Politik Islam Berbeda dengan Demokrasi (Part. I)

1515030_652268264835373_418300972_n

Irfan Abu Naveed

(Penulis, Staff Kulliyyatusy-Syarii’ah ar-Raayah)

الحمدلله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله وأصحابه، أما بعد

Islam telah menggariskan paradigma politik yang agung yang berbeda dengan paradigma politik Demokrasi, dimana para ulama mendefinisikan al-siyaasah al-syar’iyyah:

رعاية شؤون الأمة بالداخل والخارج وفق الشريعة الاسلامية

“Pemeliharaan terhadap urusan umat dalam dan luar negeri berdasarkan syari’at islam.” [1]

Berdasarkan hadits Rasulullah SAW:

كَانَتْ بَنُو إِسْرَائِيلَ تَسُوسُهُمْ الْأَنْبِيَاءُ كُلَّمَا هَلَكَ نَبِيٌّ خَلَفَهُ نَبِيٌّ وَإِنَّهُ لَا نَبِيَّ بَعْدِي وَسَيَكُونُ خُلَفَاءُ فَيَكْثُرُونَ

“Adalah bani Israil, urusan mereka diatur oleh para nabi. Setiap seorang nabi wafat, digantikan oleh nabi yang lain, sesungguhnya tidak ada nabi setelahku, dan akan ada para Khalîfah yang banyak.” (HR. Bukhari & Muslim)

Islam telah menegaskan kedudukan imam (khalîfah) sebagai râ’in (penggembala) yang bertanggungjawab atas ra’iyyah (gembala)-nya. Termasuk menjaga masyarakat dari berbagai kemungkaran. Rasulullah SAW bersabda:

أَلَا كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ فَالْإِمَامُ الَّذِي عَلَى النَّاسِ رَاعٍ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ

“Ketahuilah setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap kalian akan dimintai pertanggungjawabannya atas yang di pimpin, penguasa yang memimpin rakyat banyak dia akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya.” (HR. Al-Bukhârî, Muslim & Lainnya)

Dari paradigma ini, kita bisa memahami bahwa politik islam dalam institusi syar’i al-Khilafah al-Islaamiyyah akan menjaga kaum muslimin dari berbagai kemungkaran. Lantas, bagaimana penguasa dan apa yang dilakukannya dalam sistem Demokrasi kini? Realitasnya banyak kemungkaran yang dibiarkan bahkan disuburkan dalam sistem jahiliyyah Demokrasi. Tumbuh suburnya aliran sesat, riba dan perzinaan di antara bukti yang tak terbantahkan!

Tak samar bahwa Khilâfah sebagai metode syar’i untuk menerapkan syari’at islam secara kâffah, merupakan perisai (junnah) yang menjaga kaum muslimin dari berbagai kemungkaran. Sebagaimana sikap Khalîfah Abu Bakar al-Shiddiq r.a. ketika ia memerangi orang-orang yang menghalalkan diri untuk melanggar kewajiban berzakat.[2] Muhammad bin Yusuf al-Farabiy berkata: “Diceritakan dari Abu ‘Abdullah dari Qabishah berkata:

هُمْ الْمُرْتَدُّونَ الَّذِينَ ارْتَدُّوا عَلَى عَهْدِ أَبِي بَكْرٍ فَقَاتَلَهُمْ أَبُو بَكْرٍ

“Murtaddûn disini adalah orang-orang yang murtad (keluar dari Islam karena menolak membayar zakat) pada zaman (Khalîfah) Abu Bakr, lalu Abu Bakr r.a. memerangi mereka.” (HR. Al-Bukhari)

Berbeda dengan Islam, Demokrasi sebagaimana dinyatakan Denny J. A, Ph. D: “Dalam Demokrasi, setiap kelompok dibiarkan mengejar kepentingan kebijakan, termasuk dalam memengaruhi kebijakan Negara.”[3] Dalam Republika, 27 Mei 1995 (lihat:  http://www.library.ohiou.edu/indopubs/1995/09/28/0011.html), ia pun menambahkan pernyataannya: “Asalkan cara yang digunakan masih dalam mekanisme dan prosedur demokrasi, seperti sukarela, lobi, negosiasi, bargaining dan kolaborasi, tanpa kekerasan.”

Kenyataannya, fungsi DPR sebagai lembaga legislatif dalam Demokrasi membuka peluang permainan licik terhadap perundang-undangan. Faktanya banyak perundang-undangan yang tidak sejalan dengan Islam dan mengakomodasi kepentingan pihak tertentu (kapitalis), UU SDA misalnya.

Sedangkan politik dalam Islam berbeda dengan Demokrasi. Para ulama pun menegaskan kekhasan politik dalam Islam dan keagungan kedudukan politik Islam.

Syaikh Prof. Dr. Muhammad Ahmad Mufti menegaskan dalam subjudul Pentingnya Kedudukan  Kekuasaan Politis dalam Islam (ضرورة السلطة السياسية في الإسلام):

يعارض الإسلام الفوضى السياسية ويطالب بقيام السلطة المنظمة حتى في ما يتعلق بتنظيم الشؤون الخاصة، وفي ذلك يقول الرسول -صلى الله عليه وسلم-: ((إذا خرج ثلاثة في سفر فليؤمروا أحدهم))[4]

“Islam menolak segala kekacaun politis dan menuntut kekuasaan yang teratur hingga pada pengaturan berbagai urusan khusus. Dalam hal ini Rasulullah SAW bersabda: “Jika tiga orang bepergian maka angkatlah salah satunya menjadi pemimpin.[5]

Lalu, Syaikh Prof. Dr. Muhammad Ahmad Mufti pun menegaskan:

ومن هذا استنباط الفقهاء وجوب وجود القيادة السياسية والمجتمع السياسي المنظم، فقد أشار ابن تيمية إلى أنه إذا كان الرسول -صلى الله عليه وسلم- قد أوجبها في الاجتماع الأصغر فهذا دليل واضح على وجوبها في الاجتماع الأكبر وهو اجتماع الأمة

“Oleh karena itu, para ahli fikih menggali hukum tentang kewajiban adanya kepemimpinan politik dan masyarakat yang politis yang teratur. Syaikh Ibn Taymiyyah menjelaskan bahwa jika Rasulullah SAW telah mewajibkan adanya kepemimpinan ini terhadap lingkup kecil, maka hal ini menjadi dalil yang sangat jelas terhadap kewajiban adanya kepemimpinan politis bagi lingkup masyarakat yang lebih luas yakni umat ini.”

Syaikh Dr. Shalah Al-Shawi menegaskan kekhasan politik dalam Islam:

فإقامة الدين وسياسة الدنيا به هو الفارق الأساسي بين نظام الإمامة وغيره من النظم الوضعية المعاصرة التي فصلت بين الدين والدنيا، وساست حياتها بمعزل عن دينها، وحملت الكافة على مقتضى الهوى والشهوة.

“Maka menegakkan agama dan mengatur urusan dunia dengan Islam merupakan perbedaan yang paling pokok antara sistem Imamah (Khilafah) dengan sistem-sistem politik yang tegak di zaman ini yang memisahkan antara Din dan pengaturan dunia, dan mengurusi urusan dunia dengan memisahkannya dari agamanya, dan mengemban seluruh tuntutan hawa nafsu dan syahwat.”[6]

Al-Hafizh al-Imam al-Nawawi menuturkan:

لا بد للأمة من إمام يقيم الدين وينصر السنة وينتصف للمظلومين ويستوفي الحقوق ويضعها مواضعها

“Adalah suatu keharusan bagi umat adanya imam yang menegakkan agama dan yang menolong sunnah serta yang memberikan hak bagi orang yang didzalimi serta menunaikan hak dan menempatkan hal tersebut pada tempatnya.”[7]

Qâdhi Abû Ya’la al-Farrâ’ mengungkapkan: “Imam diwajibkan untuk mengurus urusan umat ini, yakni sepuluh urusan: Pertama, menjaga agama berkenaan dengan ushûl yang disepakati umat terdahulu. Jika orang yang bersekongkol mempunyai kesalahan terhadapnya, dia (imam) bertanggungjawab untuk menerangkan hujjah dan menyampaikan kebenaran terhadapnya. Dia juga yang bertanggungjawab untuk melaksanakan hak dan sanksi, agar agama ini tetap terjaga dan terpelihara dari kesalahan. Dan umat ini akan tetap terhindar dari ketergelinciran.”[8]

Tersebarnya kebatilan di tengah-tengah kaum muslimin lahir dari prinsip-prinsip kebebasan yang dijunjung tinggi Demokrasi. Maka berbagai kebatilan tersebar secara terorganisir. 

Dalam diskusi dengan Syaikh Dr. Shalih Musa dan Syaikh Dr. Abu ‘Abdillah, penulis menuturkan:

قد وجدت الواقع أن الديمقراطية تسبب الفساد وانتشار الشرك والكهانة في إندونيسيا… ما رأيك يا شيخنا الكريم ؟

“Saya menemukan fakta demokrasi menyebabkan kerusakan (kemungkaran) dan tersebarnya kesyirikan dan perdukunan di Indonesia (khususnya). Lantas bagaimana pendapat Anda Wahai Syaikh?”[9]

Syaikh Dr. Shalih Musa menjawab:

طبعًا، الديمقراطية بالحرية

“Ya (begitulah) Demokrasi dengan prinsip kebebasannya.”

Sama halnya ketika terjalin dalam diskusi “أهمية مكانة السلطان في إزالة المنكرات” (pentingnya kedudukan penguasa dalam menghapuskan berbagai kemungkaran di tengah-tengah kaum muslimin). Dr. Shalih Musa menegaskan bahwa hal itu bisa terwujud dengan adanya al-Dawlah al-Islamiyyah. Sedangkan Syaikh Dr. Abu ‘Abdullah menjelaskan kepada penulis:

فالواجب على من يتولى أمور المسلمين أن يمنع ما يضر المسلمين في دينهم ودنياهم

“Maka wajib bagi siapa saja yang menguasai urusan kaum muslimin (penguasa) untuk mencegah hal-hal yang bisa membayakan agama dan dunia kaum muslimin.”

Hal ini sejalan dengan hadits Rasulullah SAW dan pemahaman para ulama salaf maupun khalaf:

إِنَّمَا الْإِمَامُ جُنَّةٌ يُقَاتَلُ مِنْ وَرَائِهِ وَيُتَّقَى بِهِ

“Seorang imam itu laksana perisai, dimana (orang-orang) akan berperang di belakangnya (memberikan dukungan) dan berlindung (dari musuh) dengan kekuasaannya.” (HR. Muslim, Ahmad, Abû Dawud & al-Nasa’i)

Lantas, mengapa masih berharap pada sistem jahiliyyah nan rapuh Demokrasi?

Artikel lainnya: Jalanan Rusak Parah Merupakan Tanggung Jawab Penguasa


[1] Lihat: Mu’jamu Lughatil Fuqahâ’ (I/253) karya Syaikh Prof. Muhammad Rawwas Qal’ahji.

[2] Di sisi lain, sistem Islam akan diterapkan secara utuh dalam Khilafah Islam. Apakah dengan diterapkannya sistem pendidikan Islam berbasis akidah Islam, penerapan sistem hukum Islam secara tegas atas kekufuran (misalnya hudud bagi bagi para pelaku riddah (murtadîn) dan hukuman atas tukang sihir), menyaring segala bentuk informasi produk media massa (media elektronik, media cetak) sehingga menjauhkan umat dari upaya penyesatan opini dan akidah, dan lain sebagainya.

[3] Lihat: ICMI Antara Status Quo & Demokratisasi, Denni J.A. Ia pun menyatakan hal yang sama dalam situs: http://www.library.ohiou.edu/indopubs/1995/09/28/0011.html

[4] أخرجه أبو داود، راجع: جامع الأصول من أحاديث الرسول، الجزء السادس، ص ١٣

[5] Lihat: Arkaanun wa Dhamaanaat: Al-Hukm Al-Islaamiy, Syaikh Prof. Dr. Muhammad Ahmad Mufti – Mu’assasah al-Riyaadh: Beirut – Lebanon.

[6] Lihat: Al-Wajiiz fii Fiqh Al-Khilaafah, Syaikh Dr. Shalah Al-Shawi – Dar al-I’lam al-Duwali.

[7] Lihat: Rawdhatuth Thâlibîn wa Umdatul Muftin (II/433), Al-Hafidz Abu Zakaria Yahya bin Syaraf Al-Nawawi.

[8] Lihat: Al-Ahkâm Al-Sulthâniyyah (hlm. 27), Imam al-Mawardi.

[9] Di Kulliyyatusy Syarii’ah Wad Diraasaat Al-Islaamiyyah – Al-Raayah.

7 comments on “Politik Islam Berbeda dengan Demokrasi (Part. I)

Tinggalkan komentar