Mitos Demokrasi: Kedaulatan Rakyat (Part. I)

Sistem Demokrasi pada tataran faktual (fakta), menunjukkan banyak kejanggalan yang harus dievaluasi & dikoreksi. Hal ini diakui oleh para penganut Demokrasi sendiri dan ditegaskan oleh para ulama dan pakar politik Islam.

Syaikh Dr. Ja’far Syaikh Idris menuturkan:

لم تجد الديمقراطية في تاريخها كله رواجاً مثلما وجدت في عصرنا هذا : لقد كان معظم المفكرين الغربيين منذ عهد اليونان كثيري النقد لها ، بل ورفضها

“Demokrasi tidak pernah meraih popularitas sepanjang sejarahnya, seperti apa yang kita temukan di zaman ini: Padahal sungguh, sebagian besar pemikir Barat sendiri semenjak masa Yunani, telah mengkritik Demokrasi bahkan menolaknya.”[1]

Dunn (1979) dalam mengawali kritiknya terhadap praktek Demokrasi, dalam sebuah artikel yang ditulisnya mengenai teori politik, mengungkapkan bahwa apa yang dimaksud Demokrasi pada prakteknya tidak berkaitan lagi dengan uraian tentang suatu tipe tatanan politik tertentu, Demokrasi tak lebih dari sekedar nama dari intensitas penguasa agar rakyat percaya bahwa mereka memiliki ‘niat baik’.[2]

Menurut pendapat seorang tokoh yang pro Demokrasi, dalam bukunya ia menyatakan : “Pemilu yang dijalankan di Indonesia tidak mencerminkan aspirasi massa, tapi sebatas mobilisasi massa untuk memilih golongan tertentu guna melestarikan kekuasaan yang telah ada.”

Menurut Dadang Juliantara, salah satu masalah mendasar dalam Demokrasi adalah berlangsungnya paradoks kedaulatan rakyat , yaitu proses politik dimana prinsip kedaulatan rakyat mengalami pembalikan dalam prakteknya. Jika dalam konsepsi kedaulatan rakyat, rakyat menjadi sumber kekuasaan dan legitimasi, maka dalam prakteknya justru terjadi sebaliknya.

Benarkah rakyat berdaulat? Atau hakikatnya rakyat diperalat ?

Faktanya pada tataran praktis prinsip ini memang tidak pernah terwujudkan, meski di AS sekalipun, justru yang benar-benar berkuasa ialah segolongan Kapitalis (pemilik modal) saja, analisa saja setiap kebijakan-kebijakan Negara-Negara Demokrasi terutama kebijakan Ekonominya, sampel paling mudah ialah Negara AS. Tapi bagi umat Islam prinsip ini memaksanya berada ketundukan terhadap hukum Jahiliyah (thaghut) buatan manusia, dan memaksanya meninggalkan penerapan Syari’at Islam secara menyeluruh.

Syaikh Hafizh Shalih dalam kitab al-Diimuqraathiyyah wa al-Hurriyyah menuturkan:

وأما من حيث الأصل الذي جعلته – الديمقراطية –  أساساً لها، وهو قولها حكم الشعب بالشعب فهذه كذبة كبرى تحكم هي على ذاتها بالكذب. فهذا قول بعيد عن الصحة تماماً، سواء من حيث الحاكم، أو من حيث قواعد الحكم ونظمه وقوانينه، فهذه أمور تتناقض مع الواقع وتخالفه تماماً حتى لو بنيت على الحل الوسط، أو النـزول على حكم الأكثرية.

“Adapun berdasarkan asal-usulnya yang menjadi asas –Demokrasi- adalah pernyataan mereka (penganut Demokrasi-pen.) bahwa ia merupakan pemerintahan rakyat oleh rakyat. Pernyataan ini merupakan kebohongan besar, Pemerintahan Demokratis sejatinya merupakan kedustaan. Pernyataan ini benar-benar jauh dari kebenaran, sama saja baik dari sisi penguasanya maupun perangkat-perangkat aturan hukum, sistem dan perundang-undangannya. Hal-hal tersebut benar-benar bertentangan dan tidak sesuai dengan realitas yang ada, hingga meskipun dibangun dari prinsip jalan tengah, atau keputusan suara terbanyak.”

أما من حيث حكم الشعب، فإن الشعب لا يحكم ، والذي يسن الدستور ويضع التشريعات والقوانين هم فئة قليلة لا تمثل إلا نسبة ضئيلة جداً من الناس، وأما من حيث الحاكم أي بالشعب، أي أن الشعب هو الذي يختار حكامه، فإن هذا القول مبني على مغالطة فظيعة. فالذي يحكم واحد أو هيئة تنفيذية لا تزيد في كل أحوالها عن مجموعة صغيرة تقوم بتنفيذ ما شرع لها من أحكام.

“Adapun dari sisi pemerintahan dari rakyat, sesungguhnya bukan rakyat yang membuat hukum. Pihak yang merumuskan Undang-Undang Dasar, membuat berbagai peraturan dan perundang-undangan sejatinya adalah segolongan kecil yang tidak mempresentasikan rakyat kecuali sangat sedikit saja. Adapun dari sisi penguasa dari rakyat bahwa rakyat yang memilih para penguasanya, sesungguhnya pernyataan ini dibangun dari pemikiran yang menyesatkan. Pihak yang berkuasa hanyalah satu pihak atau suatu Komite Pelaksanaan yang tidak lebih dari sekelompok kecil yang berwenang membuat hukum.”

Syaikh Hatim bin Hasan al-Dib dalam kitab Maadzaa Ta’rifu Haadzihi al-Mushthalahaat menjelaskan:

المُشَرِّعُون الحقيقيون في النظام الديمقراطي الحر هم أصحاب النفوذ ورؤوس الأموال، بحكم ما لهم من نفوذ واسع يمكنهم من دخول مجالس التشريع أو إيصال من يريدونه أن يصل، ومن ثم تأتي التشريعات والقوانين لصالحهم ولحماية مصالحهم من دون بقية فئات الشعب، وفي مقابلة أُجريت مع المحامي الأمريكي رمزي كلارك يقول: لا شك في أن المال يتكلم في المحاكم الأمريكية…

“Pembuat hukum yang hakiki dalam Sistem Pemerintahan Demokratis yang bebas adalah pemilik kekuatan (militer) dan pemilik modal (kapitalis), dengan kekuasaan di sisi mereka dengan otoritas yang besar memungkinkan mereka mengintervensi majelis-majelis yuridis (pembuatan hukum) atau menyampaikan keinginan mereka agar dipenuhi.”

Syaikh Muhammad Syakir Al-Syarif menegaskan:

 وإذا كان حكم الشعب للشعب هو أعظم خصيصة من خصائص الديمقراطية التي يلهج بذكرها الذاكرون الديمقراطيون، فإن التاريخ القديم والحديث يدلنا على أن هذه الخصيصة المذكورة لم تتحقق على مدار تاريخ الديمقراطية، وأن نظام الحكم الديمقراطي كان دوماً نظاماً طبقياً، حيث تفرض فيه طبقة من طبقات المجتمع إرادتها ومشيئتها على باقي طبقات المجتمع. ففي القديم –عند الإغريق- كانت الطبقة المكونة من الأمراء والنبلاء وأشراف القوم هي الطبقة الحاكمة المشرِّعة صاحبة الإرادة العليا، بينما كانت بقية المواطنين –وهم الأغلبية- لا تملك من الأمر شيئاً.  وأما في العصر الحديث : فإن طبقة كبار الأغنياء أصحاب رؤوس الأموال “الرأسماليين” هي الطبقة الحاكمة المشرعة صاحبة الإرادة العليا، فهي التي تملك الأحزاب ووسائل الإعلام ذات الأثر الجلي في تشكيل الرأي العام وصناعته، بما يكفل في النهاية أن تكون إرادة “الرأسماليين” هي الإرادة العليا صاحبة التشريع. ومن هنا يتضح أن الديمقراطية كانت دوماً حكم الأقلية –فئة كانت أو طبقة – للأغلبية، وليس حكومة الشعب أو الأغلبية كما يدل عليه ظاهر تعريف الديمقراطية، أو كما يتوهم كثير من الناس بل أكثرهم.

“Jika prinsip kedaulatan rakyat sebagai karakter paling utama dalam Demokrasi yang dinyatakan para penganut Demokrasi. Maka sesungguhnya, dalam catatan sejarah masa lampau dan hingga saat ini menunjukkan bahwa prinsip ini tidak pernah teralisasi sepanjang sejarah Demokrasi, dan pernyataan bahwa sistem pemerintahan Demokratis konon pernah terealisasi, hal itu terjadi ketika satu golongan dari masyarakat, menjadikan kehendak dan keinginannya sesuai dengan kehendak golongan-golongan lainnya di masyarakat. Dahulu –pada masa Yunani- golongan yang terdiri dari para penguasa, orang-orang yang dimuliakan dan para bangsawan adalah golongan yang berwenang membuat hukum, pemilik kedaulatan tertinggi, di sisi lain golongan sisanya –mayoritas rakyat- tidak memiliki hak apapun. Adapun di zaman ini, golongan yang terdiri dari para konglomerat “kapitalis” lah yang menjadi pemutus hukum, pemilik kedaulatan tertinggi; golongan ini pula yang menguasai partai-partai, dan media massa yang berpengaruh dalam membentuk opini umum dan menciptakannya. Maka pada akhirnya, kedaulatan para kapitalis dijadikan kedaulatan tertinggi, pembuat hukum. Berdasarkan penjelasan ini, jelas bahwa Demokrasi selalu menjadikan kekuasaan segolongan kecil –satu kelompok atau golongan- atas mayoritas, maka faktanya bukan kedaulatan rakyat atau suara mayoritas seperti yang selalu dijelaskan definisi Demokrasi dan tidak pula seperti yang diduga banyak orang bahkan sebagian besar dari mereka.”[3]

Syaikh Prof. Dr. Ahmad Mufti menegaskan:

فالديمقراطية وإن كانت قد انطلقت من نقطة أن الحكم للشعب لكنها انتهت واقعا وفعلا لحكم الأقلية، الأقلية الغنية المثقفة المنظمة التي استطاعت أن تحول القضية لصالحها فيما يطلق عليه حكم النخبة “ففي الأنظمة الغربية لا يحكم الشعب كما تفترض النظرية، ولكن الذي يحكم هي تلك الأقلية التي تسمى النخبة

”Maka Demokrasi meskipun bertolak dari teori bahwa kedaulatan milik rakyat, namun hal tersebut tak pernah terwujud karena pada tataran fakta dan realitas kedaulatan ada di tangan golongan minoritas, yakni golongan kaum kapitalis intelektual terorganisir yang berwenang mengatur hukum sesuai kepentingannya atas nama pemerintahan parlementer (perwakilan). Maka dalam sistem peraturan Barat, bukan rakyat yang berdaulat sebagaimana yang diklaim teorinya, melainkan golongan minoritas yang dinamakan parlemen (perwakilan).”[4]


[1] Lihat: Al-Diimuqraathiyyah Ismun Laa Haqiiqata Lahu, Syaikh Dr. Ja’far Syaikh Idris – Majalah Al-Bayaan, no. 196

[2] Lihat: Western political Theory in the Face of the Future, J. Dunn – Cambridge University Press – Thn. 1979; dinukil dari pengantar buku Meretas Jalan Demokrasi, oleh Dr. Mansour Fakih.

[3] Lihat: Haqiiqatud Diimuqraathiyyah, Syaikh Muhammad bin Syakir al-Syarif.

[4] Lihat: Naqdh Al-Judzuur Al-Fikriyyah Li Al-Diimuqrâthiyyah Al-Gharbiyyah, Syaikh Prof. Dr. Muhammad Ahmad ‘Ali Mufti – Majallatul Bayaan – Cet. I: 1423 H/ 2002.

2 comments on “Mitos Demokrasi: Kedaulatan Rakyat (Part. I)

  1. O Aza Yaa berkata:

    wow , good ..

    Suka

Tinggalkan komentar