Soal-Jawab[1]
Pertanyaan Pertama:
Masih ada sebagian orang yang menganggap Islam tidak boleh dikaitkan dengan politik. mengapa muncul anggapan seperti itu?
Jawab:
Syaikh Dr. Samih Athif Az-Zain dalam buku As-Siyaasah wa As-Siyaasatu Ad-Dawliyyah, menjelaskan makna siyasah secara bahasa sebagai berikut[2]:
ساس الدوب يسوسها سياسة, اذا قام عليها وراضها وادبها…
“Apabila seseorang mengurus hewan tersebut, membimbing serta melatihnya”. Maka pengertian politik kebanyakan digunakan untuk ri’ayah (pemeliharaan), pembinaan serta pelatihan hewan tunggangan…”
Kemudian secara majazi digunakan untuk ri’ayah (pemeliharaan) terhadap urusan masyarakat. Ibnu Ahmad al-Farahidi dalam Kitab al-‘Ain menyatakan[3]:
والراعي يرعاها رعاية إذا ساسها وسرحها
Pengarang kitab Al-Mughrib fii Tartibil Mu’rib, juga menegaskan hal yang sama[4]:
وَيُقَالُ الرَّجُلُ ( يَسُوسُ ) الدَّوَابَّ إذَا قَامَ عَلَيْهَا وَرَاضَهَا ( وَمِنْهُ ) الْوَالِي يَسُوسُ الرَّعِيَّةَ سِيَاسَةً أَيْ يَلِي أَمْرَهُمْ
Jadi dapat kita simpulkan bahwa kata siasah identik ri’ayah.
Secara lebih spesifik pengertian politik di dalam Islam didiskripsikan di dalam Mu’jamu Lughatil Fuqaha’ dengan[5]:
رعاية شؤون الامة بالداخل والخارج وفق الشريعة الاسلامية.
“Pemeliharaan terhadap urusan umat baik di dalam negeri maupun di luar negeri sesuai dengan syariah Islam”.
Makna seperti inilah yang terdapat dalam hadits yang diriwayatkan Imam Muslim dari Abu Hurairah ra[6]:
كَانَتْ بَنُو إِسْرَائِيلَ تَسُوسُهُمْ الْأَنْبِيَاءُ كُلَّمَا هَلَكَ نَبِيٌّ خَلَفَهُ نَبِيٌّ وَإِنَّهُ لَا نَبِيَّ بَعْدِي وَسَتَكُونُ خُلَفَاءُ تَكْثُرُ تَأْمُرُنَا قَالَ فُوا بِبَيْعَةِ الْأَوَّلِ فَالْأَوَّلِ وَأَعْطُوهُمْ حَقَّهُمْ فَإِنَّ اللَّهَ سَائِلُهُمْ عَمَّا اسْتَرْعَاهُمْ
Imam an-Nawawi dalam shahih Muslim bisyarhin Nawawi menjelaskan pengertian “tasusuhum al-anbiyaa’” dengan: Mengatur urusan mereka sebagaimana yang dilakukan oleh para pemimpin dan wali terhadap rakyat (nya)[7].
Dalam hadits diatas Rasulullah SAW menegaskan, bahwa yang mengatur atau yang memelihara urusan Bani Israil adalah para nabi, sedangkan untuk umat beliau SAW adalah para khulafa’, dan jumlahnya banyak. Maka Imam Al-hafidz An-nawawipun menegaskan[8]:
وَمَعْنَى هَذَا الْحَدِيث : إِذَا بُويِعَ لِخَلِيفَةٍ بَعْد خَلِيفَة فَبَيْعَة الْأَوَّل صَحِيحَة يَجِب الْوَفَاء بِهَا ، وَبَيْعَة الثَّانِي بَاطِلَة يَحْرُم الْوَفَاء بِهَا ، وَيَحْرُم عَلَيْهِ طَلَبهَا ، وَسَوَاء عَقَدُوا لِلثَّانِي عَالِمِينَ بِعَقْدِ الْأَوَّل أَوْ جَاهِلِينَ ، وَسَوَاء كَانَا فِي بَلَدَيْنِ أَوْ بَلَد ، أَوْ أَحَدهمَا فِي بَلَد الْإِمَام الْمُنْفَصِل وَالْآخَر فِي غَيْره ، هَذَا هُوَ الصَّوَاب الَّذِي عَلَيْهِ أَصْحَابنَا وَجَمَاهِير الْعُلَمَاء …
“Makna hadits ini adalah apabila terjadi bai’ah untuk seorang khalifah setelah (sebelumnya dibai’ah) khalifah, maka bai’ah yang pertamalah yang benar, dan wajib mencukupkan diri dengan bai’ah untuk yang pertama tersebut. Sedangkan bai’ah yang kedua adalah bathil dan haram mencukupkan diri dengan bai’ah tersebut. Dan haram atas yang kedua menuntut bai’ah, baik apakah dia tahu ataupun tidak terhadap bai’ah yang pertama. Baik mereka berdua ada di dua negeri atau di satu negeri, atau salah satu dari keduanya berada di negerinya yang (posisinya) terpisah sedangkan yang lain di luar negerinya. Inilah yang benar dimana shahabat-shahabat kita di dalamnya, begitupula Jamahir Al-ulama’…”
Penjelasan singkat ini sebenarnya sudah lebih dari cukup bagi kita untuk menegaskan kembali bahwa politik di dalam Islam adalah hal yang ma’lumun minaddin bidz dzarurah. Banyak nash baik dalam al-Qur’an maupun as-Sunnah yang menegaskan hal yang sama. Dalam surah an Nahl ayat 89, ditegaskan:
وَنَزَّلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَابَ تِبْيَانًا لِكُلِّ شَيْءٍ وَهُدًى وَرَحْمَةً وَبُشْرَى لِلْمُسْلِمِينَ
Sayyidina Abdullah Ibn Mas’ud ra menjelaskan, sebagaimana dikutip oleh Al-hafidz Ibn Katsir dalam tafsirnya[9]: “Sungguh Dia (Allah) telah menjelaskan untuk kita semua ilmu dan semua hal”. Ayat ini menegaskan bahwa Allah melalui al-Qur’an telah menjelaskan semua hal, tentu termasuk hal-hal yang berkaitan dengan kehidupan bernegara dan bermasyarakat.
Khulashatul qaul, politik dapat kita devinisikan sebagai permeliharaan (ri’ayah) urusan umat baik dalam negeri maupun luar negeri, yang subyeknya adalah Negara dan umat. Negara, secara real melaksanakan pemeliharaan tersebut, dan umat yang melakukan control terhadap ri’ayah yang dilakukan oleh Negara. Muhammad M Radhi dalam tesis masternya di Universitas Baghdad yang berjudul Hizbut Tahrir Tsaqafatuhu wa Manhajuhu fi Iqamati Daulatil Khilafah[10] menegaskan bahwa kurang lebih seperti inilah devinisi politik dalam Islam menurut para Ulama’ baik yang kontemporer maupun yang terdahulu. Jadi, kalau kita bicara politik dalam Islam artinya kita sedang bicara tentang ri’ayah terhadap urusan umat dengan menerapkan hukum Islam dalam seluruh aspek kehidupan serta kontrol umat terhadap penguasa yang merupakan subyek ri’ayah tersebut. Dengan begitu kita menjadi mafhum mengapa ketika para Fuqaha’ sedang mengkaji masalah politik, mereka selalu mengkaitkan dengan imamah, atau khilafah. Karena tanpa khilafah dan imamah tersebut aktifitas politik dalam Islam tidak akan sempurna dilakukan[11].
Pertanyaannya, mengapa muncul fenomena atau bahkan ada upaya yang terencana oleh segelintir orang yang mencoba memisahkan Islam dengan politik, dan Islam ‘dikarangkeng’ dengan hanya sebatas ibadah mahdhah dan moral? Ini bukan hal baru. Latar belakangnya? Paling tidak ada dua hal. Pertama, propaganda sekularisasi yang dilakukan oleh Kafir Barat di dunia Islam baik secara langsung maupun tidak langsung, melalui ghazwul fikri yang diikuti dengan ghazwul ‘askari dan ghazwu as-siyasi. Harapannya? Tentu agar umat Islam memperlakukan Islam layaknya mereka memperlakukan agama Kristen. Mereka telah bekerja sangat keras untuk mengupayakan hal itu. Kongkritnya mereka mengupayakan secara sangat sistematis dan sophisticated untuk menjauhkan kaum Muslim dengan Islam, dengan cara menjauhkan mereka dengan sumber Islam, yakni Al-qur’an dan As-sunnah. Dari yang paling ekstrim dengan mengopinikan bahwa teks Al-qur’an itu otentitasnya diragukan, atau seruan untuk membuang ayat-ayat Madaniyyah dan perhatian kaum Muslim difokuskan pada ayat Makiyyah yang menitikberatkan pada aqidah dan moral sampai propaganda yang lebih ‘soft’, dengan mengupayakan ‘taufiq’ antara Islam dengan peradaban Barat kontemporer. Misalnya bahwa syura dalam Islam itu identik dengan demokrasi dll.
Umpan dalam bentuk propaganda ini kemudian ‘termakan’ oleh sebagian kecil kaum Muslim. Lalu sadar atau tidak mereka telah menjadi perpanjangan tangan mereka[12]. Latar belakangnya? Pertama, karena telah menjadi ‘agen (pemikiran) Barat’. Kedua, karena silau dengan kemajuan Barat, dan pada saat yang sama terjangkit Pandemic Inveriority Complex.
Kedua, karena tiadanya gambaran yang clear tentang Islam, bilkhusus sistem pemerintahan dan sistem ekonomi[13]. Malah bisa dikatakan bahwa gambaran sistem pemerintahan, serta sistem ekonomi dalam Islam tersebut telah lama lenyap dari benak sebagian besar kaum Muslim. Mengapa? Ini erat kaitannya dengan proses kajian terhadap Islam yang berlangsung selama ini. Kondisi ini semakin diperparah dengan ‘keterlibatan’ langsung kafir Barat dalam menyusun kurikulum pendidikan agama yang berlaku di Sekolah maupun di PT di negeri-negeri Islam[14]. Dalam sistem pendidikan formal baik di sekolah maupun di PT di negeri-negeri Islam, kajian Islam lebih ditekankan pada upaya ‘taufiq (memadukan)’ ajaran Islam dengan Nasionalisme dan Sekularisme, serta kajian Islam yang ‘memperlakukan’ Islam sebatas ritus dan moral.
Pertanyaan Kedua:
Islam dan politik tidak bisa dipisahkan, bagaikan dua sisi mata uang, penjelasannya bagaimana?
Jawab:
Benar. Politik dalam Islam adalah suatu yang maklumun minad din bidz-dzarurah. Memisahkan politik dari Islam, dengan menjadikan Islam hanya sebatas ritus dan moral adalah pendiskreditan Islam. Logis kalau Ide pemisahan Islam dengan politik ini tidak kita jumpai pada generasi Islam terdahulu. Ini adalah ide ‘nyleneh’ yang sebelumnya tidak dikenal di dalam Islam.
Memang, dalam hazanah turats Islam kadang kita jumpai pendapat atau orang yang ‘nyleneh’. Abu Bakar Al-asham misalnya. Dia seorang tokoh Muktazilah yang ekstrim. Dia menyatakan bahwa mengangkat imam itu tidak wajib. Pendapat ini didokumentasikan dengan sangat baik oleh Imam Al-qurtubi dalam tafsirnya[15]: “Al-asham berkata: imamah itu tidak wajib dalam agama bahkan hal tersebut hanya melengkapinya (saja). Bahwa umat itu ketika mereka menegakkan hujjah, jihad, serta mengatur apa yang ada diantara mereka, mencurahkan yang haq dengan diri mereka, membagi ghanimah, fa’i, zakat atas yang berhak, dan menegakkan had-had atas siapa saja yang diwajibkan atasnya, maka Allah akan membalas mereka atas hal tersebut. Tidak diwajibkan atas mereka untuk mengangkat imam untuk mengatur hal tersebut”.
Meski Abu Bakar al-Asham menegaskan bahwa mengangkat Imam (khalifah) itu tidak wajib, tapi dia masih mensyaratkan bahwa hukum-hukum yang seharusnya dilaksanakan oleh Imam mesti terlaksana. Rupanya bagi Abu Bakar al-Asham esensi keberadaan khilafah lebih penting dibanding sosok khilafah itu sendiri. Maka bagi dia, asalah semua hukum yang seharusnya diimplementasikan dengan khilafah sudah berjalan maka keberadaan khilafah itu bukan suatu keharusan. Tapi pertanyaan yang menarik yang kita terpaksa kemukakan adalah mungkinkah? Jawabannya jelas dan pasti, yaitu tidak mungkin. Padahal ide pemisahan politik dari Islam, yang sekarang ‘dijajakan’ oleh segelintir kaum Muslim adalah pemisahan tanpa syarat. Bukankah ini lebih ‘nyleneh’ dan lebih menyimpang dibanding dengan pendapat Abu Bakar al-Asham al-Muktazili?
Pertanyaan Ketiga:
Lalu siapa yang harus berpolitik? Apakah ada pihak yang memiliki ‘kewajiban lebih’ dibanding yang lain?
Jawab:
Dengan devinisi politik seperti yang tadi maka fokus aktifitas politik adalah ri’ayah yang dilakukan oleh penguasa terhadap masyarakat, dan kontrol terhadap ri’ayah tersebut. Subyek pertama adalah penguasa, dan yang kedua adalah masyarakat. Allah SWT berfirman dalam surah Ali Imran ayat 104:
وَلْتَكُنْ منكُمْ أمّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ ويَأمُرُونَ بِالمَعْرُوفِ ويَنْهَوْنَ عَنِ المُنْكَرِ وَأُولئكَ هُمُ المُفْلِحُون
Rasulullah menjelaskan pada kita pengertian “ilal khair” sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ibn Mardawaih yang dinukil oleh imam al-Hafidz Ibn Katsir dengan “mengikuti Al-qur’an dan sunnahku”[16]. Imamul Mufassirin al-Imam Al-hafidz Ath-thabari menjelaskan bahwa pengertian kata “umat” adalah jama’ah[17]. Sedangkan pengertian “ilal khair” adalah pada Islam dan syariatnya. Imam al-Qurthubi menjelaskan: Kata “min” dalam ayat tersebut adalah li at-tab’idh (menunjukkan makna sebagian)[18]. Dan maknanya, kata beliau adalah wajib adanya para Ulama’ (yang melakukan kwajiban tersebut) dan bukan setiap manusia. Kemudian beliau melanjutkan bahwa amar ma’ruf nahi munkar itu hukumnya fardhu kifayah[19].
Ada tiga point penting yang bisa kita fahami dari penjelasan tiga Ulama’ tafsir terkemuka tersebut. Pertama, bahwa keberadaan jama’ah yang melakukan aktifitas seperti yang dimaksud oleh ayat tersebut adalah fardhu kifayah. Kedua, aktifitas jama’ah tersebut adalah mengajak pada Al-qur’an dan Sunnah Nabi SAW atau dengan kata lain pada Islam dan syariatnya serta melakukan aktifitas amar makruf nahi munkar. Ketiga, bahwa para Ulama’ lebih wajib dibanding yang lain.
Disini ada yang perlu digarisbawahi, bahwa mengajak pada al-khair atau pada Islam dan syariatnya, bukan berarti kita terjebak pada perdebatan masalah-masalah yang sifatnya ijtihadi, tidak…! Kita tidak boleh memaksakan kesamaan pendapat atas sesuatu yang memang secara syar’i boleh atau bisa berbeda. Justru menyamakan hal-hal tersebut malah bertentangan dengan Islam. Karena ikhtilaf dalam masalah hukum sudah terjadi sejak masa rasulullah SAW.
Tentang hal ini Hadzratusy syeikh KH Hasyim Asy’ari dalam kitab At-tibyan fii an-Nahyi an al-Muqatha’ah Al-arham wa al-Aqarib wa al-Ikhwan berpesan pada para Ulama’[20]: “…Wahai manusia, diantara kalian (saat ini) sedang bercokol orang-orang kafir yang telah memenuhi seluruh penjuru negeri, lalu siapa dari kalian yang (berani) menolak untuk diskusi dengan mereka atau menolak untuk ‘legowo’ terhadap arahan mereka? Wahai para Ulama’ untuk masalah semacam ini, bersungguh-sungguhlah serta berta’assublah. Adapun ta’assub kalian pada masalah cabang dalam agama, serta pemaksaan kalian semua pada manusia untuk (mengikuti) madzhab yang satu dan pendapat yang satu, hal tersebut tidak diterima oleh Allah, juga tidak diridhai oleh Rasulnya SAW. Sungguh pemaksaan kalian atas hal tersebut tidak ada motif lain kecuali karena ta’assub, saling bersaing atau karena saling dengki. Kalau seandainya Asy-syafi’i, Abu hanifah, Malik, Ahmad, dan Ibnu Hajar, serta Ar-ramli (masih) hidup tentu mereka akan mengingkari kalian dengan keras, dan mereka akan berlepas diri dari kalian dan apa yang kalian lakukan…”
Alhasil, sudah seharusnya kita memfokuskan pada hal-hal yang pokok; contohnya tentang kwajiban bertahkim pada hukum Allah dalam seluruh aspek kehidupan adalah konsekwensi akidah kita sebagai Mukmin.
Pertanyaan Keempat:
Ulama’ berpolitik, ada sebagian orang yang menilai negatif ungkapan itu karena keagungan Ulama’ akan ternodai jika terjun dalam politik, benarkah?
Jawab:
Pertanyaan ini mengingatkan kita pada yang dikemukakan oleh Dr Samikh Athif Az Zein dalam bukunya As-siyasah wa Siyasah Ad-dauliyyah. Beliau menyatakan:[21] “… Maka politik sebagaimana kita ketahui, adalah pemeliharan serta perbaikan, penegakan, petunjuk, serta bimbingan. Artinya politik itu identik dengan kebaikan serta perbaikan. Namun sosok politik yang cemerlang ini dikaburkan dengan konvensi (yang berlaku) di masyarakat saat ini bahwa politik itu identik dengan perilaku menyimpang dari yang haq, dan pendiskripsian bahwa politik itu identik dengan kebohongan, kecurangan serta penyesatan yang memang lazim dilakukan oleh para politikus serta penguasa (saat ini). Artinya penyimpangan (perilaku) para politikus dari yang haq, kedzaliman yang mereka lakukan terhadap rakyat, serta perampasan terhadap kepentingan masyarakat tersebut telah mengacaukan pengertian politik yang bersih. Akibatnya para penguasa tersebut menjadi ‘musuh’ rakyat, padahal seharusnya politik tersebut menjadikan mereka sebagai para wali yang shalih serta muhsin. Hal tersebut mengantarkan pada munculnya metode yang sangat berbahaya dan ini dieksploitasi secara habis-habisan oleh para propagandis pemisahan agama dan Negara. Bahkan hal tersebut semakin mengkristalkan propaganda mereka untuk menjauhkan para pengemban agama dari politik dengan dalih bahwa orang yang ta’at beragama adalah manusia yang takut pada Allah, mereka tidak boleh menceburkan diri dalam aktifitas politik, karena politik itu penuh dengan kebohongan, tipu muslihat serta keculasan dsb. Ini adalah memaparkan fakta yang tepat, tapi tujuannya batil… “.
Begitulah diskripsi Az Zain. Idzan kita bisa memahami mengapa dengan dalih menjaga kesucian nilai-nilai Islam, para Ulama’ dan pengemban dakwah ‘dilarang’ mendekati politik, karena politik identik dengan kebohongan, tipu muslihat serta keculasan. Hebatnya seruan yang diback up oleh kafir Barat ini hampir merata di seluruh negeri Islam. Inilah gerakan trans nasional…
Benar, bahwa aktifitas politik saat ini memang seperti yang digambarkan oleh Az-zain. Politik dalam sistem kapitalis-sekuler menjadikan kaedah “tujuan menghalalkan semua cara” sebagai kaedah pokok bahkan ya’lu wala yu’la alaih. Wajar kalau banyak hal yang tidak benar yang terjadi, banyak kezaliman bahkan ‘pemerkosaan’ terhadap hak-hak masyarakat. Pelayanan kesehatan mahal, pendidikan mahal, jumlah dana masyarakat yang dipakai bayar utang LN jauh lebih besar dibanding biaya pembangunan, penjualan asset Negara ke asing dsb seakan ‘lagu merdu’ bagi kita semua. Celakanya ‘kekacauan’ yang terjadi akibat dominasi sistem kapitalistik ini, justru dijadikan alat oleh mereka untuk mencegah kembalinya Islam dalam kehidupan masyarakat dengan ‘melarang’ para Ulama’ dan para pengemban dakwah dalam aktifitas politik. Padahal biang kerok lembah hitam politik tersebut karena diterapkannya sistem kapitalis dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
Pertanyaan Kelima:
Bagaimana deskripsi aktualisasi politik Ulama’ saat ini?
Jawab:
Aktualisasi kongkritnya adalah dengan menjadikan Ulama’-Ulama’ terdahulu radhiyallahu anhum sebagai contoh! Dalam kitab-kitab tarikh tercatat dengan tinta emas sepak terjang para Ulama’ dalam melakukan aktifitas politik. Misalnya, apa yang dilakukan oleh Abdullah Ibn Thawus.
Dalam kitab Wafiyyatul A’yan, Ibn Khalikan meriwayatkan pertemuan antara Ibn Thawwus yang didampingi oleh Malik Ibn Anas rahimahumallahu Ta’ala dengan Abu Ja’far al-Manshur sebagai berikut[22]: “Ketika Abu Ja’far Al-manshur memanggil Abdullah bin Thawwus bersama dengan Malik bin Anas rahimahumallah, setelah mereka masuk, beberapa saat kemudian Abu Ja’far Al-manshur menoleh pada Ibn Thawwus dan berkata padanya beritahu saya (hadits) dari bapak anda. Ibnu Thawwus berkata telah menceritakan pada saya bapak saya “sesungguhnya manusia yang adzabnya paling dahsyat pada hari kiamat kelak adalah seorang laki-laki yang menyekutukan Allah Ta’ala dalam kekuasaannya, yaitu dengan melakukan aniaya dalam pemerintahannya”. Abu Ja’farpun terdiam untuk sesaat. Malik bercerita: akupun melipat bajuku karena kwatir darah Ibn Tawwus mengenai bajuku. Kemudian Al-manshur berkata pada Ibn Thawwus, berikan padaku tinta itu. Al-manshur mengulang permintaannya sampa tiga kali, tapi Ibn Tawwus (tetap) tidak melakukannya. Al-manshur berkata lagi, anda tidak mau memberikan tinta itu? Ibn Thawwuspun menjawab: saya takut anda menulis dengan tinta tersebut suatu yang maksiyyah, dan kemudian (karena mengambil tinta itu) menjadikan aku bersama-sama dengan anda dalam maksiyyah tersebut… Ketika Al-manshur mendengar hal tersebut dia berkata: (anda) melawan saya? Ibnu Thawwus menjawab: tidak, saya tidak membangkang (pada anda)… Kemudian Malik berkata: saya selalu ingat keutamaan ibn Thawwus sejak hari itu.
Ulama’ seperti inilah yang kita rindukan… tidak takut pada siapapun kecuali al-khaliq yang menciptakan dia. Masih tentang Ulama’, al-Qadhi Ibn Iyadh berkata[23]: “Ulama’ itu adalah ibarat ‘bunganya’ umat ketika musim semi. Apabila orang sakit melihatnya, kalaulah tidak menyembuhkan paling tidak akan meringankan. Apabila orang fakir melihatnya dia merasa menjadi kaya”. Rasanya ini cukup untuk bagi kita untuk menggambarkan apa dan bagaimana Ulama’ itu.
Hujjatul Islam Abu Hamid al-Ghazali dalam kitab Ihya’ Ulumuddin mengklasifikasikan Ulama’ menjadi dua kategori besar, Ulama’ dunia atau Ulama’ su’ dan Ulama’ akhirat. Ulama’ dunia ciri-cirinya antara lain adalah menjadikan ilmu untuk mendapatkan kenikmatan duniawi serta sebagai sarana untuk memperoleh kemasyhuran dan popularitas. Sedangkan Ulama’ akhirat sebaliknya[24].
Al-hafidz Ibnul Qayyim Al-jauziyyah dalam tafsirnya[25] meriwayatkan pernyataan sebagian salafush shalih. Misalnya Mujahid dan Asy-sya’bi yang berkata bahwa orang yang ‘alim itu adalah yang takut pada Allah. Sedangkan Ar-rabi’ bin Anas berkata: siapa saja yang tidak takut pada Allah, dia bukan orang ‘alim.
Al-hafidz Ibn Katsir dalam tafsirnya menukil perkataan Imam Ats-tsauri dari Abi Hayyan dari seorang laki-laki, dia berkata[26]: “dikatakan bahwa Ulama’ itu ada tiga kategori. Yang ‘alim tentang Allah yang ‘alim tentang perintah Allah, dan yang ‘alim tentang Allah tapi tidak ‘alim terhadap perintah Allah, serta yang ‘alim tentang terhadap perintah Allah tapi tidak ‘alim tentang Allah. Orang yang ‘alim tentang Allah dan perintah Allah maka dia takut pada Allah dan tahu batasan-batasan serta apa yang difardhukan-Nya. Sedangkan yang ‘alim tentang Allah tapi tidak ‘alim terhadap perintah Allah, dia takut pada Allah tapi tidak tahu batas-batas (yang telah ditetapkan Allah) serta tidak tahu terhadap yang difardhukan. Sedangkan yang ‘alim terhadap perintah Allah tapi tidak ‘alim tentang Allah, adalah yang tahu batas-batas (yang ditetapkan Allah) dan yang difardhukan tapi dia tidak takut pada Allah”.
Jadi Ulama’ yang kita maksud adalah Ulama’ akhirat. Yakni Ulama’ yang takut pada Allah karena dia ‘alim tentang Allah, serta ‘alim terhadap batasan-batasan yang ditetapkan Allah, serta apa-apa yang difardhukan-Nya.
Aktualisasi Ulama’ saat ini? Realnya adalah seperti yang digambarkan oleh Syeikh Ali Bin Haj Ulama’ terkemuka FIS, dalam kitabnya Fashlul Kalam fii Muwajahati Dzulmil Hukkam[27]. Pertama, Ulama’ yang memadukan ilmu dan amal. Yaitu Ulama’ yang connected antara ilmu yang dia kuasai dengan aktifitas yang dia lakukan. Kedua, selalu membela dan memperjuangkan hak-hak umat.
Pertanyaan Keenam:
Bicara politik juga harus bicara partai politik, bagaimana panduan tentang partai politik dalam Islam?
Jawab:
Ada perbedaan yang mendasar antara partai politik dalam sistem kapitalis dan dalam sistem Islam. Kiprah partai politik dalam sistem kapitalis secara sangat bagus di diskripsikan oleh Carl J friedrich dalam bukunya Constitustional Government and Democracy: Theori and Practice in Europe and America dengan[28]: “sekelompok manusia yang terorganisir secara setabil dengan tujuan untuk merebut atau mempertahankan penguasaan terhadap pemerintahan bagi pimpinan partainya dan, berdasarkan penguasaan ini memberikan kepada anggota partainya kemanfaatan yang sifatnya ideal serta material”. Artinya di dalam sistem kapitalis identik dengan adanya partai oposisi dan partai yang berkuasa. Itu yang pertama. Kedua, partai dalam system kapitalis memang di setup untuk kemaslahatan keluarga besar partai tersebut, bukan untuk rakyat.
Bagaimana di dalam Islam? di dalam Islam keberadaan partai politik, berdasarkan surah Ali Imran ayat 104, adalah wajib kifa’i. Pengertian “Umat” dalam ayat tersebut menurut Imam Ath-thabari diatas adalah jama’ah, menurut Syeikh Muhammad Ali Ash-shabuni dalam tafsirnya Shafwah At-tafasir adalah jama’ah atau Hizb. Apakah aktifitas partai di dalam Islam juga dalam rangka merebut kekuasaan atau untuk mempertahankan kekuasaan? Tentu tidak… Partai di dalam Islam aktifitasnya adalah mengajak pada al-khair yakni mengajak pada Al-qur’an dan As-sunnah, yakni mengajak pada Islam dan (menerapkan) syariatnya, serta amar makruf nahi munkar.
Ketika Islam belum diberlakukan sebagai sistem kehidupan maka yang dilakukan partai politik adalah mengajak kaum Muslim pada Islam, artinya mengajak bertahkim pada hukum Allah dalam seluruh aspek kehidupan dan berjuang untuk menerapkan syariat-Nya. Selain itu dalalah al-iqtidha’ dari nash-nash tentang kwajiban tahkim juga mengharuskan kita untuk menegakkan institusi untuk menerapkan hukum Allah tersebut. Itu pertama. Kedua, amar makruf nahi munkar. Antara lain, dengan muhasabah terhadap penguasa.
Jadi di dalam sistem Islam tidak dikenal adanya partai oposisi atau partai penguasa. Di dalam sistem Khilafah, tugas partai politik adalah melakukan muhasabah terhadap khalifah, bukan dalam rangka menjatuhkan atau untuk merebut kekuasaan tapi dalam rangka untuk mencegah penyimpangan atau kekurangoptimalan amanah sebagai ra’i terhadap masyarakat. Ketika khilafah belum ada maka aktifitas partai politik adalah mengajak kaum Muslimin untuk kembali pada Islam dan syariahnya dengan bertahkim pada hukum Allah dalam seluruh aspek kehidupan. Bertahkim pada hukum Allah dalam kehidupan bernegara serta dalam kehidupan bermasyarakat. Alhasil, dalam Islam juga tidak dikenal adanya partai yang memang dimaksudkan untuk merebut kekuasaan atau untuk mempertahankan kekuasaan.
Pertanyaan Ketujuh:
Saat ini partai politik identik dengan ‘hanya’ concern terhadap urusan kekuasaan, lalu bagaimana dalam Islam apakah peran partai politik di tengah umat memang seperti itu atau bagaimana?
Jawab:
Memang dalam sistem Kapitalis partai memang “harus” concern dengan kekuasaan. Itu konsekuensi ideologis. Ketika pemilu mereka berlomba untuk jadi pemenang pemilu baik sendiri maupun berkoalisi. Tapi ketika kalah ya menjadi oposisi dengan harapan pada pemilu berikutnya menjadi pemenang dan menjadi partai yang berkuasa. Lazimnya untuk mencapai tujuan tersebut, tidak ada cara yang diharamkan, semua boleh. Money politics, konspirasi dsb. Sehingga ada guyonan di sebagian Pesantren, kalau di Pesantren pakai Tafsir Jalalain, tapi kalau di Partai Politik pakai tafsir jalan lain. Ini adalah sarkasme… Sekali lagi di dalam Islam tidak dikenal adanya partai pemerintah atau partai oposisi.
Pertanyaan Kedelapan:
Dalam konteks partai politik seperti itu apakah Ulama’ mesti berkecimpung dalam partai politik? mohon dijelaskan?
Jawab:
Jawabannya ya dan tidak. Ya kalau yang dimaksud adalah partai politik dalam rangka mengimplementasikan perintah Allah SWT dalam surah Ali Imran ayat 104, bahkan bukan hanya ya tapi hukumnya wajib kifa’i. Tidak, kalau berkiprah hanya untuk secara kolektif melakukan keculasan, kebohongan atau kedzaliman dengan menerapkan keedah “tujuan itu membolehkan (penggunaan) semua cara”, serta melakukan cover up terhadap sistem kapitalis. Kalau yang semacam ini yang tidak boleh bukan hanya Ulama’, tapi juga seluruh kaum Muslimin.
Terhadap jenis partai yang kedua yang seharusnya dilakukan oleh para Ulama’ adalah mengimplementasikan perintah qudwatuna Rasulullah SAW dengan memberikan nashehat pada mereka dengan niat ikhlash semata karena Allah. Tapi ingat pengertian nashehat disini adalah seperti yang diungkapkan oleh Al-hafidz Ibn al-Atsir dalam kitab Jami’ul Ushul fii Ahaditsi Ar-rasul, iradatul khairi lil mansukh (harapan kebaikan atas yang diberi nashehat). Kalau untuk memerankan hal ini Ulama’ tidak harus menjadi bagian integral dari partai.
Pertanyaan Kesembilan:
Jika Ulama’ tidak berkecimpung dalam patai politik, bagaimana gambaran aktualisasi politik Ulama”?
Jawab:
Kwajiban dakwah itu ada yang sifatnya individu ada yang sifatnya kolektif atau jama’i. Misalnnya menghilangkan kemunkaran seperti yang terdapat dalam hadits nabi yang diriwayatkan oleh Imam Muslim[29]:
مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَذَلِكَ أَضْعَفُ الْإِيمَان
“Barangsiapa melihat kemunkaran maka hendaknya dia merubah kemunkaran tersebut dengan tangan apabila tidak mampu maka hendaknya dia (merubah) dengan hatinya dan itu adalah selemah-lemahnya imam”.
Ini menjadi kwajiban kita masing-masing, begitu pula dengan para Ulama’.
Selain kwajiban yang sifatnya individu, ada kwajiban yang sifatnya kolektif.. Kalau kwajiban yang sifatnya kolektif tentu harus melalui jama’ah atau partai. Misalnya kwajiban iqamah ad-daulah al-khilafah. Imam al-hafidz an-Nawawi menegaskan bahwa keberadaan Imam bagi umat untuk menegakkan agama, menolong as-sunnah menolong orang yang didzalimi serta menempatkan hak-hak pada tempatnya adalah fardhu kifayah[30]. Fardhu kifayah, seperti yang ditegaskan oleh Imam Al-amidi dalam kitab al-Ihkam, sebagai kwajiban tidak berbeda dengan fardhu ‘ain[31]. Adapun peleksanaannya memang tidak harus seluruh kaum Muslimin melaksanakan kwajiban tersebut. Tapi perlu dicatat bahwa kwajiban yang sifatnya fardhu kifayah itu disebut sebagai selesai dilaksanakan apabila memang telah terlaksana, jika belum maka kwajiban tersebut tetap dibebankan atas kaum Muslimin yang terkena khitab taklif. Itulah yang bisa kita fahami dari penjelasan Imam Asy-syirazi dalam kitab al-Luma[32]‘.
Kongkritnya yang seharusnya dilakukan oleh para Ulama’ adalah melaksanan izalah al-munkarat ketika menyaksikan kemunkaran, dan secara kolektif berada di garda terdepan bersama-sama dengan kaum Muslimin yang lain melaksanakan aktifitas dakwah kepada Islam dan syariahnya dengan dakwah isti’naf al-hayah al-Islamiyyah biiqamati daulah al-khilafah, serta amar makruf nahi munkar, utamanya muhasabah lil hukkam…
Pertanyaan Kesepuluh:
Ketika Ulama’ terjun dalam partai politik dikhawatirkan Ulama’ akan kehi-langan “keulama’annya” dan akhirnya terkooptasi oleh urusan kekuasaan dan kepentingan, bagaimana agar hal itu tak terjadi?
Jawab:
Hal tersebut terjadi karena Ulama’ tersebut adalah Ulama’ su’. Na’udzubillah tsumma na’udzubillah.. Allahummansur ummata Muhammad ya Allah ya Kariem. Untuk menghindari hal tersebut jangan sampai menjadi atau ada Ulama’ su’. Jadilah Ulama’ akhirat.
Pertanyaan Kesebelas:
Bagaimana gambaran peran Ulama’ dalam partai politik, mohon didiskripsikan?
Jawab:
Bagi kita sebenarnya pernyataan para salafush shalih saja sudah lebih dari cukup untuk memahami kedudukan para Ulama’ dalam Islam. Al-hasan misalnya, dia berkata[33]: “kalaulah bukan karena Ulama’ maka manusia akan seperti hewan ternak”. Yahya bin Mu’adz menegaskan[34]: “Ulama’ itu lebih menyayangi umat Muhammad dibanding bapak dan ibu mereka. Ketika dia ditanya mengapa begitu? Dia menjawab karena bapak dan ibunya menjaga mereka dari neraka dunia sedangkan Ulama’ menjaga mereka dari neraka akhirat”.
Secara singkat Imam Fakhruddin ar-Razi di dalam tafsir Mafatihul Ghaib fii At-tafsir menjelaskan bahwa di dalam al-Qur’an Allah mendiskripsikan tentang Ulama’ dengan lima “manaqib”. Pertama, tentang keimanannya, sebagaimana firman Allah dalam surah Ali imran ayat 7. kedua, tentang tauhid dan syahadah, sebagaimana firman Allah dalam surah Ali Imran ayat 18. Ketiga, banyak menangis, sebagaimana firman Allah salam surah Al-isra’ ayat 109. keempat, khusyu’ sebagaimana firman Allah dalam surah Al-isra’ ayat 107, dan yang kelima adalah takut (pada Allah), sebagaimana firman Allah dalam surah fathir ayat 28.[35]
Inilah Ulama’.
Peran Ulama’ saat ini? Sebelum membahas hal tersebut ada baiknya kita memotret sekilas kondisi obyektif kita, kaum Muslim. Allah berfirman di dalam Al-Qur’an Surah Ar-Rum ayat 41:
ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ لِيُذِيقَهُمْ بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ
Al-Hafizh Asy-Syaukani dalam tafsir Fathul Qadir menjelaskan pengertian ayat diatas, bahwa sesungguhnya syirik dan maksiah itu merupakan sebab dzahirnya “fasad” di dunia[36]. Sedangkan Imam Abul ‘Aliyyah sebagaimana dikutip oleh al-Hafidz Ibn Katsir dalam tafsirnya menjelaskan bahwa siapa yang maksiyah pada Allah di atas bumi, sungguh dia telah menimbulkan kerusakan di bumi, karena baiknya bumi dan langit adalah dengan ketaatan (pada Allah)[37].
Jadi dalam prespektif Islam fasad atau kerusakan yang selama ini terjadi seperti banjir, tanah longsor, krisis social, penjajahan ekonomi dan campur tangan asing pada hampir seluruh dimensi kehidupan, begitu pula dengan hilangnya kemerdakaan kita adalah buah perbuatan maksiyah yang kita lakukan.
Tentu peran Ulama’ dalam mengupayakan menghilangkan kefasidan multi dimensional itu adalah penting sekali. Mengapa? Karena pada diri para Ulama’ terpadu dua hal yang istimewa. Pertama. pemahaman tentang Allah yang akan melahirkan sikap hanya takut pada adzab Allah, sikap ikhlash, serta ta’at pada Allah. Kedua, pemahaman tentang batasan-batasan atau larangan-larangan yang telah ditetapkan Allah serta hal-hal yang difardhukan oleh-Nya, yang diperlukan untuk melaksanakan keta’atan pada Allah.
Mengutip penjelasan Syeikh Ali Bilhaj diatas bahwa ciri Ulama’ adalah terpadunya ilmu dan amal pada dirinya, serta selalu membela hak-hak masyarakat. Dengan ilmunya para Ulama’ sangat faham bahwa menerapkan hukum Allah adalah merupakan konsekwensi akidah kita. Bahkan kita memahami hal tersebut juga dari para Ulama’. Guru-guru kita baik di Pesantren, kulliyatul Mua’allimin, majlis ta’lim, pengajian maupun di sekolah dan di Pergurun Tinggi. Pada saat yang sama kita juga mengetahui bahwa kita sebagai rakyat telah lama hak-hak kita terabaikan. Kita terus menerus terdzalimi. Pendidikan mahal, perawatan kesehatan semakin tidak terjangkau, BBM langka, harga-harga bahan pokok melambung tinggi, lebih menyedihkan lagi kita dipaksa untuk berhadapan dengan kenyataan bahwa jaminan keamanan, terutama harta saat ini telah menjadi ‘makhluq’ langka. Ketika kita ditimpa bencana pemerintah juga lebih sering lamban dst.
Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud[38], At-tirmidzi[39], Ad-darimi[40], Ibnu Hibban[41], dan Imam Ath-thabarani[42] serta Ath-thahawi[43] Rasulullah SAW menegaskan:
… وَإِنَّ الْعُلَمَاءَ وَرَثَةُ الْأَنْبِيَاءِ وَإِنَّ الْأَنْبِيَاءَ لَمْ يُوَرِّثُوا دِينَارًا وَلَا دِرْهَمًا وَرَّثُوا الْعِلْم…
“… Bahwa Ulama”’ adalah ahli waris para Nabi. Dan para Nabi itu tidak mewariskan dinar atau dirham tapi mewariskan ilmu… “.
Jadi adalah suatu hal yang maklum kalau para Ulama’ sosok yang menonjol adalah keberadaannya sebagai ahli waris para Nabi; yakni dakwah dan ilmu (tentang dien). Secara singkat kiprah Ulama’ dalam partai politik paling tidak ada tiga point. Pertama, bersama-sama dengan kaum Muslimin dengan menempatkan diri pada garda terdepan dalam melakukan aktifitas kolektif yang sifatnya wajib kifa’i. Yakni dakwah ilal khair; yakni berdakwah untuk mengajak pada Islam dan (penerapan) syariah, serta amar makruf nahi munkar. Mengapa berada di garda terdepan? Karena dengan paduan ilmu dan amal para Ulama’, tentu Ulama’ akhirat, memiliki isthitha’ah diatas kaum Muslimin pada umumnya dalam berdakwah ilal khair serta amar makruf nahi munkar. Bukankah Imam al-Qurthubi diatas telah menegaskan bahwa yang (lebih) diwajibkan melaksanakan perintah Allah dalam Surah Ali imran 104 diatas adalah para Ulama’?
Kalau begitu apakah aktifitas kita, begitu juga para Ulama’ perlu ada prioritas? Tentu. Tentang prioritas amal ini ada baiknya kita renungkan apa yang dijelaskan oleh al-Hafidz Ibnul Qayyim Al-jauziyyah dalam kitab I’lamul Muwaqqi’in, Beliau menyatakan[44]: “Sungguh Iblis telah mengelabuhi banyak makhluk dengan membagus-baguskan pelaksanaan mereka atas berbagai macam dzikir, qiara’at (al-Qur’an), shalat serta puasa, dan zuhud dari dunia bahkan memutuskan hubungan dengan dunia. Sementara itu mereka mengabaikan ubudiyyah (itu), yakni jihad, amar makruf nahi munkar. Sungguh tidak muncul (keinginan) dalam hati mereka untuk melaksanakan ubudiyyah tersebut. Mereka itu bagi para pewaris para Nabi adalah termasuk orang yang diennya paling dangkal. Karena (konsekwensi) dien itu adalah melaksanakan apa yang diperintahkan Allah, (dengan niat) hanya untuk Allah. Orang yang meninggalkan hak-hak Allah yang telah diwajibkan padanya adalah seburuk-buruk keadaan dalam pandangan Allah dan Rasul-Nya dibanding pelaku maksiyyah…”.
Khulashatul qaul, mengabaikan kwajiban karena kita disibukkan oleh ibadah-ibadah nafilah, seperti dzikir, baca al-Qur’an maupun puasa (sunnah) adalah perbuatan dosa. Bahkan menurut al-Hafidz Ibnul Qayyim lebih tercela dibanding pelaku maksiyyah.
Kedua, dengan tidak diterapkannya hukum Allah dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat maka kwajiban kita, kaum Muslimin terutama para Ulama’ adalah memperjuangkan untuk penerapan hukum Allah pada seluruh aspek kehidupan, atau dengan istilah lain isti’naf al-hayah al-islamiyyah dengan iqamah ad-daulah al-khilafah. Kwajiban berhukum pada hukum Allah ini adalah konskwensi akidah kita.
Tentu para Ulama’ tahu wajibnya menjelaskan pada masyarakat bahwa adanya Imam atau khalifah untuk menerapkan hukum Allah, menolong sunnahnya, membela yang didzalimi serta menempatkan hak-hak pada tempatnya adalah fardhu kifayah. Ini amanah ilmu. Rasulullah SAW menegaskan, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Ibn Majah, sanksi yang akan diberikan di hari kiamat kelak bagi yang mereka yang kitman terhadap Ilmu dengan sabda beliau[45]:
مَا مِنْ رَجُلٍ يَحْفَظُ عِلْمًا فَيَكْتُمُهُ إِلَّا أُتِيَ بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مُلْجَمًا بِلِجَامٍ مِنْ النَّارِ
“Tidaklah seorang laki-laki yang menghafal satu ilmu lalu dia menyembunyikannya kecuali dia akan didatangkan pada hari kiamat dalam keadaan (diberi) kekang dengan (kekang) dari api neraka”.
Alhasil, tidak seorang Ulama’ pun yang mempersoalkan kwajiban ini. Selama kwajiban ini belum tertunaikan maka kwajiban tersebut tetap terbebankan pada seluruh kaum Muslim yang terkena taklif. Tentunya para Ulama’ lebih wajib dibanding yang lain.
Namun masih ada sebagian dari kita yang tidak melaksanakan kwajiban tersebut karena alasan tidak mampu. Dan bukankah Allah tidak membebankan kwajiban lebih dari yang kita mampu? Benar… bahwa Allah tidak akan membebankan di pundak kita kwajiban yang diluar kemampuan kita. Begitulah penjelasan Imam al-Hafidz ibn Katsir[46] dan Imam Al-qurthubi[47] ketika menjelaskan firman Allah Ta’ala surah al-Baqarah ayat 286:
لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا
Pertanyaannya apakah nashbul khalifah litathbiqi syari’atillah merupakan kewajiban yang di luar batas kemampuan kita? Memang… kalau kewajiban tersebut hanya dilaksanakan oleh individu-individu kaum muslimin, tentu akan melampaui batas kemampuan mareka. Tapi bukankah kewajiban nasbu al-khalifah tersebut adalah fardhu kifayah? Kewajiban yang dibebankan terhadap kita kaum muslimin secara umum terutama para Ulama’? Artinya, selama kewajiban tersebut belum tertunaikan maka kewajiban nashbul khalifah tetap dibebankan diatas pundak kita, seluruh kaum muslimin. Tentu diam, dan tidak memperjuangkan hal tersebut tanpa udzur syar’i tidak bisa dikategorikan tidak mampu, apatah lagi menghambat atau menentang perjuangan tersebut.
Ketiga. Masih menurut Syeikh Ali bin Hajj, ciri Ulama’ yang berikutnya adalah selalu membela hak-hak umat. Bagaimana? Dengan dua hal. Pertama, menyadarkan umat akan hak serta kwajiban mereka. Dengan menjelaskan fakta yang sebenarnya terjadi serta mengungkapkan secara jujur dan ikhlash bagaimana asing telah men-setup seluruh segmen kehidupan sehingga mereka bisa menguasai seluruh urat nadi ekonomi, melakukan control total terhadap sistem politik dan sosial tanpa peduli terhadap nasib masyarakat. Tentu hal ini membutuhkan kemampuan berfikir politik yang prima. Kedua, melakukan muhasabah terhadap penguasa. Inilah kurang lebih kiprah para Ulama’ yang di idam-idamkan oleh umat. Wallahu a’lam.
[1] Oleh Musthafa A Murtadlo
[2] Lihat Dr Samih Athif Az-zain, As-siyasah wa As-siyasah Ad-dauliyyah, hal 31
[3] Lihat Ibnu Ahmad al-Farahidi, Kitab al-‘Ain, juz I hal 136
[4] Lihat Al-mughrib fii Tartib Al-mu’rib, Juz III hal 107
[5] Lihat Muhammad Qal’aji, Mu’jamu Lughatil Fuqaha’, juz I hal 253
[6] Lihat Amirul Mukmukmin fii Al-hadits, Imam Muslim bin Al-hajjaj An-naisaburi, Shahih Muslim, juz IX hal 378 hadits nomor 3429
[7] Imam Al-hafidz Abu Zakaria Yahya bin Syaraf bin Marwa An-nawawi, Syarah An-nanawi ‘ala Shahihil Muslim, juz VI hal 316 syarah hadits nomor 3420
[8] Idem
[9] Imam Al-Hafidz Abul Fida’ Ismail Ibn Katsir, Tafsirul Qur’anil Adzim, juz IV hal 594
[10] Untuk lebih lengkapnya silahkan lihat Muhammad M Radhi, Hizbut Tahrir Tsaqafatuhu wa Manhajuhu fi Iqamati Daulatil Khilafah, hal 194
[11]قال الامام ابو القاسم الشافعي النيسابوري: … أجمعت الأمة على أن المخاطب بقوله { فاجلدوا } هو الإمام حتى احتجوا به على وجوب نصب الإمام فإن ما لا يتم الواجب إلا به فهو واجب. ( الامام أبو القاسم الحسن بن محمد بن حبيب بن أيوب الشافعي النَّيْسابُورى, تفسير النيسابوري, الجزء 5 صحيفة 465)
[12] Antara lain lihat tulisan Agus Maftuh di Jawapos pada tanggal 27 Oktober 2007, dengan title: Teologi Kekuasaan, dia mengutip dan menegaskan pandangan Gamal al-Banna, bahwa menghadirkan sistem politik khilafah dalam mimpi saja sudah merupakan sesuatu yang mustahil, apalagi menghadirkannya dalam realitas politik. Bagi Gamal, Islam adalah agama dan bangsa, bukan agama dan negara.
[13] Lihat Asy-syeikh Taqiyyuddin An-nabhany, Ad-daulah Al-islamiyyah hal 9-12
[14] Idem hal 237-244
[15] Al-asham berkata: imamah itu tidak wajib dalam agama bahkan hal tersebut melengkapinya (saja). Bahwa umat itu ketika mereka telah menegakkan hujjah, jihad, mengatur apa yang ada diantara mereka, mencurahkan yang haq dengan diri mereka, membagi ghanimah, fa’I, zakat atas yang berhak, dan menegakkan had-had atas siapa saja yang diwajibkan atasnya, maka Allah akan membalas mereka atas hal tersebut.Tidak diwajibkan atas mereka untuk mengangkat imam untuk mengatur hal tersebut. (lihat Imam Al-qurthubi, Al-jami’ li Ahkamil Qur’an, Juz I hal 264-265)
[16] Lihat Al-hafidz Abul Fida’ Ismail Ibn Katsir, Tafsirul Qur’anil Adzim, juz II hal 91
[17] Lihat Imam Al-hafidz Abu ja’far Ath-thabari, Jami’ul Bayan fi Ta’wilil Qur’an, juz VII hal 90
[18] Lihat Imam Al-qurthubi, Al-jami’ li Ahkamil Qur’an Juz IV hal 165
[19] idem
[20] Lihat Al-allamah Asy-syeikh Muhammad Hasyim Asy’ari, At-tibyan fi An-nahyi ‘an Muqatha’atil Arham wal Aqarib wal Ikhwan hal 33
[21] Lihat Dr Samikh Athif Az Zein, As-siyasah wa Siyasah Ad-dauliyyah hal 32
[22] Lihat Ibn Khalikan, Wafiyyatul A’yan, juz II hal 511
[23] Lihat Asy-syeikh Abu Abdul Fatah Ali bin Haj, Fashlul Kalam fii Muwajahati Dzulmil Hukkam, hal 255
[24] Lihat Hujjatul Islam Abu Hamid Al-ghazali, Ihya’ Ulumuddin, Juz I hal 62-65
[25] Lihat Imam Al-hafidz Ibnul Qayyim Al-jauziyyah, Zadul Masir, juz 5 hal 179
[26] Lihat Imam Al-hafidz Abul Fida’ Ismail Ibn Katsir, Tafsirul Qur’anil Adzim, Juz VI hal 545
[27] Lihat Asy-syeikh Abu Abdul Fatah Ali bin Haj, Fashlul Kalam fii Muwajahati Dzulmil Hukkam, hal 255-258
[28] Lihat Carl J friedrich dalam bukunya Constitustional Goverment and Democracy: Theori and Practice in Europe and America hal 419
[29] Lihat Imam Muslim bin Hajaj An-naisaburi, Shahih Muslim, Juz I hal 167
[30] Lihat Imam Al-hafidz An-nawawi, Raudhah Ath-thalibin wa Umdah Al-muftin, Juz I hal 386
[31] Liham Imam Saifuddin Al-amidi, Al-ihkam fii Ushulil Ahkam, juz I hal 100
[32] Lihat Imam Asy-syirazi, Al-luma’ fii Ushulil Fiqhi, hal 82
[33] Lihat Syeikh Ali bin Hajj, Fashlul Kalam fii Muwajahati Dzulmil Hukkam, hal 255
[34] Idem hal 255-256
[35] Lihat Imam Fakhruddin Ar-razi, Mafatihul Ghaib fii At-tafsir, Juz I hal 458
[36] Lihat Imam Al-hafidz Asy-saukani, Fathul Qadir, Juz V hal 475
[37] Lihat Imam Al-hafidz Ibn Katsir, Tafsirul Qur’anil Adzim, juz VI hal 320
[38] Lihat Imam abu Dawud, Sunan Abu Dawud, Juz X hal 49
[39] Lihat Imam At-tirmidzi, Sunan at-tirmidzi, Juz IX hal 296
[40] Lihat Imam Ad-darimi, Sunan Ad-darimi, Juz I hal 383
[41] Lihat Imam Ibn Hibban Al-basthi, Shahih Ibn Hibban, Juz I hal 171
[42] Lihat Imam Ath-thabarani, Musnad Asy-syamiyyin, juz IV hal 175
[43] Lihat Imam Al-Hafizh Ath-thahawi, Musykilul Atsar, Juz II hal 465
[44] Lihat Al-Hafizh Ibnul Qayyim Al-jauziyyah, I’lam Al-muwaqqi’in Juz II hal 177
[45] Lihat Imam Ibn Majah, Sunan Ibn Majah, juz I hal 305
[46] Lihat Imam al-hafidz Ibn Katsir, Tafsirul Qur’anil adzim, juz I hal 737
[47] Lihat Imam Al-qurthubi, Al-jami’ li Ahkamil Qur’an, Juz III hal 429