Baytiy Jannatiy, Meniti Pernikahan Islami

Cover ok2

Mukadimah

الحمدلله الذي سنّ لعباده النكاح ونهاهم عن السفاح

والصّلاة والسّلام على سيّدنا محمّد سيّد العرب والعجم، القائل؛

تناكحوا تناسلوا فإني مكاثر بكم الأمم

Segala puji bagi Allâh yang menganjurkan kepada hamba-hamba-Nya agar melaksanakan pernikahan dan melarang mereka berbuat zina. Shalawat serta salam semoga tercurah kepada  pemimpin kaum Arab maupun ‘Ajam (non Arab) yang telah bersabda: “Menikahlah kalian dan perbanyaklah keturunan, karena sesungguhnya aku berbangga atas banyaknya kalian terhadap umat-umat yang lain.[1]

Sungguh, pernikahan adalah sunnah para Nabi dan Rasul, di dalamnya terkandung hikmah mulia yang disyari’atkan Islam; menciptakan sakinah (kedamaian), mawaddah (cinta) dan rahmah (kasih sayang).

وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُم مِّنْ أَنفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِّتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُم مَّوَدَّةً وَرَحْمَةً ۚ إِنَّ فِي ذَ‌ٰلِكَ لَآيَاتٍ لِّقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ

“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.” (QS. Al-Rûm [30]: 21)

Pernikahan inilah yang diberkahi Allâh SWT, menjadi sarana agung menundukkan pandangan, dan memelihara manusia dari kenistaan akibat memperturutkan syahwat melanggar syari’at Allâh SWT. Rasûlullâh SAW bersabda:

يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنْ اسْتَطَاعَ مِنْكُمْ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ

“Wahai para pemuda, barangsiapa di antara kalian yang telah mampu, menikahlah. Karena sesungguhnya, menikah itu lebih mampu menahan pandangan mata dan menjaga kemaluan. Dan barangsiapa belum mampu, hendaklah ia shaum karena shaum itu akan meredakan gejolak hasrat seksual.”[2]

Pernikahan adalah awal dari perjuangan mengarungi bahtera kehidupan. Di hadapan terbentang samudera yang luas dan dalam. Diterpa teriknya panas matahari, ombak dan badai yang menerpa. Dan semua itu takkan pernah bisa dihadapi dengan benar, kecuali bagi mereka yang konsisten terhadap akidah dan syari’ah Allâh SWT.

وَمَن يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَيَخْشَ اللَّهَ وَيَتَّقْهِ فَأُولَـٰئِكَ هُمُ الْفَائِزُونَ

“Dan barangsiapa yang ta’at kepada Allâh dan Rasul-Nya dan takut kepada Allâh dan bertakwa kepada-Nya, maka mereka adalah orang- orang yang mendapat kemenangan.” (QS. al-Nûr [24]: 52)

Rasûlullâh SAW adalah suri teladan bagi kita, termasuk bagi pria dan wanita yang mendambakan rumah tangga Rasûlullâh SAW, ‘Baitî Jannatî’ (Rumahku Surgaku), rumah tangga dambaan yang dibangun di atas pondasi akidah dan syari’at Islam. Rumah tangga seperti ini, tentu harus dimulai dengan proses yang sesuai Islam; ikhtiar menjemput pasangan sesuai syari’at (ta’aruf-khitbah-nikah), akad nikah yang sah, termasuk resepsi pernikahan yang bersih dari berbagai kemaksiatan yang mendatangkan murka Allâh SWT. Dan tidak ada teladan pernikahan yang lebih baik daripada pernikahan yang dicontohkan Rasûlullâh SAW.

لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا

Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allâh dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut nama Allah. ” (QS. al-Ahzâb [33]: 21)

Dan kita semua meyakini bahwa apa-apa yang diperintahkan Allâh & Rasul-Nya pada kita, itulah jalan lurus yang mengandung kemaslahatan hakiki.

وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ

”Tidaklah Kami mengutus engkau (Muhammad) kecuali sebagai rahmat bagi seluruh alam.” (QS al-Anbiyâ’ [21]: 107)

Berkaitan dengan ayat di atas, Syaikh al-Nawawi al-Bantani[3] menafsirkan:

وما أرسلناك يا أشرف الخلق بالشرائع، إلاّ رحمة للعالمين

“Dan tidaklah Kami mengutus engkau wahai sebaik-baiknya makhluk (Nabi Muhammad SAW) dengan membawa berbagai peraturan (syari’ah) melainkan sebagai rahmat bagi seluruh alam.” [4]

Syari’at Islam pasti mengandung maslahat, para ulama menegaskannya dengan kaidah syar’iyyah:

حَيْثُمَا يَكُوْنُ الشَّرْعُ تَكُوْنُ اْلمَصْلَحَةُ

“Jika hukum syara’ diterapkan, maka pasti akan ada kemaslahatan.”[5]

وَعَسَىٰ أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَهُوَ خَيْرٌ لَكُمْ ۖ وَعَسَىٰ أَنْ تُحِبُّوا شَيْئًا وَهُوَ شَرٌّ لَكُمْ ۗ وَاللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ

“Boleh Jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh Jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, Padahal ia amat buruk bagimu; Allâh mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (QS. al-Baqarah [2]: 216)

Ayat di atas, menunjukkan kelemahan dan keterbatasan pandangan manusia sedangkan Allâh Maha Tahu. Apa pun yang diperintahkan Allâh dan Rasul-Nya pasti mengandung kebaikan, meski tak sesuai dengan hawa nafsu kita.

Imam Taqiyuddin al-Nabhani[6] berkata: “Bagi seorang muslim yang telah beriman kepada Allâh SWT serta beriman bahwa Allâh telah mengutus Nabi Muhammad SAW dengan syari’at Islam yang menjelaskan perintah-perintah serta larangan Allâh dan mengatur hubungannya dengan Allâh atau dengan dirinya sendiri, ataupun dengan manusia yang lainnya; maka seorang muslim yang meyakini hal ini wajib menyesuaikan seluruh amal perbuatannya dengan perintah dan larangan Allâh SWT. Tujuan yang hendak diraih dari penyesuaian ini adalah meraih ridha Allâh SWT. Oleh karena itu, setiap perbuatan mungkin akan mendatangkan murka Allâh atau ridha-Nya. Apabila amal perbuatan tersebut mengundang murka Allâh, karena menyalahi perintah-perintah-Nya dan melanggar larangan-larangan-Nya, maka amal perbuatan tersebut dikategorikan buruk (syarr). Dan apabila amal perbuatan tersebut mendatangkan ridha Allâh melalui keta’atan terhadap perintah-perintah-Nya, serta menjauhi segala larangan-Nya, maka amal perbuatan itu dikategorikan baik (khayr).” Atas dasar itu, Imam Taqiyuddin al-Nabhani menegaskan:

أن الخير في نظر المسلم ما أرضى الله والشر هو ما أسخطه

“Bahwa predikat baik (al-khayr) dalam penilaian seorang muslim adalah sesuatu yang diridhai Allâh SWT, sedangkan buruk (al-syarr) adalah sesuatu yang dimurkai-Nya.”[7]

Pasalnya, di zaman ini telah tersebar resepsi pernikahan dipenuhi beragam bentuk kemaksiatan yang dianggap biasa. Al-Syaikh Ibn Yamun telah mengisyaratkan beberapa diantaranya dalam sya’irnya.

وليجنب ما شاع فى الولائم، صاح من المنكر والجرائم

“Dan hendaklah menjauhi hal-hal yang sudah tersebar di dalam resepsi pernikahan wahai kawan, dari berbagai kemungkaran dan kejahatan”

كجمعه الرجال والنساء، محرم شرعا وطبعا جاء

“Seperti perbuatan menggabungkan antara pria dan wanita (ikhtilath) yang haram menurut agama dan menurut adat kebiasaan yang telah berlaku”

وقس وكالحنا وكالولاول، من الحرائرات عوا المسائل

 “Samakanlah, dan seperti menggunakan pacar (tabarrujpen.) dan histeria para wanita yang lepas bebas, maka berhati-hatilah dari berbagai persoalan”

والخمر والسرج مع البكارة، من المناكر فعوا الإشارة

“Meminum arak dan mempelanakan wanita serta keperawanannya, dari berbagai kemungkaran, maka berhati-hatilah menjaga isyaratnya itu”[8]

Syaikh Muhammad al-Tihamiy dalam Qurratul ‘Uyûn menjelaskan: “Syaikh Ibn Yamun memberitahukan bahwa sesungguhnya wajib menjauhi hal-hal yang telah tersebar secara merata dalam resepsi pernikahan, berupa berbagai kemungkaran dan dosa-dosa dari segala sesuatu yang telah diharamkan syari’at; hal itu seperti bercampur baur pria dan wanita (ikhtilâth), dan seperti hura-hura dari para wanita yang beraliran bebas (pertunjukkan penyanyi wanita yang mengumbar syahwat), dan seperti meminum khamr, dan sesuatu yang searti dengannya dari minuman-minuman yang memabukkan. Dan lain sebagainya dari berbagai kemungkaran resepsi pernikahan yang tak terhitung dan tak terhingga. Dan kebiasaan-kebiasaan yang beragam, seiring perbedaan kota, desa dan adat istiadat.

Syaikh Muhammad al-Tihamiy menegaskan: “Maka sudah jelas bagi tuan rumah resepsi pernikahan hendaknya tidak melakukan satupun dari hal-hal tersebut. Jika tidak, maka berarti menentang kemurkaan Allâh SWT dan kemurkaan-Nya.”

Keagungan Konsep Walimah dalam Islam

Bapak/Ibu, Saudara/I yang dimuliakan Allâh SWT ….

Di antara keagungan resepsi pernikahan yang dicontohkan pada masa Rasûlullâh SAW dan para sahabat adalah bahwa kaum wanita pada masa itu berada bersama mempelai wanita, terpisah dengan tamu undangan pria yang berada bersama mempelai pria (infishâl al-tâm). Adapun dalil-dalil al-Sunnah yang menyatakan tentang resepsi pernikahan, pada dasarnya menyatakan tentang upacara diantarkannya mempelai wanita ke rumah suaminya, setelah sampai di tempat suami maka kaum pria dan wanita dipisah, hal ini telah ditetapkan pada masa Rasûlullâh SAW (khayr al-qurûn) dan beliau SAW pun membenarkannya.

Syari’at Islam yang paripurna sangat menjaga interaksi pria dan wanita sehingga tak bebas lepas dan tetap terkendali. Pada dasarnya, interaksi campur baur (ikhtilâth) antara pria dan wanita dilarang oleh Islam berdasarkan dalil-dalil syara’, kecuali dalam perkara-perkara yang dibolehkan oleh syari’ah. Sebagaimana ditegaskan Imam Taqiyuddin al-Nabhani, Dalam kehidupan Islam, yaitu kehidupan kaum Muslim dalam segala kondisi mereka secara umum, telah ditetapkan di dalam sejumlah nash syari’ah, baik yang tercantum dalam al-Qur’ân maupun al-Sunnah bahwa kehidupan kaum pria terpisah dari kaum wanita. Ketentuan ini berlaku dalam kehidupan khusus seperti di rumah-rumah dan yang sejenisnya, ataupun dalam kehidupan umum, seperti di pasar-pasar, di jalan-jalan umum, dan yang sejenisnya. Ketentuan tersebut merupakan ketetapan berdasarkan sekumpulan hukum Islam yang berkaitan dengan pria, wanita, atau kedua-duanya; juga diambil dari seruan al-Qur’ân kepada kaum wanita dalam kedudukannya sebagai wanita dan kepada kaum pria dalam kedudukannya sebagai pria. Kehidupan pada masa Rasûlullâh SAW dan para sahabat menunjukkan hal itu.”

Imam Taqiyuddin al-Nabhani menyatakan: “Pemisahan pria dan wanita ini juga telah diriwayatkan (marwiy) dalam bentuk pengamalan dan dilaksanakan dalam kehidupan masyarakat oleh masyarakat Islam pada masa Rasûlullâh SAW dan dalam seluruh kurun sejarah Islam.” Semua itu telah dibahas tuntas oleh para ‘ulama. Adapun sekumpulan dalil al-Qur’ân dan al-Sunnah yang mendasari pemisahan kehidupan pria dan wanita ini, diantaranya; Allâh SWT mewajibkan wanita mengenakan jilbab & khimar jika hendak keluar rumah (QS. al-Ahzâb [33]: 59, QS. al-Nûr [24]: 31), Allâh telah menjadikan wanita seluruhnya adalah aurat selain wajah dan dua tapak tangannya (al-Hadits). Allâh mengharamkan wanita untuk memperlihatkan perhiasannya terhadap selain mahram-nya (QS. al-Nûr [24]: 31). Allâh pun telah melarang kaum pria melihat aurat wanita, meskipun hanya sekadar rambutnya. Allâh pun melarang para wanita safar jika tak disertai mahram/suami meskipun untuk haji dan menjadikan shaf kaum wanita di masjid berada di belakang shaf kaum pria, dan hukum-hukum lainnya yang dibahas tuntas oleh Islam.

Dikecualikan dari itu, jika Islam telah memperbolehkan adanya interaksi di antara keduanya. Misalnya Islam memperbolehkan kaum wanita melakukan jual-beli serta mengambil dan menerima barang; mewajibkan mereka untuk menunaikan ibadah haji (jika mampu); memperbolehkan mereka untuk shalat berjama’ah di masjid, berjihad melawan orang-orang kafir, memiliki harta dan mengembangkannya, dan sejumlah aktivitas lain yang diperbolehkan Islam atas mereka. Namun, semua aktivitas tersebut harus dirinci terlebih dahulu. Jika pelaksanaannya menuntut interaksi (ijtima’) dengan kaum pria, maka diperbolehkan pada saat itu adanya interaksi dalam batas-batas hukum syari’ah dan dalam batas aktivitas yang diperbolehkan atas mereka. Misalnya aktivitas jual-beli, akad tenaga kerja (ijârah), belajar, kedokteran, paramedis, pertanian, industri, dan sebagainya. Sebab, dalil tentang kebolehan atau keharusan aktivitas-aktivitas di atas, berarti mencakup kebolehan interaksi di dalamnya. Namun, jika pelaksanaan berbagai aktvitas di atas tidak menuntut adanya interaksi di antara keduanya seperti berjalan bersama-sama di jalan-jalan umum; bertamasya; dan yang sejenisnya, tidak boleh seorang wanita melakukan interaksi dengan seorang pria. Sebab, dalil-dalil tentang keharusan pemisahan kaum pria dari kaum wanita bersifat umum.

Sungguh mulia syari’at Islam yang menjaga kesucian fitrah dan kehormatan manusia sehingga tak terjerembab ke dalam tipu daya syaithân. Tidak bisa jadi pembenaran, pernyataan “Ini merupakan bencana yang mewabah secara umum,” atau “dharurat”. Karena kondisi dharurat yang menyebabkan adanya rukhshah (keringanan) menurut syar’i yakni: Sebuah keadaan dimana seseorang berada dalam suatu batas apabila ia tidak melanggar sesuatu yang diharamkan maka ia bisa mengalami kematian atau nyaris mati.”[9]

إِنَّكُمْ لَتَعْمَلُونَ أَعْمَالًا هِيَ أَدَقُّ فِي أَعْيُنِكُمْ مِنْ الشَّعَرِ إِنْ كُنَّا لَنَعُدُّهَا عَلَى عَهْدِ النَّبِيِّ مِنْ الْمُوبِقَاتِ

“Sungguh kalian mengerjakan beberapa amalan yang menurut kalian lebih sepele daripada seutas rambut, padahal kami dahulu semasa Nabi SAW menganggapnya diantara dosa-dosa besar.” (HR. al-Bukhârî)

Di sisi lain, Rasûlullâh SAW memuji umatnya yang berpegang teguh mengamalkan ajaran Allâh dan Rasul-Nya (syari’at Islam), laksana orang yang memegang bara api ketika konsisten terhadap ajaran Islam di tengah kondisi yang justru sebaliknya. “Kelak akan datang suatu masa kepada manusia, dimana orang-orang yang bersabar (berpegang teguh) dengan agamanya di tengah-tengah mereka bagaikan orang yang memegang bara api.” (al-Hadits)

Bapak/Ibu, Saudara/I yang dimuliakan Allâh SWT….

Realitas resepsi pernikahan yang diwarnai kemaksiatan seakan sudah membudaya, padahal kemaksiatan tetaplah kemaksiatan yang dikecam Allâh dengan siksa-Nya. Maka sungguh, ‘tradisi’ yang melanggar syari’at Islam ini wajib diubah, dibersihkan dari berbagai pelanggaran, sehingga tidak ada di dalam resepsi pernikahan kecuali kebahagian yang jauh dari murka Allâh, dekat dengan rahmat Allâh sehingga terlimpahkan berkah dari-Nya kepada kita semua.

وَالْعَصْرِ (١) إِنَّ الْإِنْسَانَ لَفِي خُسْرٍ (٢) إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ (٣

“Demi Masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shalih dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran.(QS. al-‘Ashr [103]: 1-3)

Ayat ini menjelaskan, bahwa manusia benar-benar dalam keadaan merugi. Pertama, dijelaskan dengan qassam (sumpah) “والعصر” (demi masa). Kedua, dijelaskan dengan ta’kid “إنّ” (benar-benar). Ketiga, dijelaskan dengan ta’kid “لفي” (sungguh dalam). Manusia sungguh merugi, kecuali orang-orang yang beriman dan beramal shalih serta saling menasihati dalam kebaikan dan penuh kesabaran, secara terus-menerus.

وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَتَأْمُرُنَّ بِالْمَعْرُوفِ وَلَتَنْهَوُنَّ عَنْ الْمُنْكَرِ أَوْ لَيُوشِكَنَّ اللَّهُ أَنْ يَبْعَثَ عَلَيْكُمْ عِقَابًا مِنْهُ ثُمَّ تَدْعُونَهُ فَلَا يُسْتَجَابُ لَكُمْ

“Demi Dzat yang jiwaku berada di tangannya, hendaknya kalian beramar ma’ruf dan nahi munkar atau jika tidak niscaya Allâh akan mengirimkan siksa-Nya dari sisi-Nya kepada kalian, kemudian kalian memohon kepada-Nya namun do’a kalian tidak lagi dikabulkan.” (HR. al-Tirmidzi & Ahmad. Hadits Hasan)

Imam al-Muhasibi berkata: “Tidak halal bagi tuan rumah resepsi, berdiam diri atas sesuatu yang terjadi dalam resepsi tersebut berbagai kemungkaran dengan suatu cara, sebab hak itu menjadi haknya di rumahnya sendiri.”[10]

Lantas, apa jawaban orang-orang beriman ketika Allâh menyeru mereka?

إِنَّمَا كَانَ قَوْلَ الْمُؤْمِنِينَ إِذَا دُعُوا إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ لِيَحْكُمَ بَيْنَهُمْ أَنْ يَقُولُوا سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا ۚ وَأُولَٰئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ

“Sesungguhnya jawaban orang-orang beriman, apabila mereka diseru kepada Allâh dan rasul-Nya agar rasul menghukum (mengadili) di antara mereka ialah ucapan. “Kami mendengar, dan kami patuh.” Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (QS. al-Nûr [24]: 51)

و الله أعلم بالصواب

 إنتهى


[1] Lihat: Sunan Nasa’i (no. 3224), Sunan Abu Dawud (no. 2050), Sunan Ibn Majah (no. 1846). Lihat pula dalam kitab ‘Awârif al-Ma’ârif , Qurrah al-‘Uyûn.

[2] HR. Muslim, al-Bukhari, Ahmad, dan lainnya.

[3] Beliau adalah ‘ulama besar asal Indonesia (Banten) yang mendunia, pernah jadi Imam dan guru di Mekkah.

[4] Lihat: Tafsir Marah Labid II/47 (Tafsîr Munîr)

[5] Lihat: al-Fikr (hlm. 41-43), Muhammad Isma’il.

[6] ‘Ulama ahli ijtihad, da’i & pemikir ulung yang mendunia (w. 1977 M)

[7] Mafâhîm Hizb al-Tahrîr, Imam Taqiyuddin al-Nabhani.

[8] Lihat: Qurratul ‘Uyûn, karya Syaikh Muhammad al-Tihamiy. Kitab ini merupakan penjelasan atas kitab Nazham Syaikh Ibn Yamun, banyak dikaji khususnya di pesantren-pesantren salaf (khususnya bagi yang hendak menikah).

[9] Al-Hamawiy dalam catatan pinggir Kitab Al-Asybah wa al-Nadzâ-ir, lihat pula Syarh Kabîr Ma’a Hasyiyât al-Dasuqiy, (II/85), al-Idlthirâr Ilâ al-Ath’imah wa al-Adwiyah al-Muharramât, Kasyful Asrâr (IV/ 1517), Ahkâm al-Qur’ân (I/159).

[10] Lihat: Qurratul ‘Uyûn.

Pandangan Islam Terhadap Istilah Demokrasi (Kajian Syar’iyyah)

democracy-no-3-jpeg.image_

Penyusun: Irfan Abu Naveed Islamovic

Penulis Buku & Kajian Tsaqafah Islamiyyah

Bantahan Syar’iyyah Atas Pendukung Demokrasi: Kajian Istilah & Kaitannya dengan Tasyabbuh bil Kuffaar[1]

DEMOKRASI, sistem politik khas ini masih dianut sebagian besar negara di dunia ‘berkat’ kepemimpinan Amerika Serikat. Termasuk Indonesia yang nb tercatat sebagai negeri mayoritas umat Islam, sejalan dengan suburnya beragam bentuk kesesatan, namun tiada fitnah yang lebih dahsyat pengaruh kesesatannya daripada fitnah Demokrasi. Demokrasi sebagai sebuah sistem yang menjalankan roda kehidupan saat ini (termasuk di negeri-negeri kaum muslimin), menimbulkan pengaruh yang dahsyat terhadap kehidupan. Tumbuh suburnya kesesatan dan kemaksiatan bak cendawan di musim penghujan adalah bukti tak terbantahkan. Kondisi kaum muslimin ini, sebagaimana diungkapkan Abu Sayf Jalil ibn Ibrahim al-‘Abidiy al-‘Iraqiy[2] dalam kitabnya:

لقد غزت الأمة الإسلامية في أواخر القرن التاسع عشر وخاصة بعد سقوط الدولة العثمانية بعض المفاهيم الخاطئة والمعتقدات الباطلة الدخيلة على ديننا الحنيف والتي تضاد وتصادم العقيدة الإسلامية من كل وجه وجانب.

“Sungguh, pada akhir abad ke-19, khususnya paska runtuhnya al-Daulah al-‘Utsmaniyyah, umat islam diserbu pemahaman-pemahaman sesat, keyakinan-keyakinan batil yang menyusup ke dalam din kita yang lurus serta menyelisihi dan menyerang akidah islam dari segala arah dan sisi.”

Para ulama al-kaatibuun dalam kutub mereka, memasukkan demokrasi sebagai salah satu kesesatan tersebut. Maka sangat disayangkan jika ada pelajar muslim yang tersihir sistem kufur ini, dan berupaya menjustifikasi Demokrasi dengan beragam dalih. Salah satu buktinya adalah kemunculan buku Demokrasi di Persimpangan Makna: Respon Intelektual Muslim Indonesia Terhadap Konsep Demokrasi oleh Masykuri Abdillah.[3]

 PENYIMPANGAN MAKNA DEMOKRASI & OPINI ISLAMISASI DEMOKRASI

Ada sebagian kaum muslimin yang terjerembap mengadopsi istilah Demokrasi dengan dalih bahwa istilah ini dapat dimaknai dengan makna yang lebih Islami. Menurut pendapat syadz ini, Demokrasi dalam pengertian “vox populi vox dei (suara rakyat suara Tuhan)” memang harus ditolak. Akan tetapi, jika Demokrasi diberi muatan makna-makna yang Islami, misalnya diistilahkan teodemokrasi/demokrasi teistik, maka mengadopsi istilah ini –menurut pendapat syadz- diperbolehkan, selama maknanya disejalankan dengan Islam. Apakah bisa dibenarkan? Dan lebih jauh lagi, beberapa waktu lalu penulis mendapati seorang kandidat doktor (S3 UIN sebuah Kota Besar), sangat antipati terhadap liberalisme, sekularisme tapi bisa menerima demokrasi dengan mengajukan ISLAMISASI DEMOKRASI.

BANTAHAN & KOREKSI

KAIDAH ISLAM DALAM MEMAHAMI ISTILAH ASING

Penulis kitab Haqiiqatud Diimuqraathiyyah, Syaikh Muhammad Syakir al-Syariif mengungkapkan:

قد تعودنا – وهذه عادة صحيحة ينبغي الحرص عليها – أن الكلمات ذات الأصل غير العربي، عندما نريد معرفة مدلولها، فإنه ينبغي أن نرجع في فهم معناها وإدراك حقيقة مدلولها إلى أصل الكلمة في المَوْطِن الذي خرجت منه؛ حتى لا يخدعنا المترجمون الذين لهم أهواء وشهوات وشبهات في تحريف معاني هذه المصطلحات الأجنبية، وتقديمها للناس في ثوب خادع يستخفّون به غير المتخصصين من الناس، وقليلي المعرفة؛ لترويج هذه المصطلحات ومدلولاتها في مجتمع المسلمين.

“Sungguh kita (dalam islam) sudah terbiasa – dan hal ini merupakan kebiasaan yang benar yang harus senantiasa diperhatikan – bahwa setiap kata yang bukan berasal dari bahasa arab, ketika kita ingin memahami pengertiannya, maka kita harus memahami makna dan mengetahui hakikat pengertiannya dengan mengembalikannya pada pemahaman asal kata tersebut di tempat kemunculannya. Sehingga kita tidak dikelabui para penerjemah yang terjangkit penyakit hawa nafsu, berbagai syahwat dan syubhat menyimpangkan makna dari istilah-istilah asing ini, dan digunakan kepada manusia dengan jubah tipudaya meremehkan orang-orang awam dan sedikit ilmunya, dengan maksud mempromosikan istilah-istilah dan pengertian kata ini di tengah-tengah kaum muslimin.”

Penjelasan serupa di atas, bisa kita temukan pula dalam disertasi Dr. Muhammad Ahmad ‘Abdul Ghaniy:

ويترتب على هذا الانتماء حظر أيّ تداخل بين الألفاظ ذات المصطلحات الإسْلاميَّة من جهة وكل المصطلحات غير الإسْلاميَّة من جهةٍ أخرى، ويترتب على هذه الاستقلالية للإسلام حظر استعمال كل مصطلح له انتماء إلى عقيدة غير الإسلام. بل المفترض أن يكون منع التداخل في المفاهيم والمصطلحات عاماً لكل مذهب أو عقيدة

“Dan menggagas penggabungan ini (baca: pengaburan istilah-istilah-pen.), yakni tumpang tindih antara lafazh-lafazh yang termasuk istilah islami di satu sisi dan istilah-istilah di luar islam di sisi yang lain itu berbahaya. Dan berbahaya pula terhadap islam, gagasan atas kebebasan penggunaan istilah-istilah di luar akidah islam untuk diterapkan ke dalam istilah islam. Maka, wajib dicegah adanya tumpang tindih dalam pemahaman-pemahaman dan istilah-istilah ini, secara umum bagi seluruh aliran atau keyakinan.”[4]

Di sisi lain, istilah-istilah islam (al-alfaazh al-syar’iyyah), sebagaimana ditegaskan para ‘ulama. Diantaranya Dr. Muhammad Ahmad ‘Abdul Ghaniy:

فاللفظة حين تكون منتمية إلى الإسلام فإنها تكتسب المعنى الشَّرْعي الذي يجب الالتزام به اعتقاداً وعملاً

“Lafazh yang termasuk istilah islam, maka ia memiliki makna syar’i yang islam mewajibkan kita terikat dengannya secara akidah maupun amal.”

Tidak ada pengambilan pendapat (opini pribadi.pen.) dalam pengambilan definisi sebuah kata. Dalam hal ini, prinsip suara mayoritas pun tidak berlaku, tidak sah.[5] Karena apabila diberlakukan, bisa dibayangkan akan membuka kesempatan kepada orang-orang yang rusak akidah dan pemahamannya untuk mengaburkan makna-makna istilah dengan tujuan menimbulkan bencana kerancuan dalam pemahaman Islam, melibas batas-batas kebenaran dan kebatilan yang telah sebelumnya tiada kesamaran. Semisal istilah sesat menyesatkan “Islam Liberal”.

Definisi itu sendiri merupakan deskripsi realitas yang bersifat jâmi’ (komprehensif) dan mâni’ (protektif). Artinya, definisi itu harus menyeluruh meliputi seluruh aspek yang dideskripsikan, dan memproteksi sifat-sifat di luar substansi yang dideskripsikan. Inilah gambaran mengenai definisi yang benar. Kesalahan mendefinisikan, bisa berimbas pada kesalahan pemahaman, dan akhirnya berujung pada kesalahan dalam penyikapan.[6] Dukungan sebagian kaum muslimin terhadap demokrasi ini salah satu contohnya.

Oleh karena itu, demokrasi sebagai sebuah istilah yang lahir dari filsafat kufur Yunani, agar bisa dipahami dengan benar, wajib dikembalikan kepada pemahaman asalnya, tidak boleh dikurangi atau ditambah-tambah.

TAHQIQ AL-MANATH: MEMAHAMI FAKTA DEMOKRASI”

Di antara komponen penting dalam penggalian hukum (istinbaath al-hukm) atas suatu perkara adalah tahqiiq al-manath (memahami betul fakta objek yang dihukumi). Begitu pula ketika kita hendak menghukumi demokrasi dengan sudut pandang islam. Dan salah satu fakta objek hukum tersebut adalah pemahaman yang benar terhadap definisi demokrasi. Namun, terlebih dahulu penulis paparkan gambaran singkat sejarah demokrasi (dari berbagai sumber).

Kronologis Singkat Eksistensi Sistem Demokrasi

  • Periode Yunani Kuno, secara sederhana bibit-bibit Demokrasi sudah ada. Dalam Negara-Negara Kota (City of States)  di Yunani, Demokrasi hanya berlaku bagi warga negara saja (sebagai lawan orang asing dan budak belian)[7], yang definisinya lebih kurang ialah rule by the masses.[8]
  • Periode Republik Romawi, lahirlah perwakilan rakyat.
  • Periode abad pertengahan, timbul angan-angan tentang adanya perjanjian di Inggris antara yang diperintah (rakyat) dan yang memerintah (pemerintah). Salah satu dokumen pentingnya ialah Magna Charta (1215), memuat pengakuan dan jaminan Raja Inggris atas hak-hak bawahannya, yang secara konseptual dianggap sebagai dokumen yang mengurangi absolutisme para Raja.
  • Periode masa selanjutnya, Demokrasi modern  digerakkan oleh  Revolusi kaum Puritan di Inggris, Revolusi di Amerika dan Di Prancis. John Locke, Jean Jacques Rousseau (Bapak Demokrasi) dan Thomas Jefferson ialah ahli-ahli Demokrasi yang berpengaruh.
  • Periode abad 19, Demokrasi ialah salah satu komoditi ekspor Negara-Negara Barat ke Negara-Negara berkembang. Digencarkan seusai perang dingin (paska Cold War (usai pada 1989-1991))[9]. Di beberapa Negara, Demokratisasi merupakan bentuk pelarian dari hancurnya rezim militer di Negara-Negara tersebut, termasuk di Indonesia setelah hancurnya otoritarianisme rezim Orde Baru[10].
  • Periode kekinian, Demokratisasi dengan gencar digemakan oleh para penganut & propagandisnya hampir ke seluruh pelosok dunia. Namun, pada tataran faktual belum ada Negara Demokrasi ideal yang sesuai dengan harapan mereka atas Sistem ini. AS sebagai negara kampiun demokrasi pun berada dalam krisis multidimensi (krisis ekonomi, akhlak, -), dan negara demokrasi ini secara terang-terangan menyatakan dukungannya terhadap Israel, dan membunuhi kaum muslimin di Irak, Afghanistas atas nama “demokratisasi.”

Beberapa Poin Faktual-Aktual : Sistem Demokrasi di AS

Secara global AS telah lama melancarkan program “Demokrasi Dunia”. AS menghendaki seluruh Negara di Dunia ini menjalankan kehidupan Demokratis seperti yang mereka ajarkan. Untuk menunjang program itu, berbagai kegiatan dilakukan. Beberapa kalangan terpelajar dari berbagai Negara diberi kesempatan mengunjungi AS untuk melihat bagaimana kehidupan Demokrasi di sana. Berbagai buku tentang Demokrasi diterjemahkan ke bahasa Nasional Negara yang menjadi sasaran. Indonesia ialah salah satunya. Salah satu buku kecil yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia berjudul Apakah Demokrasi Itu ? yang merupakan terjemahan dari buku kecil yang berjudul What is Democracy? Buku kecil itu di edarkan ke berbagai kalangan oleh USIA (United States Information Agency). Dengan buku itu dan buku lain yang sejenis, AS ingin memberikan wawasan tentang Demokrasi. Dengan demikian, secara lingkungan eksternal, Indonesia memungkinkan telah terpengaruh Demokrasi. Point-point di bawah ini untuk membantu mempermudah penilaian obyektif :

  • Di AS ada sebuah semboyan Demokrasi yang terkenal : “The Golden Rule of Democracy is Those who have Golds are Ruler” (aturan emas dari Demokrasi ialah siapa yang memiliki emas (uang), dialah penguasa), semboyan yang benar-benar Kapitalistik!
  • Walter Lippman mengungkapkan bahwa para Birokrat (penguasa) mengabdi secara khusus dan rahasia kepada para Kapitalis (pemilik modal) mereka bertugas memelihara anggapan umum mayoritas masyarakat awam bahwa mereka (masyarakat awam) mengelola kekuatan Demokrasinya, padahal sesungguhnya tidak.
  • Reynold mengutip ringkasan, The Report called “Civil Democratic Islam: partners, resources and strategies”, yang dipublikasikan oleh the Rand Corporation dengan bantuan dana dari the Smith Richardson Foundation, dalam laporan ini kelompok fundamentalis dimaknai sebagai : pihak yang menolak nilai-nilai Demokrasi dan kultur budaya barat Kontemporer, menginginkan Negara otoritarian dan puritan yang ingin mewujudkan pandangan ekstrem mereka tentang Hukum Islam dan nilai-nilai moral Islam.
  • Salah satu langkah strategi AS untuk melanggengkan Imperialismenya di dunia Islam ialah dengan menyelewengkan makna kafir secara syar’i diubah menjadi pengingkaran terhadap Demokrasi.
  • AS dengan ide-ide kufurnya, salah satunya Demokrasi, selalu merasa benar sendiri dan menuduh kelompok anti Demokrasi sebagai teroris (fundamentalis).
  • Presiden AS, George W Bush sendiri dalam pidato kenegaraan, menyatakan: “Jika kita mau melindungi Negara kita dalam jangka panjang, hal yang terbaik yang dilakukan ialah menyebarkan kebebasan dan Demokrasi”*. Sebelumnya,  Bush menekankan pentingnya Demokratisasi Timur Tengah.
  • Richard P. dalam New York Observer 17 September 2001, menulis: “Sungguh, Amerika adalah Imperium Kapitalisme Demokrasi.”
  • Demokrasi tidak berlaku jika bertentangan dengan kepentingan, faktanya di Negara-Negara ’Maestro Demokrasi’ (AS dan sekutu-sekutunya), Demokrasi hanya dijadikan sebagai salah satu senjata ampuh (manuver politik) untuk menyembunyikan Imperialisme Ideologis  mereka.

Fakta Definisi Demokrasi

  • Definisi Demokrasi Secara Etimologis[11]

Al-Syaikh Muhammad Syakir al-Syariif dalam kitab Haqiiqatud Diimuqraathiyyah mengemukakan:

فماذا تخبرنا المراجع عن أصل هذه الكلمة، وعن حقيقة مدلولها؟ لقد تضافرت تعريفات القواميس والكاتبين ….. على أن “الديمقراطية” كلمة يونانية الأصل، وهي مكونة من كلمتين، أضيفت إحداهما إلى الأخرى.

“Lantas apa yang dijelaskan berbagai referensi tentang asal kata ini dan hakikat pengertiannya? Sungguh definisi yang dijelaskan dalam kamus-kamus dan penjelasan para penulis (buku tentang demokrasi) saling menguatkan….. Bahwa, demokrasi adalah kata yang berasal dari Yunani, terdiri dari dua kata, yang satu sama lain saling terkait.”

Pernyataan di atas, sesuai dengan apa yang penulis temukan dalam buku-buku penganut demokrasi dan penjelasan para ‘ulama pakar politik islam.

Intinya, demokrasi (democratie) berdasarkan banyak referensi (kamus, buku-buku penganut demokrasi, kutub para ‘ulama yang faqih) yakni,

الديمقراطية هي كلمة يونانية الأصل وهي مكونة من كلمتين، أضيفت إحداهما إلى الأخرى . أولاهما : ديموس وهي تعني الشعب. وثانيهما : كراتوس وهي تعني الحكم أو السلطة

Demokrasi adalah kata yang berasal dari bahasa Yunani (democratie), dan tersusun dari dua kata yang satu sama lain saling terkait. Pertama, demos artinya rakyat. Kedua, kratos artinya pemerintahan atau kedaulatan.

  • Definisi Demokrasi Secara Terminologis

Secara terminologi (ishtilaahi), demokrasi secara lugas ialah Sistem Pemerintahan yang secara konseptual memiliki prinsip dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Rakyat yang berdaulat, rakyatlah yang berkuasa dan berhak mengatur dirinya sendiri. Makna kata ‘Kedaulatan’ itu sendiri ialah “sesuatu yang mengendalikan dan melaksanakan aspirasi”.

Dikenal istilah vox populi vox dei (suara rakyat suara Tuhan), dalam slogan jahiliyyah diungkapkan;

أَعْطِ مَا لِقَيْصَرَ لِقَيْصَرَ وَ مَا لِلّهِ لِلّهِ

“Berikanlah hak kaisar kepada kaisar, dan hak Allah kepada Allah”[12]

Simpulannya, jelas demokrasi bukan istilah syar’i (non syar’iyyah), karena istilah ini berasal dari bahasa Yunani (filsafat Yunani) dan realitas istilah ini tak pernah disebutkan dalam teks ayat-ayat al-Qur’an maupun al-hadits. Maka, jelas definisi ini pun wajib dikembalikan kepada definisi asalnya (Yunani) sehingga paling sesuai dengan faktanya. Definisi inilah yang kita jadikan sebagai objek hukum (manath al-hukm) dari aspek hukum mengadopsi istilah ini. Di sisi lain, definisi ini sesuai dengan realitasnya (meski bukan rakyat yang hakikatnya berdaulat), yakni menjadikan manusia sebagai pembuat hukum (penguasa dan kapitalis sebagai musyarri’). Maka tak heran jika kita temukan legalisasi riba, privatisasi sektor publik dan lokalisasi perzinaan subur di negeri-negeri kaum muslimin seperti indonesia waadhihan syadiidan.

KAIDAH ISLAM DALAM MENGADOPSI ISTILAH[13]

Allah ‘Azza wa Jalla berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَقُولُوا رَاعِنَا وَقُولُوا انْظُرْنَا وَاسْمَعُوا ۗ وَلِلْكَافِرِينَ عَذَابٌ أَلِيمٌ

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu katakan (kepada Muhammad): “Raa’inaa”, tetapi Katakanlah: “Unzhurnaa”, dan “dengarlah”. dan bagi orang-orang yang kafir siksaan yang pedih.” (TQS. al-Baqarah [2]: 104)[14]

Ayat ini menjelaskan dengan sangat gamblang, bahwa Allah melarang orang-orang beriman menggunakan istilah raa’inaa dan mewajibkan mereka menggunakan istilah lain, yakni unzhurnaa. Secara bahasa, raa’inaa dan unzhurnaa bermakna sama: “Perhatikan urusan kami yaa Rasulullah.” Ketika para sahabat mengungkapkan kata raa’inaa kepada Rasulullah saw, orang Yahudi pun memakai kata ini dengan digumam seakan-akan menyebut raa’inaa. Padahal yang mereka katakan ialah ru’uunah yang berarti kebodohan yang sangat, bebal dalam kejahilan sebagai ejekan kepada Rasulullah saw. Selanjutnya Allah melarang penggunaan kata raa’inaa. Sehingga, sejak itu para sahabat tidak lagi menggunakan istilah itu di hadapan Rasulullah saw, dan memakai istilah lain yang bebas dari penyimpangan.[15]

Imam al-Alusiy –hafizhahullaah– menuturkan sebab turunnya ayat ini:

وسبب نزول الآية كما أخرج أبو نعيم في «الدلائل» عن ابن عباس رضي الله تعالى عنه أن اليهود كانوا يقولون ذلك سراً لرسول الله صلى الله عليه وسلم وهو سب قبيح بلسانهم ، فلما سمعوا أصحابه عليه الصلاة والسلام يقولون : أعلنوا بها ، فكانوا يقولون ذلك ويضحكون فيما بينهم ، فأنزل الله تعالى هذه الآية ، وروي أن سعد بن عبادة رضي الله تعالى عنه سمعها منهم ، فقال : يا أعداء الله عليكم لعنة الله ، والذي نفسي بيده لئن سمعتها من رجل منكم يقولها لرسول الله صلى الله عليه وسلم لأضربن عنقه ، قالوا : أوَلستم تقولونها؟ فنزلت الآية ونهي المؤمنون سداً للباب ، وقطعاً للألسنة وإبعاداً عن المشابهة

“Sebab turunnya ayat ini sebagaimana diriwayatkan Abu Na’im dalam kitab al-Dalaail dari Ibn ‘Abbas r.a. bahwa Kaum Yahudi berbicara pelan kepada Rasulullaah SAW, yakni pernyataan yang mengandung penghinaan buruk dengan lisan mereka, ketika para sahabat Rasulullaah SAW mendengar perkataan itu, mereka –radhiyallaahu ‘anhum- berkata: “Kalian terlaknat dengan perbuatan tersebut.” Karena orang-orang Yahudi memang berkata demikian dan menertawakannnya (menghina Rasulullah SAW), maka turunlah ayat ini. Dan diriwayatkan bahwa Sa’ad bin ‘Ubaadah r.a. mendengarkan penghinaan mereka, maka ia berkata: “Wahai musuh-musuh Allah, laknat Allah atas kalian. Demi Dzat yang diriku berada dalam genggaman-Nya jika aku mendengar salah satu dari kalian mengatakan hal itu lagi kepada Rasulullaah SAW maka sungguh akan aku penggal lehernya.” Orang-orang Yahudi ini berkata: “Bukankah kalian pun mengatakan demikian?” Maka turunlah ayat ini yang melarang orang-orang beriman menutup pintu kemungkaran, meluruskan lisan dan menghindari perbuatan menyerupai orang kafir.” (Lihat: Ruuh al-Ma’aaniy fii Tafsiir al-Qur’aan al-‘Azhiim wa al-Sab’u al-Matsaniy, Imam Syihabuddin Mahmud ibn ‘Abdullah al-Husayniy al-Alusiy)

Ayat ini, berlaku umum bagi orang-orang beriman, termasuk ketika orang-orang beriman dihadapkan dengan istilah DEMOKRASI, sesuai kaidah syar’iyyah yang raajih:

الْعِبْرَةُ بِعُمُومِ اللَّفْظِ لَا بِخُصُوصِ السَّبَبِ

“Berlakunya hukum dilihat dari umumnya lafadz, bukan khususnya sebab.”[16]

Ketika menafsirkan ayat ini, al-hafizh al-imam Ibn Katsiir berkata dalam kitab tafsirnya:

والغرض: أن الله تعالى نهى المؤمنين عن مشابهة الكافرين قولا وفعلا.

“Maksudnya: Allah SWT melarang orang-orang beriman menyerupai orang-orang kafir dalam perkataan dan perbuatan mereka.”[17]

Ibn Katsir pun menukil dalil hadits dari Imam Ahmad dan Imam Abu Dawud:

من تشبه بقوم فهو منهم

“Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk golongan kaum tersebut.”[18]

Al-Hafizh Ibn Katsir pun menegaskan:

ففيه دلالة على النهي الشديد والتهديد والوعيد، على التشبه بالكفار في أقوالهم وأفعالهم، ولباسهم وأعيادهم، وعباداتهم وغير ذلك من أمورهم التي لم تشرع لنا ولا نُقَرر عليها.

“Di dalam hadits ini, terdapat larangan, ancaman dan peringatan keras terhadap sikap menyerupai orang-orang kafir dalam perkataan, perbuatan, pakaian (khas-pen.), ritual, ibadah mereka, dan perkara-perkara lainnya yang tidak disyari’atkan dan tak sejalan dengan kita.”

Al-Imam Taqiyuddin An-Nabhani, jika suatu istilah asing mempunyai makna yang bertentangan dengan Islam, istilah itu tidak boleh digunakan. Sebaliknya jika maknanya terdapat dalam khazanah pemikiran Islam, istilah tersebut boleh digunakan. Dalam hal ini, Islam telah melarang umatnya untuk menggunakan istilah-istilah yang menimbulkan kerancuan, apalagi kerancuan yang menghasilkan pengertian-pengertian yang bertolak belakang antara pengertian yang Islami dan yang tidak Islami. Allah SWT berfirman : “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu katakan (kepada Muhammad),’Raa’ina’, tetapi katakanlah ‘Unzhurna’ dan ‘dengarlah’. Dan bagi orang-orang kafir siksaan yang pedih.” (QS Al Baqarah : 104). Tentang istilah ini, bisa dirujuk dalam kitab al-Syakhshiyyah al-Islaamiyyah jilid I yang banyak membahas kajian ushul al-fiqh.

Al-‘Aliim al-Syaikh al-Ushuul Atha’ Ibn Khalil menjelaskan dalam kitab tafsirnya:

فمثلا لو سئلنا الحكم الشرعي في الاشتراكية، فلا نبحث معنى الاشتراكية اللغوي من اشترك أو شركاء أو شركة حسب معانيها اللغوية ونسلط الحكم عليها، بل نسلط الحكم الشرعي على المعنى الاصطلاحي لكلمة  (اشتراكية) فنجد أن أهلها سموها ب هذا الاسم للدلالة على مبدأ معين ينكر أن هناك خالقا للمادة ويعتبرها أزلية ثم يطبق أحكاما منبثقة من عقيدته هذه، فيقول بتطور المادة و إلغاء الملكيات وأنواع المساواة المبنية في ذلك النظام، وبهذا المعنى نقول إن الاشتراكية نظام كفر للنصوص الواردة حول مدلولها الاصطلاحي.

“Maka sebagai contoh, apabila ditanyakan kepada kita: hukum syara’ atas sosialisme, maka kita tidak mengkaji makna sosialisme dari kata ‘sosialisasi’, ‘sekutu’ atau ‘persekutuan’ berdasarkan makna-maknanya secara bahasa dan kita menghukuminya. Akan tetapi, kita menyerahkan otoritas terhadap hukum syara’ (menghukuminya) berdasarkan makna istilah dari kata ‘sosialisme’, maka kita temukan bahwa para penganut sosialisme menamakannya dengan istilah tersebut untuk menunjukkan ideologi tertentu yang mengingkari keberadaan Sang Khalik, meyakini materi dan keabadiannya, kemudian menggali hukum tertentu berdasarkan dari akidahnya ini. Maka kita katakan bahwa evolusi materi, penghapusan kepemilikan dan semboyan-semboyan persamaan tertentu lahir dari sistem ini. Berdasarkan hal ini, kita katakan bahwa sosialisme merupakan sistem kufur berdasarkan nash-nash yang telah disebutkan tentang pengertian istilahiy.” (Lihat: Al-Taysiir fii Ushuul Al-Tafsiir: Suuratul Baqarah, Al-‘Alim al-Syaikh ‘Atha’ bin Khalil – Dar al-Ummah: Beirut)

Syaikh Ihsan Samarah dalam kitab Mafhuum al-‘Adalah al-Ijtimaa’iyyah fii al-Fikr al-Islaamiy al-Ma’ashir menjelaskan bahwa ayat di atas menunjukkan bahwa istilah-istilah yang memiliki makna tertentu, atau diserupakan (tasyabbuh) dengan makna yang bertentangan dengan Islam, atau dapat berakibat melecehkan Rasulullah saw, HARAM hukumnya diadopsi.

Syaikhul Islam memperingatkan:

إنّ كثيراً من نزاع الناس سببه ألفاظ مجملة ومعان مشتبهة، حتى تجد الرَّجُلين يتخاصمان، ويتعاديان على إطلاق ألفاظ ونفيها، ولو سُئل كل منهما عن معنى ما قَالَه لم يتصوره، فضلاً عن أن يعرف دليله

“Sesungguhnya banyak dari perselisihan yang terjadi di antara manusia disebabkan oleh istilah-istilah yang bersifat umum dan mengandung makna yang samar. Sampai-sampai akan engkau temukan dua orang yang berselisih dan bersebrangan atas kemutlakan istilah-istilah dan penafiannya. Jika ditanyakan kepada keduanya tentang makna istilah yang mereka sampaikan, mereka tak mampu menjelaskannya, terlebih tidak dalam memahami dalilnya.”[19]

MENIMBANG ISTILAH DEMOKRASI DALAM PANDANGAN ISLAM

Setelah memahami fakta definisi Demokrasi, ditimbang dengan kaidah/prinsip ajaran Islam dalam mengadopsi sebuah istilah, jelas istilah Demokrasi yang lahir dari filsafat Yunani; yang menyatakan bahwa rakyat/manusia yang berdaulat (termasuk berdaulat dalam membuat hukum (fungsi legislasi) yang diterapkan dalam sistem parlementer), bertentangan secara diametral dengan tuntutan akidah dan syari’at Islam yang menjadikan kedaulatan di tangan Allah (al-siyaadah lisy syar’i).

Diantara asas politik Islam –yang membedakannya dengan sistem Demokrasi- adalah menjadikan kedaulatan di tangan syara’, artinya menjadikan Islam (akidah dan syari’at Islam) sebagai acuan menggelar kehidupan bermasyarakat, acuan hukum/peraturan dalam segala aspek kehidupan, halal-haram sebagai standar perbuatan, bukan akal (ra’yu) manusia yang serba terbatas. Hal ini berdasarkan tuntutan Allah yang qath’iy, menegaskan dalam banyak ayat-ayat-Nya yang mulia serta melalui lisan Rasul-Nya dalam al-ahadiits al-syariifah (penulis rinci dalam pembahasan selanjutnya) dan ditunjukkan secara marwiy dalam kehidupan masyarakat Islam (al-Dawlah al-Islaamiyyah) di bawah kepemimpinan Rasulullah saw. Salah satu hujjah argumentasi syar’i kedaulatan di tangan al-Syaari’, ditegaskan Allah SWT:

إِنِ الْحُكْمُ إِلَّا لِلَّهِ ۖ يَقُصُّ الْحَقَّ ۖ وَهُوَ خَيْرُ الْفَاصِلِينَ

“…Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah. Dia menerangkan yang sebenarnya dan Dia pemberi keputusan yang paling baik.” (QS. Al-An’aam [6]: 57)

Ayat ini secara qath’iy (tegas, jelas) menunjukkan bahwa Allah yang berhak membuat hukum. Dan bagi mereka yang mengingkarinya, ingatlah peringatan-Nya:

 وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ

“…Barangsiapa yang tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang kafir.” (QS. Al-Maa’idah [5]: 44)

Muhammad Asad dalam kitab Minhaj Al-Islam fi Al-Hukm (hlm. 52) mengungkapkan: “Adalah merupakan penyesatan yang sangat luar biasa, jika ada orang yang mencoba menerapkan istilah-istilah yang tidak ada hubungannya dengan Islam (diterapkan) pada pemikiran dan peraturan/sistem Islam.”

Maka tak ada kesamaran, penggunaan istilah “demokrasi” yang disandingkan dengan istilah “islam” adalah penggabungan yang sangat aneh (syadz). Bukankah itu suatu bentuk kesalahan yang nyata? Di dalamnya terjadi pencampuradukan dua konsepsi yang sebenarnya bertentangan. Tidak bisa dikatakan bahwa demokrasi di sini hanya merupakan kata serapan yang bisa saja dipakai untuk mensifati sebuah karakter. Dan bagaimana sikap seorang mukmin?

Kita dituntut menjadi mukmin yang memiliki furqân yang dipandang Imam al-Thabari (2/70):

الفصل بين الحق و الباطل

“Pemisah antara haq dan batil”

Sebagian ulama ahli tafsir menyatakan, furqân adalah suatu petunjuk dalam qalbu kalian, sehingga bisa membedakan antara yang haq dan batil dengan petunjuk itu.[20]

PENYESATAN POLITIK DI BALIK ISTILAH

Munculnya istilah-istilah; Islam Liberal, Islam Radikal vs Islam Moderat, Muslim Fundamentalis, dan lain sebagainya, adalah bukti stigmatisasi negatif yang massif dilancarkan kaum kuffar dan antek-anteknya di Indonesia. Istilah-istilah di atas (termasuk istilah Demokrasi) tidak pernah keluar dari lisan yang mulia Rasulullah saw, ataupun dari para ‘ulama rabbani pewaris nabi, melainkan keluar dari lisan orang-orang yang memusuhi Islam dan kaum muslimin, diperpanjang oleh lidah orang-orang yang mengaku muslim namun dicuci otaknya dan berwala’ pada Amerika dan sekutunya (muharriban fi’lan), atau sebagian kaum muslimin yang serampangan menghalalkan Demokrasi dan tidak menyadarinya (jahlun murakkabun).

Sebagai contoh istilah “Muslim Radikal/Fundamentalis” yang dicitrakan semakna dengan teroris = para pejuang Islam yang memperjuangkan syari’ah dan dawlah Islam. Sebagaimana dicitrakan cukup massif oleh sebagian media massa dan Pemerintah Indonesia (SBY, Bambang Hendarso Danuri (mantan pimpinan tertinggi POLRI)). SBY dan Partai Demokrat selama ini gencar menyuarakan Demokratisasi di Indonesia. Di sisi lain, SBY yang selama ini didukung oleh partai-partai yang berbasis massa Islam pun menunjukkan wala’-nya kepada kaum kuffar (Amerika dan sekutunya). Ketika pilpres 2009 di dukung Australia karena dinilai sukses dalam kerjasama anti terorisme, pejabat Kementrian Luar Negeri Australia untuk Urusan Asia Tenggara, Peter Woolcott mengungkapkan, “…Yudhoyono telah memberikan kerjasama tingkat satu dalam anti terorisme.”[21] Dosen IAIN Sunan Ampel Surabaya, Dr. Imran Mawardi, MA, mengungkapkan bahwa istilah radikalisme sengaja digagas oleh Barat untuk menghancurkan umat Islam. Sebab, pasca keruntuhan Komunisme, satu-satunya ideologi yang menjadi ancaman paling menakutkan bagi dunia Barat adalah Islam.[22]

Sebaliknya, “Islam Moderat” yang selama ini dijunjung tinggi dan dicitrakan positif oleh Barat, orientalis diantaranya bercirikan memiliki pandangan dan sikap mendukung Demokrasi. Graham E. Fuller dalam bukunya, Freedom and Security: Necessary Conditions for Moderation, mengidentifikasi bahwa pandangan non-Muslim melihat moderat diantaranya yaitu mereka yang meyakini prinsip Demokrasi. Jadi, benarkah penyataan mereka yang pro Demokrasi bahwa, “Pendapat bahwa Islam bertentangan dengan demokrasi sehingga haram untuk diikuti tidak ada landasan dalam ajaran Islam. Dr. Ali Mustafa juga berpendapat bahwa opini ini berasal dari musuh-musuhnya Islam, termasuk kaum Zionis. Mereka sangat inginkan agar umat Islam tinggalkan demokrasi sehingga bisa dipecah-belahkan dan menjadi lemah.” Ini adalah pernyataan yang disadari atau tidak, jelas memutarbalikkan fakta. Tak samar bagi kita, bukti-bukti yang berbicara, ditimbang dengan petunjuk-petunjuk Allah dan Rasul-Nya! Maha Benar Allah yang menunjukkan sifat kebencian Yahudi dan Nasrani terhadap kita. Mereka terbukti gencar mengkampanyekan dan menyebarkan Demokratisasi, di sisi lain menunjukkan sikap permusuhan yang nyata kepada Islam dan kaum muslimin Ideologis yang notabene antidemokrasi, tidak ada keraguan.

Dengan demikian, orang-orang yang memaksakan diri agar istilah Demokrasi diakui dalam Islam, disadari atau tidak telah ikut ambil bagian dalam upaya menginfiltrasi istilah-istilah kufur ke dalam istilah-istilah Islam, atau menyelaraskan nash-nash syari’ah terhadap realitas sekular, yang akhirnya mereduksi sebagian atau keseluruhan pemahaman Islam (destruktif).

 والله أعلم بالصواب


[1] Disampaikan dalam halaqah syahriyyah.

[2] Lihat: al-Diimuqraathiyyah wa Akhawaatuhaa, Abu Sayf Jalil ibn Ibrahim al-‘Abidiy al-‘Iraqiy.

[3] Buku ini sejatinya adalah terjemahan dari karangan penulis yang berjudul Responses of Indonesian Muslim Intellectuals to The Concept of Democracy  yang merupakan disertasi  penulis dalam bidang studi Islam pada Departemen Sejarah dan Kebudayaan Timur Tengah Universitas  Hamburg Jerman pada tahun 1995, diterjemahkan oleh  Drs. Wahib Wahab, M.A., dan diterbitkan oleh PT Tiara Wacana Yogya, cetakan pertama april 1999 M.

[4] Lihat: al-‘Adalah al-Ijtimaa’iyyah: Fii Dhaw-i al-Fikr al-Islaamiy al-Mu’aashir, Dr. Muhammad ‘Abdul Ghaniy. 

[5] Imam Taqiyuddiin al-Nabhani,  Muqaddimah al-Dustuur, hlm. 116-117, thn. 1963.

[6] Lihat: Islam Politik & Spiritual, KH. Drs. Hafizh ‘Abdurrahman, MA.

[7] Lihat : Aliran dan Paham Sesat di Indonesia, Hartono Ahmad Jaiz.

[8] Lihat :”Meretas Jalan Demokrasi”, Dadang Juliantara, hlm. 6.

[9] Perang dingin (perang Ideologi), ‘dimenangkan’ oleh AS dengan Ideologi Kapitalisnya memulai era “monokultur global” di bawah Kapitalis, menyebarkan Demokrasi.

[10] Lihat : “Tentara yang Gelisah”, Tim Peneliti Yayasan Insan Politika

[11] Dari berbagai sumber.

[12] Lihat: Nizhaam al-Islaam (hlm. 71), Imam Taqiyuddin al-Nabhani.

[13] Contoh penerapan prinsip Islam dalam mengadopsi istilah ini, bisa kita rujuk dalam kitab Nizhaam al-Islaam buah tangan al-‘Allaamah al-Imam Taqiyuddiin al-Nabhani rahimahullaah atau kitab al-‘Adalah al-Ijtimaa’iyyah karya Dr. Muhammad Ahmad ‘Abdul Ghaniy yang menguraikan kajian hukum atas istilah “al-‘Adalah al-Ijtimaa’iyyah (keadilan sosial)”, ternyata diharamkan penggunaannya karena mengandung makna khas dari peradaban Sosialisme/Komunisme (al-Syuyuu’iyyah).

[14] روح المعاني في تفسير القرآن العظيم والسبع المثاني لشهاب الدين محمود ابن عبدالله الحسيني الألوسي: وسبب نزول الآية كما أخرج أبو نعيم في «الدلائل» عن ابن عباس رضي الله تعالى عنه أن اليهود كانوا يقولون ذلك سراً لرسول الله صلى الله عليه وسلم وهو سب قبيح بلسانهم ، فلما سمعوا أصحابه عليه الصلاة والسلام يقولون : أعلنوا بها ، فكانوا يقولون ذلك ويضحكون فيما بينهم ، فأنزل الله تعالى هذه الآية ، وروي أن سعد بن عبادة رضي الله تعالى عنه سمعها منهم ، فقال : يا أعداء الله عليكم لعنة الله ، والذي نفسي بيده لئن سمعتها من رجل منكم يقولها لرسول الله صلى الله عليه وسلم لأضربن عنقه ، قالوا : أوَلستم تقولونها؟ فنزلت الآية ونهي المؤمنون سداً للباب ، وقطعاً للألسنة وإبعاداً عن المشابهة

[15] Penjelasan lengkap tentang ini, bisa dirujuk dalam kitab tafsir, di antaranya kitab tafsir al-Thabariy, Ibn Katsiir.

[16] Kaidah ini merupakan kaidah yang diistinbath dari dalil-dalil syara’, sudah disepakati oleh jumhur ‘ulama.

[17] Lihat: Tafsir Ibn Katsiir.

[18] Musnad Ahmad (2/92), Sunan Abi Dawud (no. 4031)

[19] Lihat: Majmuu’ al-Fataawaa (12/114)

[20] Lihat: Risâlatul Mudzâkarah.

[21] Dalam bocoran WikiLeaks yang dimuat harian Sydney Morning Herald (15/12/2010); dalam majalah Al-Wa’ie.

[22] Hidayatullah.com; dalam al-Wa’ie no. 126, thn. XI, 1-28 Februari 2011.

Sekilas Penjelasan Imam al-Nawawi -Rahimahullaah- Tentang Do’a (Kitab al-Adzkaar al-Nawawiyyah)

(Kajian Kitab al-Adzkaar al-Nawawiyyah karya Imam al-Nawawi)

اعلم أن المذهب المختار الذي عليه الفقهاء والمحدّثون وجماهير العلماء من الطوائف كلها من السلف والخلف: أن الدعاء مستحبّ، قال اللّه تعالى: {وَقالَ رَبُّكُمُ ادْعُونِي أسْتَجِبْ لَكُمْ} [غافر:60] وقال تعالى: {ادْعُوا رَبَّكُمْ تَضَرُّعاً وَخُفْيَةً} [الأعراف: 55] والآيات في ذلك كثيرة مشهورة

Ketahuilah bahwasanya madzhab (pendapat.pen.) terpilih yang diambil oleh para ulama ahli fikih, ahli hadits dan sebagian besar ulama dari golongan salaf dan khalaf adalah: bahwa do’a itu hukumnya sunnah. Allah SWT berfirman: “Dan berfirman Tuhanmu: Berdo’alah kepadaku, niscaya Aku kabulkan do’amu” dan firman-Nya: “Berdoalah kepada Tuhanmu dengan berendah diri dan suara yang lembut” Dan ayat-ayat yang menjelaskan ttg ini sangat banyak dan masyhur.

المراد بالدعاء إظهارُ الفاقة، وإلا فاللّه سبحانه وتعالى يفعلُ ما يشاء

Yang dikehendaki dari do’a adalah menampakkan kebutuhan (kefaqiran dihadapan Allah), jika tidak maka Allah (berhak) melakukan apa yang dikehendakinya.

أنَّ الدعاءَ إظهارُ الافتقار إلى اللّه تعالى

Bahwasanya do’a itu menampakkan kebutuhan (kefaqiran) kepada Allah SWT

قال: ومن شرائط الدعاء أن يكون مطعمُه حلالاً. وكان يحيى بن معاذ الرازي رضي اللّه عنه يقول: كيف أدعوك وأنا عاصٍ؟ وكيف لا أدعوك وأنت كريم؟

Imam Abi al-Qasim al-Qusyairi berkata: “Dan salah satu syarat dari syarat-syarat (ijabah) do’a adalah (orang yang berdo’a) makanan yang ia konsumsi halal. Yahya bin Mu’adz al-Raaziy r.a. berkata: Bagaimana bisa aku berdo’a kepada-Mu dan aku seorang ahli maksiat? Dan bagaimana bisa aku tak berdo’a kepadamu sedangkan Engkau yang Maha Mulia?”

Lantas bagaimana dengan kondisi saat ini dimana kaum muslimin hidup dalam naungan sistem batil demokrasi yang mengakomodasi riba? Padahal riba haram secara muthlaq.

Penjelasan al-‘Allamah al-Imam al-Nawawi Tentang Perincian Ghibah (Part. I)

Kajian Kitab al-Adzkaar al-Nawawiyyah lil Imaam al-Nawawi –rahimahullaah-

Penerjemah: Irfan Abu Mohammed Naveed

Akhlak

Ghibah Yang Diharamkan Syari’ah

Allah ‘Azza wa Jalla berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ ۖ وَلَا تَجَسَّسُوا وَلَا يَغْتَبْ بَعْضُكُمْ بَعْضًا ۚ أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَنْ يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۚ إِنَّ اللَّهَ تَوَّابٌ رَحِيمٌ

QS. Al-Hujuraat [49]: 12

Mengghibah sesama muslim -tanpa ada alasan syar’i- dicela dengan celaan yang buruk oleh Allah ‘Azza wa Jalla yakni (أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَنْ يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ) yang wallaahu a’lam bi muraadihi –diserupakan dengan memakan daging bangkai saudaranya“, wal ‘iyaadzu billaah. Dalam hadits shahih:

أَتَدْرُونَ مَا الْغِيبَةُ قَالُوا اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ قَالَ ذِكْرُكَ أَخَاكَ بِمَا يَكْرَهُ قِيلَ أَفَرَأَيْتَ إِنْ كَانَ فِي أَخِي مَا أَقُولُ قَالَ إِنْ كَانَ فِيهِ مَا تَقُولُ فَقَدْ اغْتَبْتَهُ وَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِيهِ فَقَدْ بَهَتَّهُ

“Tahukah kalian apa itu ghibah?” Mereka menjawab: “Allah dan Rasul-Nya yang lebih tahu.” Beliau –shallallahu ‘alaihi wa ‘ala aalihi wa sallam– bersabda: “Yaitu engkau menceritakan tentang saudaramu yang membuatnya tidak suka.” Lalu ditanyakan kepada beliau: “Lalu bagaimana jika kenyataan yang ada pada diri saudara saya itu sebagaimana yang saya ungkapkan?” Maka beliau bersabda: “Jika apa yang engkau katakan itu sesuai dengan kenyataannya maka engkau telah mengghibahnya. Dan jika ternyata tidak sesuai dengan kenyataan dirinya maka engkau telah berdusta atas namanya (buhtan/ fitnah).” (HR. Muslim).

Apa yang tidak disukainya berupa keburukan, ‘aib atau kekhilafannya.

Penjelasan Al-Hafizh An-Nawawi

Al-Hafizh an-Nawawi mendefinisikan ghiibah:

الغيبة: فهي ذكرُك الإِنسانَ بما فيه مما يكره، سواء كان في بدنه أو دينه أو دنياه، أو نفسه أو خَلقه أو خُلقه، أو ماله أو ولده أو والده، أو زوجه أو خادمه أو مملوكه، أو عمامته أو ثوبه، أو مشيته وحركته وبشاشته، وخلاعته وعبوسه وطلاقته، أو غير ذلك مما يتعلق به، سواء ذكرته بلفظك أو كتابك، أو رمزتَ أو أشرتَ إليه بعينك أو يدك أو رأسك أو نحو ذلك

“Adapun ghiibah adalah ungkapan dirimu tentang orang lain pada hal yang dibencinya, sama saja apakah berkaitan dengan fisiknya, agamanya, kehidupan dunianya, dirinya, penciptaannya, akhlaknya, hartanya, anaknya, orangtuanya, istrinya, pembantunya, harta benda miliknya, penutup kepalanya, pakaiannya, caranya berjalan, gerak tubuhnya, rona wajah kebahagiaannya, sikapnya yang berlebihan, rona wajah cemberutnya, dan kecendrungannya, atau pada perkara-perkara lainnya yang berkaitan dengannya, sama saja engkau menyebutkannya dengan lisan, tulisan, simbol, atau isyarat dengan mata, tangan, kepala atau dengan cara lainnya.” (Al-Adzkaar An-Nawawiyyah,Kairo: Dar al-Hadits. Hlm. 315)

Pengecualian dari Ghibah yang Diharamkan dalam Pandangan Al-Hafizh An-Nawawi

بابُ بَيانِ ما يُبَاحُ مِن الغِيبَة

اعلم أنَّ الغيبةَ وإن كانت محرّمة فإنها تُباح في أحوال للمصلحة، والمُجوِّزُ لهَا غرض صحيح شرعي لا يمكن الوصولُ إليه إلا بها، وهو أحد ستة أسباب‏:

Penjelasan tentang Ghibah yang Diperbolehkan

Ketahuilah bahwa ghibah meski pada asalnya diharamkan, sesungguhnya boleh pada kasus-kasus untuk mewujudkan kemaslahatan, dan kebolehan ini harus dilandasi tujuan yang benar dan syar’i yang tidak mungkin dicapai kecuali dengan mengghibah. Diantaranya dalam enam sebab-sebab berikut ini:

الأوّل‏:‏ التظلم، فيجوز للمظلوم أن يتظلَّم إلى السلطان والقاضي وغيرهما ممّن له ولاية أو له قدرة على إنصافه من ظالمه فيذكرُ أن فلاناً ظلمني وفعل بي كذا وأخذ لي كذا، ونحو ذلك‏.

Sebab Pertama: terzhalimi, maka boleh bagi orang yang dizhalimi melaporkan kezhaliman (orang yang zhalim) kepada penguasa, hakim atau kepada selain keduanya yang memiliki kewenangan dan kekuasaan‏ untuk menegakkan keadilan dari orang yang menzhaliminya. Misalnya ia mengatakan bahwa si fulan telah menzhalimi aku dan telah melakukan “begini” dan merampas “ini” dariku, dan lain sebagainya.

الثاني‏:‏ الاستعانة على تغيير المنكر وردّ العاصي إلى الصواب، فيقول لمن يرجو قدرته على إزالة المنكر‏:‏ فلان يعملُ كذا فازجرْه عنه ونحو ذلك، ويكون مقصوده التوسل إلى إزالة المنكر، فإن لم يقصد ذلك كان حراماً‏.‏

Sebab Kedua: Meminta pertolongan untuk mengubah kemungkaran dan mendorong orang yang bermaksiat untuk kembali kepada kebenaran. Misalnya ia berkata kepada orang yang diharapkan mampu untuk menghilangkan kemungkaran: si fulan melakukan “begini” maka cegahlah si fulan dari perbuatan itu, dan perkataan yang semisalnya.

الثالث‏:‏ الاستفتاء، بأن يقولَ للمفتي‏:‏ ظلمني أبي أو أخي أو فلان بكذا، فهل له ذلك أم لا‏؟‏ وما طريقي في الخلاص منه وتحصيل حقّي ودفع الظلم عني‏؟‏ ونحو ذلك‏.‏

Sebab Ketiga: Meminta fatwa, dengan mengatakan kepada seorang ahli fatwa: bapakku atau saudaraku atau seseorang telah menzhalimiku dengan berbuat ‘’begini”, maka apakah ada solusi untuk mengatasinya atau tidak? Karena aku tidak memiliki solusi untuk mengatasinya dan mendapatkan kembali hakku serta menolak kezhalimannya dariku? Dan perkataan yang semisalnya.

وكذلك قوله‏:‏ زوجتي تفعلُ معي كذا، أو زوجي يفعلُ كذا ونحو ذلك، فهذا جائز للحاجة، ولكن الأحوط أن يقول‏:‏ ما تقولُ في رجل كان من أمره كذا، أو في زوج أو زوجة تفعلُ كذا، ونحو ذلك، فإنه يحصل به الغرض من غير تعيين، ومع ذلك فالتعيين جائز لحديث هند الذي سنذكره إن شاء اللّه تعالى وقولُها‏:‏ يا رسول اللّه‏!‏ إن أبا سفيانَ رجلٌ شحيح‏.‏‏.‏ الحديث‏.‏ ولم ينهها رسولُ اللّه صلى اللّه عليه وسلم‏.‏

Dan juga pernyataan: istriku melakukan “ini” kepadaku, atau suamiku melakukan “ini” kepadaku atau perkataan yang semisalnya. Maka perkataan semacam ini diperbolehkan jika memang dibutuhkan, akan tetapi sebagai bentuk kehati-hatian, maka: jangan engkau sebutkan orang tertentu dengan perbuatannya “begini”, atau suami/ istri berbuat “begini” dan yang semisalnya, jika perkataan seperti ini bisa menyampaikan pada maksud tanpa harus menyebutkan pelakunya dengan jelas. Disamping kebolehan menyebutkan orang tertentu berdasarkan hadits dari Hindun yang akan kami sebutkan riwayat lengkapnya nanti insyaa Allaah, ia mengatakan: “Wahai Rasulullaah, sesungguhnya Abu Sufyan adalah suami yang kikir… (hadits).” Namun Rasulullaah SAW tidak melarangnya mengatakan demikian (menyebut nama Abu Sufyan dengan jelas).

الرابع‏:‏ تحذير المسلمين من الشرّ ونصيحتهم، وذلك من وجوه‏:‏

Sebab Keempat: Memperingatkan kaum muslimin dari keburukan sekaligus sebagai nasihat bagi mereka, dalam hal ini ada beberapa contoh (satu contoh saja yang ana nukil dan terjemahkan):‏

ومنها إذا رأيت متفقهاً يتردَّدُ إلى مبتدعٍ أو فاسقٍ يأخذ عنه العلم خِفْتَ أن يتضرَّرَ المتفقّه بذلك، فعليك نصيحته ببيان حاله، ويُشترط أن يقصدَ النصيحةَ، وهذا مما يُغلَطُ فيه، وقد يَحملُ المُتكلمَ بذلك الحسدُ، أو يُلَبِّسُ الشيطانُ عليه ذلك، ويُخيَّلُ إليه أنه نصيحةٌ وشفقةٌ، فليتفطَّنْ لذلك‏.

Di‏antaranya: jika engkau melihat seorang pelajar menjadi pengikut ahli bid’ah atau orang fasik dan mengambil ilmu darinya, dan engkau mengkhawatirkan pelajar tersebut akan disesatkan olehnya. Maka wajib bagimu menasihatinya dengan menjelaskan kondisi sebenarnya, dan disyaratkan harus didasari niat untuk memberikan nasihat, karena ada orang yang lalai dari hal ini dan berbicara disertai kedengkian, atau syaithan menghiasi perbuatannya ini dengan kedengkian dan menimbulkan khayalan seakan-akan hal itu merupakan nasihat dan sikap simpatik, maka timbulah fitnah karenanya.

الخامس‏:‏ أن يكون مُجاهراً بفسقه أو بدعته كالمجاهر بشرب الخمر، أو مصادرة الناس وأخذ المُكس، وجباية الأموال ظلماً، وتولّي الأمور الباطلة، فيجوز ذكره بما يُجاهر به ويحرم ذكره بغيره من العيوب إلا أن يكون لجوازه سبب آخر مما ذكرناه‏.‏

Sebab Kelima: seseorang yang terkenal dengan kefasikan dan kebid’ahannya, misalnya dikenal sering meminum khamr, atau merampas hak orang-orang, memalak, dan mengumpulkan harta secara zhalim, dan melakukan berbagai hal yang batil. Maka diperbolehkan menyebutkan keburukan-keburukan yang sudah diketahui secara umum ini, dan dilarang menyebutkan ‘aib-‘aib lainnya, kecuali jika ada faktor lain yang memperbolehkan ghibah berdasarkan apa yang telah kami sebutkan.

السادس‏:‏ التعريف، فإذا كان الإِنسان معروفاً بلقب كالأعمش والأعرج والأصمّ والأعمى والأحول والأفطس وغيرهم، جاز تعريفه بذلك بنيّة التعريف، ويحرمُ إطلاقُه على جهة النقص، ولو أمكن التعريف بغيره كان أولى‏.‏

Sebab Keenam: Pengenalan (identifikasi), misalnya ada seseorang yang dikenal dengan panggilan “si wajah muram”‏, “si pincang”, “si tuli”, “si buta”, “si mata juling”, “si hidung pesek”, dan panggilan-panggilan lainnya.  Maka diperbolehkan penyebutan panggilan ini dengan maksud untuk mengidentifikasinya (misalnya ketika bertanya kepada seseorang tentang si fulan yang dikenal dengan salah satu panggilan tersebut –pen.), dan haram secara mutlak jika dimaksudkan untuk melecehkannya. Tapi jika memungkinkan mengidentifikasi tanpa menyebutkan panggilan buruk tersebut maka hal itu lebih utama untuk dilakukan.

فهذه ستة أسباب ذكرها العلماء مما تُباح بها الغيبة على ما ذكرناه‏. وممّن نصّ عليها هكذا الإِمام أبو حامد الغزالي في الإِحياء وآخرون من العلماء، ودلائلُها ظاهرة من الأحاديث الصحيحة المشهورة، وأكثرُ هذه الأسباب مجمع على جواز الغيبة بها‏.‏

Inilah enam sebab yang disebutkan para ulama mengenai kebolehan ghibah pada hal-hal yang telah kami sebutkan. Dan diantara ulama yang menjelaskan hal ini adalah Imam Abu Hamid al-Ghazaaliy dalam kitab al-Ihyaa’ dan para ulama lainnya. Dalil-dalil kebolehannya berdasarkan hadits-hadits shahih yang masyhur. Dan ghibah pada sebagian besar sebab-sebab diatas telah disepakati kebolehannya (oleh para ulama).

Berikut dalil-dalil yang dinukil dan dijelaskan Imam al-Nawawi dalam kitabnya:

1/897 روينا في صحيحي البخاري ومسلم،عن عائشة رضي اللّه عنها؛ أن رجلاً استأذنَ على النبيّ صلى اللّه عليه وسلم فقال‏:‏ ‏”‏ائْذَنُوا لَهُ بِئْسَ أخُو العَشيرَةِ‏”‏ احتجّ به البخاري على جواز غيبة أهل الفساد وأهل الرِّيَبِ‏.‏ (29)

2/898 وروينا في صحيحي البخاري ومسلم، عن ابن مسعود رضي اللّه عنه قال‏:‏قسمَ رسولُ اللّه صلى اللّه عليه وسلم قسمةً، فقال رجلٌ من الأنصار‏:‏ واللّه ما أرادَ محمدٌ بهذا وجهَ اللّه تعالى، فأتيتُ رسولَ اللّه صلى اللّه عليه وسلم فأخبرتُه، فتغيَّرَ وجهُه وقال‏:‏ ‏”‏رَحِمَ اللَّهُ مُوسَى لَقَدْ أُوذِيَ بأكْثَرَ مِنْ هَذَا فَصَبَرَ‏”‏ وفي بعض رواياته‏:‏ قال ابن مسعود‏:‏ فقلتُ لا أرفعُ إليه بعد هذا حديثاً‏.‏ (30)

قلتُ‏:‏ احتجّ به البخاري في إخبار الرجل أخاه بما يُقال فيه‏.‏

3/899 وروينا في صحيح البخاري، عن عائشةَ رضي اللّه عنها قالت‏:‏قال رسولُ اللّه صلى اللّه عليه وسلم‏:‏ ‏”‏مَا أظُنُّ فُلاناً وَفُلاناً يَعْرِفانِ مِنْ دِينِنا شَيْئاً‏”‏‏.‏(31)

قال الليث بن سعد ـ أحد الرواة ـ‏:‏ كانا رجلين من المنافقين‏.‏

4/900 وروينا في صحيحي البخاري ومسلم، عن زيد بن أرقمَ رضي اللّه عنه قال‏:‏خرجنا مع رسول اللّه صلى اللّه عليه وسلم في سفر فأصابَ الناسَ فيه شدةٌ، فقال عبدُ اللّه بن أُبيّ‏:‏ لا تُنفقوا على مَن عند رسول اللّه حتى يَنْفَضُّوا من حوله، وقال‏:‏ لئن رجعنَا إلى المدينة ليُخْرِجَنَّ الأعزُّ منها الأذلَّ، فأتيتُ النبيَّ صلى اللّه عليه وسلم فأخبرتُه بذلك، فأرسلَ إلى عبد اللّه بن أُبيّ‏.‏ وذكر الحديث، وأنزل اللّه تعالى تصديقه‏:‏ ‏{‏إذَا جَاءَكَ المُنافِقونَ‏}‏ ‏[‏المنافقون‏:‏1‏]‏‏.‏ ‏(32)

وفي الصحيح حديث هند ‏(33) امرأة أبي سفيان وقولها للنبي صلى اللّه عليه وسلم‏:‏ ‏”‏إن أبا سفيان رجل شحيح‏”‏ إلى آخره‏.‏

وحديث فاطمة بنت قيس (34) وقول النبيّ صلى اللّه عليه وسلم لها‏:‏ ‏”‏أما معاوِيَةُ فَصُعْلُوكٌ، وأمَّا أبُو جَهْمٍ فَلا يَضَع العَصَا عَنْ عاتِقِهِ‏”‏‏.‏