Ringkasan Seputar Khilafah dalam Daurah HTI Cianjur

"Foto:

Di antara Poin yang Saya Jelaskan dalam Daurah Diraasah Syar’iyyah HTI Cianjur Mengenai Kewajiban Menegakkan al-Khilafah

1. Imamah yang dijelaskan oleh para ulama adalah al-Khilafah dan ia termasuk istilah yang mengandung konotasi syar’i, dan pelajaran yang bisa diambil.
2. Khilafah wajib syar’an atau ‘aqlan? Dan pelajaran yang bisa diambil.
3. Khilafah itu bahasan fiqhiyyah atau i’tiqaadiyyah? Dan pelajaran yang bisa diambil.
4. Satu Khalifah dan Satu Khilafah pada satu masa, dan pelajaran yang bisa diambil.

Penjelasan Ringkas Padat

Pertama, Para ulama -rahimahumullaah- ketika membahas mengenai imaamah mereka sedang berbicara mengenai khilafah, bukan sistem politik lainnya. Hal itu bisa dicek dalam banyak literatur mereka, dan cukup menunjukkan bahwa sistem Islam yang dijelaskan para ulama itu adalah al-Khilafah. Maka saya jelaskan bahwa jika ada yang menukil penjelasan para ulama mengenai imaamah untuk menjustifikasi sistem jahiliyyah (Demokrasi, monarki, dll) itu merupakan pengkhianatan terhadap amanah ilmiah dengan menukil tidak pada tempatnya, wal ‘iyaadzu billaah.

Kedua, Para ulama -rahimahumullaah- dalam banyak kutub ketika berbicara mengenai al-Khilafah, mereka merinci pembahasan ragam pendapat apakah ia diwajibkan syar’an atau ‘aqlan (dan yang tepat diadopsi oleh jumhur; khilafah wajib tegak syar’an yakni didasari oleh dalil-dalil syar’iyyah),

Ketiga, Para ulama -rahimahumullaah- dalam banyak kutub ketika berbicara mengenai al-Khilafah, mereka pun merinci ragam pendapat apakah ia termasuk pembahasan fiqhiyyah atau i’tiqaadhiyyah (dan yang tepat ia termasuk pembahasan fiqhiyyah; sebagai dijelaskan oleh para ulama dalam kutub mereka, dipertegas penjelasan Qadhi Taqiyuddin an-Nabhani dalam kitab ad-Dawlah al-Islaamiyyah dan penjelasan Syaikh al-Ushuul ‘Atha bin Khalil dalam tanya jawabnya tentang khilafah sebagai istilah fiqhiyyah). Dari penjelasan mereka pun, cukup jelas dan tegas menunjukkan penolakan Islam atas konsep sekularisme (pemisahan agama dengan pengaturan dunia) karena Khilafah ialah institusi yang menjaga agama, mendakwahkannya dan mengatur urusan dunia dengan agama (Islam).

Keempat, Penjelasan mereka pun mencakup wajibnya satu kepemimpinan universal di bawah satu Khalifah, satu Kekhilafahan pada satu masa, ini pun sudah cukup menunjukkan perbedaan politik Islam dengan politik sekular di zaman ini yang melegalkan berbilangnya penguasa (presiden, raja, perdana mentri) di negeri-negeri kaum muslimin di bawah naungan sistem-sistem jahiliyyah baik monarki konstitusional, republik, dll.

Di sisi lain perlu dipahami dengan benar:

Para ulama bukan berselisih mengenai apakah khilafah itu wajib hukumnya atau mubah semata, karena para ulama pun berijma’ atas kewajiban menegakkan al-Khilafah (berdasarkan ijma’ sahabat). Dan yang menyelisihi ijma’ yang mewajibkan ini dianggap sebagai pendapat syadz (ganjil, kontroversial, tidak diakui).

Bukan pula perkara yang sepele, karena baik ruang lingkup fiqh (syari’ah) maupun i’tiqaadiyyah (akidah) keduanya bagian dari ajaran Islam. Apakah shalat ketika ia masuk ke dalam bahasan fiqhiyyah lantas bisa dinilai tidak penting?? Wal ‘iyaadzu billah. Jelas, ia bagian dari ajaran Islam yang penting kedudukannya dan disifati sebagai tiangnya agama.

Lalu bagaimana dengan al-Khilafah? Ketika Islam berbicara mengenai akidah Islam, Islam pun berbicara mengenai sanksi bagi orang yang murtad, dimana kewenangannya ada di tangan penguasa (Khalifah dan yang mewakilinya). Ketika Islam berbicara mengenai rukun dan syarat-syarat sah shalat (dan lainnya berkaitan dengan hukum-hukum wadh’iy), Islam pun berbicara tentang sanksi bagi muslim yang meninggalkan shalat dimana Islam pun menentukan pihak yang berwenang menegakkannya (penguasa), dan beragam hal lainnya dari agama ini yang bisa tegak dengan tegaknya al-Khilaafah. Maka Khilafah sebagai metode syar’i menegakkan syari’at Islam kaaffah jelas wajib dan memiliki kedudukan yang amat penting.

Maka mereka yang menyelisihi pandangan wajibnya menegakkan al-Khilaafah dan membela sistem jahiliyyah sebenarnya tak memiliki dasar argumentasi kokoh dan ilmiah, dan bisa jadi disebabkan oleh dua hal; ketidaktahuan atau menutupi ilmu. Dan kita berlindung dari keduanya.

Wallaahu a’lam bish-shawaab

Download Slide Presentasi: Khilafah Menurut Kitab Kuning

Jawaban yang Membungkam Stigma Negatif Atas Perjuangan Menegakkan Al-Khilafah Al-Islaamiyyah

1014420_718029651555080_920594220_n

الحمدلله والصلاة والسلام على رسول الله وبعد

Irfan Abu Naveed

Staff di sebuah Pesantren-Kulliyyatusy-Syarii’ah

Berangkat dari keprihatinan atas sebuah pemberitaan yang menstigma negatif perjuangan menegakkan al-Khilaafah al-Islaamiyyah, saya susun ini sebagai bantahan atas pernyataan yang dinisbatkan kepada MMD: (Link Berita)

Lihat pula:

Tanggapan Ust. H M Ismail Yusanto

Fokus Benarkah Khilafah Ancaman Bagi Bangsa Indonesia:

Ini Tanggapan Saya Sebagai Seorang Muslim yang Mencintai Ilmu dan Para Ulama:

Pertama, Qawl al-‘Allamah Thahir bin Asyur:

Selengkapnya: Hanya Orang Aneh yang Tidak Mewajibkan al-Khilafah

Al-’Allamah asy-Syaikh Thahir bin Asyur mengatakan dalam Ushûl an-Nidzâm al-Ijtimâ’iy fi al-Islâm: “Menegakkan pemerintahan yang sifatnya umum dan khusus bagi kaum Muslim merupakan perkara pokok (ushul) di antara pokok-pokok syariah Islam. Dan hal itu ditetapkan melalui banyak dalil baik dari al-Qur’an maupun as-Sunnah hingga mencapai katagori mutawatir maknawi. Sehingga inilah yang mendorong para sahabat setelah wafatnya Nabi Saw segera mengadakan pertemuan dan perundingan untuk mengangkat pengganti Rasulullah SAW dalam mengurusi urusan umat Islam. Di mana kaum Muhajirin dan Anshar telah berijma’ saat di Syaqifah untuk mengangkat Abu Bakar ash-Shiddiq menggantikan Rasulullah SAW untuk memimpin kaum Muslim. Dan setelah itu, kaum Muslim tidak ada perbedaan pendapat tentang wajibnya mengangkat khalifah, kecuali orang-orang aneh dan nyeleneh yang tidak perlu dihiraukan dari beberapa orang Khawarij dan Mu’tazilah yang menolak adanya ijma’, mengingat mereka itu buta dan tuli.”

Ia pun menuturkan: “Kedudukan Khilafah dalam pokok-pokok syariah oleh ulama ushuluddin  dimasukkan dalam masalah pokok-pokok agama, seperti bab imamah. Imam al-Haramain (Abu Ma’ali al-Juwaini) berkata dalam al-Irsyâd: “Pembicaraan tentang imamah tidak termasuk pokok-pokok akidah (keyakinan), namun bahayanya bagi orang yang tergelincir di dalamnya melebihi bahayanya bagi orang yang tidak mengerti pokok-pokok agama.”

Kedua, Qawl Syaikh Hasan al-Banna (Ini Bantahan Atas Oknum Akun yang Mengesankan Diri Simpatisan IM Namun Menukil Pemberitaan di Atas):

Link: (Artikel Lengkap Arab & Terjemah Pernyataan Hasan al-Banna)

Apa kata Syaikh Hasan al-Banna sendiri? Ia menuturkan: “Dan barangkali di antara kesempurnaan pembahasan ini; yakni memerhatikan posisi IM terhadap al-Khilafah dan apa yang menyampaikan kepada tegaknya al-Khilafah, dan penjelasan tentang ini sesungguhnya IM meyakini bahwa al-Khilafah adalah simbol kesatuan umat, dan gambaran atas keterikatan di antara umat islam. Dan al-Khilafah adalah syi’ar Islam dimana kaum muslimin wajib memerhatikan urusan ini dan memusatkan perhatian untuk menegakkannya, dan al-Khalifah adalah tempat (tegaknya) banyak hal dari hukum-hukum dalam Din Allah. Oleh karena itu, para sahabat –radhiyallaahu ‘anhum- mendahulukan perhatian atasnya daripada mengurusi pemakaman jenazah Rasulullah SAW dan memakamkannya hingga mereka menyelesaikan kepentingan tersebut (pengangkatan Khalifah) dan tentram dengan hasilnya.”

“Dan hadits-hadits yang menyebutkan kewajiban mengangkat al-Imam (Khalifah), dan penjelasan atas hukum-hukum al-Imaamah (kepemimpinan) dan perincian yang berkaitan dengannya, tidak meninggalkan celah keraguan terhadap kewajiban kaum muslimin untuk memusatkan perhatiannya dalam urusan penegakkan Kekhilafahan mereka semenjak diubah manhajnya kemudian dihancurkan keberadaannya hingga sekarang (oleh musuh-musuh Allah dan Rasul-Nya-pen.).”

Ketiga, Aqwaal Para Ulama Syafi’iyyah & Lainnya:

Artikel lengkap BAHAYA DEMOKRASI SISTEM KUFUR: Penjelasan Para Ulama Atas Kesesatan dan Bahaya Demokrasi

A.       Wajib Menerapkan Hukum Syari’ah

Riba haram di Darul Islam, maka haram pula di Darul Kufr. Faktanya di NKRI di bawah naungan Demokrasi riba malah dihalalkan, dan banyak kemaksiatan lainnya yang merajalela, lantas sebenarnya yang berbahaya DEMOKRASI sistem kufur atau AL-KHILAAFAH warisan Rasulullaah -shallallaahu ‘alayhi wa sallam-?? Hingga perzinaan pun dilokalisasi di negeri ini. NKRI harga mati atau mati harga??

Al-‘Allamah asy-Syafi’i menegaskan:

أن الحلال في دار الإسلام حلال في دار الكفر، والحرام في دار الإسلام حرام في دار الكفر

“Bahwa yang halal di dalam Dâr al-Islâm (Negara Islam), halal pula di dalam Dâr al-Kufr, bahwa yang haram di Dâr al-Islâm juga haram di Dâr al-Kufr.” (Lihat: al-Umm (IV/160) karya Imam asy-Syafi’i)

B.            Jawaban II: Pentingnya Siyaasah Syar’iyyah (Pernyataan yang Dinisbatkan Pada Asy-Syafi’i):

Dalam qawl yang dinisbatkan pada al-‘Allamah al-Imam asy-Syafi’i, diungkapkan pentingnya aspek syar’i dalam pengaturan kehidupan. Dinyatakan bahwa:

لا سياسة إلا ما وافق الشرع

“Tidak ada siyaasah (politik) kecuali apa yang sejalan dengan hukum syara’ (as-siyaasah asy-syar’iyyah).” (Lihat: Ahmad bin ‘Abdul Halim bin ‘Abdussalam bin Taymiyyah. As-Siyaasah Asy-Syar’iyyah fii Ishlaahi Ar-Raa’iy war-Ra’iyyah. Muhaqqiq: Ali bin Muhammad Al-Imran. Cet. I. Makkah: Dar ‘Alam al-Fawaa’id.)

Ini sekaligus menunjukkan penolakan asy-Syafi’i atas konsep sekularisme yang menafikan peranan agama dalam pengaturan urusan kehidupan. Maka jelas rancu jika ada yang mengaku penganut madzhab asy-Syafi’i namun mendukung konsep as-siyaasah duuna asy-syarii’ah (politik tanpa syari’ah islamiyyah (sekularisme)). Islam adalah diin yang mengatur segala aspek kehidupan manusia termasuk sistem kehidupan dalam konteks bernegara.

C.           Jawaban III: Wajibnya Al-Imaamah Bi Ma’na Al-Khilaafah & Pentingnya Kedudukannya Di Tengah-Tengah Umat

Al-Hafizh al-Imam al-Nawawi menuturkan pentingnya kedudukan Imam yang menegakkan asy-Syarii’ah al-Islaamiyyah (Khalifah):

لا بد للأمة من إمام يقيم الدين وينصر السنة وينتصف للمظلومين ويستوفي الحقوق ويضعها مواضعها

“Adalah suatu keharusan bagi umat adanya imam yang menegakkan agama dan yang menolong sunnah serta yang memberikan hak bagi orang yang didzalimi serta menunaikan hak dan menempatkan hal tersebut pada tempatnya.” (Lihat: Rawdhatuth Thâlibîn wa Umdatul Muftin (II/433), Al-Hafidz Abu Zakaria Yahya bin Syaraf Al-Nawawi.)

Dalam banyak kitab, para ulama mu’tabar banyak menggunakan istilah Al-Imaamah yang semakna dengan al-Khilafah. Apa maknanya? Al-Hafizh al-Imam Abu Zakariya bin Syarf al-Nawawi (Ulama Sunni) menjelaskan:

والإمامة والخلافة وإمارة المؤمنين مترادفة، والمراد بها الرياسة العامة في شؤون الدين والدنيا

“Imamah, Khilafah, dan Imaratul Mukminin adalah sinonim. Yang dimaksud dengannya adalah kepemimpinan umum dalam urusan-urusan agama dan dunia.” (Lihat: Al-Majmuu’ Syarh Al-Muhadzdzab, juz 19, hlm 191)

Dengan kata lain, bisa kita pahami pula dari pernyataan al-Hafizh al-Nawawi bahwa negara sekular tidak termasuk dalam makna al-Imamah ini.

Imam Al-Mawardi mendefinisikan:

الإمامة لخلافة النبوة في حراسة الدين وسياسة الدنيا به

“Al-Imamah adalah pengganti kenabian dalam menjaga agama dan mengatur urusan dunia.”

Qâdhi Abû Ya’la al-Farrâ’ mengungkapkan: “Imam diwajibkan untuk mengurus urusan umat ini, yakni sepuluh urusan: Pertama, menjaga agama berkenaan dengan ushûl yang disepakati umat terdahulu. Jika orang yang bersekongkol mempunyai kesalahan terhadapnya, dia (imam) bertanggungjawab untuk menerangkan hujjah dan menyampaikan kebenaran terhadapnya. Dia juga yang bertanggungjawab untuk melaksanakan hak dan sanksi, agar agama ini tetap terjaga dan terpelihara dari kesalahan. Dan umat ini akan tetap terhindar dari ketergelinciran.” ( Lihat: Al-Ahkâm Al-Sulthâniyyah (hlm. 27)Imam al-Mawardi)

Ketika Imam Fakhruddin Al-Razi, menjelaskan firman-Nya pada Surah Al-Ma’idah ayat 38, beliau menegaskan, “… para Mutakallimin ber-hujjah dengan ayat ini bahwa wajib atas umat untuk mengangkat seorang imam yang spesifik untuk mereka. Dalilnya adalah bahwa Dia Ta’ala mewajibkan di dalam ayat ini untuk menegakkan had atas pencuri dan pelaku zina. Maka adalah merupakan keharusan adanya seseorang yang melaksanakan seruan tersebut. Sungguh umat telah sepakat bahwa tidak seorangpun dari rakyat yang boleh menegakkan had atas pelaku kriminal tersebut. Bahkan mereka telah sepakat bahwa tidak boleh (haram) menegakkan had atas orang yang merdeka pelaku kriminal kecuali oleh imam. Karena itu ketika taklif tersebut sifatnya pasti (jazm) dan tidak mungkin keluar dari ikatan taklif ini kecuali dengan adanya imam, dan ketika kewajiban itu tidak tertunaikan kecuali dengan sesuatu, dan itu masih dalam batas kemampuan mukallaf maka (adanya) imam adalah wajib. Maka adalah suatu yang pasti qath’inya atas wajibnya mengangkat imam, seketika itu pula… “ (Imam Fakhruddin al-Razi, Mafâtihul Ghayb fî al-Tafsîr, juz 6 hal. 57 dan 233)

Imam al-Hafidz Ibn Hazm al-Andalusi mendokumentasikan Ijmâ’ Ulama bahwa (keberadaan) Imamah itu fardhu:

… واتفقوا أن الإمامة  فرض وأنه لا بد من إمام

“ …Mereka (para ‘ulama’) sepakat bahwa imamah itu fardhu dan adanya Imam itu merupakan  suatu keharusan…” (Imam Al-Hafidz Abu Muhammad Ali bin Hazm Al-andalusi Adz-Dzahiri, Maratibul Ijma’ , juz 1 hal 124)

Imam Abul Qasim al-Naisaburi asy-Syafi’i berkata:

… أجمعت الأمة على أن المخاطب بقوله { فاجلدوا } هو الإمام حتى احتجوا به على وجوب نصب الإمام فإن ما لا يتم الواجب إلا به فهو واجب.

“…Umat telah sepakat bahwa yang menjadi obyek seruan (“maka jilidlah”) adalah imam. Dengan demikian mereka berhujjah atas wajibnya mengangkat imam. Sebab, apabila suatu kewajiban itu tidak sempurna tanpa adanya sesuatu tersebut maka ada sesuatu tersebut menjadi wajib pula.” (Imam Abul Qasim Al-Hasan bin Muhammad bin Habib bin Ayyub asy-Syafi’i an-Naisaburi, Tafsîr Al-Naisaburi, juz 5 hal 465)

Al-‘Allamah Muhammad Nawawi al-Jawi menjelaskan tentang berbagai kemaksiatan, diantaranya:

والحكم بغير حكم الله لقوله تعالى: وَأَنِ احْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللهُ. وقوله تعالى: فَاحْكُمْ بَيْنَهُمْ بِالْقِسْطِ.

“Berhukum dengan selain hukum Allah berdasarkan firman-Nya: “Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allâh” dan firman-Nya: “Dan hukumilah mereka dengan ‘adil.” (Lihat: Mirqaatu Shu’uud al-Tashdiiq fii Syarh Sullam al-Tawfiiq, Syaikh Muhammad Nawawi al-Jawi al-Syafi’iy – Dar al-Kutub al-Islamiyyah.)

Al-Imam al-Mawardi menuturkan:

فَأَمَّا إقَامَةُ إمَامَيْنِ أَوْ ثَلاَثَةٍ فِي عَصْرٍ وَاحِدٍ، وَبَلَدٍ وَاحِدٍ فَلاَ يَجُوزُ إجْمَاعًا

“Adapun mengangkat dua orang penguasa atau tiga orang (atau lebih) dalam satu masa dan satu negeri maka tidak diperbolehkan secara ijma’.”

فَأَمَّا فِي بُلْدَانَ شَتَّى وَأَمْصَارٍ مُتَبَاعِدَةٍ فَقَدْ ذَهَبَتْ طَائِفَةٌ شَاذَّةٌ إلَى جَوَازِ ذَلِكَ؛ لِأَنَّ الامَامَ مَنْدُوبٌ لِلْمَصَالِحِ. وَإِذَا كَانَ اثْنَيْنِ فِي بَلَدَيْنِ أَوْ نَاحِيَتَيْنِ كَانَ كُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا أَقْوَمَ بِمَا فِي يَدَيْهِ، وَأَضْبَطَ لِمَا يَلِيهِ. وَلِأَنَّهُ لَمَّا جَازَ بَعْثَةُ نَبِيَّيْنِ فِي عَصْرٍ وَاحِدٍ وَلَمْ يُؤَدِّ ذَلِكَ إلَى إبْطَالِ النُّبُوَّةِ، كَانَتْ الامَامَةُ أَوْلَى وَلاَ يُؤَدِّي ذَلِكَ إلَى إبْطَالِ الامَامَةِ.

“Adapun dalam konteks negeri yang beragam dan wilayah yang berjauhan, maka satu golongan yang syadz (tidak dikenal, kontroversial) memperbolehkannya, (dengan alasan) karena penguasa merupakan duta untuk mewujudkan berbagai kemaslahatan. Dan (diasumsikan) jika ada dua penguasa dalam dua negeri atau dua bagian dimana setiap pemimpin dari dua pihak ini bisa lebih kokoh dengan kekuasaan yang ada di tangannya, dan lebih terkontrol dengan apa yang ada di sisinya (daripada kekuasaan berada dalam satu orang pemimpin-pen.), dan dikarenakan bolehnya pengutusan dua orang Nabi dalam satu masa dan tidak berdampak pada batalnya kenabian, maka kepemimpinan lebih memerlukan hal itu dan tidak lantas merusak kepemimpinan tersebut.”

وَذَهَبَ الْجُمْهُورُ إلَى أَنَّ إقَامَةَ إمَامَيْنِ فِي عَصْرٍ وَاحِدٍ لاَ يَجُوزُ شَرْعًا لِمَا رُوِيَ عَنْ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم أَنَّهُ قَالَ: {إذَا بُويِعَ أَمِيرَانِ فَاقْتُلُوا أَحَدَهُمَا}. وَرُوِيَ عَنْ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم أَنَّهُ قَالَ: {إذَا وَلَّيْتُمْ أَبَا بَكْرٍ تَجِدُوهُ قَوِيًّا فِي دِينِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ ضَعِيفًا فِي بَدَنِهِ. وَإِذَا وَلَّيْتُمْ عُمَرَ تَجِدُوهُ قَوِيًّا فِي دِينِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ قَوِيًّا فِي بَدَنِهِ، وَإِنْ وَلَّيْتُمْ عَلِيًّا تَجِدُوهُ هَادِيًا مَهْدِيًّا}. فَبَيَّنَ بِظَاهِرِ هَذَا الْكَلاَمِ أَنَّ إقَامَةَ جَمِيعِهِمْ فِي عَصْرٍ وَاحِدٍ لاَ يَصِحُّ، وَلَوْ صَحَّ لاَشَارَ إلَيْهِ، وَلَنَبَّهَ عَلَيْهِ.

“Dan mayoritas ulama mengadopsi pendapat bahwa mengangkat dua orang penguasa dalam satu masa tidak diperbolehkan secara syar’i berdasarkan apa yang diriwayatkan dari Nabi SAW bahwa beliau bersabda: “Jika diangkat dua orang pemimpin maka bunuhlah salah satunya (yang terakhir dari keduanya-pen.).” Dan diriwayatkan dari Nabi SAW bahwa beliau bersabda: “Jika kalian mengangkat Abu Bakr menjadi pemimpin maka kalian temukan dirinya kuat dalam Din Allah dan lemah fisiknya, dan jika kalian mengangkat ‘Umar menjadi pemimpin maka kalian temukan dirinya kuat dalam Din Allah dan kuat fisiknya, dan jika kalian mengangkat ‘Ali sebagai pemimpin maka akan kalian temukan bahwa ia adalah orang yang menyampaikan petunjuk dan dianugerahi petunjuk.”  Maka penjelasan dengan zhahir hadits ini bahwa mengangkat mereka semua sebagai pemimpin dalam satu masa tidak sah (secara syar’i), meskipun di sisi lain dibenarkan mengisyaratkan hadits ini dan memperhatikannya.” (Lihat: Aadab al-Dunyaa’ wa al-Diin, Imam ‘Ali bin Muhammad bin Habib al-Mawardi al-Syafi’i (Imam al-Mawardi))

JELAS sekali bahwa yang berbahaya adalah sistem kufur Demokrasi dan paham sesat Nasionalisme yang memecah belah persatuan kaum muslimin, bukan al-Khilaafah ‘alaa minhaaj an-nubuwwah yang justru menyatukan kaum muslimin di bawah naungan panji warisan Rasulullaah –shallallaahu ‘alayhi wa sallam-

Informasi Tambahan dari Para Ulama Lainnya:

Imam ‘Alauddin al-Kasani al-Hanafi berkata: “…dan karena sesungguhnya mengangkat imam yang agung itu adalah fardhu. (ini) tidak ada perbedaan pendapat diantara ahlul haq. Dan tidak diperhatikan -perbedaan dengan sebagian Qadariyyah- karena Ijmâ’ shahabat atas hal tersebut, serta urgensitas kebutuhan terhadap imam yang agung tersebut. Untuk keteritakan terhadap hukum. Untuk menyelamatkan orang yang didzalimi dari orang yang dzalim. Untuk memutuskan perselisihan yang merupakan obyek yang menimbulkan kerusakan, dan kemaslahatan-kemaslahatan yang lain yang memang tidak akan tegak kecuali dengan adanya imam… “ (Imam ‘Alauddin Al-Kassani Al-Hanafi, Bada’iush Shanai’ fî Tartibis Syarai’, juz 14 hal. 406)

Syaikh Dr. Shalah al-Shawi menjelaskan:

والإمامة إذا أطلقت حملت على الإمامة العظمى، فلا يوصف بها حينئذ إلا الخليفة، أما إذا أريد التقييد، فلابد من الإضافة المبينة للمراد، كأن يقال: إمام المحدثين أو إمام الفقهاء، ونحوه.

“Jika disebutkan kata Al-Imâmah maka bermakna Al-Imâmah Al-‘Uzhmâ (Imamah yang agung), dan tidak disifati dengan kedudukan ini kecuali Al-Khalifah. Adapun jika yang dimaksud bersifat terbatas (selain Khalifah), maka harus disambungkan dengan kata penjelas sesuai dengan apa yang dimaksudkan, misalnya disebutkan: Imâm al-Muhadditsiin (imam para ahli hadits), Imâm al-Fuqahâ’ (imam para ahli fikih), dan yang semisalnya.” (Lihat: Al-Wajiiz fii Fiqh Al-Khilâfah, Syaikh Dr. Shalah Al-Shawi – Dar al-I’lam al-Duwali)

Syaikh Dr. Shalah al-Shawi menyatakan:

الإمامة عند أهل السنة واجب من أعظم واجبات الدين، وفريضة من أعظم و آكد فرائضه، بل لا قيام للدين إلا بها، لأن ما قصده الشارع فيما شرع من المعاملات والمناكحات والجهاد والحدود والمقاصّات وإظهار شرائع الشرع في الأعياد والجماعات، لا يتم إلا بإمام يكون من قبل الشارع يرجعون إليه فيما يعنّ لهم، فنصب الإمام إذن من أتم مصالح المسلمين وأعظم مقاصد الدين

“Imamah menurut Ahlussunnah adalah wajib diantara kewajiban agama terbesar, dan fardhu diantara kefardhuan agama terbesar dan terkuat, bahkan agama tidak bisa tegak tanpa imamah. Karena tujuan al-Syari’ (Allah Pemilik syariah / Nabi SAW pembawa syariah) terkait syariat muamalah, munakahah, jihad, hudud, qishas dan menampakkan syiar-syiar agama dalam hari-hari raya dan jama’ah-jama’ah, semuanya tidak bisa terlaksana dengan sempurna, kecuali dengan imam yang diangkat melalui perintah al-Syari’ dan yang menjadi rujukan kaum muslim terkait urusan mereka. Dengan demikian, mengangkat imam itu termasuk kepentingan kaum muslim yang paling sempurna dan tujuan agama yang terbesar.” (Lihat: Syaikh Dr. Shalah al-Shawi dalam kitabnya, al-Wajiz fi Fiqh al-Imamah al-‘Uzhmaa, juz 1, hal. 10, Maktabah Syamilah)

Kesimpulan

Al-Khilaafah al-Islaamiyyah merupakan bagian dari ajaran Islam dan sistem pemerintahan yang dicontohkan Rasulullaah –shallallaahu ‘alayhi wa sallam-, bukan Demokrasi sistem kufur warisan jahiliyyah Yunani dan paham sesat Nasionalisme yang justru memecah belah kaum muslimin. Lantas apa yang berbahaya sebenarnya??

Lihat pula:

Petunjuk Al-Qur’an: Tiada Kemuliaan Kecuali dengan Al-Islam

Kewajiban Menegakkan Al-Khilaafah Al-Islaamiyyah (Part. I)

Sekilas Tentang Khilafah Penjaga Akidah Umat

Penegakkan Hukum dalam Khilafah Islam: Tegas & Berfungsi Sebagai Penebus Dosa & Pencegah Kemaksiatan

Murtadnya Muslim dalam Sistem Demokrasi VS Sistem Islam (Al-Khilaafah)

Politik Islam Berbeda dengan Demokrasi (Part. I)

11 Tanya Jawab Seputar Ulama & Aktivitas Politik (KH. Mushthafa Ali Murtadha’)

 

[]

Syaikh Thahir bin Asyur: “Hanya Orang Aneh dan Nyeleneh Yang Tidak Mewajibkan Khilafah”

قال الشيخ الطاهر بن عاشور في أصول النظام الاجتماعي في الإسلام

“فإقامة حكومة عامة وخاصة للمسلمين أصل من أصول التشريع الإسلامي ثبت ذلك بدلائل كثيرة من الكتاب والسنة بلغت مبلغ التواتر المعنوي. مما دعا الصحابة بعد وفاة النبي صلى الله عليه وسلم إلى الإسراع بالتجمع والتفاوض لإقامة خلف عن الرسول في رعاية الأمة الإسلامية، فأجمع المهاجرون والأنصار يوم السقيفة على إقامة أبي بكر الصديق خليفة عن رسول الله للمسلمين
. ولم يختلف المسلمون بعد ذلك في وجوب إقامة خليفة إلا شذوذا لا يعبأ بهم من بعض الخوارج وبعض المعتزلة نقضوا الإجماع فلم تلتفت لهم الأبصار ولم تصغ لهم الأسماع

ولمكانة الخلافة في أصول الشريعة ألحقها علماء أصول الدين بمسائله، فكان من أبوابه الإمامة. قال إمام الحرمين [أبو المعالي الجويني] في الإرشاد: الكلام في الإمامة ليس من أصول الاعتقاد، والخطر على من يزل فيه يربى على الخطر على من يجهل أصلا من أصول الدين

Terjemah:

Al-‘Allamah asy-Syaikh Thahir bin Asyur mengatakan dalam Ushûl an-Nidzâm al-Ijtimâ’iy fi al-Islâm bahwa “Menegakkan pemerintahan yang sifatnya umum dan khusus bagi kaum Muslim merupakan perkara pokok (ushul) di antara pokok-pokok syariah Islam. Dan hal itu ditetapkan melalui banyak dalil baik dari al-Qur’an maupun as-Sunnah hingga mencapai katagori mutawatir maknawi. Sehingga inilah yang mendorong para sahabat setelah wafatnya Nabi Saw segera mengadakan pertemuan dan perundingan untuk mengangkat pengganti Rasulullah SAW dalam mengurusi urusan umat Islam. Di mana kaum Muhajirin dan Anshar telah berijma’ saat di Syaqifah untuk mengangkat Abu Bakar ash-Shiddiq menggantikan Rasulullah SAW untuk memimpin kaum Muslim. Dan setelah itu, kaum Muslim tidak ada perbedaan pendapat tentang wajibnya mengangkat khalifah, kecuali orang-orang aneh dan nyeleneh yang tidak perlu dihiraukan dari beberapa orang Khawarij dan Mu’tazilah yang menolak adanya ijma’, mengingat mereka itu buta dan tuli.

Kedudukan Khilafah dalam pokok-pokok syariah oleh ulama ushuluddin  dimasukkan dalam masalah pokok-pokok agama, seperti bab imamah. Imam al-Haramain (Abu Ma’ali al-Juwaini) berkata dalam al-Irsyâd: “Pembicaraan tentang imamah tidak termasuk pokok-pokok akidah (keyakinan), namun bahayanya bagi orang yang tergelincir di dalamnya melebihi bahayanya bagi orang yang tidak mengerti pokok-pokok agama.” (Hizbut Tahrir Tunisia).

 

Penegakkan Hukum dalam Khilafah Islam: Tegas & Berfungsi Sebagai Penebus Dosa – Pencegah Kemaksiatan

Penulis: Irfan Abu Naveed

Penulis Buku-Buku dan Kajian Tsaqafah & Staff di sebuah Pesantren-Kulliyyatusy-Syarii’ah

Di antara hikmah penerapan syari’at Islam (maqâshid al-syarî’ah) ialah menjaga dan memelihara akidah umat (hifzh al-‘aqîdah). Salah satunya terwujud melalui penerapan sanksi hudud bagi umat Islam yang riddah (murtad dari Islam). Dan dalam pelaksanaannya, sanksi hukum dalam Islam (nizham al-‘uqubat fii al-Islam), merupakan kewenangan penguasa (negara), bukan oleh kelompok dakwah atau individu.

Para ulama menegaskan bahwa Khilafah itu penting dan wajib adanya. Dalam kitab Mathalibu Ulin Nuha fii Syarhi Ghayatil Muntaha dinyatakan :

…( وَنَصْبُ الْإِمَامِ فَرْضُ كِفَايَةٍ ) ؛ لِأَنَّ بِالنَّاسِ حَاجَةً لِذَلِكَ لِحِمَايَةِ الْبَيْضَةِ ، وَالذَّبِّ عَنْ الْحَوْزَةِ ، وَإِقَامَةِ الْحُدُودِ ، وَابْتِغَاءِ الْحُقُوقِ ، وَالْأَمْرِ بِالْمَعْرُوفِ وَالنَّهْيِ عَنْ الْمُنْكَرِ ، وَيُخَاطَبُ بِذَلِكَ طَائِفَتَانِ : أَحَدُهُمَا : أَهْلُ الِاجْتِهَادِ حَتَّى يَخْتَارُوا. الثَّانِيَةُ : مَنْ تُوجَدُ فِيهِمْ شَرَائِطُ الْإِمَامَةِ حَتَّى يَنْتَصِبَ لَهَا أَحَدُهُمْ : أَمَّا أَهْلُ الِاخْتِيَارِ فَيُعْتَبَرُ فِيهِمْ الْعَدَالَةُ وَالْعِلْمُ الْمُوَصِّلُ إلَى مَعْرِفَةِ مَنْ يَسْتَحِقُّ الْإِمَامَةَ وَالرَّأْيُ وَالتَّدْبِيرُ الْمُؤَدِّي إلَى اخْتِيَارِ مَنْ هُوَ لِلْإِمَامَةِ أَصْلَحُ

“ …(dan mengangkat imam itu adalah fardhu kifayah) karena manusia memang membutuhkan hal tersebut untuk menjaga kemurnian (agama), memelihara konsitensi (agama), menegakkan had (hudud), menunaikan hak-hak, dan memerintahkan kepada yang makruf serta melarang kemungkaran.”

Imam Abul Qasim An-Naisaburi Al-Syafi’i berkata :

… أجمعت الأمة على أن المخاطب بقوله { فاجلدوا } هو الإمام حتى احتجوا به على وجوب نصب الإمام فإن ما لا يتم الواجب إلا به فهو واجب

“…umat telah sepakat bahwa yang menjadi obyek khitab (“maka jilidlah”) adalah imam. Dengan demikian mereka berhujjah atas wajibnya mengangkat imam. Sebab, apabila suatu kewajiban itu tidak sempurna tanpa adanya sesuatu tersebut maka ada sesuatu tersebut menjadi wajib pula.”

Di antara hal mendasar yang membedakan Islam dengan Demokrasi, Islam memandang bahwa segala bentuk kemaksiatan merupakan kriminalitas. Sehingga wajib dikenai hukuman. Dilaksanakan secara tegas oleh negara dan berfungsi sebagai jawâbir (kuratif) dan zawâjir (preventif).

Ketegasan ini, digambarkan saat penaklukan Kota Makkah di masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, orang-orang Quraisy kebingungan menghadapi masalah seorang wanita bangsawan (al-Makhzumiyyah) yang mencuri (hendak meminta keringanan hukum). Maka mereka berkata: “Siapa kiranya yang berani mengadukan permasalahan ini kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam?” Di antara mereka ada yang mengusulkan, “Siapa lagi kalau bukan Usamah bin Zaid, orang yang paling dicintai oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.” Lalu wanita itu dihadapkan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan Usamah bin Zaid pun mengadukan permasalahannya kepada beliau, tiba-tiba wajah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berubah menjadi merah seraya bersabda:

أَتَشْفَعُ فِي حَدٍّ مِنْ حُدُودِ اللَّهِ
“Apakah engkau hendak meminta keringanan dalam hudud Allah (hukum yang telah Allah tetapkan)?!”

Maka Usamah berkata kepada beliau, “Mohonkanlah ampunan bagiku wahai Rasulullah.” Ketika sore harinya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berdiri dan berkhutbah, setelah memuji Allah dengan ujian yang layak untuk-Nya, beliau bersabda:

أَمَّا بَعْدُ فَإِنَّمَا أَهْلَكَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ أَنَّهُمْ كَانُوا إِذَا سَرَقَ فِيهِمْ الشَّرِيفُ تَرَكُوهُ وَإِذَا سَرَقَ فِيهِمْ الضَّعِيفُ أَقَامُوا عَلَيْهِ الْحَدَّ وَإِنِّي وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَوْ أَنَّ فَاطِمَةَ بِنْتَ مُحَمَّدٍ سَرَقَتْ لَقَطَعْتُ يَدَهَا ثُمَّ أَمَرَ بِتِلْكَ الْمَرْأَةِ الَّتِي سَرَقَتْ فَقُطِعَتْ يَدُهَا
“Amma Ba’du. Sesungguhnya yang membinasakan orang-orang sebelum kalian adalah manakala ada orang yang terpandang (terhormat) dari mereka mencuri, maka merekapun membiarkannya. Namun jika ada orang yang lemah dan hina di antara mereka ketahuan mencuri, maka dengan segera mereka melaksanakan hukuman atasnya. Demi Dzat yang jiwaku berada tangan-Nya, sekiranya Fatimah binti Muhammad mencuri, sungguh aku sendiri yang akan memotong tangannya.” (HR. Muslim)

Akhirnya beliau memotong tangan wanita tersebut. Dan ternyata terbukti, ketegasan penerapan hukum Islam selama kurang lebih 14 abad, menimbulkan efek jera yang mampu menekan angka kriminalitas. Berbeda jauh dengan sistem hukum Demokrasi yang sangat rapuh dan mandul!

Hukum Islam yang ditegakkan Daulah Khilafah atas seorang kriminal pun menjadi kaffarat dosa baginya.

عَنْ عِمْرَانَ بْنِ حُصَيْنٍ أَنَّ امْرَأَةً مِنْ جُهَيْنَةَ أَتَتْ نَبِيَّ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهِيَ حُبْلَى مِنْ الزِّنَى فَقَالَتْ يَا نَبِيَّ اللَّهِ أَصَبْتُ حَدًّا فَأَقِمْهُ عَلَيَّ فَدَعَا نَبِيُّ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَلِيَّهَا فَقَالَ أَحْسِنْ إِلَيْهَا فَإِذَا وَضَعَتْ فَأْتِنِي بِهَا فَفَعَلَ فَأَمَرَ بِهَا نَبِيُّ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَشُكَّتْ عَلَيْهَا ثِيَابُهَا ثُمَّ أَمَرَ بِهَا فَرُجِمَتْ ثُمَّ صَلَّى عَلَيْهَا فَقَالَ لَهُ عُمَرُ تُصَلِّي عَلَيْهَا يَا نَبِيَّ اللَّهِ وَقَدْ زَنَتْ فَقَالَ لَقَدْ تَابَتْ تَوْبَةً لَوْ قُسِمَتْ بَيْنَ سَبْعِينَ مِنْ أَهْلِ الْمَدِينَةِ لَوَسِعَتْهُمْ وَهَلْ وَجَدْتَ تَوْبَةً أَفْضَلَ مِنْ أَنْ جَادَتْ بِنَفْسِهَا لِلَّهِ تَعَالَى

Dari ‘Imran bin Hushain, bahwa seorang wanita dari Juhainah datang menghadap kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, padahal dia sedang hamil akibat melakukan zina. Wanita itu berkata: “Wahai Rasulullah, aku telah melanggar hukum, oleh karena itu tegakkanlah hukuman itu atasku.” Lalu Nabi Allah memanggil wali perempuan itu dan bersabda kepadanya: “Rawatlah wanita ini sebaik-baiknya, apabila dia telah melahirkan, bawalah dia ke hadapanku.” Lalu walinya melakukan pesan tersebut. setelah itu Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan untuk merajam wanita tersebut, maka pakaian wanita tersebut dirapikan (agar auratnya tidak terbuka saat dirajam). Kemudian beliau perintahkan agar ia dirajam. Setelah dirajam, beliau menshalatkan jenazahnya, namun hal itu menjadikan Umar bertanya kepada beliau, “Wahai Nabi Allah, perlukah dia dishalatkan? Bukankah dia telah berzina?” beliau menjawab: “Sungguh, dia telah bertaubat kalau sekiranya taubatnya dibagi-bagikan kepada tujuh puluh orang penduduk Madinah, pasti taubatnya akan mencukupi mereka semua. Adakah taubat yang lebih utama daripada menyerahkan nyawa kepada Allah Ta’ala secara ikhlas?” (HR. Muslim, al-Tirmidzi dan lainnya. Lafal Muslim)

Begitu pula dengan kisah pertaubatan Ma’iz bin Malik al-Aslami dan al-Ghamidiyah yang berzina, dihudud razam karena keduanya muhshan (sudah menikah) . Setelah dilaksanakan hudud razam atas Ma’iz, Rasulullah saw bersabda:

إِنَّهُ اْلانَ يَنْغَمِسُ فِيْ أَنْهَارِ اْلجَنَّةِ
“Dia sekarang berenang di sungai surga” (HR. Ibnu Hibban no. 4384)

Diriwayatkan Imam Muslim, ketika dilangsungkan hudud razam bagi al-Ghamidiyah, darahnya mengenai wajah Khalid bin Walid, seketika itu ia mencaci-maki al-Ghamidiyah. Ketika mendengar caci-maki Khalid, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

فَقَالَ مَهْلًا يَا خَالِدُ فَوَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَقَدْ تَابَتْ تَوْبَةً لَوْ تَابَهَا صَاحِبُ مَكْسٍ لَغُفِرَ لَهُ
“Tenangkanlah dirimu wahai Khalid, demi dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, sesungguhnya perempuan itu (al-ghamidiyah) telah benar-benar bertaubat, sekiranya taubat (seperti) itu dilakukan oleh seorang pelaku dosa besar niscaya dosanya akan diampuni.”

Setelah itu beliau memerintahkan untuk menshalati jenazahnya dan menguburkannya.” (HR. Muslim)

Berdasarkan hadits lainnya:

عَنْ عُبَادَةَ بْنِ الصَّامِتِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ بَايَعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي رَهْطٍ فَقَالَ أُبَايِعُكُمْ عَلَى أَنْ لَا تُشْرِكُوا بِاللَّهِ شَيْئًا وَلَا تَسْرِقُوا وَلَا تَزْنُوا وَلَا تَقْتُلُوا أَوْلَادَكُمْ وَلَا تَأْتُوا بِبُهْتَانٍ تَفْتَرُونَهُ بَيْنَ أَيْدِيكُمْ وَأَرْجُلِكُمْ وَلَا تَعْصُونِي فِي مَعْرُوفٍ فَمَنْ وَفَى مِنْكُمْ فَأَجْرُهُ عَلَى اللَّهِ وَمَنْ أَصَابَ مِنْ ذَلِكَ شَيْئًا فَأُخِذَ بِهِ فِي الدُّنْيَا فَهُوَ كَفَّارَةٌ لَهُ وَطَهُورٌ وَمَنْ سَتَرَهُ اللَّهُ فَذَلِكَ إِلَى اللَّهِ إِنْ شَاءَ عَذَّبَهُ وَإِنْ شَاءَ غَفَرَ لَهُ, قَالَ أَبُو عَبْد اللَّهِ إِذَا تَابَ السَّارِقُ بَعْدَ مَا قُطِعَ يَدُهُ قُبِلَتْ شَهَادَتُهُ وَكُلُّ مَحْدُودٍ كَذَلِكَ إِذَا تَابَ قُبِلَتْ شَهَادَتُهُ
“Dari Ubadah bin Ash Shamit radliallahu ‘anhu mengatakan, “Aku berbaiat kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersama rombongan beberapa orang, maka Nabi bersabda: “Saya membai’at kalian untuk tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu apapun, tidak mencuri, tidak berzina, tidak membunuh anak kalian dan tidak mengada-adakan kebohongan yang kalian ada-adakan diantara tangan dan kaki kalian, dan janganlah kalian bermaksiat kepadaku dalam perkara yang ma’ruf, barangsiapa diantara kalian yang memenuhi bai’atnya, maka pahalanya disisi Allah, dan barangsiapa diantara kalian melanggar kemudian dihukum di dunia (dengan hukum Allah), maka hukuman itu sebagai penebus dosa baginya dan penyuci (dosa) di dunia, dan barangsiapa Allah menutupinya, maka yang demikian terserah Allah, jika Allah berkehendak akan menyiksanya dan jika berkehendak akan mengampuninya.” Abu Abdullah mengatakan; ‘Jika pencuri bertaubat setelah tangannya dipotong, persaksiannya diterima dan setiap orang yang terkena hukuman had juga seperti ini, jika ia bertaubat, kesaksiannya diterima.” (HR. al-Bukhari, Muslim dan lainnya. Lafal al-Bukhari)

Islam pun menerapkan sanksi yang tegas bagi orang-orang yang murtad, dimana Demokrasi terbukti mandul menjaga akidah umat. Lihat selengkapnya:

Murtadnya Muslim dalam Sistem Demokrasi VS Sistem Islam (Al-Khilaafah)

Sekilas Tentang Al-Khilafah Penjaga Akidah Umat

Lantas, bagaimana dengan hukum dalam sistem Demokrasi Thaghut?