Ajaran Islam Memuliakan Kaum Hawa

images

Islam adalah agama yang mulia dan menjunjung tinggi kehormatan manusia; pria maupun wanita. Di antaranya dengan adanya pengaturan spesifik terkait interaksi antara pria dan wanita.

Islam telah merinci hukum-hukum tersebut dengan peraturan yang amat menakjubkan, sistem peraturan ini dinamakan para ulama dengan istilah an-nizhaam al-ijtimaa’iy[1]. Dan ketahuilah bahwa inilah cahaya petunjuk yang menjaga martabat manusia, sehingga ia terpelihara dari bencana dunia. Cobaan terbesar bagi kaum Adam adalah kaum Hawa, yakni kaum Hawa yang mengumbar kecantikannya bebas lepas di hadapan para pria. Perkara ini jelas bisa menimbulkan bahaya yang besar, bahkan Rasulullaah –shallallaahu ‘alayhi wa sallam- pun bersabda:

مَا تَرَكْتُ بَعْدِي فِتْنَةً أَضَرَّ عَلَى الرِّجَالِ مِنْ النِّسَاءِ

“Tidaklah aku tinggalkan setelahku, cobaan yang lebih besar bahayanya bagi kaum pria daripada fitnah dari kaum wanita.” (HR. Al-Bukhari, Muslim, At-Tirmidzi, Ibn Majah & Ahmad. Lafazh Al-Bukhari)

Jika manusia tidak mau teratur diatur oleh syari’at Islam, maka apa bedanya manusia dengan binatang? Padahal Allah ‘Azza wa Jalla menganugerahi manusia potensi berpikir (‘aql) untuk memilih jalan kebaikan. Allah ‘Azza wa Jalla memperingatkan:

وَلَقَدْ ذَرَأْنَا لِجَهَنَّمَ كَثِيرًا مِنَ الْجِنِّ وَالْإِنْسِ ۖ لَهُمْ قُلُوبٌ لَا يَفْقَهُونَ بِهَا وَلَهُمْ أَعْيُنٌ لَا يُبْصِرُونَ بِهَا وَلَهُمْ آذَانٌ لَا يَسْمَعُونَ بِهَا ۚ أُولَٰئِكَ كَالْأَنْعَامِ بَلْ هُمْ أَضَلُّ ۚ أُولَٰئِكَ هُمُ الْغَافِلُونَ

”Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk (isi neraka Jahannam) banyak dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai.” (QS. Al-A’raaf [7]: 179)

Keagungan Ajaran Islam (I):  Wanita Wajib Menutup ‘Auratnya

Islam amat memuliakan kaum hawa, diantaranya dengan disyari’atkannya bagi mereka kewajiban menutup ‘aurat dari pandangan mata para pria yang tak halal untuk melihatnya. Imam Taqiyuddin al-Nabhani –rahimahullâh– menjelaskan:

وقد استثنى الله في القران الوجه والكفين من النهي عن إبداء ما هو محل زينة من أعضاء المرأة

“Di dalam al-Qur’ân, Allâh telah mengecualikan wajah dan kedua telapak tangan dari larangan untuk menampakkan anggota tubuh wanita yang merupakan tempat melekatnya perhiasan.”[2]

Allâh ‘Azza wa Jalla berfirman:

وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا

“Dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) tampak darinya.”  (QS. al-Nuur [24]: 31)

Imam Taqiyuddin al-Nabhani -rahimahullaah-menukil penafsiran Ibn ‘Abbas atas kalimat ”yang (biasa) nampak darinya”, yakni:

الوجه و الكفّين) فالنهي عن إبداء الزينة من قبل المرأة نهي عن إبداء العورة

“(Wajah dan kedua telapak tangan) larangan atas kaum wanita untuk menampakkan perhiasannya adalah larangan untuk menampakkan auratnya.”[3]

Artinya, wajah dan kedua telapak tangan boleh diperlihatkan.

إِنَّ الْجَارِيَةَ إِذَا حَاضَتْ لَمْ يَصْلُحْ أَنْ يُرَى مِنْهَا إِلَّا وَجْهُهَا وَ يَدَاهَا إِلَى الْمَفْصَلِ

“Sesungguhnya seorang anak perempuan jika telah haid (baligh), tidak boleh terlihat dari dirinya kecuali wajah dan kedua tangannya hingga pergelangan tangan.” (HR. Abû Dawud)

Di sisi lain, muslimah wajib menutupi ‘auratnya dengan pakaian yang tidak tipis, tidak ketat. Rasûlullâh –shallallaahu ‘alayhi wa sallam- diriwayatkan bersabda:

لَمْ يَصْلُحْ أَنْ يُرَى مِنْهَا

“Tidak boleh terlihat dari dirinya.”

Hadits ini merupakan dalil yang jelas bahwa asy-Syâri’  mensyaratkan di dalam sesuatu yang digunakan menutupi ‘aurat agar tidak terlihat ‘aurat yang ada di baliknya. Artinya, harus menutupi kulit, tidak menampakkan apa yang ada di baliknya. Maka, wanita wajib menutupi ‘auratnya dengan pakaian yang tidak tipis, yaitu yang tidak dapat menggambarkan apa yang ada di baliknya dan tidak dapat menampakkan apa yang ada di bawahnya.[4]

Keagungan Ajaran Islam (II): Wanita Wajib Mengenakan Busana Syar’i

Di sisi lain Islam pun menunjuki kaum hawa agar mengenakan busana kehormatan (syar’iy). Dalam kehidupan umum[5], wanita wajib mengenakan busana syar’i berupa pakaian atas dan bawah. Pakaian atas yakni kerudung yang dijulurkan dari kepala hingga menutupi leher dan dada (khimar)[6], pakaian bawah yakni jilbab bermakna baju kurung atau gamis (milhafah= baju kurung) yang wajib dipakai hingga kaki (irkhâ’) dan kaki pun termasuk ‘aurat yang wajib ditutup. Dalil-dalil syara’ telah mewajibkannya dengan deskripsi rinci, lengkap dan menyeluruh[7]. Dalil diwajibkannya pakaian atas berupa khimar (kerudung yang menutupi leher dan dada):

وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَىٰ جُيُوبِهِنَّ

“Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya” (QS. Al-Nûr [24]: 31)

Maksudnya, hendaklah para wanita mengulurkan kain penutup kepalanya hingga leher dan dada, untuk menyembunyikan apa yang nampak dari belahan baju dan belahan pakaian yakni leher dan dada.[8] Ini merupakan kewajiban!

Dalil diwajibkannya pakaian berupa jilbab (baju kurung atau gamis):

يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِن جَلَابِيبِهِنَّ

”Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.” (QS. Al-Ahzâb [33]: 59)[9]

Artinya, hendaklah mereka mengulurkan mulâ’ah (baju kurung) atau milhafah (semacam selimut) hingga menjulur ke bawah (irkhâ’).[10] Dan ini merupakan kewajiban, sebagaimana ditegaskan Imam Taqiyuddin al-Nabhani berdasarkan dalil-dalil syara’.[11]

Jilbab dalam kamus al-Muhîth:

الجِلْبَابُ، كَسِرْدابٍ وسِنِمَّارٍ: القَميصُ، وثَوْبٌ واسِعٌ للْمَرأَةِ دونَ المِلْحَفَةِ، أو ما تُغَطِّي به ثِيابَها من فَوْقُ كالمِلْحَفَةِ

“Jilbab itu adalah seperti sirdâb (terowongan) atau sinmâr (lorong), yakni baju atau pakaian yang longgar bagi wanita tanpa baju kurung atau kain apa saja yang dapat menutupi pakaian kesehariannya seperti halnya baju kurung.”[12]

Dalam kamus al-Shihhâh, Imam al-Jawhari menyatakan:

الجلباب الملحفة وقيل الملاءة

“Jilbab adalah mantel/jubah dan yang sering disebut baju kurung.”

Syaikh Prof. Dr. Muhammad Rawwas Qal’ah Ji dalam kitab Mu’jam Lughatil Fuqahaa’ pun menjelaskan:

الجلباب : بسكر الجيم وسكون اللام، ج جلابيب، ثوب واسع تلبسه المرأة فوق ثيابها

“Jilbab: dikasrahkan huruf jim-nya dan disukunkan lam-nya, jamaknya jalaabiib adalah pakaian lebar (gamis) yang dikenakan wanita di atas pakaiannya (pakaian rumahnya).”

Dalam hadits dari Ummu Athiyyah, kata jilbab dimaknai al-mulâ’ah  (baju kurung) yang dikenakan oleh wanita sebagai penutup di sebelah luar pakaian kesehariannya di dalam rumah:

أَمَرَنَا رَسُولُ اللهِ أَنْ نُخْرِجَهُنَّ فِي الْفِطْرِ وَالْأَضْحَى الْعَوَاتِقَ وَالْحُيَّضَ وَذَوَاتِ الْخُدُورِ فَأَمَّا الْحُيَّضُ فَيَعْتَزِلْنَ الصَّلَاةَ وَيَشْهَدْنَ الْخَيْرَ وَدَعْوَةَ الْمُسْلِمِينَ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللهِ إِحْدَانَا لَا يَكُونُ لَهَا جِلْبَابٌ قَالَ لِتُلْبِسْهَا أُخْتُهَا مِنْ جِلْبَابِهَا

Rasûlullâh –shallallâhu ‘alayhi wa sallam- memerintahkan kepada kami agar mengajak serta keluar para wanita yakni hamba-hamba sahaya perempuan, wanita yang sedang haid dan para gadis yang sedang dipingit, pada hari Raya Idul Fitri dan Idul Adha. Adapun para wanita yang sedang haid, tidak menunaikan shalat, namun turut menyaksikan kebaikan dan menyambut seruan kaum muslimin. Saya bertanya kepada Rasûlullâh –shallallâhu ‘alayhi wa sallam-, “Wahai Rasûlullâh, di antara kami ada yang tidak memiliki jilbab.” Beliau menjawab: “Hendaklah saudarinya yang memiliki jilbab memakaikan jilbabnya kepada wanita itu.” (HR. Muslim no. 1475)

Hadits ini secara gamblang mewajibkan adanya pakaian luar berupa jilbab, di atas pakaian kesehariannya ketika keluar rumah. Karena Ummu ‘Athiyah berkata kepada Rasul –shallallâhu ‘alayhi wa sallam-: “di antara kami ada yang tidak memiliki jilbab”. Rasûlullâh –shallallâhu ‘alayhi wa sallam- menjawab: “hendaklah saudarinya yang memiliki jilbab memakaikan jilbabnya kepada wanita itu.”

Maknanya adalah, jika tidak ada yang meminjaminya, maka yang bersangkutan tidak boleh keluar rumah. Ini merupakan indikasi (qarînah) yang menunjukkan bahwa perintah berjilbab dalam hadits ini adalah wajib. Wajib dikenakan di atas pakaian kesehariannya jika ia hendak keluar rumah. Jika tidak berjilbab, maka tak boleh keluar rumah.[13]

Keagungan Ajaran Islam (III): Kaum Hawa Tidak Boleh Bertabarruj Didepan Pria yang Tak Halal Untuk Itu/ Di Depan Publik

Dan ajaran mulia Islam lainnya adalah larangan bagi kaum hawa untuk mempertontonkan perhiasannya menarik perhatian syahwat kaum adam yang tidak halal untuk itu. Dalam kamus Al-Muhiith dijelaskan:

تَبَرَّجَتْ: أظْهَرَتْ زِينَتَها لِلرِّجالِ

“Seorang wanita ber-tabarruj: yakni menampakkan perhiasannya kepada para pria.”[14]

Ingat! Tidak boleh (haram) ber­-tabarruj di depan publik atau pria yang tak halal untuk melihatnya, misalnya dengan bersolek mempertontonkan kecantikan dan memakai parfum menyengat sehingga menarik perhatian, dan beragam bentuk tabarruj lainnya yang bisa menimbulkan kecendrungan syahwat pada pria. Dari Abu Hurairah dia berkata; Rasûlullâh –shallallâhu ‘alayhi wa sallam- bersabda:

صِنْفَانِ مِنْ أَهْلِ النَّارِ لَمْ أَرَهُمَا قَوْمٌ مَعَهُمْ سِيَاطٌ كَأَذْنَابِ الْبَقَرِ يَضْرِبُونَ بِهَا النَّاسَ وَنِسَاءٌ كَاسِيَاتٌ عَارِيَاتٌ مُمِيلَاتٌ مَائِلَاتٌ رُءُوسُهُنَّ كَأَسْنِمَةِ الْبُخْتِ الْمَائِلَةِ لَا يَدْخُلْنَ الْجَنَّةَ وَلَا يَجِدْنَ رِيحَهَا وَإِنَّ رِيحَهَا لَيُوجَدُ مِنْ مَسِيرَةِ كَذَا وَكَذَا

“Ada dua golongan penduduk neraka yang keduanya belum pernah aku lihat. (1) Kaum yang memiliki cambuk seperti ekor sapi, yang dipergunakannya untuk memukul orang. (2) Wanita-wanita berpakaian, tetapi sama juga dengan bertelanjang (karena pakaiannya terlalu minim, terlalu tipis atau tembus pandang, terlalu ketat, atau pakaian yang merangsang pria karena sebagian auratnya terbuka), berjalan dengan berlenggok-lenggok, mudah dirayu atau suka merayu, rambut mereka (disasak) bagaikan punuk unta. Wanita-wanita tersebut tidak dapat masuk surga, bahkan tidak dapat mencium bau surga. Padahal bau surga itu dapat tercium dari begini dan begini.” (HR. Muslim no. 3971)

Imam Taqiyuddin An-Nabhani menegaskan:

التبرج قد نهى الشارع عنه، ولو كانت المرأة ساترة للعورة

Tabarruj telah dilarang oleh asy-Syâri’ atas wanita, meskipun ia telah menutupi auratnya.”[15]

Di bawah mainstream sistem kufur Demokrasi yang berpijak di atas kaki pincang sekularisme, tak jarang kita menemukan muslimah yang memang menutupi ‘auratnya misalnya mengenakan kerudung dililitkan ke leher dengan kemeja dan celana panjang, tapi ber-tabarruj. Jelas ia masih bermaksiat kepada Allâh karena 3 hal: ber-tabarruj, tidak mengenakan kerudung hingga ke dada, dan menanggalkan jilbab (gamis).

Jika Islam membebaskan manusia berbuat semaunya, jelas akan menimbulkan beragam pertentangan dan perselisihan karena beragam kepentingan hawa nafsu. Bisa dibayangkan dunia menuju kehancurannya menjadi suatu keniscayaan. Rasulullaah –shallallaahu ‘alayhi wa sallam- bersabda:

مَا تَرَكْتُ بَعْدِي فِتْنَةً أَضَرَّ عَلَى الرِّجَالِ مِنْ النِّسَاءِ

“Tidaklah aku tinggalkan setelahku, cobaan yang lebih besar bahayanya bagi kaum pria daripada cobaan dari kaum wanita.” (HR. Al-Bukhari, Muslim, At-Tirmidzi, Ibn Majah & Ahmad. Lafazh Al-Bukhari)


[1] Lihat: An-Nizhâm al-Ijtimâ’iy fî al-Islâm, karya al-‘Allamah al-Imam Taqiyuddin al-Nabhani. Imam Taqiyuddin al-Nabhani mendefinisikan an-Nizhâm al-Ijtimâ’iy:

تعريف النظام الإجتماعي هو: النظام الذي ينظم اجتماع المرأة بالرجل، والرجل بالمرأة، وينظم العلاقة التي تنشأ بينهما عن اجتماعهما، وكل ما يتفرع عن هذه العلاقة.

“An-Nizhâm al-Ijtimâ’iy didefinisikan sebagai sebuah sistem yang mengatur pergaulan pria dan wanita atau sebaliknya, dan mengatur hubungan yang timbul akibat pergaulan tersebut, serta segala sesuatu yang menyangkut hubungan tersebut.”

[2] Lihat: An-Nizhâm al-Ijtimâ’iy fî al-Islâm, bab. an-Nazhr Ilâ al-Mar’ah, karya al-‘Allamah al-Imam Taqiyuddin al-Nabhani.

[3] Ibid.

[4] Ibid.

[5] Misalnya pergi berobat ke klinik ruqyah untuk di terapi ruqyah oleh ustadz, ke pasar, ke sekolah, ke tempat kerja, dan lain sebagainya.

[6] Kerudung dengan model yang dililitkan ke leher, jelas tidak memenuhi kewajiban menutupi dada. Tentu amat disayangkan, apabila wanita muslimah mengenakan kerudung model ini dan meninggalkan aturan syari’at dengan alasan mode. Apakah syari’at hendak ditukar dengan sesuatu yang murah? Na’uudzubillaahi min dzaalik. Yahdiikumullaah.

[7] Ibid.

[8] Ibid.

[9] Maknanya, hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya. Hal itu karena kata min dalam ayat ini bukan menunjukkan sebagian (li tab’iid) tetapi sebagai penjelasan (bayaan), yakni “yurkhiina ‘alayhinna jalaabiibihinna” (hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka). Arti kata Adnaa al-satr adalah arkhaahu (mengulurkan hingga ke bawah). Dan makna yudniina adalah yurkhiina (mengulurkan sampai ke bawah).

[10] Lihat: An-Nizhâm al-Ijtimâ’iy fî al-Islâm, karya al-‘Allamah al-Imam Taqiyuddin al-Nabhani.

[11] Penjelasan tambahan:

فأوجب عليها أن تكون لها ملاءة أو ملحفة تلبسها فوق ثيابها وترجيها إلى أسفل حتى تغطي قدميها

(“Allah SWT telah mewajibkan wanita agar memiliki mulaa’ah (baju kurung) atau milhafah (semacam selimut) untuk dia kenakan di bagian luar pakaian sehari-hari dan ia ulurkan ke bawah hingga menutupi kedua kakinya.”)

[12] Lihat: Al-Qamuus Al-Muhiith, Fayruz Abadiy (فصل الجيم).

[13] Al-‘Allamah al-Imam Taqiyuddin al-Nabhani merincinya dalam An-Nizhâm al-Ijtimâ’iy fî al-Islâm.

[14] Lihat: Al-Qamuus Al-Muhiith, Fayruz Abadiy.

[15] Lihat: An-Nizhâm al-Ijtimâ’iy fî al-Islâmkarya al-‘Allamah al-Imam Taqiyuddin al-Nabhani.

3 comments on “Ajaran Islam Memuliakan Kaum Hawa

  1. Eka KingRider berkata:

    Jazakallah khair

    Suka

Tinggalkan komentar