Ahmad al-Mahmud.

[30] Lihat: Kitab Fath al-Bârî, juz. 10, hlm. 219

[31] Berdasarkan dalil-dalil syara’ yang mengharamkan berobat ke dukun.

[32] Lihat: Sunan Ibnu Majah, Musnad Ahmad, Sunan al-Tirmidzi atau kitab Mu’jam al-Mufahras li Alfâzh al-Hadîts.

[33]  Ada 9 terapi, dengan mahar yang berbeda tiap terapi. Si dukun memvonis korbannya ini akan mati 9 bulan kemudian apabila tak diobati. Ini adalah tipuan keji!