Renungan Bagi Orang-Orang Yang Berdebat Yang Mau Mengambil Pelajaran

24zp6tv5

الحمدلله والصلاة والسلام على رسول الله وبعد

Berangkat dari keprihatinan atas banyaknya perdebatan tidak syar’i di dunia maya -khususnya-, saya sampaikan nasihat ini untuk diri sendiri dan bagi anda yang mau mengambil pelajaran…

Terlepas apakah anda akan menganggapnya sebagai nasihat, kritik atau koreksi, namun anda harus tahu bahwa saya tidak merasa lebih baik dari anda, dan ini terlahir dari besarnya tanggung jawab kita untuk saling menasihati karena Allah…

وَالْعَصْرِ (١) إِنَّ الْإِنْسَانَ لَفِي خُسْرٍ (٢) إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ (٣

 “Demi Masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shalih dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran.” (TQS. Al-‘Ashr [103]: 1-3) 

Ayat ini menjelaskan, bahwa manusia benar-benar dalam keadaan merugi. Pertama, dijelaskan dengan qassam (sumpah) “والعصر” (demi masa). Kedua, dijelaskan dengan ta’kid “إنّ” (benar-benar). Ketiga, dijelaskan dengan ta’kid “لفي” (sungguh dalam). Ketiga bentuk penjelasan ini, semuanya menguatkan makna pembahasan ayat ini, yaitu kerugian manusia yang sangat luar biasa. Kecuali orang yang beriman, beramal shalih dan saling menasihati dalam kebaikan dan penuh kesabaran, secara terus-menerus, sehingga selamat dari kesalahan.

Bukankah peringatan itu bermanfaat bagi orang-orang yang beriman yaa ikhwatii fillaah? Bukankah kita sering menyimak pesan agung Allah ‘Azza wa Jalla dalam firman-Nya:

وَذَكِّرْ فَإِنَّ الذِّكْرَىٰ تَنْفَعُ الْمُؤْمِنِينَ

(QS. Adz-Dzaariyaat [51]: 55)

Dimana ayat setelahnya (yakni surat Adz-Dzaariyaat [51]: 56), Allah mengingatkan kita bahwa Dia menciptakan kita semua untuk beribadah kepada-Nya.

Yaa ikhwatii fillaah…

Ini nasihat sederhana untuk saya dan kita semua… Anda mengklaim sebagai simpatisan atau kader dari gerakan islam manapun, -… Selama anda mengaku muslim, maka renungkan ini:

Anda Berdebat Untuk Apa?

Sebenarnya anda berdebat untuk siapa dan karena apa?

Apakah anda berdebat untuk mencari sensasi? Atau berdebat agar dianggap sebagai seorang ahli demi meraih kedudukan di hadapan manusia? Wal ‘iyaadzu billaah, itu semua berasal dari hawa nafsu… Jelas bukan karena Allah dan Rasul-Nya… Bukan demi meninggikan kalimat Allah…

Berdebat dengan al-Hawaa’?? Wal’iyaadzu billaah…

Yaa ikhwatii fillaah, alangkah cakapnya peringatan Imam al-Mawardi tentang bahanya al-hawa’ dalam Aadab al-Dunyaa wa al-Diin:

وَأَمَّا الْهَوَى فَهُوَ عَنْ الْخَيْرِ صَادٌّ، وَلِلْعَقْلِ مُضَادٌّ؛ لِأَنَّهُ يُنْتِجُ مِنْ الاخْلاَقِ قَبَائِحَهَا، وَيُظْهِرُ مِنْ الافْعَالِ فَضَائِحَهَا، وَيَجْعَلُ سِتْرَ الْمُرُوءَةِ مَهْتُوكًا، وَمَدْخَلَ الشَّرِّ مَسْلُوكًا

“Adapun hawa nafsu, ia adalah penolak kebaikan, lawan dari al-‘aql (akal pikiran); karena hawa nafsu terlahir dari keburukan akhlak, tampak dalam perbuatan yang buruk, menyingkap kehormatan, dan pengantar keburukan yang dilakukan.”

Sayyidina ‘Ali –radhiyallaahu ‘anhu- menuturkan:

أخوف ما أخاف عليكم اتباع الهوى وطول الأمل. أما اتباع الهوى فيصد عن الحق

“Hal yang paling aku takutkan terjadi pada kalian adalah mengikuti hawa nafsu dan terbuai dalam panjang angan-angan. Adapun dengan mengikuti hawa nafsu, seseorang akan menolak kebenaran.”

Al-‘Allaamah al-Imam al-Syafi’i -rahimahullaah- bertutur:

ولم تدر حيث الخطا والصواب

إذا حار أمرك فـي معنيين

يـــقــــود الـــنـــفـــس إلـــى مـــا يـــعـــاب

فخالف هواك فإن الهوى

“Jika samar urusanmu pada dua maksud

Dan engkau tak mengetahui mana yang keliru dan yang benar diantaranya

Maka selisihilah hawa nafsumu, karena hawa nafsu

Mengarahkan jiwa pada apa-apa yang dicela (keburukannya)”

(Diiwaan al-Imaam al-Syaafi’i, Qaafiyatul Hamzah, subjudul al-Hawaa’ wa al-‘Aql.)

Betapa bahayanya fitnah keburukan al-hawaa’ yang diperturutkan… wal ‘iyaadzu billaah.

Jika anda berdebat demi mengungkapkan kebenaran dan menyampaikan koreksi atas pemahaman lawan diskusi yang keliru, demi menegakkan kebenaran dan hujjah atasnya, sudah semestinya anda berdebat dengan cara yang benar (niat yang lurus dan cara sesuai syari’at)… berkata-kata yang syar’i atau diamlah… Tidak menantang-nantang, mengolok-olok, mengkritik pedas atas diamnya lawan diskusi dan melecehkannya… Jika sudah begitu, apakah mungkin ia akan menerima kebenaran yang ada pada lawan diskusinya??.. Apakah ia lupa sabda Rasulullah –shallallaahu ‘alayhi wa sallam-:

قَالَ لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ مَنْ كَانَ فِي قَلْبِهِ مِثْقَالُ ذَرَّةٍ مِنْ كِبْرٍ

“Tidak akan masuk surga, orang yang di dalam hatinya terdapat seberat biji sawi dari kesombongan.”

Lantas seorang laki-laki bertanya: “Sesungguhnya seorang pria itu senang jika baju dan sandalnya bagus (apakah ini termasuk kesombongan)?”

Beliau –shallallaahu ‘alayhi wa sallam- menjawab:

إِنَّ اللهُ جَمِيلٌ يُحِبُّ الْجَمَالَ الْكِبْرُ بَطَرُ الْحَقِّ وَغَمْطُ النَّاسِ

“Sesungguhnya Allah itu Maha Indah dan menyukai keindahan, kesombongan itu menolak kebenaran dan meremehkan manusia.” (HR. Muslim)

Al-Kibr yakni ketakaburanImam ar-Raghib al-Ashfahani:

والكبر والتكبر والاستكبار تتقارب، فالكبر الحالة التي يتخصص بها الإنسان من إعجابه بنفسه، وذلك أن يرى الإنسان نفسه أكبر من غيره. وأعظم التكبر التكبر على الله بالامتناع من قبول الحق والإذعان له بالعبادة.

“Dan kata al-kibr, at-takabbur dan al-istikbaar itu maknanya berdekatan, dan kata al-kibr maknanya adalah kondisi dimana seseorang merasa takjub pada dirinya sendiri, dan hal ini ketika seseorang memandang dirinya sendiri lebih mulia daripada orang lain. Dan sebesar-besarnya ketakaburan adalah ketakaburan kepada Allah dengan menolak kebenaran dan menolak tunduk kepada-Nya dengan menolak beribadah.” (Mufradaat Alfaazh Al-Qur’aan)

Diamnya Lawan Diskusi Tak Menjadi Dalil Atas Ketidaktahuannya

Ingatlah bahwa diamnya lawan diskusi tak menjadi dalil atas ketidaktahuannya… Seorang mukmin, terlebih bagi ia yang ‘alim yang menjaga lisannya, sangat memerhatikan lisannya sebelum berbicara… Termasuk kehati-hatian dalam berbicara tentang Islam, berfatwa dan faidah di balik perkataannya itu apakah berujung surga atau siksa neraka…

Al-Hafizh Al-Imam Al-Nawawi meriwayatkan:

مالك أيضاً: أنه ربما كان يُسأل عن خمسين مسألة فلا يجيب في واحدة منها، وكان يقول: “من أجاب في مسألة فينبغي قبل الجواب أن يعرض نفسه على الجنة والنار وكيف خلاصه ثم يجيب”

 “Dari Imam Malik pula bahwa ia pernah ditanya sekitar lima puluh pertanyaan dan ia tidak mampu menjawab salah satu dari pertanyaan-pertanyaan tersebut. Dan Imam Malik berkata: “Barangsiapa hendak menjawab suatu permasalahan maka sebelum menjawab, sudah semestinya ia memalingkan dirinya mengingat surga dan neraka dan bagaimana kesudahannya kemudian jawablah.”

Dan sesungguhnya kita diajari Islam adab berdebat… Siapa lawan diskusi yang sudah semestinya dihadapi atau tidak, itu sudah jelas adanya… Apakah seorang muslim yang menjaga lisannya, memuliakan ilmu dan adab-adab Islam, menghargai waktu akan menghabiskan waktunya untuk mendebat orang-orang pandir yang gemar merendahkan ahlul ‘ilm (ulama)? Atau dengan orang-orang yang menyepelekan ilmu dan adab tenggelam dalam gelapnya hawa nafsu? Semoga Allah menjauhkan kita semua dari sifat-sifat itu dan dari fitnah keburukan para pelakunya…

Link Artikel (Adab-Adab Berdebat dalam Islam)

Berdebat dengan Ilmu & Adab

Jika anda berdebat demi memuliakan ilmu, sudah semestinya anda membekali diri dengan ilmu agar tak menimbulkan fitnah atas perdebatan yang tak dilandasi ilmu… Berfatwa serampangan.. menjustifikasi paham sesat atau pemahaman yang sebenarnya keliru dengan dalih-dalih yang diada-adakan… Seakan-akan ia lupa kecaman Rasulullaah -shallallaahu ‘alayhi wa sallam-:

مَنْ أَفْتَى بِغَيْرِ عِلْمٍ لَعَنَتْهُ مَلاَئِكَةُ السَّمَاءِ وَالأَرْضِ

“Barangsiapa berfatwa tanpa ilmu, maka dilaknat oleh Malaikat langit dan bumi.” (HR. Ibn ‘Asaakir dari ‘Ali r.a, hadits ini sanadnya hasan ditakhrij pula oleh al-Hafizh al-Suyuthi dalam kitab al-Jaami’ al-Shaghiir)

Betapa berbahayanya kejahilan terhadap Islam. ‘Ali –radhiyallaahu ‘anhu- berpesan:

لا عدوّ أعدى من الجهل،والمرء عدوّ ما جهل

“Tidak ada musuh yang paling aku musuhi dibandingkan kebodohan, dan seseorang harus memusuhi sesuatu yang membuat dirinya bodoh.” (Lihat: Al-Habib Al-Haddad, Risâlatul Mudzâkarah (ad-Da’wah at-Tâmmah wa at-Tadzkirah al-‘ Âmmah))

Imam Sahl –rahimahullaah– ditanya: “Apakah Anda tahu risiko yang lebih besar daripada sifat bodoh?” Beliau menjawab: “Ya, bodoh di dalam hal yang tak dimengerti.” (Ibid)

Al-Habib al-Haddad menuliskan dalam risalah-nya:

فصل: أمّا الجهل فهو أصل كلّ شرّ ومنشأ كلّ ضرر

Pasal: “Adapun kebodohan, maka hal itu merupakan sumber setiap kejelekan dan tempat berkembangnya setiap bahaya.” (Risâlatul Mudzâkarah (ad-Da’wah at-Tâmmah wa at-Tadzkirah al-‘ Âmmah))

Al-Habib al-Haddad pun menjelaskan: “Dan tercelanya suatu kebodohan itu telah diketahui dengan dalil naqli dan ‘aqli, yang hampir-hampir takkan samar bagi siapapun. Orang yang jahil bisa terjerumus meninggalkan berbagai keta’atan dan melakukan berbagai kemaksiatan, diinginkan atau tidak… Dan ia tak bisa keluar dari kegelapan kejahilan kecuali dengan cahaya ilmu.”

Syaikh Ali bin Abi Bakr dalam sya’irnya berujar:

الجهل نار لدين المرءيحرقه # والعلم ماء لتلك النّار يطفيها

“Kebodohan adalah api bagi agama seseorang yang membakarnya # Sedangkan ilmu adalah air untuk api itu, yang bisa memadamkannya.”  (Ibid.)

Syaikh ‘Abd al-‘Azhim –rahimahullaah– berkata: “Kebodohan dalam hal agama ini bisa berdampak menutupi pintu keilmuan secara keseluruhan.”

Syaikh ‘Abd al-Qadir Jaylaniy –rahimahullaah– menegaskan“Hancurnya agama anda karena 4 hal: tidak mengamalkan apa yang diketahui, anda mengamalkan apa yang tidak anda ketahui, anda tidak mencari tahu apa yang tidak anda ketahui, anda menolak orang yang mengajari anda apa yang tidak anda ketahui.”(Lihat: Fath al-Rabbani wa Faydh al-Rahmâni.)

Jika anda berdebat mengatasnamakan Islam, sudah semestinya anda berdebat dengan cara Islam… Apakah tak malu lisan anda dihiasi kata-kata tercela yang dicela Allah dan Rasul-Nya… Anda mengatakan membela Islam namun Al-Islam sebelumnya mengoreksi lisan anda… Jangan terpancing lisan-lisan tercela yang menunjukkan aibnya sendiri… Ia yang membuka aib dirinya sendiri tanpa diminta.. Jika anda mencela dan memfitnahnya balik, itu sudah cukup menunjukkan anda pada kubangan yang sama… Anda takkan terhina dengan celaan orang-orang yang lisannya tercela, selama Allah mengangkat derajat Anda dengan ilmu dan adab… Bukankah yang paling mulia di sisi Allah adalah ia yang paling bertakwa? Lihat firman Allah dalam QS. Al-Hujuraat [49]: 13:

إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ

Abu Zakaria al-Anbari berkata:

“Ilmu tanpa adab bagaikan api tanpa kayu bakar. Adab tanpa ilmu bagaikan ruh tanpa jasad.” (Imam as-Sam’ani, Adab al-Imla’ wa al-Istimla’; al-Khathib al-Baghdadi, Kitab al-Jami’, juz I, hal 17).

Maka, ilmu dan adab harus menyatu dalam diri Muslim, dan semestinya semakin berilmu, harus semakin beradab.

Link Artikel  (Nasihat Atas Perdebatan Tidak Syar’i)

Keburukan Lawan Diskusi Mengolok-Olok Anda Tak Menjadi Pembenaran Untuk Melakukan Hal yang Serupa

Dan ingatlah! Ketika anda berasumsi bahwa orang/pihak lain mencela, dan memfitnah, kesalahan itu takkan pernah bisa jadi dalih pembenaran untuk anda melakukan hal yang serupa pada mereka… (sayangnya hal ini seringkali jadi alasan sebagian oknum fb untuk mencela pihak lain, ketika saya menasihati diri dan mereka untuk berdebat dengan lisan yang terjaga).. Kalau memang anda muslim dan berdebat demi Islam… Ketika melihat pihak lain keliru, sudah semestinya anda luruskan, nasihati dengan hujjah argumentatif… Jika anda melakukan hal yang sama, sama saja anda mencela diri sendiri dan membuka aib sendiri, termasuk golongan yang tercela -wal ‘iyaadzu billaah-:

كَبُرَ مَقْتًا عِنْدَ اللَّهِ أَنْ تَقُولُوا مَا لَا تَفْعَلُونَ

Padahal kaum muslimin itu diibaratkan bagaikan satu tubuh. Dan Allah telah mensifati orang-orang mukmin dengan persaudaraan, dimana ayat tersebut termaktub sebelum QS. al-Hujuraat ayat 11 (tentang larangan mengolok-olok orang beriman).

إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ فَأَصْلِحُوا بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ

“Sesungguhnya orang-orang mukmin itubersaudara, maka damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itudan bertakwalah kepada Allah, supaya kamu mendapat rahmat.” (TQS. Al-Hujuraat [49]:10)

Ingat dengan pesan Rasulullaah –shallallaahu ‘alayhi wa sallam-? Beliau bersabda:

المُسْلِمُ مَنْ سَلِمَ المُسْلِمُوْنَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ

“Seorang muslim itu adalah seseorang yang kaum muslimun selamat dari lisan dan tangannya.” (HR. Al-Bukhari & Abu Dawud)

Hati-Hati dengan Fitnah ’Ashabiyyah Hizbiyyah & Sifat Takabur

Yaa ikhwatii fillaah…

Iblis –la’natullâhi ‘alayh mendurhakai Allâh, terjerembab ke dalam kehinaan yang kekal karena ketakaburannya mengingkari perintah Allah ‘Azza wa Jalla. Ia merasa lebih mulia daripada Adam –‘alayhis salaam-, karena wujudnya diciptakan Allâh dari api, sedangkan Adam –‘alayhis salaam– diciptakan-Nya dari tanah liat yang kering, wal ‘iyaadzu billaah.Lantas apakah mereka yang diam santai di Indonesia (tak berdakwah), merasa lebih baik daripada para da’i dan mujahidin yang berjuang di Suriah? Karena begitu mudahnya memvonis mereka dengan vonis rendah, seakan-akan ia lupa peringatan Allah dalam ayat-ayat-Nya yang agung atas sifat takabur Iblis –la’natullaahi ‘alayhi-wal ’iyaadzu billaah.

Dan ketakaburan Iblis –la’natullaahi ‘alayhi- ini, termasuk ke dalam apa yang diungkapkan oleh Imam ar-Raghib al-Ashfahani:

والكبر والتكبر والاستكبار تتقارب، فالكبر الحالة التي يتخصص بها الإنسان من إعجابه بنفسه، وذلك أن يرى الإنسان نفسه أكبر من غيره. وأعظم التكبر التكبر على الله بالامتناع من قبول الحق والإذعان له بالعبادة.

“Dan kata al-kibr, at-takabbur dan al-istikbaar itu maknanya berdekatan, dan kata al-kibrmaknanya adalah kondisi dimana seseorang merasa takjub pada dirinya sendiri, dan hal ini ketika seseorang memandang dirinya sendiri lebih mulia daripada orang lain. Dan sebesar-besarnya ketakaburan adalah ketakaburan kepada Allah dengan menolak kebenaran dan menolak tunduk kepada-Nya dengan menolak beribadah (kepada-Nya).” (Lihat: Imam ar-Raghib al-Ashfahani. Mufradaat Alfaazh Al-Qur’aan Al-Kariim)

Dan apakah ia lupa sabda Rasulullah –shallallaahu ‘alayhi wa sallam-:

قَالَ لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ مَنْ كَانَ فِي قَلْبِهِ مِثْقَالُ ذَرَّةٍ مِنْ كِبْرٍ

“Tidak akan masuk surga, orang yang di dalam hatinya terdapat seberat biji sawi dari kesombongan.”

Lantas seorang laki-laki bertanya: “Sesungguhnya seorang pria itu senang jika baju dan sandalnya bagus (apakah ini termasuk kesombongan)?”

Beliau –shallallaahu ‘alayhi wa sallam- menjawab:

إِنَّ اللهُ جَمِيلٌ يُحِبُّ الْجَمَالَ الْكِبْرُ بَطَرُ الْحَقِّ وَغَمْطُ النَّاسِ

“Sesungguhnya Allah itu Maha Indah dan menyukai keindahan, kesombongan itu menolak kebenaran dan meremehkan manusia.” (HR. Muslim)

Yaa Ikhwatii fillaah….

Berhati-hatilah terhadap fitnah ’ashabiyyah hizbiyyah (fanatisme buta terhadap golongan) yang bisa membutakan mata anda dari kebenaran yang ada pada pihak lainnya, dan memalingkan diri dari bersikap adil terhadap pihak lain.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ لِلَّهِ شُهَدَاءَ بِالْقِسْطِ ۖ وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ عَلَىٰ أَلَّا تَعْدِلُوا ۚ اعْدِلُوا هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَىٰ ۖ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۚ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ

”Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (TQS. Al-Maa’idah [5]: 8)

Syaikh Dr. Samih ’Athif az-Zayn ketika menjelaskan kisah ketakaburan Iblis –la’natullaahi ’alayhi- yang menolak perintah Allah ’Azza wa Jalla untuk bersujud kepada Adam –’alayhis salaam-, menukil pernyataan yang dinisbatkannya pada sahabat Ali –radhiyallaahu ’anhu-:

افتخر إبليس على آدام بأنه خلق من نار وآدم من طين، وتعصّب على آدم بأصله، فإبليس إمام المتعصبين، وسلف المستكبرين، الذي وضع أساس العصبية.. فاحذروا عباد الله أن يُعديكم بدائه وأن يستفزكم بندائه، وأن يجلب عليكم بخيله ورَجله… فأطفئوا ما كمن في قلوبكم من نيران العصبية، وأحقاد الجاهلية….

“Iblis membanggakan dirinya di atas Adam, bahwa ia diciptakan Allah dari api sedangkan Adam dari tanah kering, Iblis bersifat ta’ashub (fanatisme buta) atas Adam dalam asal usul penciptaannnya, maka Iblis adalah pemimpin kaum yang ta’ashub, dan pendahulu kaum yang takabur, dialah yang meletakkan asas ’ashabiyah… Maka berhati-hatilah wahai hamba-hamba Allah ia akan menulari anda dengan penyakit keburukannya dan memprovokasi anda dengan seruannya, dan menjerumuskan anda dengan tipu muslihatnya dan kaki tangannya…. maka padamkanlah api ’ashabiyah dan rasa dendam jahiliyah dalam hatimu….”(Lihat: Syaikh Dr. Samih ‘Athif az-Zayn. Majma’ al-Bayaan al-Hadiits: Qashash al-Anbiyaa’ fii al-Qur’aan al-Kariim (hlm. 75). Kairo: Dar al-Kutub al-Mishriy. Cet. VII: 1426 H/ 2005)

Janganlah anda menghakimi orang lain tanpa ilmu sebelum timbul penyesalan kelak ketika Allah Yang Maha Adil akan mengadili anda di pengadilan-Nya kelak di yawm al-hisaab…. Allaah al-Musta’aan…

وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ ۚ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَٰئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولًا

”Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semua itu akan diminta pertanggungjawaban.” (TQS. Al-Israa’ [17]: 36 )

Hati-Hati dengan Fitnah Kebebasan Berbicara Ajaran Paham Sesat Demokrasi

Link Artikel (Menyingkap Syubhat Kebebasan Berpendapat dalam Demokrasi)

الله المستعان…