Tanya-Jawab: Hukum Menikahi & Menikahkan Wanita yang Hamil di Luar Nikah

zina

Pertanyaan:

Bagaimana hukum menikahi dan menikahkan wanita yang hamil di luar nikah?

Jawab:

Menikah dengan wanita hamil ada dua kemungkinan. Pertama: wanita tersebut adalah pasangan zina pria yang hendak menikahi dirinya. Kedua: wanita tersebut bukan pasangannya, atau hamil karena berhubungan badan dengan orang lain.

Bagi wanita yang hamil karena zina, baik zina dengan pasangan yang hendak menikahinya, atau zina dengan orang lain, maka hukum menikahinya ada tiga pendapat. Pertama: haram dinikahi. Ini merupakan pendapat mazhab Maliki, Abu Yusuf dan Zafar dari mazhab Hanafi [1] termasuk Ibn Taimiyah dan muridnya, Ibn al-Qayyim al-Jauziyyah. Kedua: boleh dinikahi tanpa syarat. Ini merupakan pendapat Abu Hanifah dan Muhammad dari mazhab Hanafi, dan mazhab Syafii. [2] Ketiga: boleh dinikahi dengan syarat: (1) kehamilannya telah berakhir atau habis masa ‘iddah-nya; (2) bertobat dengan tobatan nashuha. Ini merupakan pendapat mazhab Hanbali. [3]

1. Dalil Kelompok Pertama.

Pertama: firman Allah SWT:

الزَّانِي لا يَنْكِحُ إلا زَانِيَةً أَوْ مُشْرِكَةً وَالزَّانِيَةُ لا يَنْكِحُهَا إِلا زَانٍ أَوْ مُشْرِكٌ وَحُرِّمَ ذَلِكَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ

“Laki-laki pezina tidak mengawini melainkan perempuan pezina, atau perempuan musyrik; dan perempuan pezina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki pezina atau laki-laki musyrik. Yang demikian diharamkan atas orang-orang Mukmin.” (QS an-Nur [24]: 3)

Syaikh al-Islam, Ibn Taimiyah berkata: “Mengenai keharaman (menikahi) wanita perempuan yang berzina telah dibahas oleh para fuqaha’, baik dari kalangan pengikut Imam Ahmad maupun yang lain. Dalam hal ini, terdapat riwayat dari para generasi terdahulu. Sekalipun para fuqaha’ memperselisihkannya, bagi yang membolehkannya, tidak ada satu pun yang bisa dijadikan pijakan.”

Ibn al-Qayyim al-Jauziyah berkata: “Hukum menikahi wanita pezina telah dinyatakan keharamannya oleh Allah dengan tegas dalam surat an-Nur. Allah memberitahukan, bahwa siapa saja yang menikahinya, bisa jadi sama-sama pezina atau musyrik. Adakalanya orang terikat dengan hukum-Nya serta mengimani kewajiban-Nya kepada dirinya atau tidak. Jika tidak terikat dan tidak mengimaninya, maka dia musyrik. Jika terikat dan mengimani kewajiban-Nya, tetapi menyalahinya, maka dia disebut pezina. Kemudian Allah dengan tegas menyatakan keharamannya: Yang demikian diharamkan atas orang-orang Mukmin (QS an-Nur [24]: 3).”

Kedua: Hadis Nabi saw. yang menyatakan:

لاَ تُوْطَأُ حَامِلٌ حَتَّى تَضَعَ

“Wanita hamil tidak boleh disetubuhi hingga dia melahirkan (bayinya).” (HR Abu Dawud dan al-Hakim. Hadis ini disahihkan oleh al-Hakim)

Ketiga: riwayat Said bin al-Musayyib yang menyatakan bahwa: pernah ada seorang pria menikahi wanita. Ketika dia menjumpai wanita itu telah hamil maka dia mengadukannya kepada Nabi saw. Baginda pun menceraikan keduanya.” [4]

Keempat: sabda Nabi saw. yang menyatakan:

لاَ يَحِلُّ لاِمْرِئٍ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ أَنْ يُسْقِيَ مَاءَهُ زَرْعَ غَيْرِهِ

“Tidaklah halal bagi seseorang yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir untuk menumpahkan air maninya ke dalam ladang bercocoktanam orang lain.” (HR Abu Dawud)

Selain itu, kelompok ini berpendapat bahwa pernikahan itu merupakan perkara suci. Di antara kesuciannya adalah agar kesucian tersebut tidak dituangkan ke dalam ma’ saffah (air zina) sehingga bercampur yang halal dengan haram. Dengan begitu, air kehinaan bercampur aduk dengan air kemuliaan. [5]

Mazhab Maliki juga beragumen dengan pendapat Ibn Mas’ud ra. yang menyatakan: “Jika seorang pria berzina dengan seorang wanita, kemudian setelah itu dia menikahinya, maka keduanya telah berzina selama-lamanya.” [6]


2. Dalil Kelompok Kedua.

Pertama: Firman Allah SWT:

وَأُحِلَّ لَكُمْ مَا وَرَاءَ ذَلِكُمْ أَنْ تَبْتَغُوا بِأَمْوَالِكُمْ مُحْصِنِينَ

“Telah dihalalkan bagi kalian yang demikian, (yaitu) mencari istri-istri dengan harta kalian untuk dikawini, bukan untuk berzina.” (QS an-Nisa’ [4]: 24)

Kedua: Hadis penuturan Aisyah ra. yang menyatakan:

لاَ يُحَرِّمُ الْحَرَامُ الْحَلاَلَ

“Perkara yang haram tidak bisa mengharamkan yang halal.”

Ketiga: Ijmak Sahabat. Telah diriwayatkan dari Abu Bakar, Umar bin al-Khaththab, Ibn Umar, Ibn ‘Abbas dan Jabir ra., bahwa Abu Bakar berkata,“Jika seorang pria berzina dengan wanita, maka tidak haram bagi dirinya untuk menikahinya.”

Demikian juga telah diriwayatkan dari ‘Umar: “Seorang pria telah menikahi wanita. Wanita itu mempunyai anak laki-laki dan perempuan yang berbeda ayah. Anak laki-lakinya melakukan maksiat dengan anak perempuannya, kemudian tampak hamil. Ketika ‘Umar datang ke Makkah, kasus itu disampaikan kepadanya. ‘Umar pun menanyai keduanya, dan keduanya mengakui. ‘Umar mencambuk keduanya dengan sanksi cambuk, lalu menawarkan keduanya untuk hidup bersama, namun anak laki-laki tersebut menolaknya.” [7]


3. Dalil Kelompok Ketiga.

Pertama: firman Allah SWT:

الزَّانِي لا يَنْكِحُ إلا زَانِيَةً أَوْ مُشْرِكَةً وَالزَّانِيَةُ لا يَنْكِحُهَا إِلا زَانٍ أَوْ مُشْرِكٌ وَحُرِّمَ ذَلِكَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ

“Laki-laki pezina tidak mengawini melainkan perempuan pezina, atau perempuan yang musyrik; dan perempuan pezina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki pezina atau laki-laki musyrik. Yang demikian diharamkan atas orang-orang Mukmin.” (QS an-Nur [24]: 3)

Alasannya, keharaman menikahi wanita pezina di dalam ayat tersebut berlaku bagi yang belum bertobat, namun setelah bertobat larangan tersebut hilang. Sebabnya, ada Hadis Nabi saw. yang menyatakan:

التَّائِبُ مِنَ الذَّنْبِ كَمَنْ لاَ ذَنْبَ لَه

“Orang yang bertobat dari dosa statusnya sama dengan orang yang tidak mempunyai dosa.” (Dikeluarkan oleh Ibn Qudamah dalam kitabnya, Al-Mughni) [8]

Kedua: Hadis penuturan Abi Said al-Khudri yang statusnya marfu’. Dalam hadis tersebut dinyatakan:

لاَ تُوْطَأُ حَامِلٌ حَتَّى تَضَعَ

“Wanita hamil tidak boleh disetubuhi hingga dia melahirkan (bayinya).” (HR Abu Dawud dan al-Hakim. Hadis ini disahihkan oleh al-Hakim)

Dari ketiga pendapat di atas, menurut hemat kami, pendapat yang paling kuat adalah pendapat yang dikemukakan oleh mazhab Hanbali, yang menyatakan, bahwa hukum menikahi wanita hamil dibolehkan dengan syarat:

1. Kehamilannya telah berakhir, atau masa ‘iddah-nya habis.

2. Bertobat dengan tobat nashuha.

Adapun yang menikahinya, boleh saja pasangan zinanya, atau bukan. Tentu setelah wanita tersebut bertobat, karena tobatnya telah menghapuskan kesalahan yang telah dilakukannya. Dengan catatan, jika tobatnya dilakukan dengan tobat nashuha.

Sebab, pernikahan adalah ikatan suci yang membawa konsekuensi:Pertama, nasab. Orang yang menikahi wanita, kemudian dari wanita itu lahir anak, maka pernikahan yang sah tersebut menjamin keabsahan nasabnya. Kedua, perwalian. Anak mempunyai hak perwalian, baik terhadap harta maupun dirinya. Ketiga, waris. Dengan adanya nasab, status hukum waris menjadi jelas. Karena itu, syarat istibra’ (bersihnya rahim wanita) setelah masa ‘iddah, merupakan kunci. Jika tidak, maka status janin yang ada di dalamnya tidak akan diketahui. WalLahu a’lam. []

Sumber:

Majalah Al Waie edisi Februari 2012

Editor: Irfan Abu Naveed

_____________________
Catatan kaki:

[1] Ibn al-Humam, Syarh Fath al-Qadir, III/241 dan 242; Ibn ‘Abidin, Hasyiyah Radd al-Mukhtar ‘ala ad-Durr al-Mukhtar, II/52 dan 53; Ibn al-Maudud, Al-Ikhtiyar, III/87.

[2] Ibid.

[3] Ad-Dardir, Asy-Syarh ash-Shaghir, II/410; al-Bahuti, Kassafu al-Qana’, V/83; Ibn Qudamah, Al-Mughni ‘ala Syarh Mukhtashar al-Khiraqi, VI/604; Ibn Taimiyyah, Majmu’ al-Fatawa, XXXII/110.

[4] Ibn Qudamah, Al-Mughni ‘ala Mukhtashar al-Khiraqi, al-Marja’ al-Akbar, t.t., IX/514.

[5] Al-Qurthubi, Al-Jami’ li Ahkami al-Qur’an, XII/170; ad-Dardir, Asy-Syarh ash-Shaghir, II/410 dan 717.

[6] Yahya ‘Abdurrahman al-Khathib, Ahkam al-Mar’ah al-Hamilah fi as-Syari’ah al-Islamiyyah, Dar al-Bayariq, Beirut, cet. I, 1999, hlm. 80.

[7] Al-Mawardi, Al-Hawi, IX/189.

[8] Ibn Qudamah, Al-Mughni ‘ala Mukhtashar al-Khiraqi, al-Marja’ al-Akbar, t.t., IX/514.

6 comments on “Tanya-Jawab: Hukum Menikahi & Menikahkan Wanita yang Hamil di Luar Nikah

  1. kirno berkata:

    Assalamualaikum pak ustad.saya mau bertanya waktu saya bertengkar sama istri lewat telepon.saya bilang begini.kalau kamu tidak suka sama orang tuaku mending kita pisah.dan pada itu saya dalam keadaan marah dan tiada niat untuk bercerai. istri saya juga dalam keadaan haid waktu saya bilang.apakah kata kata saya sudah jatuh talak apa belum.mohon penjelasanya dari pak ustad.trima kasih waalaikum salam.

    Suka

  2. kalau pendapat tersebut yang diambil, status anak yang telah dilahirkan dari hasil perzinaan gimana ustadz. Tentang nasabnya, perwalian dan warisnya. syukron

    Suka

  3. Gundulmu1234 berkata:

    asalamualaikum pa nyai yg terhormat mau konsultasi mengenai hukum menikah anak perempuan>sedang kan anak perempuan itu hasil zina sebelum nikah sudah hamil duluan apakah seorang bp bs menjadi wali nya karena aq orang awam tdk tua ap2 mhon penjelasan nya,wasalamualaikum wr wb

    Suka

  4. randi berkata:

    mohon bantuanya saya 9bulan rumah tangga istri saya tiba2 minta talak dengan alasan tidak cinta lagi dan sekarang sudah hampir satu bulan.setiap saya mw memberi nafkah istri saya mnolakny.dan yang jadi pertanyaan saya bisa taklik talak di berlakukan hingga jatuh nya talak tanpa perstujuan saya karna alasan istri saya tidak memberi nafkah 3bulan nantinya.padahal yang sebenar nya bukan sya tidak mw mnafkahi tapi istri saya yang tidak menrima?

    Suka

Tinggalkan komentar