Fenomena Perdukunan: Dulu & Kini di Alam Demokrasi

Pertanyaan
“Sejak kapan perdukunan (sihir) dikenal umat manusia?”

Jawaban
Jawaban yang baik diungkapkan Syaikh Prof. Dr. Mutawalli Sya’rawi: “Yang jelas sihir itu sudah ada sejak sebelum Nabi Sulaiman a.s., malah telah tersebar luas di zaman Nabi Musa a.s.. Al-Qur’ân pun telah bercerita kepada kita tentang perang tanding antara Musa dan juru sihir Fir’aun, padahal Nabi Sulaiman dan Nabi Daud a.s., lahir sesudah zaman Nabi Musa a.s. Ini berarti sihir sudah dikenal di muka bumi sejak masa sebelum Sulaiman, bahkan sebelum zaman Nabi Musa a.s.. Bahkan al-Qur’ân pun menyebutkan adanya sihir kepada kita pada zaman Nabi Saleh a.s. salah seorang nabi yang datang sebelum Nabi Ibrahim a.s..”

Bassam Salamah mengungkapkan: “Pada masa jahiliyah praktik perdukunan tersebar luas, mereka menyebut semua orang yang mampu mengetahui hal-hal gaib sebagai dukun. Akan tetapi perdukunan bukanlah adat asli mereka, melainkan pengaruh bangsa sekitarnya seperti bangsa Kaldani. Hal ini bisa dibuktikan dengan adanya istilah Hazi atau Haza dalam praktik perdukunan mereka yang merupakan bahasa asli Kaldani.

Sejarah Arab memiliki banyak kisah tentang perdukunan seperti yang disebutkan oleh Madani. Dari mereka muncul beberapa nama seperti Syaq bin Anmar, Sutaih bin Mazin, Hunafar bin Tau’am Al-Humairi, Sawad bin Qarib Ad-Dusi, Umran bin Amir Al-Kahtani dan istrinya Tharifah Al-Khair , Zubara’, Hars, Ghaithalah yang berasal dari suku Bani Ashum, dan Khas’am Fatimah binti Murr. Enam nama terakhir ialah dukun perempuan, hal ini membuktikan praktik perdukunan tidak hanya dimonopoli oleh kaum laki-laki .

Maha Benar Allâh yang berfirman dalam QS. Al-Falaq [113]: 4:

وَمِنْ شَرِّ النَّفَّاثَاتِ فِي الْعُقَدِ
“Dan dari kejahatan wanita-wanita tukang sihir yang menghembus pada buhul-buhul.”

Begitu pula dengan realitas yang penulis ketahui dari kesaksian korban penipuan dukun perempuan. Di Indonesia, dikenal peramal atau paranormal perempuan semisal Meike Rose, Mama Lauren , dan lain-lain.

Bassam Salamah menegaskan: “Bangsa Mesir Kuno juga tak ketinggalan, mereka memiliki kemampuan luar biasa yang mereka warisi dari para leluhurnya. Begitu pula dengan bangsa Afrika, mereka tidak akan melakukan apapun sebelum meminta petunjuk pada dukun dan tuhan-tuhan mereka. Di antara peramal abad pertengahan adalah Pastradamus dari Prancis, William L dari Inggris, dan lain-lain.”

Dalam buku Dr. Ja’far Khadem Yamani –Mukhtashar Târîkh Tharîkat al-Tibb– dipaparkan cara-cara praktik dukun primitif antara lain:
• Sihir
• Memanggil ruh nenek moyang melalui perantaraan patung nenek moyang, tengkorak dan lain sebagainya.
• Mengobati dengan batu hitam.
• Menyapu muka orang yang sakit dengan rumput yang dibacakan mantra.
• Menari-nari sambil memanggil-manggil ruh pembawa tuah besar dan ruh pembawa tuah kecil.
• Membuat ramuan yang dilumatkan dengan kunyahan.
• Meludahi air ataupun mulut orang yang sakit, dan menyuruh oran yang sakit menelannya.
• Berbuat seperti seekor biza (cerpelai besar), yakni dukun itu kerasukan, lalu ia memakan bangkai hewan busuk, mirip biza Afrika, kemudian ia memanjat dan menjerit-jerit di atas pohon.

Beliau pun menuliskan: “Pengobatan dengan menggunakan batu hitam, dilakukan oleh dukun-dukun bangsa Bantu. Diletakkannya batu hitam pada tubuh orang yang sakit, lalu dibacakan jampi-jampi. Konon batu itu berdaya magnet, tetapi jika batu itu digunakan orang lain, maka daya magnetiknya hilang. Menurut kepercayaannya, ruh batu (baca: syaithan) tidak tunduk pada orang lain (selain dukun-pen.). Dukun-dukun seperti itu tak hanya ada di suku-suku bangsa primitif, tetapi tersebar juga di kalangan suku-suku bangsa Eropa. Dan beberapa waktu lalu, publik Indonesia sempat dihebohkan dengan fenomena menjamurnya dukun-dukun cilik bersenjatakan batu bertuah dan air.”

Apabila kita flash back sejarah dunia Islam, pada masa kekhilafan Islam di Baghdad telah dibangun rumah sakit yang cukup mewah, bersih dan teratur perawatannya. Sementara itu bangsa Romawi masih terbelakang mempercayai dukun-dukun; penyakit sampar diobati dengan jampi-jampi dukun dan air jernih, orang buta dibawa ke dukun untuk diludahi matanya, penyakit-penyakit yang dianggapnya ajaib masih dihubung-hubungkan dengan pengaruh hantu-hantu yang senang menjelma menjadi kelelawar atau serigala di waktu malam.

Maka tak mengherankan apabila film-film Box Office Hollywood pun dihiasi film-film horor bertema ‘Vampire’ si manusia kelelawar penghisap darah, dan ‘Wolfman’ si manusia serigala yang menjadi-jadi pada bulan Purnama.

Hingga pertengahan abad XII Masehi, dukun-dukun mengobati dan membunuh pasiennya berdasarkan pesanan gereja; orang yang sakit demam harus mengusap patung Maria, tahi himar (keledai) dikonsumsi sebagai obat kuat birahi, jika ingin menunda kehamilan maka digosokkan batu putih oleh dukun, dan batu merah bagi yang ingin hamil. Di Eropa, umpamanya di Bulgaria dan Roma, hingga saat ini masih terdapat dukun-dukun yang merangkap pastur.

Dukun-dukun primitif dalam praktiknya berhubungan erat dengan keyakinan Animisme/Dinamisme, menyembah benda-benda alam. Berbeda dengan dukun-dukun modern yang kebanyakan hampir tak memiliki keyakinan yang tetap. Mereka melakukan praktik perdukunan untuk memperkaya dirinya, misalnya dukun-dukun modern yang berpraktik di Rio de Janero, Brazil. Mereka beristri banyak, memiliki rumah, kendaraan pribadi dan barang-barang yang serba mewah. Tetapi dalam praktiknya, ia tetap sama seperti dukun primitif yang menggunakan azimat-azimat, pengalapan ruh-ruh yang dianggap bertuah tinggi dan yang semisalnya.

Lantas apa penyebab menjamurnya perdukunan? Imam al-Khiththabi menjawab: “Praktik perdukunan merajalela dan menjamur di masa Jahiliyyah –khususnya bangsa Arab- karena terputusnya risalah kenabian di zaman mereka.“

Syaikh Prof. Mutawalli al-Sya’rawi menegaskan syaithân yang menyebarluaskan ilmu ini: “Selama yang mengabarkan berita itu Allâh pencipta alam semesta ini (lihat QS. al-Baqarah [2]: 102), tentu berita itu benar. Syaithân memang mempunyai andil dalam menyebarluaskan ilmu sihir di kalangan umat manusia. Sudah barang tentu juga erat hubungannya dengan ilmu itu… Jadi syaithân-syaithân itu memang mempunyai andil besar dalam penyebaran dan perkembangan ilmu itu, sesudah turunnya Harut dan Marut.” Syaikh pun mengutip dalil:

وَيَتَعَلَّمُونَ مَا يَضُرُّهُمْ وَلَا يَنْفَعُهُمْ

“…..Dan mereka mempelajari sesuatu yang memberi mudarat kepadanya dan tidak memberi manfaat..” (QS. Al-Baqarah [2]: 102)

Allâh sudah menetapkan bahwa sihir itu tidak bermanfaat. Jadi tidak layak dikatakan: Saya akan belajar untuk digunakan dalam kebaikan, karena ilmu Allâh yang di atas ilmu manusia sendiri telah menetapkan bahwa sihir itu tidak menguntungkan, malah sangat merugikan.”

وَلَا يُفْلِحُ السَّاحِرُ حَيْثُ أَتَىٰ

“….Dan tidak akan menang tukang sihir itu, dari mana saja ia datang.” (QS. Thâhâ [20]: 69)

PERDUKUNAN DI ALAM DEMOKRASI

Di bawah sistem Demokrasi saat ini, perdukunan sudah dikemas sedemikian rupa, berwajah ‘trendi’, bahkan memanfaatkan jasa teknologi untuk memasarkan produk perdukunannya, semisal internet. Hanya dengan fasilitas Search di internet, sekali ‘Klik’, kita akan menjumpai dunia komersialisasi perdukunan dengan ‘tetek bengek’ produk komersilnya (azimat, pelet dan lain sebagainya). Dan jika kita analisis, menjamurnya perdukunan di zaman ini terjadi ketika umat menjauh dari risalah yang dibawa Rasûlullâh (syari’at Islam), bukan karena terputusnya risalah.

Kehidupan di bawah naungan sistem Demokrasi sekular, secara sistemik menyuburkan beragam bentuk kemaksiatan dan kekufuran, termasuk diantaranya perdukunan. Inilah sistem yang dikatakan -meminjam istilah Syaikh Prof. Ashim Umayra- umm al-jarâim (pangkal kemaksiatan). Kita bisa melihat, kebudayaan di negeri ini yang mengandung praktik kesyirikan pun, tetap dilanggengkan dengan alasan menarik keuntungan pariwisata. Inilah bencana, menjual agama demi harta dunia yang fana’.

Dinukil dari buku: Menyingkap Jin dan Dukun  Hitam Putih Indonesia (Menyingkap Syubhat-Syubhat Alam Jin & Perdukunan di Indonesia, Plus Kajian Praktis dan Mendalam Ruqyah Syar’iyyah & Solusi Politis Ideologis)

1 comments on “Fenomena Perdukunan: Dulu & Kini di Alam Demokrasi

Tinggalkan komentar